Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Thursday, 17 April 2025

Perdagangan Hewan Ilegal Sulit Diberantas?

 


Setiap hewan yang masuk ke wilayah Indonesia, termasuk melalui bandara internasional, wajib dilaporkan kepada Petugas Karantina untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dan dokumen. Langkah ini penting untuk mencegah masuknya penyakit hewan yang berbahaya dan menjaga keamanan hayati nasional.

 

Perdagangan hewan secara ilegal merupakan salah satu bentuk kejahatan lintas negara yang hingga kini masih sulit diberantas. Masalah ini tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan erat dengan berbagai faktor seperti tingginya permintaan pasar, lemahnya penegakan hukum, keterbatasan pengawasan, serta rendahnya kesadaran masyarakat. Semua faktor ini saling mendukung dan memperkuat eksistensi praktik perdagangan yang merugikan keberlangsungan satwa liar ini.

 

Salah satu penyebab utama sulitnya pemberantasan adalah tingginya permintaan pasar terhadap satwa liar. Hewan-hewan tersebut diburu untuk berbagai tujuan, seperti peliharaan eksotik, bahan baku obat tradisional, koleksi hiasan, atau bahkan konsumsi makanan. Negara-negara seperti Tiongkok, beberapa wilayah Eropa, dan Amerika Serikat menjadi pasar utama bagi produk-produk tersebut, sehingga menciptakan jaringan perdagangan gelap yang sangat menguntungkan.

 

Perdagangan hewan ilegal juga menarik karena menjanjikan keuntungan ekonomi yang besar. Nilainya diperkirakan mencapai miliaran dolar Amerika setiap tahun. Sayangnya, keuntungan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan risiko hukuman yang dihadapi pelaku. Banyak sindikat kejahatan terorganisir lebih memilih bisnis ini karena sanksi hukumnya lebih ringan dibandingkan, misalnya, perdagangan narkoba.

 

Di sisi lain, penegakan hukum terhadap perdagangan hewan ilegal masih lemah. Banyak negara belum memiliki sistem hukum yang kuat dan konsisten dalam menangani kasus-kasus ini. Hukuman yang dijatuhkan sering kali ringan dan tidak memberikan efek jera. Parahnya lagi, praktik korupsi di kalangan aparat penegak hukum juga turut mempersulit upaya pemberantasan.

 

Jaringan perdagangan hewan ilegal bersifat lintas negara dan sangat kompleks. Prosesnya melibatkan banyak pihak, mulai dari pemburu lokal, perantara, hingga eksportir gelap dan pembeli internasional. Jalur distribusi pun sering kali disamarkan melalui jalur perdagangan legal atau dikamuflasekan sebagai barang sah.

 

Kesadaran masyarakat juga menjadi kendala besar. Banyak orang tidak menyadari bahwa membeli atau memelihara satwa liar tertentu merupakan tindakan yang melanggar hukum. Di beberapa kalangan, kepemilikan hewan langka bahkan dianggap sebagai simbol status sosial, yang semakin mendorong permintaan pasar.

 

Keterbatasan sumber daya pengawasan turut menjadi hambatan besar. Aparat atau petugas di lapangan sering tidak memadai baik dari segi jumlah maupun fasilitas. Selain itu, pengawasan juga terbatas karena wilayah-wilayah perbatasan dan hutan yang luas serta sulit dijangkau secara geografis.

 

Dalam era digital saat ini, para pelaku memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk menjalankan transaksi secara sembunyi-sembunyi. Penjualan dilakukan melalui grup tertutup atau akun anonim, sehingga menyulitkan pelacakan oleh aparat penegak hukum.

 

Terakhir, proses identifikasi hewan yang diperdagangkan secara ilegal tidaklah mudah. Banyak hewan hasil tangkapan liar sulit dibedakan dari hasil penangkaran legal, apalagi jika sudah diubah menjadi produk seperti kulit, tulang, atau sisik. Pembuktian hukum pun menjadi rumit tanpa bantuan teknologi forensik seperti uji DNA.

 

Untuk menghentikan rantai perdagangan ini, diperlukan kerja sama lintas sektor dan lintas negara, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian satwa liar. Tanpa itu, perdagangan hewan ilegal akan terus berlangsung dan mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati kita.

Sunday, 13 April 2025

Perang Dagang Gagal Hentikan Tiongkok

 

Tiongkok Bukan Jepang Kedua: Ketika Perang Dagang Tak Lagi Mampu Membendung Kebangkitan

 

Pertanyaan apakah Tiongkok akan menjadi "Jepang berikutnya" mencuat seiring kemajuan pesat negeri Tirai Bambu dalam teknologi, ekonomi, dan dominasi pasar global. Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan menyentuh kekhawatiran geopolitik: akankah Amerika Serikat (AS) berhasil mengerem laju Tiongkok seperti yang pernah dilakukan terhadap Jepang? Di masa lalu, Jepang memang mengalami stagnasi ekonomi setelah sempat menjadi raksasa industri dunia.

 

AS, melalui kebijakan seperti Plaza Accord 1985, berhasil memaksa penguatan yen yang memukul ekspor Jepang, ditambah langkah keras terhadap perusahaan unggulan seperti Toshiba yang kala itu mendominasi pasar semikonduktor global (Prestowitz, 1988). Tuduhan terhadap Toshiba menjual teknologi ke Soviet—yang pada akhirnya terbukti dilakukan oleh perusahaan Norwegia, Kongsberg—tetap menjadi dasar sanksi besar-besaran terhadap Jepang. Ini memperlihatkan bahwa keberhasilan ekonomi Jepang dipatahkan bukan hanya dengan instrumen pasar, tapi juga tekanan politik dan intelijen.

 

Namun, sejarah tak selalu berulang dengan cara yang sama. China menyadari pola ini dan memilih jalan berbeda. Ketika AS menangkap Meng Wanzhou, CFO Huawei, pada 2018 dengan tuduhan melanggar sanksi AS terhadap Iran, Tiongkok tidak gentar. Justru, peristiwa itu menjadi pemantik kebangkitan nasionalisme teknologi dan perlawanan ekonomi. Tidak seperti Jepang yang cenderung akomodatif, China memilih melawan. Huawei tetap bertahan, bahkan meluncurkan ponsel Mate 60 pada 2023 yang didukung chip buatan sendiri, meski dalam tekanan sanksi teknologi ekstrem dari AS (BBC, 2023).

 

Penolakan Meng Wanzhou untuk tunduk kepada tuntutan AS menunjukkan perubahan paradigma: Tiongkok tidak ingin menjadi negara kaya namun sepenuhnya bergantung, seperti Jepang atau Korea Selatan.

 

Perbedaan fundamental lainnya terletak pada skala, strategi, dan kekuatan domestik. China memiliki pasar dalam negeri yang sangat besar, kemandirian teknologi yang makin meningkat, serta kekuatan geopolitik yang jauh lebih kompleks. Proyek seperti Belt and Road Initiative, dominasi manufaktur global, dan kemajuan dalam kecerdasan buatan serta luar angkasa, menjadikan China bukan sekadar pesaing ekonomi, tapi alternatif peradaban.

 

AS mungkin berhasil menundukkan perusahaan seperti Alstom di Prancis, namun menghadapi benteng kokoh ketika mencoba melakukan hal serupa terhadap Huawei. Sanksi dan tekanan terbukti gagal membendung inovasi China, yang kini tak hanya meniru, tetapi menciptakan sendiri teknologi yang mampu bersaing bahkan melampaui standar Barat.

 

Dengan demikian, melihat dinamika sejarah dan fakta kontemporer, Tiongkok jelas bukan "Jepang berikutnya". Ia tidak mengulang sejarah, melainkan menulis narasinya sendiri. Jika Jepang pada akhirnya tunduk dan stagnan karena tekanan eksternal, China justru menjadikannya sebagai katalis untuk mandiri dan semakin agresif menantang dominasi lama.

 

AS tampaknya kini harus menerima kenyataan baru bahwa kekuatan global telah menjadi multipolar. Bagi para pemangku kebijakan, ini menjadi pelajaran bahwa strategi lama dalam perang dagang dan hegemoni teknologi tidak lagi efektif dalam menghadapi negara yang belajar dari sejarah dan memilih untuk tidak mengulangnya.

 

Referensi:

·Prestowitz, C. (1988). Trading Places: How We Allowed Japan to Take the Lead. Basic Books.

·BBC. (2023). “Huawei’s Mate 60 Pro Launch Surprises Analysts Amid US Sanctions.” https://www.bbc.com

Saturday, 12 April 2025

Mengapa Indonesia Gagal Swasembada Daging Sapi Lagi?

 



Produksi Sapi Dalam Negeri dan Tantangan Swasembada Daging Sapi

 

Indonesia hingga kini masih bergantung pada impor daging sapi dan sapi hidup, baik untuk penggemukan maupun pengembangbiakan. Kebutuhan daging sapi yang terus meningkat, terutama saat hari-hari besar seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, menjadikan impor sebagai solusi cepat untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri. Di sisi lain, berbagai program swasembada sapi yang dicanangkan sejak puluhan tahun lalu belum juga membuahkan hasil.

 

Mengapa Konsumsi Daging Terus Naik?

 

Gaya hidup masyarakat Indonesia yang semakin modern dan meningkatnya daya beli menjadi faktor utama naiknya konsumsi daging sapi. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa pada tahun 2022, konsumsi daging sapi nasional diperkirakan mencapai 2,62 kg per kapita per tahun. Angka ini memang masih di bawah rata-rata konsumsi dunia yang mencapai 6,4 kg per kapita, tetapi jika dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 270 juta jiwa, maka kebutuhan daging sapi nasional bisa mencapai lebih dari 800 ribu ton setiap tahunnya.

 

Sayangnya, produksi dalam negeri belum mampu mengejar angka tersebut. Tahun 2023, produksi daging sapi dan kerbau hanya mencapai sekitar 442 ribu ton—jauh di bawah kebutuhan nasional yang mencapai 816 ribu ton. Akibatnya, Indonesia harus mengimpor sisanya dari negara-negara seperti Australia, India, Amerika Serikat, dan Selandia Baru.

 

Gagalnya Swasembada, Di Mana Masalahnya?

 

Program swasembada sapi bukan hal baru. Pemerintah sudah berkali-kali mencanangkannya, mulai dari era Presiden Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Presiden Jokowi. Namun, target swasembada tersebut berkali-kali meleset. Salah satu penyebab utama adalah perencanaan yang tidak realistis—termasuk penggunaan data populasi sapi yang tidak akurat dan perkiraan produksi daging per ekor yang terlalu tinggi.

 

Selain itu, lemahnya pengawasan terhadap pemotongan sapi betina produktif juga menghambat peningkatan populasi sapi. Padahal, betina produktif adalah kunci dalam regenerasi ternak. Jika terus-menerus dipotong, maka populasi sapi sulit bertambah.

 

Strategi Baru: Dari Teknologi hingga Pola Kemitraan

 

Meski demikian, peluang untuk mencapai swasembada sebenarnya masih terbuka lebar jika pemerintah dan semua pemangku kepentingan mau serius melakukan pembenahan. Beberapa strategi penting yang perlu dilakukan antara lain:

1.Pemuliaan Genetik: Pemerintah harus mendorong penggunaan bibit unggul melalui teknologi reproduksi modern dan seleksi genetik agar sapi lebih cepat tumbuh dan lebih produktif.

2.Pakan Berkualitas: Ketersediaan pakan yang bergizi sepanjang tahun sangat penting agar produktivitas ternak meningkat.

3.Penguatan SDM dan Kemitraan Peternak: Peternak rakyat harus diberdayakan melalui pelatihan, akses pembiayaan, serta pola kemitraan inti-plasma. Minimal 25% dari sapi impor sebaiknya diberikan kepada peternak rakyat untuk digemukkan dan dikembangbiakkan.

4.Perbaikan Data dan Pengawasan: Pemerintah harus mulai dengan basis data populasi ternak yang benar. Tanpa data akurat, kebijakan yang diambil akan salah arah dan berdampak pada pemborosan anggaran.

5.Regulasi Tegas: Pemerintah harus menerapkan larangan tegas terhadap pemotongan sapi betina produktif. Penegakan hukum yang konsisten bisa menjadi langkah penting untuk mempercepat pertumbuhan populasi sapi.

 

Menatap Swasembada 2026: Mimpi atau Realita?

 

Presiden Jokowi pernah menargetkan Indonesia dapat swasembada daging sapi pada tahun 2026. Target ini tentu harus disambut dengan optimisme, tetapi juga disertai langkah konkret dan terukur. Jika strategi yang tepat diterapkan, mulai dari penguatan hulu hingga hilir, bukan tidak mungkin ketergantungan impor bisa ditekan secara bertahap.

 

Salah satu peluang besar yang dapat dimanfaatkan adalah diversifikasi sumber impor dari negara-negara seperti Brasil yang memiliki surplus sapi dan mampu mengekspor dalam jumlah besar. Namun, impor seharusnya hanya menjadi jembatan sementara. Fokus utama tetap harus pada pembangunan industri peternakan dalam negeri yang tangguh, efisien, dan berkelanjutan.

 

Kesimpulan: Saatnya Serius dan Konsisten

 

Swasembada daging sapi bukan hanya soal ambisi, tetapi soal ketahanan pangan dan kedaulatan negara. Gagalnya program swasembada selama ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan DPR RI. Penataan ulang kebijakan, penguatan data, edukasi peternak, serta pengawasan program secara ketat menjadi kunci agar impian swasembada tidak sekadar menjadi slogan tahunan.

 

Kini saatnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan berkomitmen secara serius agar produksi sapi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Jika langkah-langkah strategis dilakukan dengan konsisten dan berkelanjutan, bukan tidak mungkin pada masa depan Indonesia benar-benar mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan daging sapi.

 

REFERENSI

 

1.Juli Panglima Saragih. 2023. Produksi Sapi Dalam Negeri dan Kebijakan Swasembada Sapi. Info Singkat. Kajian Singkat terhadap Isu Aktual dan Strategis. Vol. XV, No. 12/II/Pusaka/Juni/2023.  Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pembangunan. Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian DPR RI.

2.“Mencari Alternatif Impor Sapi Hidup”, Kompas, 19 Juni 2023, hal. 10.

3.“Menggugat Rantai Impor Daging Sapi”, Kompas, 19 Juni 2023, hal. 11.

4.“Oulook Komoditas Peternakan: Daging Sapi (2022)”, satudata. pertanian.go.id, 1 Desember 2022, https://satudata. pertanian.go.id/details/ publikasi/356, diakses 20 Juni 2023.

5.“Swasembada Daging Sapi Tahun 2026”, ispi.org., 28 Oktober 2021, https://pb-ispi.org/ swasembada-daging-sapitahun-2026/, diakses 21 Juni 2023.

6.“Tujuh Saran Kebijakan Wujudkan Swasembada Daging Nasional”, lipi.go.id., 7 Oktober 2020, http://lipi.go.id/berita/ Tujuh-Saran-KebijakanWujudkan-SwasembadaDaging-Nasional/22175LIPI, diakses 20 Juni 2023.