Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 17 March 2023

Konservasi badak di Indonesia dengan metode teknologi modern

Konservasi badak di Indonesia dengan metode teknologi modern

Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), juga dikenal sebagai badak sumatera, badak berbulu atau badak bercula dua Asia, adalah anggota langka dari famili Rhinocerotidae dan salah satu dari lima spesies badak yang masih ada. Ini adalah satu-satunya spesies yang masih ada dari genus Dicerorhinus.  Badak Sumatera pernah mendiami hutan hujan, rawa, dan hutan huja di India, Bhutan, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, india, dan Cina barat daya, khususnya di Sichuan. Sekarang terancam punah, dengan hanya lima populasi besar di alam liar: empat di Sumatera dan satu di Kalimantan, dengan perkiraan total populasi kurang dari 80 individu dewasa.  Maka dari itu penting melakukan konservasi badak di Indonesia dengan metode yang efektif.

 

Pentingnya program konservasi badak di Indonedia

Program konservasi badak di Indonesia sangat penting karena badak merupakan salah satu spesies langka yang terancam punah di Indonesia dan di seluruh dunia. Badak merupakan bagian penting dari ekosistem dan memiliki peran ekologis yang besar dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Selain itu, badak juga memiliki nilai penting dalam budaya dan pariwisata di Indonesia.

 

Tanpa upaya konservasi yang serius, populasi badak dapat terus menurun dan bahkan mengalami kepunahan. Kepunahan badak juga akan berdampak pada keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati di Indonesia dan di seluruh dunia.

 

Program konservasi badak di Indonesia bertujuan untuk melindungi, memelihara, dan memulihkan populasi badak di habitat aslinya, serta memastikan keberlanjutan spesies ini di masa depan. Upaya konservasi meliputi pengawasan, pemantauan, perlindungan, dan pengelolaan habitat badak, serta penangkaran dan reintroduksi individu-individu badak yang telah terlatih untuk hidup di alam liar.

 

Selain itu, program konservasi badak juga penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga keberlangsungan populasi badak dan keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Program ini juga memberikan peluang untuk pengembangan ekonomi dan pariwisata yang berkelanjutan di sekitar habitat badak, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

 

Berikut diperkenalkan beberapa metode yang bisa dilakukan dengan menggunakan beberapa alat dan metode, yaitu: (1) Teknologi RFID; (2) Drone; (3) Teknologi DNA; (4) Teknologi Satelit; (5) Artificial Intelligence (AI).

 

1.    TEKNOLOGI RFID

Radio Frequency Identification (RFID) adalah teknologi yang dapat digunakan untuk memantau dan melacak gerakan badak. RFID dapat ditanamkan pada tubuh badak dengan mudah dan memberikan informasi tentang lokasi badak, pergerakan dan perilakunya. Dengan teknologi ini, peneliti dapat mengumpulkan data tentang kesehatan, makanan, dan perilaku badak, serta membantu pengawasan dan deteksi perburuan liar.

 

Berikut adalah cara penggunaan RFID pada hewan liar termasuk Badak.

 

Pemasangan tag RFID

Tag RFID biasanya dipasangkan pada bagian tubuh hewan yang mudah diakses, seperti telinga, leher, atau kaki. Tag RFID memiliki ukuran yang kecil dan ringan, sehingga tidak akan mengganggu hewan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

 

Pembacaan data tag RFID

Setelah tag RFID dipasang, data yang terkait dengan hewan dapat diambil dengan menggunakan alat pembaca RFID. Alat pembaca RFID memancarkan gelombang radio untuk membaca tag RFID dan mengambil data yang terkait dengan hewan. Data yang diambil dapat berupa informasi tentang lokasi, kesehatan, dan perilaku hewan.

 

Pemantauan hewan

Dengan data yang diperoleh dari tag RFID, peneliti dapat memantau pergerakan hewan dan mempelajari perilaku dan kebiasaan hewan. Data ini juga dapat membantu pengawasan dan deteksi perburuan liar atau aktivitas manusia di sekitar habitat hewan.

 

Analisis data

Data yang diperoleh dari tag RFID dapat diolah dan dianalisis untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam tentang kesehatan, makanan, dan perilaku hewan. Data ini dapat digunakan untuk mengembangkan strategi konservasi yang lebih efektif dan efisien.

 

Dengan penggunaan teknologi RFID, konservasi hewan liar dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Namun, penggunaan teknologi ini harus dilakukan dengan bijak dan disertai dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah dampak yang merugikan pada hewan liar.

 

Proses penggunaan RFID reader

 

Persiapan perangkat

Pastikan bahwa perangkat RFID reader telah terhubung dengan komputer atau sistem pengolahan data yang akan digunakan untuk memproses informasi dari tag RFID. Pastikan juga bahwa baterai pada RFID reader telah terisi penuh atau tersambung ke sumber daya listrik yang memadai.

 

Posisikan RFID reader

Tempatkan RFID reader pada posisi yang strategis dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Pastikan bahwa RFID reader berada dalam jangkauan tag RFID yang akan dibaca, dan pastikan bahwa sinyal radio dapat mencapai tag RFID dengan baik.

 

Aktifkan RFID reader

Nyalakan RFID reader dengan menekan tombol power atau menghubungkan sumber daya listrik. Tunggu hingga RFID reader siap digunakan.

 

Membaca tag RFID

Untuk membaca tag RFID, dekatkan tag RFID pada antena RFID reader. RFID reader akan mengirimkan sinyal radio ke tag RFID, dan tag RFID akan memproses sinyal tersebut dan mengirimkan informasi kembali ke RFID reader. Informasi yang diterima oleh RFID reader dapat ditampilkan pada layar komputer atau sistem pengolahan data.

 

Mengolah data

Setelah mendapatkan informasi dari tag RFID, data dapat diolah dan dianalisis menggunakan perangkat lunak yang terhubung ke sistem pengolahan data. Informasi yang diperoleh dapat digunakan untuk tujuan yang beragam, seperti pengelolaan inventaris, pemantauan lokasi atau aktivitas, atau identifikasi individu pada populasi hewan.

 

Matikan RFID reader

Setelah selesai menggunakan RFID reader, pastikan untuk mematikannya agar tidak menguras daya baterai atau listrik. Simpan RFID reader dengan aman dan sesuai dengan instruksi produsen.

Penting untuk selalu mengikuti petunjuk dan instruksi produsen dalam penggunaan RFID reader untuk memastikan bahwa perangkat berfungsi dengan optimal dan aman.

 

2.    PENGGUNAAN DRONE

Penggunaan drone dapat membantu konservasi badak dengan mengawasi badak di habitatnya. Dengan memasang kamera pada drone, dapat mengambil foto dan video dari jarak jauh, yang dapat membantu mengidentifikasi perburuan liar atau aktivitas manusia di sekitar habitat badak. Selain itu, teknologi ini juga dapat membantu menghitung jumlah populasi badak dengan lebih akurat.

 

Penggunaan drone dapat menjadi salah satu cara yang efektif untuk memantau badak dalam rangka konservasi. Berikut adalah beberapa cara penggunaan drone untuk memantau badak:

 

Pengamatan visual

Drone dilengkapi dengan kamera yang dapat mengambil gambar dan video dari udara, sehingga dapat digunakan untuk memantau pergerakan badak di habitatnya. Drone dapat mengambil gambar dari berbagai sudut yang sulit dijangkau oleh manusia, sehingga memungkinkan peneliti untuk memperoleh data yang lebih akurat dan lengkap.

 

Pemetaan habitat

Drone juga dapat digunakan untuk memetakan habitat badak, sehingga memungkinkan peneliti untuk memperoleh informasi tentang wilayah habitat dan perilaku badak. Pemetaan ini dapat membantu dalam perencanaan strategi konservasi yang lebih efektif dan efisien.

 

Deteksi perburuan liar

Dengan memasang kamera pada drone, dapat mengidentifikasi perburuan liar atau aktivitas manusia di sekitar habitat badak. Hal ini dapat membantu pengawasan dan deteksi perburuan liar, sehingga memungkinkan penegakan hukum yang lebih efektif.

 

Estimasi populasi

Drone dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah populasi badak dengan lebih akurat. Dengan menggunakan gambar dan video yang diambil oleh drone, teknologi pemrosesan citra dapat digunakan untuk menghitung jumlah badak dan memperkirakan perkembangan populasi badak di masa depan.

 

Penggunaan drone untuk memantau badak dapat menjadi alternatif yang efektif dalam rangka konservasi badak. Namun, penggunaan drone juga harus dilakukan dengan bijak dan sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan hewan.

 

3.    PENGGUNAAN DNA

DNA dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis badak, dan juga dapat membantu menentukan populasi badak di daerah tertentu. Teknologi PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat digunakan untuk memperoleh DNA dari sampel kotoran atau rambut yang ditemukan di lapangan.

 

Untuk konservasi badak

DNA dapat digunakan dalam rangka konservasi badak untuk memperoleh informasi tentang keragaman genetik dan memperkuat populasi badak yang terancam punah. Ada beberapa cara penggunaan DNA dalam konservasi badak:

Identifikasi individu

DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu badak secara unik. Sampel DNA dapat diambil dari rambut, kulit, atau kotoran badak untuk mengidentifikasi individu dan memperkirakan ukuran populasi badak. Hal ini dapat membantu dalam pengembangan strategi konservasi yang lebih efektif.

Pemetaan keragaman genetik

Analisis DNA dapat digunakan untuk memetakan keragaman genetik pada populasi badak yang terancam punah. Informasi ini dapat membantu dalam perencanaan strategi konservasi yang lebih efektif, seperti pemilihan individu untuk program pemuliaan dan menghindari perkawinan saudara (in breeding) yang dapat mempengaruhi keragaman genetik.

Identifikasi spesies

DNA juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies badak, terutama pada kasus di mana terdapat kemiripan antara spesies badak. Informasi ini dapat membantu dalam pengembangan strategi konservasi yang lebih efektif dan akurat.

Program pemuliaan

Analisis DNA dapat digunakan untuk mengembangkan program pemuliaan yang efektif dan efisien untuk memperkuat populasi badak yang terancam punah. Program pemuliaan dapat dilakukan dengan memilih pasangan yang paling cocok berdasarkan analisis DNA, sehingga dapat mengurangi risiko penyakit atau kelainan genetik pada keturunan badak.

Dengan menggunakan teknologi DNA, konservasi badak dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Namun, penggunaan teknologi ini harus dilakukan dengan bijak dan sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk meminimalkan dampak negatif pada lingkungan dan hewan.

4.    TEKNOLOGI SATELIT

Teknologi satelit dapat digunakan untuk memantau pergerakan badak dan membantu mengawasi perburuan liar. Teknologi satelit dapat memberikan informasi tentang keadaan cuaca, iklim, dan keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan badak. Selain itu, teknologi ini juga dapat digunakan untuk memperkirakan lokasi badak yang terancam karena perburuan liar.

Teknologi satelit untuk konservasi

Teknologi satelit dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk konservasi badak, terutama dalam memantau dan melacak populasi badak di habitat alaminya. Beberapa cara untuk menggunakan teknologi satelit untuk konservasi badak:

Pelacakan Badak

Teknologi satelit dapat digunakan untuk melacak pergerakan badak di habitat alaminya. Dengan melengkapi badak dengan alat pelacakan satelit seperti GPS atau VHF, ahli konservasi dapat memantau pergerakan badak dalam waktu nyata dan memahami lebih baik pola perilaku mereka. Dengan informasi ini, dapat ditemukan strategi terbaik untuk melindungi badak dari ancaman pemburu atau perusak habitat.

Pemantauan Habitat

Teknologi satelit juga dapat digunakan untuk memantau perubahan di habitat badak. Dengan mengambil citra satelit dan mengolahnya, ahli konservasi dapat melihat perubahan dalam tutupan vegetasi, penggunaan lahan, dan perubahan cuaca yang mungkin memengaruhi populasi badak.

Sistem Penginderaan Jauh

Teknologi satelit juga dapat digunakan untuk mendapatkan data dari sistem penginderaan jauh seperti satelit RADAR atau satelit optik yang dapat mengambil citra resolusi tinggi. Dengan menggabungkan data ini dengan informasi pelacakan dan pemantauan habitat, ahli konservasi dapat memahami lebih baik perubahan dalam lingkungan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan keselamatan badak.

Analisis Data

Teknologi satelit juga dapat digunakan untuk menganalisis data populasi badak. Dengan mengumpulkan data melalui pemantauan dan pelacakan, ahli konservasi dapat menganalisis populasi badak dengan menggunakan teknik matematika dan statistik untuk memprediksi kemungkinan perkembangan populasi badak ke depannya.

Dalam semua hal ini, kolaborasi dengan berbagai pihak dan perusahaan teknologi satelit menjadi penting. Dengan kolaborasi ini, dapat ditemukan teknologi satelit yang paling efektif dan efisien untuk konservasi badak, serta mengumpulkan data dan informasi penting yang dibutuhkan.

5.    PENGGUNAAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI)

Teknologi AI dapat digunakan untuk membantu identifikasi badak melalui pengolahan gambar dan analisis data. Teknologi AI dapat mempelajari pola dan ciri-ciri khusus dari badak, sehingga dapat membedakan spesies badak yang berbeda dan memperkirakan jumlah populasi badak dengan lebih akurat.

Dengan memanfaatkan teknologi terbaru, konservasi badak dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Namun, teknologi ini harus digunakan dengan bijak dan disertai dengan pengawasan yang ketat agar tidak membahayakan kelestarian badak itu sendiri.

Artogicial intelligence untuk konservasi

Artificial Intelligence (AI) dapat digunakan dalam berbagai cara untuk membantu konservasi badak

Identifikasi dan Pemantauan

AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan memantau populasi badak melalui pengolahan gambar dan data dari drone atau kamera yang dipasang di alam liar. Dengan mengidentifikasi badak secara akurat dan memantau pergerakan mereka, para penjaga taman nasional dapat memberikan perlindungan dan perawatan yang tepat untuk membantu menjaga populasi badak tetap stabil.

Deteksi Perburuan dan Pencurian

AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan melacak aktivitas perburuan dan pencurian badak. Dalam banyak kasus, perburuan dan pencurian terjadi di malam hari, tetapi dengan menggunakan AI dan kamera yang sensitif terhadap gerakan, para penjaga dapat dengan cepat mendeteksi aktivitas tersebut dan mengambil tindakan yang diperlukan.

Prediksi Pergerakan

AI dapat digunakan untuk memprediksi pergerakan badak di area tertentu, yang dapat membantu para penjaga untuk mengambil tindakan yang proaktif untuk menjaga keamanan mereka. Dengan memprediksi pergerakan badak, para penjaga dapat mengambil tindakan untuk menghalangi jalur pergerakan mereka ke daerah yang lebih berbahaya, seperti daerah di mana perburuan dan pencurian sering terjadi.

Peningkatan Pendidikan dan Kesadaran

AI dapat digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesadaran tentang pentingnya konservasi badak. Dengan menggunakan teknologi interaktif dan visualisasi data, AI dapat membantu masyarakat untuk memahami pentingnya menjaga populasi badak tetap stabil dan pentingnya menjaga alam liar tetap terjaga.

Secara keseluruhan, penggunaan AI dalam konservasi badak dapat membantu para penjaga untuk melindungi badak dengan lebih efektif dan membantu masyarakat memahami pentingnya konservasi dan perlindungan spesies yang terancam punah.

Monday, 13 March 2023

Lembar fakta – Bovine spongiform encephalopathy atipikal

 


Apa itu BSE atipikal

BSE atipikal adalah salah satu bentuk BSE. Ini berbeda dengan BSE klasik, yang bertanggung jawab atas epidemi BSE yang dimulai di Inggris pada tahun 1986.

 

Baik distribusi geografis kasus BSE atipikal, bahkan di negara-negara di mana tidak ada kasus BSE klasik yang dilaporkan, dan fakta bahwa penyakit ini kebanyakan terjadi pada hewan tua, mendukung asumsi bahwa penyakit yang sangat langka ini berkembang secara spontan (misalnya tanpa gejala yang jelas). menyebabkan) dalam setiap populasi ternak. Tingkat kasus atipikal yang dilaporkan tidak dipengaruhi oleh tindakan pengendalian yang diterapkan untuk menghilangkan transmisi BSE klasik dan ini memberikan bukti bahwa hal itu terjadi secara spontan.

 

BSE atipikal, seperti halnya BSE klasik, adalah penyakit yang menyerang sistem saraf ternak dan selalu fatal, progresif, dan tidak merespons pengobatan. Itu milik sekelompok penyakit yang mempengaruhi sistem saraf manusia dan hewan yang disebut ensefalopati spongiform menular. Tidak ada pengobatan atau vaksin yang tersedia saat ini untuk penyakit ini.

 

Ada dua jenis BSE atipikal: tipe H dan tipe L. Sifat biologis dan karakteristik biokimia dari protein prion yang menyebabkan penyakit berbeda dengan BSE klasik.

BSE atipikal diketahui hadir pada hewan tua. Dalam 125 kasus BSE atipikal dengan usia yang diketahui dilaporkan di seluruh dunia dari tahun 2001 hingga 2021, usia rata-rata saat terdeteksi adalah 12 tahun (berkisar antara 5,5 hingga 18,5 tahun).

 

BSE atipikal di Kanada

BSE telah menjadi penyakit yang dilaporkan di Kanada sejak tahun 1990. Kanada diharuskan untuk memberi tahu Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH; didirikan sebagai Office International des Épizooties (OIE)) tentang setiap kejadian kasus BSE yang dikonfirmasi (baik klasik maupun atipikal).

 

Ada tiga kasus BSE atipikal yang dilaporkan di Kanada:

yang pertama didiagnosis pada Juni 2006 pada sapi potong yang lahir pada tahun 1989

yang kedua pada Januari 2007 pada sapi potong yang lahir pada tahun 1994

yang ketiga pada bulan Desember 2021 pada sapi potong yang lahir pada tahun 2013

Seperti semua kasus BSE atipikal yang dilaporkan di seluruh dunia, kasus di Kanada tidak terkait dengan sumber infeksi umum (seperti pakan yang terkontaminasi prion).

 

Tanda-tanda klinis BSE atipikal

Sapi dengan BSE atipikal kemungkinan akan memiliki beberapa tanda klinis yang sama seperti sapi dengan BSE klasik.

Seekor sapi dengan bentuk nervous dari BSE atipikal yang menyerupai BSE klasik akan menunjukkan tanda-tanda seperti reaksi berlebihan terhadap rangsangan eksternal, respons kaget yang tidak terduga, dan inkoordinasi. Sebaliknya, seekor sapi dengan bentuk kusam dari BSE atipikal akan menunjukkan tanda-tanda seperti kusam disertai dengan gerakan kepala rendah dan perilaku kompulsif (menjilat, mengunyah, mondar-mandir).

 

Penyakit ini biasanya berkembang selama beberapa minggu hingga beberapa bulan hingga tahap akhir penyakit (ketidakmampuan untuk berdiri, koma dan kematian).

Karena tanda-tanda ini tidak terlalu khas untuk BSE, diharapkan hewan individu yang menunjukkan tanda-tanda klinis sugestif BSE akan diamati pada semua populasi sapi.

 

Transmisi BSE atipikal

Penelitian telah mengkonfirmasi bahwa BSE tipe-L dapat ditularkan secara oral ke betis. Mengingat bukti ini, dan asumsi bahwa BSE atipikal dapat berkembang secara spontan pada setiap populasi sapi (dalam jumlah yang sangat rendah), masuk akal untuk menyimpulkan bahwa BSE atipikal dapat ditularkan jika ternak diberi pakan yang terkontaminasi. Oleh karena itu, tindakan pencegahan yang sama dilakukan untuk BSE klasik dan atipikal.

Tidak ada bukti saat ini bahwa BSE atipikal dapat dikaitkan dengan kasus penyakit Creutzfeldt-Jakob pada manusia.

 

Diagnosis BSE atipikal

Tidak ada tes untuk mendiagnosa segala bentuk BSE pada hewan hidup, meskipun diagnosis tentatif dapat dilakukan berdasarkan tanda-tanda klinis. Diagnosis hanya dapat dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap otak hewan tersebut setelah kematiannya.

Tes laboratorium harus dilakukan untuk membedakan antara BSE klasik dan atipikal, dan antara dua jenis BSE atipikal.

 

Keamanan pangan dan kesehatan hewan di Kanada

Kanada, serta banyak negara lain, telah mengambil tindakan pencegahan untuk mencegah penyebaran BSE. Program surveilans BSE yang ditingkatkan telah mampu mendeteksi kasus BSE atipikal, yang merupakan penyakit yang sangat langka. Ini merupakan indikator kualitas program tersebut dan layanan kedokteran hewan di Kanada.

 

SUMBER

https://inspection.canada.ca/animal-health/terrestrial-animals/diseases/reportable/bovine-spongiform-encephalopathy/atypical-bse/eng/1650549936296/1650549937171

Bovine Spongiform Encephalopathy Tipe-H Atipikal

 Bovine Spongiform Encephalopathy Tipe-H Atipikal pada Sapi yang Lahir setelah Larangan Pakan yang Diperkuat pada Meat-and-Bone Meal di Eropa

 

RINGKASAN

Pentingnya bovine spongiform encephalopathies (BSE) atipikal pada sapi untuk mengendalikan epidemi BSE kurang dipahami. Di sini kami melaporkan kasus BSE tipe-H atipikal pada sapi yang lahir setelah penerapan larangan pakan yang diperkuat di Eropa. Ini mendukung etiologi BSE tipe-H yang tidak terkait dengan BSE klasik.

 

LAPORAN KASUS

Seekor sapi Red Angus berusia 6,5 tahun mengalami downer cow syndrome setelah kelahiran anak sapi yang mati di Swiss pada Februari 2012. Hewan tersebut lahir di Jerman pada tahun 2005 dan diimpor ke Swiss pada usia 17 bulan. Menurut pemiliknya, tidak ada tanda-tanda penyakit sapi sebelum melahirkan. Setelah penyembelihan darurat, sampel medula oblongata diambil sesuai dengan pengawasan hukum Swiss bovine spongiform encephalopathy (BSE). Tes cepat BSE awal (Check Western; Prionics) (21) yang dilakukan oleh laboratorium regional hasilnya positif. Akibatnya, sampel medula oblongata dikirim, bersama dengan otak yang tersisa, yang masih tersedia di rumah jagal, ke Laboratorium Referensi BSE Swiss. Di sana, hewan tersebut dikonfirmasi BSE positif dengan TeSeE Western blot (Bio-Rad) (2), menggunakan pencernaan proteinase K terbatas dan deteksi imun dengan dua antibodi monoklonal spesifik protein prion (MAbs), Sha31 (11) dan 12B2 (16) . Massa molekul proteinase K-resistant prion protein peptides (PrPres) di Western blot ditentukan dengan perangkat lunak Quantity One versi 4.6.2 (Bio-Rad). Dibandingkan dengan sampel kontrol BSE klasik (tipe-C), pita PrPres yang terlihat dalam kasus ini menunjukkan 1,3- hingga 1,4-kDa massa molekul yang lebih tinggi serta pita tambahan pada 7,2 kDa. Juga, sampel bereaksi dengan MAb 12B2 (Gambar 1). Hal ini konsisten dengan fenotip molekuler BSE tipe-H (14). Distribusi protein prion terkait penyakit (PrPd) di seluruh otak ditentukan dengan uji imunosorben terkait-enzim (ELISA) (kit uji antigen BSE-scrapie; Idexx). PrPd terdeteksi terutama di thalamus dan obex dan, pada tingkat lebih rendah, di korteks serebelar, hippocampus, lobus pyriformis, dan inti basal (Gambar 2). Analisis histopatologis dilakukan pada bagian parafin yang diwarnai hematoxylin-and-eosin (H&E) dari daerah otak yang sama dengan yang dianalisis dalam ELISA. Lesi spongiform minimal terdapat di daerah obex (Gambar 3a) dan di otak tengah, tetapi tidak di struktur otak lainnya. Dengan imunohistokimia (menggunakan MAb F99) (17), endapan PrPd ringan diamati pada nukleus motorik dorsal saraf vagus, nukleus olivary kaudal (Gambar 3b), nukleus cuneate (Gambar 3c), nukleus hipoglosal, nukleus traktus spinalis saraf trigeminal, dan nukleus traktus soliter (Gambar 3d), serta di otak tengah dan thalamus. Endapan ini bertipe partikulat kasar, intraneuronal, dan intraglial. Tidak ada pelabelan PrPd di otak kecil, hippocampus, inti basal, dan korteks serebral. Seluruh kerangka bacaan terbuka dari protein prion sapi diurutkan dan tidak menunjukkan varian DNA dibandingkan dengan urutan referensi (aksesi GenBank no. AJ298878.1). Khususnya mutasi E211K yang dianggap menyebabkan varian genetik BSE tipe-H (19) tidak ada. Setelah konfirmasi laboratorium penyakit, bangkai hewan, termasuk semua produk sampingan, dimusnahkan, dan tidak ada bahan yang masuk ke rantai makanan.


 



Gambar 1. Bio-Rad TeSeE hybrid Western blot menggunakan MAb Sha31 dan MAb 12B2. Massa molekuler dari peptida protein prion (PrPres) tahan proteinase K individu ditunjukkan di bawah tanda kurung. Perhatikan perbedaan dalam massa molekul dan reaktivitas 12B2 antara kasus BSE tipe-H dan kontrol BSE tipe-C serta PrPrespeptide tambahan pada 7 kDa.

BAGIAN OTAK

Gambar 2. Distribusi protein prion patologis neuroanatomi (PrPd). Distribusi PrPd di otak kasus BSE tipe H ditentukan dengan uji Idexx. Cutoff tes ditunjukkan oleh garis putus-putus.


Gambar 3. Histopatologi dan imunohistokimia. (a) Inti motorik dorsal saraf vagus (pewarnaan H&E). Vakuola ditunjukkan oleh panah. ( B ) Inti olivary kaudal dengan pelabelan PrPd intraneuronal dominan. ( c ) Cuneate nukleus, intraneural (panah), dan pelabelan PrPd intraglial dan pewarnaan neuropil yang ringan. Pola pewarnaan serupa diamati pada nukleus saluran tulang belakang trigeminus. ( d ) Inti saluran soliter dengan pelabelan PrPd glial jarang.

 

BSE adalah penyakit menular dan neurodegeneratif yang muncul di Inggris pada pertengahan 1980-an dan kemudian di benua Eropa, Jepang, dan Amerika Utara (26). Hal ini disebabkan oleh prion, yaitu protein prion seluler (PrPd) yang salah lipatan yang menumpuk di otak sapi yang terkena. Penyakit prion dapat diperoleh, (yaitu, ditularkan melalui infeksi), memiliki dasar genetik, atau berkembang secara spontan sebagai kasus sporadis (9). Tiga jenis BSE saat ini dibedakan: tipe C-, L-, dan H. Sementara BSE tipe C sejauh ini merupakan bentuk penyakit yang paling sering, BSE tipe L dan H, juga disebut sebagai BSE atipikal, adalah kondisi langka yang menunjukkan karakteristik yang berbeda secara biokimia dan biologis dari BSE tipe C (6, 8). BSE tipe-C diperoleh dan transmisi prion terjadi dengan menelan jaringan yang terinfeksi — pada ruminansia terutama tepung daging dan tulang (MBM) yang digunakan sebagai suplemen pakan (27). Karena masa inkubasi beberapa tahun, usia rata-rata sapi yang terkena BSE adalah 5 sampai 6 tahun selama epidemi, tetapi kasus juga telah diidentifikasi pada hewan yang jauh lebih muda dan lebih tua. BSE tipe-H hanya didiagnosis pada sekitar 30 sapi di seluruh dunia, semuanya berusia di atas 8 tahun (24). Deteksi sebagian besar dengan skema surveilans aktif (yaitu, dengan pengujian laboratorium terhadap sejumlah besar sapi dewasa yang tidak diduga menderita BSE klinis). Penentuan tipe strain biologis melalui transmisi eksperimental ke model hewan pengerat dan sapi menunjukkan bahwa BSE tipe-H disebabkan oleh agen prion yang berbeda dari BSE tipe C dan L (4, 5, 15, 18). Hingga saat ini, patologi dan etiologi BSE tipe-H masih kurang dipahami (24). Terutama pertanyaan apakah penyakit itu didapat, genetik, atau sporadis meninggalkan kesenjangan besar dalam pengetahuan kita. Kasus yang disajikan di sini memperluas pemahaman tentang BSE tipe-H dalam beberapa aspek.

 

Seluruh patologi otak dari BSE tipe-H hanya dilaporkan pada seekor banteng dari breed zebu mini (23, 25) dan pada sapi yang diinokulasi secara intraserebral secara eksperimental (15, 18). Untuk semua kasus BSE tipe-H alami lainnya, hanya sampel batang otak yang tersedia, dan tidak diketahui struktur otak mana yang merupakan target diagnostik yang paling cocok. Zebu berusia 19 tahun dan menunjukkan tanda-tanda neurologis yang menonjol, dan lesi spongiform serta endapan PrPd parah dan tersebar luas di otak. Sebaliknya, hewan yang dijelaskan di sini berusia 6,5 tahun, tanda-tanda neurologis khusus sistem saraf pusat (SSP) tidak diamati, dan lesi spongiform serta endapan PrPd di otak minimal. Semua temuan ini mendukung bahwa sapi tersebut berada pada tahap awal penyakit praklinis. Dalam hal ini, penting untuk menunjukkan bahwa lesi minimal dan endapan PrPd ini ditemukan pada struktur materi abu-abu di daerah obex medula oblongata, otak tengah, dan talamus. Temuan ini pada dasarnya mirip dengan BSE tipe-C praklinis (1, 12, 13, 22) dan mendukung bahwa pengambilan sampel wilayah obex dalam skema surveilans yang diterapkan untuk BSE tipe-C mungkin juga cocok untuk mendeteksi H- yang terjadi secara alami. ketik BSE.

 

Langkah pengendalian penyakit utama BSE tipe C adalah larangan MBM mamalia dalam pakan ruminansia. Larangan pakan ini diberlakukan di Swiss dan Uni Eropa pada awal 1990-an dan sangat mengurangi jumlah sapi yang baru terinfeksi. Namun, daur ulang agen BSE tipe C pada populasi sapi tidak diblokir sampai larangan pakan MBM diperkuat pada tahun 2001, sekarang tidak termasuk penggunaan protein hewani dalam pakan semua hewan ternak (10). Apakah BSE tipe-H juga ditransmisikan secara oral pada populasi sapi dengan MBM sebagai kendaraan masih belum diketahui. Jika transmisi oral terjadi dan merupakan satu-satunya etiologi, pelarangan pakan MBM yang diperkuat harus menjadi tindakan yang tepat untuk mencegah penyebaran BSE tipe-H juga, dan BSE tipe-H tidak boleh terdeteksi pada hewan yang lahir setelah penerapannya, yaitu, setelah tahun 2001 di Swiss dan Jerman. Sepengetahuan kami, ini adalah laporan pertama dari hewan yang terkena BSE tipe-H yang lahir setelah larangan pakan MBM yang diperkuat di negara masing-masing. Oleh karena itu, kasus ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa etiologi BSE tipe-H mungkin tidak terkait dengan konsumsi daging dan tulang yang terkontaminasi prion. Secara bersama-sama, ini mendukung postulat yang diekspresikan secara luas bahwa BSE tipe-H berasal dari kesalahan lipatan spontan PrP seluler dengan patofisiologi yang mirip dengan penyakit Creutzfeld-Jakob sporadis pada manusia (7, 20). Sebagai alternatif, rute transmisi lain yang belum diketahui atau determinan genetik harus dipertimbangkan. Ini mengatakan, BSE tipe-H mungkin bertahan setelah pemberantasan BSE tipe-C. Apa implikasi dari skenario ini? Studi dengan tikus memberikan bukti eksperimental bahwa BSE tipe-H dapat mengubah fenotipe penyakitnya menjadi BSE tipe-C (3) setelah transmisi. Oleh karena itu telah dihipotesiskan bahwa epidemi BSE tipe-C berasal dari kasus BSE tipe-H yang terjadi secara spontan. Jika ini kasusnya, akan selalu ada risiko bahwa BSE tipe C akan muncul kembali pada populasi sapi setelah larangan pemberian pakan dihentikan. Akibatnya, beberapa tindakan pengendalian penyakit perlu dipertahankan tanpa batas waktu. Karena standar penentuan status risiko BSE suatu negara saat ini tidak membedakan antara subtipe BSE (28), penilaian risiko BSE tentu perlu mempertimbangkan pertimbangan tersebut. Ini menyoroti kebutuhan untuk melanjutkan penelitian tentang hubungan antara varian BSE klasik dan atipikal untuk memberikan dasar ilmiah untuk kebijakan pengawasan dan pengendalian penyakit di masa depan.

 

DAFTAR PUSTAKA

1. Arnold ME, et al. 2007. Estimating the temporal relationship between PrPSc detection and incubation period in experimental bovine spongiform encephalopathy of cattle. J. Gen. Virol. 88:3198–3208.

2. Arsac JN, Biacabe AG, Nicollo J, Bencsik A, Baron T. 2007. Biochemical identification of bovine spongiform encephalopathies in cattle. Acta Neuropathol. 114:509–516.

3. Baron T, et al. 2011. Emergence of classical BSE strain properties during serial passages of H-BSE in wild-type mice. PLoS One 6:e15839 doi:10.1371/journal.pone.0015839.

4. Baron TG, Biacabe AG, Bencsik A, Langeveld JP. 2006. Transmission of new bovine prion to mice. Emerg. Infect. Dis. 12:1125–1128.

5. Beringue V, et al. 2006. Isolation from cattle of a prion strain distinct from that causing bovine spongiform encephalopathy. PLoS Pathog. 2:e112 doi:10.1371/journal.ppat.0020112.

6. Biacabe AG, Laplanche JL, Ryder S, Baron T. 2004. Distinct molecular phenotypes in bovine prion diseases. EMBO Rep. 5:110–115.

7. Biacabe AG, Morignat E, Vulin J, Calavas D, Baron TG. 2008. Atypical bovine spongiform encephalopathies, France, 2001–2007. Emerg. Infect. Dis. 14:298–300.

8. Casalone C, et al. 2004. Identification of a second bovine amyloidotic spongiform encephalopathy: molecular similarities with sporadic Creutzfeldt-Jakob disease. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 101:3065–3070.

9. Colby DW, Prusiner SB. 2011. Prions. Cold Spring Harbor Perspect. Biol. 3:a006833 doi:10.1101/cshperspect.a006833.

10. Ducrot C, Arnold M, de Koeijer A, Heim D, Calavas D. 2008. Review on the epidemiology and dynamics of BSE epidemics. Vet. Res. 39:15 doi:10.1051/vetres:2007053.

11. Feraudet C, et al. 2005. Screening of 145 anti-PrP monoclonal antibodies for their capacity to inhibit PrPSc replication in infected cells. J. Biol. Chem. 280:11247–11258.

12. Hoffmann C, et al. 2007. Prions spread via the autonomic nervous system from the gut to the central nervous system in cattle incubating bovine spongiform encephalopathy. J. Gen. Virol. 88:1048–1055.

13. Iwata N, et al. 2006. Distribution of PrP(Sc) in cattle with bovine spongiform encephalopathy slaughtered at abattoirs in Japan. Jpn. J. Infect. Dis. 59:100–107.

14. Jacobs JG, et al. 2007. Molecular discrimination of atypical bovine spongiform encephalopathy strains from a geographical region spanning a wide area in Europe. J. Clin. Microbiol. 45:1821–1829.

15. Konold T, et al. 2012. Experimental H-type and L-type bovine spongiform encephalopathy in cattle: observation of two clinical syndromes and diagnostic challenges. BMC Vet. Res. 8:22 doi:10.1186/1746-6148-8-22.

16. Langeveld JP, et al. 2006. Rapid and discriminatory diagnosis of scrapie and BSE in retro-pharyngeal lymph nodes of sheep. BMC Vet. Res. 2:19 doi:10.1186/1746-6148-2-19.

17. Nentwig A, et al. 2007. Diversity in neuroanatomical distribution of abnormal prion protein in atypical scrapie. PLoS Pathog. 3:e82 doi:10.1371/journal.ppat.0030082.

18. Okada H, et al. 2011. Experimental H-type bovine spongiform encephalopathy characterized by plaques and glial- and stellate-type prion protein deposits. Vet. Res. 42:79 doi:10.1186/1297-9716-42-79.

19. Richt JA, Hall SM. 2008. BSE case associated with prion protein gene mutation. PLoS Pathog. 4:e1000156 doi:10.1371/journal.ppat.1000156.

20. Sala C, et al. 2012. Individual factors associated with L- and H-type bovine spongiform encephalopathy in France. BMC Vet. Res. 8:74 doi:10.1186/1746-6148-8-74.

21. Schaller O, et al. 1999. Validation of a Western immunoblotting procedure for bovine PrP(Sc) detection and its use as a rapid surveillance method for the diagnosis of bovine spongiform encephalopathy (BSE). Acta Neuropathol. 98:437–443.

22. Schulz-Schaeffer WJ, Fatzer R, Vandevelde M, Kretzschmar HA. 2000. Detection of PrP(Sc) in subclinical BSE with the paraffin-embedded tissue (PET) blot. Arch. Virol. Suppl. 2000:173–180.

23. Seuberlich T, et al. 2006. Spongiform encephalopathy in a miniature zebu. Emerg. Infect. Dis. 12:1950–1953.

24. Seuberlich T, Heim D, Zurbriggen A. 2010. Atypical transmissible spongiform encephalopathies in ruminants: a challenge for disease surveillance and control. J. Vet. Diagn. Invest. 22:823–842.

25. Tester S, et al. 2009. Biochemical typing of pathological prion protein in aging cattle with BSE. Virol. J. 6:64 doi:10.1186/1743-422X-6-64.

26. Wells GA, et al. 1987. A novel progressive spongiform encephalopathy in cattle. Vet. Rec. 121:419–420.

27. Wilesmith JW, Wells GA, Cranwell MP, Ryan JB. 1988. Bovine spongiform encephalopathy: epidemiological studies. Vet. Rec. 123:638–644.

28. World Organisation for Animal Health 2011. Terrestrial Animal Health Code, p 571–588 World Organisation for Animal Health, Paris, France.

 

SUMBER:

Claudia Guldimann, Michaela Gsponer, Cord Drögemüller, Anna Oevermann, and Torsten Seuberlich. Atypical H-Type Bovine Spongiform Encephalopathy in a Cow Born after the Reinforced Feed Ban on Meat-and-Bone Meal in Europe.  J Clin Microbiol. 2012 Dec; 50(12): 4171–4174.  doi: 10.1128/JCM.02178-12.

Saturday, 11 March 2023

Sejarah Singkat Kopi dan Pelarangannya


Saat ini, kopi menjadi salah satu komoditas perdagangan terbesar di dunia. Hal tersebut tidak mengherankan. Pasalnya, kopi telah menjadi minuman yang sangat populer di kalangan anak muda. Hal ini terbukti dengan banyaknya kedai kopi di berbagai tempat. Bahkan, bagi sebagian orang, kopi menjadi minuman yang harus dikonsumsi setiap hari. Ternyata, pada zaman dulu, kopi pernah beberapa kali dilarang oleh beberapa agama dan negara, yang disebabkan oleh berbagai alasan. Berikut ini sejarah singkat kopi dan pelarangan yang pernah diberlakukan di beberapa negara.

 

Pada abad ke-17, kenikmatan kopi sudah sampai di daerah Skandinavia, Eropa Utara. Saat itu, ada cerita menarik, di mana Raja Gustav II dari Swedia menjatuhkan hukuman yang unik dan tidak lazim untuk dua saudara kembar. Mereka dituduh bersalah dalam suatu tindak pidana. Untuk menemukan siapa di antara mereka yang bersalah, Raja Gustav II memberikan sebuah aturan. Salah satu dari mereka hanya diizinkan minum kopi selama hidupnya, sedangkan yang satunya hanya boleh minum teh. Siapa yang meninggal lebih dahulu, maka yang akan dinyatakan bersalah. Pada akhirnya, yang meninggal adalah seorang yang meminum teh, yang meninggal pada usia 83 tahun. Sejak saat itu, masyarakat Swedia dan orang-orang Skandinavia menjadi fanatik terhadap kopi.

 

Pelarangan minum kopi

 

Timur Tengah

Para pemimpin di Arab Saudi pada 1511 sempat melarang masyarakatnya meminum kopi. Hal ini disebabkan karena kopi yang memberi efek fisiologis. Namun, pada 1524 pelarangan ini dihapuskan oleh Sultan Selim I dari Kesultanan Turki Ustmani akibat dari populeritas kopi. Pelarangan kopi juga pernah terjadi di Mesir pada 1532, yang menyebabkan banyak kedai kopi tutup. Selain itu, pada 1956, Wazir Turki Utsmani pernah membuat sebuah larangan untuk membuka kedai kopi. Orang-orang bahkan akan dihukum cambuk jika ketahuan meminum kopi. Namun, seiring berjalannya waktu, larangan meminum kopi di daerah Timur Tengah perlahan menghilang.

 

Italia

Pada awal mengenal kopi, masyarakat Italia tidak mengembangkannya dengan inovasi-inovasi seperti yang dilakukan bangsa Arab. Namun, setelah kopi menjadi populer, Italia membuka kedai kopi pertamanya pada 1645 di Botega Delcafe. Kedai kopi ini menjadi tempat pertemuan antara ilmuwan dan tokoh di Italia saat itu. Tempat ini juga yang menjadi pelopor berkembangnya kedai kopi di dunia. Meski begitu, sebenarnya pendeta Katolik di Italia pernah melarang umatnya untuk meminum kopi. Hal ini karena mereka menganggap bahwa kopi merupakan produk orang Muslim sebagai upaya menggeser popularitas anggur yang sudah terkenal sebagai produk orang Katolik.

 

Inggris

Di Inggris, coffee house pertama kali dibuka oleh Universitas Oxford pada 1650 di daerah Lombat Street, George Yard. Namun, pada akhirnya, langkah ini ditentang oleh Inggris dan The Women’s Petition Against Coffee pun diterbitkan di London pada 1674. Hal ini dipicu oleh kafein yang ada dalam kopi, yang bisa membuat orang ketagihan. Sehingga pada 1675, Raja Charles II membuat perintah untuk menutup semua kedai kopi.

 

Rusia

Meski larangan minuman kopi sudah pudar di berbagai tempat, pada 1777 muncul peraturan yang melarang konsumsi kopi di Rusia. Aturan ini dikeluarkan oleh Raja Frederick Agung, karena kopi dianggap sebagai minuman yang bergengsi, sehingga hanya boleh diminum oleh kalangan bangsawan. Perlahan tapi pasti, larangan minum kopi di berbagai negara pun hilang. Bahkan kopi semakin populer dengan cita rasanya yang nikmat. Hal ini membuat banyaknya inovasi-inovasi yang muncul agar sensasi minum kopi bisa lebih nikmat.

 

Referensi:

1.      Gardjito, Murdijati dan Dimas Rahadian. (2011). Kopi. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.

2.      Sunarharum, Wenny Bekti dkk. (2017). Teknologi Pengolahan Kopi. Malang: Media Nusa Creative.

 

Sumber:

Kompas.com - 14/04/2022, 17:00 WIB