Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Himbauan dunia pertanian. Show all posts
Showing posts with label Himbauan dunia pertanian. Show all posts

Tuesday, 11 May 2010

Pertanian Indonesia dan ACFTA

oleh
Subejo
(Staf Pengajar UGM, PhD Candidate The University of Tokyo dan Expert Board IASA)


Menidaklanjuti implementasi ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) Indonesia menghadapi dilema. Di satu sisi ada peluang meraup keuntungan dari komoditas yang kompetitif. Di sisi lain ada kemungkinan hancurnya produsen dan industri lokal dengan serbuan produk China jika produk tersebut tidak kompetitif.
Hal yang realistis adalah melakukan dua strategi. Pertama, melakukan diplomasi untuk menunda implementasi ACFTA bagi produk yang sensitif sambil tetap melakukan berbagai pembenahan agar siap bersaing. Kedua, memfasilitasi sektor yang kompetitif dan memiliki keunggulan komparatif untuk memanfaatkan peluang pasar potensial China.Bagaimana pun kita perlu hati-hati dan taktis merespon ACFTA. Pihak birokrasi sangat optimis dengan hanya melihat China sebagai pasar potensial karena jumlah penduduknya 1,4 miliar jiwa. Padahal, bicara ACFTA adalah bicara persaingan segi tiga. Indonesia tidak hanya berurusan dengan China sebagai tujuan pasar. Tapi, juga harus berurusan dengan semua negara anggota ASEAN lainnya sebagai teman sekaligus pesaing.Selama ini yang banyak ditonjolkan adalah relasi Indonesia dan China. Komoditas apa yang potensial untuk masuk ke pasar China. Masih sangat sedikit ulasan hubungan Indonesia dengan pesaingnya sesama anggota ASEAN yang mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama dibawah payung ACFTA.
Persaingan dan Peluang
Departemen Pertanian sangat optimis akan potensi minyak kelapa sawit, karet alam, kopi, coklat, gaplek, produk perikanan, buah tropis, dan juga kemungkinan gula dan beras. Kenyataanya, dari segi pesaing, Indonesia harus bersaing ketat atas komoditas tersebut. Bagaimanapun juga negara ASEAN berlokasi dalam wilayah yang sama. Tidak ada perbedaan yang menonjol dalam potensi geografis dan sumber daya alam. Hampir semua negara anggota ASEAN memiliki kemampuan memproduksi komoditas pertanian sejenis.Indonesia akan berhadapan dengan Malaysia dan Thailand agar dapat memenangkan pasar minyak kelapa sawit, coklat, karet alam, dan kopi. Thailand juga sangat efisien dalam memproduksi gaplek dan tepung gaplek. Untuk produk perikanan persaingan keras akan terjadi antara Indonesia dengan Filipina dan Thailand. Filipina juga mampu memproduksi minyak kelapa dan gula dengan teknologi yang sangat baik.
Kalau Indonesia memiliki surplus beras kita harus bersaing dengan eksportir utama beras di pasar dunia yaitu Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Sedangkan untuk buah tropis hampir semua negara ASEAN memiliki kemampuan memproduksinya sehingga persaingan lebih hebat.
Ditinjau dari target pasar kemampuan produsen domestik China juga perlu diperhitungkan. Hary X Wu (1997) mencatat bahwa reformasi ekonomi di China dimulai dengan reformasi pertanian melalui liberalisasi pertanian. Sejak tahun 1980-an reformasi pertanian sangat sukses mentransformasikan sistim kolektif ke sistim pertanian berbasis rumah tangga petani sehingga produktivitas pertanian meningkat tajam.

IRRI (2008) melaporkan China selama beberapa tahun merupakan produsen beras terbesar di dunia. Selain itu mereka juga merupakan produsen gula yang cukup efisien. Dengan terus menggelembungnya penduduk China tentu peluang untuk mengimpor beras dan gula dari negara masih terbuka lebar.
Produsen domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan nasionalnya. Persaingan memenangkan pasar gula dan beras akan terjadi antara Indonesia, anggota ASEAN, dan juga produsen lokal China.
Terobosan Strategi
Dalam dunia perdagangan spesialisasi memegang peran penting. Semakin suatu negara mampu memproduksi komoditas spesial maka peluangnya untuk memenangkan persaingan besar. Spesialisasi dapat terbentuk karena keunikan produk dan kualitasnya.Selain spesialisasi, efisiensi, dan produktivitas tinggi menjadi kunci memenangkan persaingan. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia selain secara serius mendukung penuh produsen pertanian dengan berbagai program yang mengarah pada efisiensi dan produktivitas tinggi.
Efisiensi dan produktivitas pertanian berkaitan erat dengan akses petani terhadap sumber daya produksi yaitu lahan, benih, pupuk, dan air. Peningkatan akses mendesak untuk diperkuat dengan sistim pendanaan yang cukup dan birokrasi sederhana.
Akses atas kecukupan lahan sangat penting. Sangat sulit atau bahkan mustahil untuk mendorong petani untuk menjadi produsen yang efisien dan produktif jika lahan yang dikelola sangat kecil seperti kondisi saat ini.
Peningkatan akses lahan menjadi salah satu solusi penting. Kebijakan pemerintahan baru harus mampu membantu menyelesaikan persoalan rendahnya akses petani gurem terhadap lahan pertanian. Penekanan biaya produksi melalui pemanfaatan sumber daya lokal mendesak untuk digarap.
Pengembangan pupuk organik dengan bahan baku lokal yang bisa diperoleh dengan murah akan efektif menekan ongkos produksi. Selain itu, pupuk organik juga ramah lingkungan. Program penambahan dan perbaikan saluran irigasi dan jalan pedesaan juga mendesak. Diperlukan pengembangan sistim pengelolaan dan penyimpanan hasil melalui gudang desa.
Hal yang tidak kalah penting adalah akses informasi dan teknologi baru pertanian. Pengaktifan kelompok dan aosiasi petani serta penyuluhan pertanian sangat diperlukan. Keterpaduan penelitian, pengembangan teknologi dan penyuluhan menjadi sangat penting.Jika pemerintah gagal untuk melakukan berbagai revitalisasi dan reformasi terkait dengan produksi pertanian maka harapan untuk memenangkan persaingan dan meraup keuntungan atas ACFTA hanya akan menjadi mimpi buruk. Efisiensi dan produktivitas yang rendah membuka jalan semakin membanjirnya produk China dan itu akan berarti sebagai lonceng kematian pertanian nasional.

Sumber: DETIK, Selasa, 04/05/2010 07:50 WIB

Thursday, 18 March 2010

Cengkeraman Gurita Pangan Global

Oleh Subejo 1)

Berbagai kalangan di belahan dunia kian menyadari bahwa pangan merupakan komoditas yang sangat strategis. Dengan sifatnya yang berbeda dengan barang lain, dengan pangan secara langsung menentukan kehidupan umat manusia, peran pentingnya semakin nyata.

Krisis pangan dunia yang parah sepanjang 2007-2008 memberi pelajaran berharga bahwa produksi pangan yang mencukupi kebutuhan nasional sangat penting bagi stabilitas politik dan ekonomi. Dalam kondisi krisis, pihak yang menguasai pangan juga dapat meraup keuntungan sangat besar. Selain itu, ia memiliki kekuatan politik yang kuat. Tuntutan untuk mencukupi kebutuhan pangan domestik dan harapan memperoleh keuntungan yang besar telah mendorong para investor transnasional pemilik modal raksasa untuk melakukan investasi dan terlibat secara langsung dalam bisnis pangan dunia.

Industrialisasi pangan global

Ledakan penduduk dan kegagalan panen karena perubahan iklim global menyebabkan kebutuhan pangan dunia terus meroket. Harga pangan dunia secara otomatis juga membumbung. Investasi produksi dan penguasaan pangan akan menjadi pilihan yang tepat bagi korporasi transnasional. Tidak hanya keuntungan ekonomi yang diharapkan, tapi juga potensi kekuatan geopolitiknya yang besar.

Negara Teluk yang kaya minyak tapi miskin sumber daya pertanian dan sepenuhnya menggantungkan kebutuhan pangan dari impor sangat berkepentingan untuk terlibat dalam industrialisasi pangan melalui berbagai korporasi transnasionalnya. Kelompok itu antara lain diwakili Uni Emirat Arab, Qatar, dan Kuwait. Selain itu, negara yang berpenduduk sangat besar tapi kapasitas sumber daya pertaniannya terbatas memiliki ketertarikan yang sama. Negara yang masuk kelompok tersebut di antaranya China, India, Jepang, dan Korea Selatan.

Mereka menanamkan modal mereka untuk mengakuisisi lahan pertanian secara murah dalam skala yang sangat besar bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan hektare. Mereka akan membawa produk pangannya ke negara asal atau menjualnya di pasar internasional yang lebih menguntungkan. Akuisisi lahan itu banyak terjadi di negara-negara miskin dan berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.

Skenario yang umum dipakai adalah kerja sama korporasi transnasional dengan negara dengan skema pemanfaatan lahan milik negara melalui hak guna usaha yang sangat longgar hingga 90 tahun atau model menyewa lahan petani dalam skala luas untuk jangka waktu yang panjang hingga 30 tahun.

Situasi memusatnya produksi dan distribusi pangan oleh korporasi transnasional ditengarai Friedmann (2005) sebagai green capitalism. Dengan penguasaan lahan yang sangat besar, korporasi dapat memproduksi dan mengatur distribusi pangan sehingga harga pun akan diaturnya. Ideologi itu yang cenderung menjadi lawan dari gagasan kedaulatan pangan (food sovereignty).

Model akuisisi lahan pertanian secara besar-besaran dalam jaringan internasional oleh Harvey (2006) dikenal sebagai land grabbing. Kadang-kadang model itu dikenal pula dengan land rush. Laporan Jesica Silver-Greenberg di Business Week (2009) menunjukkan bahwa keterlibatan investor global dalam industrialisasi pangan di belahan dunia dalam batas tertentu dapat bermakna sebagai kolonialisasi baru. Sebagai contoh, seperti dilaporkan Times India (2009) sebuah korporasi besar India di bawah kelompok Karuturi Global Limited (KGL) telah mengakuisisi lahan pertanian yang sangat besar di berbagai negara miskin Afrika hingga mencapai 33 juta hektare (setara dengan luas Jerman) untuk industrialisasi pangan.

Beberapa kalangan termasuk World Bank mendukung pengembangan model land grabbing dengan harapan dapat dicapai win-win solution, yaitu kecukupan produksi pangan dunia dan juga pertumbuhan ekonomi negara yang ditempati. Dalam praktiknya, dampak positif tidak sebesar yang diharapkan. Lapangan kerja baru yang tersedia juga tidak cukup nyata mengatasi persoalan pengangguran. Ide untuk mencukupi kebutuhan pangan negara setempat juga tidak terwujud karena produksi diekspor ke negara pemilik modal. Justru dampak negatif yang bermunculan. Kehancuran pertanian lokal, perebutan sumber air, pencemaran air karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, banjir akibat pembabatan hutan dan lain sebagainya.

Food estate dan gurita pangan

Peluncuran pengembangan pangan skala besar atau dikenal dengan food estate oleh Kabinet Indonesia Bersatu II baru-baru ini perlu direspons dengan sangat serius. Model food estate ini sejatinya tidak lain dan tidak bukan adalah wujud land grabbing. Keterlibatan transnasional dalam food estate nampak dengan tingginya minat korporasi dari Uni Emirat Arab, Kuwait, China, dan Korea. Kekhawatiran banyak pihak adalah potensi hancurnya pertanian rakyat yang selama ini menjadi tulang punggung pangan. Petani gurem tidak mungkin dapat bersaing dengan korporasi pemilik modal besar dan teknologi yang efisien.

Komitmen pemerintahan baru sebagaimana juga amanat konstitusi untuk membangun ekonomi tangguh berbasis kerakyatan justru dipertanyakan dengan peluncuran food estate yang sangat jelas memfasilitasi sepenuhnya green capitalism. Kondisi itu justru dikhawatirkan akan melemahkan kedaulatan pangan nasional.

Food estate ini sejatinya menunjukkan cengkeraman gurita pangan global di negeri ini. Mengapa justru kebijakan pemerintahan baru lebih memprioritaskan fasilitasi food estate ketimbang serius menggarap 42 juta petani gurem. Peluncuran program monumental mewujudkan pertanian rakyat yang lebih produktif, efisien, dan berdaya saing akan sangat diapresiasi. Tentu saja diperlukan kebijakan lain yang mampu meningkatkan skala usaha, menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan yang mampu mengurangi tekanan pada sektor pertanian.

1) Dosen pertanian UGM, kandidat PhD dari The University of Tokyo

Sumber : Media Indonesia 18 Maret 2009
http://www.mediaindonesia.com/%20read/2010/%2003/18/129894/%2068/11/Cengkeraman-Gurita-%20Pangan-Global

Sunday, 23 November 2008

Indonesia aktif dalam Minato Matsuri di Kesennuma

Pada tanggal 2-3 Agustus 2008 di Kesennamu sebuah kota pelabuhan perikanan di Prefektur Miyagi telah diselenggarakan Minato Matsuri. Festival ini merupakan penghargaan terhadap nelayan yang telah bekerja sepanjang tahun mempersembahkan hasil laut sebagai makanan yang lezat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.

Semua lapisan masyarakt terlibat dalam acara ini dari anak-anak hingga kakek-nenek, anak sekolah, guru, pegawai swasta, pegawai negeri, semua menyatu kompak mengungkapkan ucapan terimakasih atas jerih-payah nelayan dalam suatu acara yang disebut Minato Matsuri.

Event besar pada kesempatan ini dimanfaatkan KBRI Tokyo untuk turut serta dalam acara ini dalam memeriahkan acara peringatan hubungan persahabatan Indonesia-Jepang yang ke 50 tahun.

Masyarakat Indonesia bekerjasama dengan masyarakat setempat membuat Parade Bali yang menampilkan budaya Indonesia dalam satu rangkaian diantara puluhan rangkaian berbagai perwakilan masyarakat Kesennuma. Bapak Dubes Dr. H. Jusuf Anwar, SH., MA. dan Ibu Dubes beserta masyarakat Indonesia yang datang dari Tokyo dan sekitarnya maupun masyarakat yang tinggal di tempat Festival sekitarnya berpartisipasi aktif dalam karnaval yang meriah ini.

Tampak pada gambar adalah suasana Festival. Yang menarik dalam festival ini, banyak masyarakat Kesennuma yang telah mempelajari budaya Bali, mereka berbusana adat Bali dan memperagakan tarian Bali di sepanjang jalan di atas kendaraan arak-arakan budaya Bali. Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat ”Kami sudah membuka sanggar tari Bali di Kesennuma”. Jangan heran sebagian besar yang mengenakan pakain adat Bali adalah orang Jepang asli Kesennuma.

Ada satu pelajaran yang bisa diambil dari Minato Matsuri ini. Kita sering mendengar slogan bahwa ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawan”. Nah .... kita sebagai anggota masyarakat negara agraris dan kepulauan, seyogyanya memiliki slogan bahwa ”Bangsa yang makmur adalah bangsa yang menghargai petani dan nelayannya”. Penghargaan bukan hanya sebatas dalam festival tetapi penghargaan dalam arti yang sesungguhnya. Kita harus memperjuangkan kepentingan profesi petani dan nelayan serta mensejahterakan keluarganya.






















Saturday, 9 August 2008

Agricultural Output

Agricultural Output in 2005 (Municipality Estimates)

Kagoshima was the 2nd largest agricultural producing prefecture, due to an increase in livestock production. Outline of Survey Results.

1.Agricultural output by prefectures.

Despite there being an increase in agricultural output of livestock production in 2005, because the value of vegetables and fruits decreased due to lowering prices, there was a change in the high ranking prefectures of agricultural production compared with last year.

Though Hokkaido remained 1st, Kagoshima prefecture (related highly to livestock production) came in 2nd (4th last year), then in order, Ibaraki (3rd last year), Chiba ( 2nd last year), and Aichi ( 5th last year).

The amount of agricultural output in the top 5 prefectures shared 30 % of the national total.

2.Looking at the largest agricultural production by prefecture in its major categories, Niigata produced 190.3 billion yen (9.4 % of national total) in rice, Chiba produced 165.3 billion yen (8.2 %) in vegetables, Aomori produced 72.2 billion yen (10.0 %) in fruits, Aichi produced 73.1 billion yen (18.0 %) in flowers, Hokkaido produced 70.3 billion yen (23.2 %) in industrial crops. The largest livestock output was in Hokkaido, amounting to 501.8 billion yen (18.6 %).

Sources:
A weekly update of news from the Japanese
Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries
International Policy Planning Division, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries 1-2-1 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo, 100-8950


The English documents are published on the following URL: http://www.maff.go.jp/esokuhou/index.html

Friday, 20 April 2007

Rahasia Sukses Petani Bayam Jepang (Horenso)

 



Bayam Jepang atau horenso (Spinacia oleracea) (dari Bahasa Jepang "ホウレンソウ") adalah sayuran yang dimakan daunnya, dari genus Spinacia.

 

Propinsi Nagasaki merupakan daerah semenanjung terkenal dengan industri pembuatan kapal. Meskipun demikian dengan kerja keras, para petani Propinsi ini telah mampu mengembangkan potensi pertaniannya. Tanaka Sang petani telah melakukan usaha pertanian dari tahun 1970 di Shimabara, Propinsi Nagasaki. Dia biasa menjual hasil pertaniannya yang masih segar langsung ke kedai sayur mayur dan kedai buah di wilayahnya, antara lain sayur bayam, labu, gobo, buah apel dan pear. Dia juga memproduksi makanan olahan, udong (mie) dan dodol. Makanan hasil olahannya yang terkenal berupa eskrim bayam.

 

Dia berhasil mempekerjakan 16 pegawai wanita pada pabrik pengolahan makanan tersebut. Penggunaan sumber daya manusia di pabrik tersebut sangat efisen dan efektif. Seorang bisa mengerjakan seluruh tahapan pekerjaan dari mecuci, memotong, menata dan mengepak. Setiap pegawai dituntut bertanggung jawab atas pekerjaanya masing-masing. Tidak puas dengan produk tersebut, dia menambah produk pertaniannya dengan beternak ayam petelur Brown leg horn. Walaupun hanya 250 ekor ayam, tetapi telah menambah daya tarik pelanggannya karena mereka dapat membeli telur segar.

 

Untuk meningkatkan tehnik bertani, anaknya yang sulung setamat SMA dikirim ke sekolah tinggi pertanian selama satu tahun. Pada umur 17 tahun Tanaka Sang petani muda ini mulai melakukan usaha tani, meneruskan jejak orang tuanya. Pada tahun 1970 dengan bekal tanah seluas 1,5 ha ia telah melakukan usaha tani jahe, gobo dan gandum. Penghasilannya lebih dari cukup untuk kehidupan keluarga petani saat itu. Dia menikmati harga jahe yang relatif tinggi sekitar 220 yen per kg. Tetapi pada tahun 1980-an mengalami masa suram ketika Jepang kebanjiran jahe dari China, harga jahe jatuh menjadi hanya 100 yen per kg.

 

Dengan datangnya tantangan tersebut Tanaka yunior tidak putus asa. Dia berpikir mencari ide untuk mencari solusinya. Hingga akhirnya dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan alam di sekitar Nagasaki. Di tempat tersebut banyak angin dan suhu udara sekitar 3oC lebih rendah dari daerah yang lain. Dia pikir daerahnya cocok untuk bercocok-tanam sayur-sayuran. Pada daerah yang sejuk tersebut dia putuskan menanam orenso atau bayam Jepang. Hasil percobaannya yang dilakukan dengan tekun telah membuahkan hasil sehingga dia dapat melakukan penanaman bayam secara teratur, 8 kali setahun.

 

Waktu pemanenannya agak unik. Dia melakukan penanaman bayam pada bulan Maret dan memanennya 45 hari kemudian. Penamaman bulan April dipanen 32 hari kemudian. Untuk penanaman bulan Juni, Juli dan Agustus pemanenan dilakukan 30 hari kemudian. Penanaman bulan September dan Oktober masing-masing 35 dan 40 hari kemudian. Sedangkan bayam yang ditanam pada bulan Desember dipanen 75 hari kemudian. Pada musim dingin pertumbuhan bayam agak lambat sehingga proses pemanenan lebih lama dibanding musim panas.

 

Bayam yang dihasilkan dari setiap 1.000 m2 tanah sebanyak 1 ton per hari. Bayam ditanam dalam green house yang dilengkapi jaring untuk menjaga masuknya hama dan serangga dari luar. Jaring untuk tanaman bayam berukuran 1 mm sedangkan untuk tanaman tomat 0,4 mm.

 

Tanaka yunior mencoba melakukan pertanian pupuk organik yang dibuat dari campuran kotoran kuda, bungkil, dedak halus dan tepung tulang. Setelah dipanen ternyata rasa dari bayam tersebut kurang enak karena didalamnya terkandung asam nitrat dan asam oksalat. Sehingga perlu dikombinasi dengan pupuk kimia. Setelah mencoba beberapa kali dia berhasil menemukan komposisi campuran yang tepat antara pupuk organik dan pupuk kimia tersebut.

 

Dengan hasil temuannya tersebut dia dapat meningkatkan produksi hasil pertaniannya dengan kwalitas terbaik, sehingga usahanya berkembang pesat. Pertanian bayamnya sukses dan produknya mampu menembus supermarket. Tujuh puluh persen produknya dijual ke supermarket, koperasi, hotel dan restoran sedangkan sisanya dijual langsung ke kedai-kedai sayur. Pada tahun 1998 dia melakukan perluasan tanah dengan menambah modal sendiri sebesar 30 juta yen dan mendirikan perusahaan. Tanaka San menjadi Direkturnya, istrinya sebagai Menejer Administrasi, anak laki-lakinya menjadi menejer Produksi dan anak perempuhannya menjadi Menejer Penjualan.

 

Kini penghasilan pertanian daerahnya menduduki urutan atas, yang berasal dari peternakan 31%, sayur-sayuran 27%, buah-buahan 11%, dan beras 2%. Seluruh Jepang Nagasaki merupakan penghasil buah biwa nomor 1, kentang nomor 2, asparagus nomor 3, dan paria nomor 4. Sedangkan strowberry, sawi putih, bawang bombay dan buah jeruk menempati urutan ke 5.

 

Setelah sukses dengan produksi dan penjualan hasil pertaniannya dia masih punya impian lagi, mendirikan hotel dan restoran dengan makanan yang berasal dari produk pertaniannya sendiri. Dia juga ingin mendirikan pusat pelatihan petani. Ini salah satu contoh keuletan seorang petani dari negeri otomotif bercita-cita tinggi dan tidak pernah berhenti menyumbangkan pembangunan pertanian untuk negerinya.

 

Bagaimana upaya mencontoh dan membangun karakter unggul ini pada petani Indonesia?

Thursday, 19 April 2007

Impian seorang petani mangga Hokkaido


Mr. Ryoichi Jinnai mempunyai impian untuk mensuplai masyarakat Tokyo dengan mangga yang baru dipetik dari pohonya sebagai hadiah. Orang pasti lebih suka mangga segar dari pada mangga impor, pikirnya. Mangga dikemas dalam kardus yang menarik untuk dikirim ke handai taulan sebagai omeyage atau hadiah, peluang pasarnya pasti luas.

Pertanian yang dibangun terletak di kota kecil Urausu, 50 km ke arah utara Sapporo. Komoditi pertanian yang akan dikembangkan adalah buah-buahan tropis termasuk mangga dan nanas.

Hokkaido terletak di Jepang sebelah utara yang pada waktu musim dingin rata-rat suhu di luar ruangan adalah sekitar – 10 derajat Celcius. Meskipun dalam suhu rendah seorang petani asal Kanagawa Prefecture yang berusia 79 tahun telah menanamkan modalnya 30 juta yen untuk memproduksi mangga yang ditumbuhkan dalam Green House yang bersuhu 25 derajat Celcius sepanjang masa. Dia berharap Hokkaido lebih terkenal penghasil mangga dari pada popularitas saljunya.

Mangga dengan kwalitas tinggi tentu akan memperoleh harga yang lebih mahal dari mangga impor. Meskipun sekarang masih dalam tahap percobaan tetapi pada tahun 2007 akan dapat memproduksi 900 mangga. Dia telah menyiapkan 5 buah green house yang masing-masing berukuran 1400 m2. Kelima green housenya harganya 10 juta yen. Untuk membangun atapnya diperlukan fluorine resin yang mampu menyangga 500 kg salju per m2. Suhu dalam green house dapat dipertahankan sekitar 25 Celcius sepanjang tahun.

Sebanyak 15 keluarga yang berumur antara 20 – 50 tahun datang pada musim semi tahun 2006 telah datang untuk magang pertanian ini dan merencanakan bertani buah tropis di sana.

Siapkah kita bersaing dengan mereka memasarkan mangga Indonesia di Jepang? Jawabnya harus siap !!!

Tuesday, 17 April 2007

Ubi Jalar Bahan Pangan Pendamping Beras


Mari kita mencari solusi terbaik untuk keluar dari masalah pemenuhan kebutuhan makanan pokok masyarakat Indonesia agar tidak tergantung dengan beras. Ubi jalar merupakan satu dari 20 jenis bahan makanan yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar bisa menjadi salah satu alternatif untuk mendampingi beras menuju ketahanan pangan.


Keunggulan ubi jalar dibanding bahan makanan lain adalah

(1) Sesuai dengan agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia,

(2) Menguntungkan untuk diusahakan karena nilai produksinya tinggi.

(3) Mengandung karbohidrat, zat gizi yang tinggi, juga prebiotik, serat makanan dan antioksidan.

(4) Potensi penggunaannya cukup luas dan cocok untuk program diversifikasi pangan.

(5) Produktivitas ubi jalar sangat tinggi (12 ton / ha) dibandingkan dengan beras (4,5 ton / ha) maupun ubi kayu (8 ton / ha) setiap 4 bulan.

Friday, 13 April 2007

Peluang Ekspor dan Potensi Khasiat Chin Cau

 

Peluang Pasar dan Potensi Khasiat Daun Chin Cau di Jepang

 

Apa kabar, kawan-kawan IASA? Semoga semua dalam keadaan sehatwalafiat di tengah cuaca yang semakin hangat, terutama di Tokyo. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan berdiskusi dengan seorang pengusaha Jepang di bidang pertanian. Ia mengemukakan ide menarik: memasarkan chin cau di Jepang. Sekilas, saya sempat ragu. Bagaimana mungkin bahan makanan yang belum begitu dikenal bisa mendapat tempat di pasar Jepang? Namun, pemikiran itu segera berubah setelah ia menjelaskan alasannya dengan antusias.

Masyarakat Jepang sangat menggemari makanan sehat, terutama yang rendah kalori. Chin cau, dengan teksturnya yang lembut dan menyegarkan, berpotensi menjadi minuman favorit, terutama saat musim panas. "Benar, bukan?" tanyanya sambil mengangguk mantap. Saya pun mulai berpikir: apakah ada penelitian yang telah mengungkap lebih jauh manfaat daun chin cau dan kandungan zat aktifnya? Jika ada, tentu akan sangat membantu dalam membangun daya tarik produk ini di Jepang.

 

Pertanyaan lainnya muncul. Apakah di Indonesia sudah ada perkebunan chin cau skala besar yang siap memenuhi permintaan ekspor? Bagaimana dengan teknologi pengolahan? Apakah daun chin cau sudah bisa dikemas dalam bentuk kering atau bubuk agar lebih praktis dalam distribusi dan penyimpanan? Jika sektor ini digarap lebih serius, bukan tidak mungkin penelitian tentang chin cau dapat mengantarkan seseorang meraih gelar doktor!

 

Faktanya, banyak aspek menarik yang dapat dikaji lebih dalam. Aroma daun chin cau yang segar menyerupai suasana pegunungan di tepi air terjun, teksturnya yang kenyal dan halus di lidah, serta kemampuannya meredakan dahaga menjadikannya pilihan menarik bagi masyarakat modern. Selain itu, chin cau mudah dicerna, rendah kalori, dan kaya mineral serta elektrolit, sehingga cocok bagi mereka yang baru selesai berolahraga atau dalam masa pemulihan dari demam. Tidak hanya itu, teknik pengawetan dan pengeringannya juga dapat dikembangkan dengan berbagai metode, mulai dari penjemuran alami hingga pengeringan modern.

 

Dengan semua keunggulan ini, bukan tidak mungkin chin cau akan mendapat tempat di pasar global, baik di negara berkembang maupun maju. Jadi, apakah ini peluang yang patut dikembangkan lebih lanjut? Mari kita diskusikan bersama!

 

Terima kasih telah membaca, apalagi jika bersedia memberikan tanggapan dan berbagi wawasan!

Sunday, 8 April 2007

Pemuda Jepang Tidak Tertarik Menjadi Petani

 

Pada akhir-akhir ini jumlah petani Jepang menurun karena generasi muda enggan terjun di tenaga kerja pertanian. Kementerian Pertanian Jepang berharap orang yang berumur 57-59 tahun (generasi baby boomber, lahir sekitar tahun 1947-1949, berjumlah 8 jutaan) dapat membantu peningkatan jumlah populasi petani Jepang.

 

Pada tahun 2003 terdapat 80.000 orang ingin menjadi petani, seperlimanya berusia 50-an, setengahnya berusia 60-an. Pada tahun 2005 jumlah petani termasuk tenaga part-timer berjumlah 5,56 juta orang. Jumlah tersebut merupakan 4,3% dari seluruh penduduk Jepang yang berjumlah 128 juta. Jumlah petani telah menurun sebanyak 5,8% selama dasawarsa terakhir.

 

Banyak generasi muda melihat pertanian merupakan kehidupan yang sulit dengan upah yang rendah, sementara kota menawarkan banyak kehidupan yang menarik. Hal ini menyebabkan percepatan kenaikan populasi petani berusia lanjut lebih besar dari pada kenaikan populasi usia lanjut secara nasional.

 

Jepang merupakan importir papan atas produk pertanian, hal ini sebagian diakibatkan penurunan populasi petani di Jepang. Pejabat kementerian pertanian mengatakan bahwa Kementerian Pertanian tidak mengharapkan para generasi baby boomer menguasai industri pertanian Jepang. Akan tetapi generasi tersebut membantu bertani berbagai jenis tanaman pada bidang pertanian Jepang untuk menunjukan betapa banyak metoda dalam bertani.