Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Kesehatan Masyarakat Veteriner. Show all posts
Showing posts with label Kesehatan Masyarakat Veteriner. Show all posts

Sunday, 5 October 2025

Penemuan Mengejutkan: Chlamydia Menyebar ke Ayam

 



Wabah Senyap dari Kandang Unggas

 

Siapa sangka, penyakit yang selama ini dikenal menyerang manusia ternyata juga bisa bersarang di kandang ayam. Chlamydia — nama yang identik dengan infeksi menular seksual — kini ditemukan menyebar diam-diam di peternakan unggas di berbagai negara. Dalam sebuah penelitian terbaru di Kosta Rika, para ilmuwan menemukan bahwa hampir 17% sampel unggas yang diuji positif terinfeksi bakteri Chlamydia spp., bahkan sebagian besar berasal dari ayam peliharaan di rumah-rumah warga yang tampak sehat-sehat saja.

 

Penemuan ini sontak mengejutkan dunia veteriner. Sebab, jenis bakteri yang sama diketahui bisa menular ke manusia dan menyebabkan penyakit pernapasan serius. Dengan kata lain, orang yang bekerja di peternakan ayam atau sering bersentuhan langsung dengan unggas — tanpa disadari — berisiko tertular penyakit ini.

 

Dari Burung ke Manusia: Jalur Penularan yang Tak Disadari

 

Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama, salah satunya psittacosis atau klamidiosis unggas. Agen penyebabnya adalah Chlamydia psittaci, bakteri mikroskopis yang hidup di dalam sel inangnya. Bakteri ini bisa menginfeksi ratusan jenis burung — mulai dari burung paruh bengkok hingga ayam dan kalkun.

 

Manusia dapat tertular melalui udara yang tercemar partikel kotoran, bulu, atau lendir pernapasan burung yang terinfeksi. Itulah sebabnya, pekerja kandang ayam, petugas pemotongan unggas, dan penghobi burung sebaiknya waspada. Meski infeksi pada manusia jarang terjadi, penyakit ini bisa menimbulkan gejala seperti demam tinggi, batuk, dan sesak napas yang mirip pneumonia.

 

Menariknya, ayam yang tampak sehat bisa menjadi pembawa senyap (carrier). Dalam penelitian di Kosta Rika, lebih banyak infeksi ditemukan pada ayam rumahan tanpa gejala dibandingkan ayam industri yang justru menunjukkan gangguan pernapasan. Fenomena ini menunjukkan bahwa Chlamydia bisa bersembunyi di balik penampilan unggas yang tampak normal.

 

Tiga Jenis Chlamydia yang Mengintai Unggas

 

Penelitian tersebut berhasil mengidentifikasi tiga spesies Chlamydia yang berbeda pada unggas, yaitu C. psittaci, C. gallinacea, dan C. muridarum.

  • C. psittaci dikenal paling berbahaya karena bersifat zoonosis — dapat menular ke manusia.
  • C. gallinacea adalah spesies yang relatif baru ditemukan dan tampaknya sudah endemik pada ayam, menyebabkan pertumbuhan lambat meski tanpa gejala mencolok.
  • Sementara C. muridarum, yang biasanya menyerang tikus, ditemukan secara mengejutkan pada ayam, diduga akibat kontak dengan hewan pengerat di sekitar kandang.

 

Kehadiran ketiga spesies ini memperlihatkan betapa kompleksnya ekosistem mikroba di peternakan unggas. Kontak antara ayam, burung liar, dan hewan pengerat menciptakan peluang besar bagi pertukaran dan penyebaran bakteri lintas spesies.

 

Mengapa Ayam Rumahan Lebih Rentan?

 

Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah tingginya tingkat infeksi pada ayam yang dipelihara secara tradisional. Sekitar 29% dari ayam rumahan dinyatakan positif, jauh lebih tinggi dibandingkan ayam industri (8%).

 

Penyebab utamanya diduga karena ayam rumahan sering dibiarkan berkeliaran bebas tanpa pengawasan ketat. Kondisi kandang yang terbuka memungkinkan kontak dengan burung liar atau hewan pengerat yang mungkin membawa bakteri. Selain itu, praktik kebersihan yang minim dan tidak adanya penerapan biosekuriti membuat penyebaran penyakit lebih mudah terjadi.

 

Sebaliknya, peternakan industri biasanya memiliki sistem kebersihan yang lebih baik, penggunaan disinfektan rutin, serta kontrol lalu lintas hewan dan manusia yang lebih ketat. Namun, penelitian ini juga menegaskan bahwa bahkan peternakan modern pun tidak sepenuhnya aman dari ancaman Chlamydia.

 

Bahaya yang Mengintai Pekerja Peternakan

 

Hasil penelitian ini menjadi peringatan penting bagi para pekerja peternakan unggas, dokter hewan, dan petugas rumah potong hewan. Mereka termasuk kelompok yang paling berisiko tertular.

 

Langkah-langkah pencegahan seperti mencuci tangan, menggunakan masker dengan filter, sarung tangan, dan pakaian pelindung harus diterapkan secara disiplin. Selain itu, area kerja perlu memiliki sistem ventilasi yang baik agar udara tidak tercemar debu yang mungkin mengandung bakteri.

 

Penting pula untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala pada unggas, terutama jika ditemukan gejala pernapasan atau peningkatan angka kematian di kandang. Diagnosis dini dan penanganan cepat bisa mencegah penyebaran yang lebih luas.

 

Penemuan Baru, Tantangan Baru

 

Penemuan keberadaan C. psittaci, C. gallinacea, dan C. muridarum pada ayam di Kosta Rika ini merupakan yang pertama di kawasan Amerika Tengah. Fakta ini membuka mata banyak pihak bahwa penyakit-penyakit “lama” ternyata masih memiliki wajah baru yang lebih rumit dari yang dibayangkan.

 

Lebih dari sekadar penyakit unggas, Chlamydia kini menjadi isu lintas sektor — melibatkan kesehatan hewan, kesehatan manusia, dan lingkungan. Pendekatan One Health menjadi kunci dalam menghadapinya, yaitu kerja sama antara dokter hewan, tenaga medis, dan ahli lingkungan untuk mencegah penyebaran penyakit dari hewan ke manusia.

 

Pelajaran Penting

 

Penelitian ini mengingatkan kita bahwa kesehatan manusia tidak bisa dipisahkan dari kesehatan hewan dan lingkungan. Seekor ayam yang tampak sehat di halaman rumah mungkin saja menyimpan bakteri yang berpotensi membahayakan manusia.

Dengan kesadaran, kebersihan, dan kerja sama lintas sektor, kita dapat mencegah penyakit zoonosis seperti Chlamydia psittaci agar tidak menjadi ancaman besar berikutnya bagi kesehatan masyarakat.

Friday, 30 May 2025

Cara Memilih Hewan Kurban



Menjelang Hari Raya Idul Adha, hari-hari mendulang pahala penuh semangat,  dan kebersamaan mulai terasa di tengah masyarakat Muslim. Salah satu ibadah yang paling ditunggu-tunggu adalah penyembelihan hewan kurban sebagai bentuk ketakwaan dan rasa syukur kepada Allah SWT.

 

Namun, agar ibadah ini sah dan bernilai di sisi Allah, memilih hewan kurban tidak bisa dilakukan sembarangan. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan agar kurban yang kita lakukan benar-benar sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

 

1. Kenali Syarat-Syarat Hewan Kurban

Islam telah menetapkan dengan jelas jenis dan syarat hewan yang boleh dijadikan kurban. Hewan yang sah untuk dikurbankan adalah hewan ternak, yaitu unta, sapi atau kerbau, kambing, dan domba. Selain jenisnya, hewan kurban juga harus memenuhi syarat-syarat lain seperti sehat, tidak cacat, dan cukup umur. Hewan tersebut juga harus dimiliki secara sah—bukan hasil curian atau barang gadai—dan disembelih pada waktu yang telah ditentukan, yaitu setelah salat Idul Adha hingga akhir hari tasyrik (13 Dzulhijjah).

 

2. Pilih Hewan yang Sehat dan Tidak Cacat

Kesehatan hewan adalah hal yang sangat penting. Hewan kurban yang baik biasanya aktif, memiliki nafsu makan yang bagus, dan tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit. Mata hewan harus jernih, hidungnya bersih tanpa lendir, kulit dan bulunya tidak rontok berlebihan, serta tidak pincang atau buta. Hindari memilih hewan yang terlihat lemas, kurus, atau memiliki cacat seperti telinga sobek atau tanduk patah. Hewan yang mengalami cacat seperti ini tidak memenuhi syarat sah untuk dikurbankan.

 

3. Pastikan Umurnya Sesuai dengan Ketentuan

Satu hal lagi yang sering terlupakan adalah umur hewan kurban. Setiap jenis hewan memiliki batas umur minimal yang harus dipenuhi. Untuk domba, minimal berusia 6 bulan atau sudah berganti gigi (poel). Kambing harus berusia minimal 1 tahun, sapi dan kerbau minimal 2 tahun, sementara unta minimal 5 tahun. Umur hewan bisa diketahui dengan memeriksa gigi—jika sudah berganti dari gigi susu ke gigi tetap, berarti sudah cukup umur.

 

4. Beli dari Penjual Resmi yang Terpercaya

Agar lebih tenang dan yakin, sebaiknya membeli hewan kurban dari peternak lokal, dinas peternakan, atau lembaga amil kurban yang terpercaya. Penjual yang baik biasanya memberikan informasi lengkap mengenai hewan, termasuk sertifikat kesehatan dari dokter hewan, serta memperlakukan hewan dengan baik. Hewan yang dirawat dengan baik—mendapat pakan cukup, tidak dikurung di kandang sempit, dan tidak disiksa—menunjukkan kepedulian terhadap makhluk hidup. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan nilai ihsan, yaitu berbuat baik bahkan kepada hewan sekalipun.

 

Kurban Bukan Sekadar Besar atau Mahal, Tapi Bernilai di Sisi Allah

Dalam menunaikan ibadah kurban, banyak orang terjebak pada pandangan lahiriah—memilih hewan yang paling besar atau paling mahal. Padahal, esensi dari kurban bukanlah terletak pada bentuk fisiknya semata, melainkan pada ketulusan niat dan kesesuaian amal dengan tuntunan syariat. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalian-lah yang dapat mencapainya." (QS. Al-Hajj: 37)

 

Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah tidak melihat seberapa besar atau mahal hewan yang dikurbankan, tetapi yang dilihat adalah ketakwaan dan keikhlasan hati kita dalam menjalankan perintah-Nya. Oleh karena itu, hewan kurban yang dipilih harus memenuhi syarat: sehat, tidak cacat, dan telah cukup umur. Inilah yang menjadikan kurban kita sah dan diterima di sisi Allah SWT.

Rasulullah SAW juga bersabda:

"Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik (halalan tayyiban)." (HR. Muslim)

 

Hadis ini menegaskan bahwa hewan kurban yang dipersembahkan hendaknya berasal dari sumber yang halal, bukan hasil curian, gadean, atau milik orang lain tanpa izin. Selain itu, pastikan pula hewan tersebut diperlakukan dengan baik sebelum penyembelihan sebagai wujud ihsan terhadap makhluk Allah.

 

Maka, janganlah menilai ibadah kurban hanya dari segi harga atau penampilan. Niat yang lurus, pemilihan hewan yang memenuhi syariat, dan pelaksanaan sesuai dengan adab Islam adalah kunci agar kurban kita menjadi amal saleh yang penuh pahala dan keberkahan. InsyaAllah, dengan hati yang ikhlas dan amal yang benar, kurban kita akan diterima dan membawa kebaikan di dunia dan akhirat.

 


Thursday, 17 December 2020

Dokter Hewan Jadi Garda Terakhir! Begini Cara Mereka Menahan Ledakan Resistensi Antibiotik di Era One Health


Peran Dokter Hewan dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba dengan Pendekatan One Health


Resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR) merupakan salah satu tantangan global terbesar pada akhir-akhir ini.  Kedokteran hewan modern dibangun di atas kemampuan dokter hewan untuk mengendalikan infeksi bakteri, dan sangat tidak terbayangkan apabila kita tidak memiliki kemampuan itu lagi. Tanpa kemampuan ini, berbagai prosedur medis terutama dalam pengobatan hewan sakit dan prosedur tindakan bedah yang saat ini dianggap sebagai pekerjaan rutin akan menjadi tidak mungkin; bahkan infeksi setelah bedah kecil mungkin saja bisa mengancam jiwa hewan yang menjadi pasien.

 

Meskipun ada konsekuensi potensial yang signifikan tentang resistensi antimikroba, belum ada pengukuran kuantitatif mengenai konsumsi antimikroba secara global oleh ternak.  Konsumsi antibiotik pada sektor peternakan diperkirakan lebih dari 63.000 (±1500) ton pada 2010 dan diestimasi akan meningkat menjadi 67% pada 2030 (Van Boeckel TP et al., 2015).  Konsumsi antibiotik di sektor peternakan, rata-rata konsumsi antimikroba sapi secara umum lebih rendah (45 mg/PCU) daripada ayam (148 mg/PCU) dan babi (172 mg/PCU) (Van Boeckel TP. et al., 2015).

 

Peran antimikroba pada hewan

 

Dalam kedokteran hewan, penggunaan antimikroba adalah kompleks, dan metoda pemberiannya berbeda, bergantung kepada konteks dan pertimbangan spesies hewan.   Sementara untuk hewan peliharaan mengikuti proses yang sama seperti resep untuk manusia, sedangkan hewan penghasil pangan pengendalian infeksi bakteri dapat dicapai dengan cara terapeutik, metafilaktik, dan profilaktik setelah pemberian resep dokter hewan. Dokter hewan adalah profesional medis, dan mempunyai tanggung jawab kesehatan masyarakat untuk memastikan antibiotik digunakan dengan tepat dan bijak untuk melestarikan efikasi antibiotik untuk hewan dan manusia.

 

Masalah AMR dalam kedokteran hewan


Resistensi antimikroba (AMR) adalah ketika mikroba berevolusi menjadi lebih resisten atau sepenuhnya resisten terhadap antimikroba yang sebelumnya dapat mengeliminasinya.  Kedokteran hewan memiliki masalah resistensi antimikroba yang semakin meningkat di semua bidang kegiatan, dengan dampak pada kesehatan masyarakat. Munculnya methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang dikaitkan dengan ternak dan methicillin-resistan. Staphylococcus pseudintermedius (MRSP) pada hewan peliharaan hanyalah satu contoh dari kemunculan dan menyebarnya resistensi antimikroba, dengan dampak pada kesehatan manusia.

 

Resistensi antimikroba dapat menyebar antara hewan, manusia dan lingkungan

 

Akibat penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan, bakteri dan gen resisten dapat disebarluaskan antara hewan dan manusia melalui berbagai jalur, seperti kontak hewan/manusia, lewat rantai pangan, dan lingkungan sekitar (Harrison, E.M. et al., 2013; Economou, V. et al., 2015).   MRSA pada manusia pertama kali muncul di rumah sakit pada 1970- an, dan pada 1990-an meningkat secara dramatis di seluruh dunia, menjadi suatu masalah klinis yang serius di lingkungan rumah sakit.   MRSA pada hewan juga diidentifikasi akhir-akhir ini; penting untuk membedakan antara MRSA yang diisolasi pada hewan peliharaan, dan MRSA dari hewan produksi pangan.  Evolusi MRSA pada spesies hewan berbeda menjadi suatu kajian kritis terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kemunculannya dari sudut pandang kesehatan hewan dan kesehatan manusia.

 

Contoh AMR pada hewan ke manusia


Pengenalan enrofloxacin dalam kedokteran hewan dengan cepat diikuti oleh munculnya resistensi fluoroquinolone di antara isolat Campylobacter dari ayam pedaging, dan tak lama kemudian pada manusia.

 

Seperti halnya dengan avoparcin, resistensi terhadap fluoroquinolone pada populasi manusia dan hewan tetap langka di negara-negara yang belum menggunakan fluoroquinolone pada hewan penghasil pangan.

 

Peningkatan resistensi cephalosporin generasi ke-3 pada Salmonella dan E. coli juga diamati menyusul peningkatan penggunaan antibiotik ini pada hewan. Selanjutnya, penarikan dan introduksi kembali antibiotik ini kemudian diikuti dengan penurunan dan munculnya lagi masalah resistensi di antara isolat Salmonella dari hewan dan manusia.

 

Antimikroba untuk penggunaan medis veteriner: pemberian suatu antimikroba kepada individu atau sekelompok hewan untuk pengobatan, pengendalian atau pencegahan penyakit infeksius.

 

Antimikroba untuk penggunaan non medis veteriner (non veterinary medical use of antimicrobial agents): pemberian antimikroba kepada hewan untuk tujuan selain pengobatan, pengendalian atau pencegahan penyakit infeksius; termasuk pemacu pertumbuhan.

 

Pengobatan: pemberian antimikroba kepada individu atau sekelompok hewan yang menunjukkan gejala klinis dari suatu penyakit infeksius.

 

Pengendalian: pemberian antimikroba kepada sekelompok hewan yang berisikan hewan sakit dan hewan sehat (diduga terinfeksi), untuk meminimalkan atau menghentikan gejala klinis dan mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.

 

Pencegahan: pemberian antimkiroba kepada individu atau sekelompok hewan yang berisiko yang memperoleh infeksi spesifik atau dalam situasi spesifik dimana penyakit infeksius cenderung akan terjadi jika obat tidak diberikan.

 

Pemacu pertumbuhan (growth promotor): pemberian antimikroba kepada hewan hanya untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan berat badan atau efisiensi pemanfaatan pakan. Growth Promoter merupakan zat yang dapat memacu dan mempercepat pertumbuhan hewan ternak, dengan cara pemberian dicampur dalam pakan (feed additive).

 

Upaya yang harus dilakukan dalam dunia kedokteran hewan:


· mempromosikan penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab pada hewan;

·    mengumpulkan data penggunaan antimikroba veteriner di seluruh Indonesia; dan

· menyediakan rekomendasi saintifik tentang penggunaan antimikroba tertentu pada hewan.

 

 

Tiga faktor penentu perilaku profesional dalam penelitian alternatif teurapetik dan manajemen untuk mengurangi penggunaan antimikroba:

·   Etika aturan sains

· Menentukan norma bagi dokter hewan yang memungkinkan regulasi penggunaan antimikroba yang benar dan rasional.

·   Komunikasi dan edukasi kepada dokter hewan di sektor produksi dan veteriner.

 

Mudah sekali mengakses antibiotik cecara online menghambat kebijakan “penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab” sehingga bisa meningkatkan risiko munculnya resistensi bakteri.


· Di Indonesia, antibiotik untuk hewan dijual melalui “tokopedia”, “bukalapak”, “shopee”, “blibli”, “Lazada”, dan lainnya.

· Jenis antibiotik yang dijual, misalnya: Limoxin, Oxylin Oksitetrasiklin, Penstrep, Medoxy-LA, Animalcylin, Roxine, dan lainnya.

·  Search Google dengan kata kunci “buy veterinary antibiotics”, ternyata 57% website beroperasi di Amerika Serikat, dan 55% di antaranya tidak perlu resep. Fluoroquinolone ditawarkan oleh 79% website (49% tanpa resep), macrolide ditawarkan 72% website (45% tanpa resep), dan generasi ke-3 dan 4 cephalosporin ditawarkan oleh 49% website (27% tanpa resep).

 

Maka penjualan antibiotik via online untuk hewan perlu diatur (Garcia JF et al., 2020).

 

Prinsip penggunaan antimikroba

 

Pembuatan resep dan dispensasi antimikroba harus dijustifikasi oleh diagnosis dokter hewan sesuai status pengetahuan ilmiah saat ini.


· Apabila perlu untuk meresepkan antimikroba, pembuatan resep harus didasarkan pada diagnosis yang dibuat setelah pemeriksaan klinis hewan oleh dokter hewan yang meresepkan. Jika memungkinkan, pengujian kepekaan antimikroba harus dilakukan untuk menentukan pilihan antimikroba.

· Antimikroba metafilaksis harus diresepkan hanya ketika ada kebutuhan nyata untuk pengobatan. Dalam kasus seperti ini, dokter hewan harus menjustifikasi dan mendokumentasikan pengobatan berdasarkan temuan klinis tentang perkembangan penyakit dalam kelompok atau flok.

 

Antimikroba metafilaksis tidak boleh digunakan untuk menggantikan praktik manajemen yang baik.


· Profilaksis rutin harus dihindari. Profilaksis harus dicadangkan hanya untuk indikasi khusus kasus yang luar biasa.

·Pemberian pengobatan kepada seluruh kelompok atau flok harus dihindari bila memungkinkan. Hewan yang sakit harus diisolasi dan dirawat secara individual (misalnya dengan memberikan suntikan).

·  Semua informasi yang berkaitan dengan hewan, penyebab dan sifat alami infeksi dan berbagai produk antimikroba yang tersedia harus diperhitungkan ketika membuat keputusan pengobatan antimikroba.

 

Antimikroba spektrum sempit harus selalu menjadi pilihan pertama kecuali kalau uji kepekaan dilakukan sebelumnya - jika tepat didukung data epidemiologis yang relevan yang menunjukkan bahwa antimikroba ini tidak akan efektif.


· Penggunaan antimikroba spektrum luas dan kombinasi antimikroba harus dihindari (dengan pengecualian kombinasi tetap yang sudah terkandung dalam produk obat hewan yang diotorisasi).

· Jika hewan atau kelompok hewan menderita infeksi berulang yang membutuhkan pengobatan antimikroba, upaya harus dilakukan untuk membasmi strain mikroorganisme dengan menentukan mengapa penyakit ini berulang, dan mengubah kondisi produksi, budidaya peternakan dan/atau manajemen.

 

Penggunaan antimikroba yang rentan menyebarkan resistensi yang dapat ditularkan harus diminimalkan.


·   Antimikroba yang tidak mendapatkan otorisasi pemasaran sebagai produk obat hewan untuk digunakan pada hewan penghasil pangan hanya bisa digunakan ‘off-label’ jika mengandung senyawa yang diperbolehkan.

· Penggunaan ‘off-label’ antimikroba yang dimaksud di atas untuk hewan bukan penghasil pangan (misalnya hewan peliharaan dan hewan untuk olahraga) harus dihindari dan sangat terbatas pada kasus yang luar biasa, misal ada alasan etik untuk melakukan itu, dan hanya jika uji kepekaan laboratorium telah mengonfirmasi bahwa tidak ada antimikroba lain yang akan efektif.

 

Pengobatan antimikroba harus diberikan kepada hewan mengikuti instruksi yang diberikan dalam resep dokter hewan.


· Kebutuhan untuk terapi antimikroba harus dinilai kembali secara reguler untuk menghindari pengobatan yang tidak perlu.

· Jika memungkinkan, strategi alternatif untuk mengendalikan penyakit yang telah terbukti sama efisien dan aman (misal vaksin) harus lebih disukai daripada pengobatan antimikroba.

· Sistim farmakovigilans harus digunakan untuk mendapatkan informasi dan umpan balik kegagalan terapeutik, sehingga dapat mengidentifikasi potensi masalah resistensi dalam kasus penggunaan opsi pengobatan yang ada, yang baru atau yang alternatif.

 

Antimikroba menurut WHO dan OIE

 

Kelas antimikroba yang digunakan hewan dan manusia βlactams Penicillin, amoxicillin; ceftiofur Macrolides dan lincosamides Tylosin; tilmicosin; tulathromycin, lincomycin Aminoglycosides Gentamicin; neomycin Fluroquinolones Enrofloxacin, danofloxacin Tetracyclines Tetracycline; oxytetracycline, chlortetracycline Sulfonamides Various Streptogramins Virginiamycin Polypeptides Bacitracin Phenicols Florfenicol Pleuromultilin Tiamulin

 

WHO menentukan 5 (lima) kelompok antimikroba sebagai “highest priority critically important antimicrobials” (HP-CIA) (cephalosporin generasi ke-3, 4, dan 5, fluoroquinolone, glycopeptide, macrolide, begitu juga polymyxin). Antimikroba ini dipertimbangkan esensial untuk pengobatan infeksi spesifik pada manusia, dan penggunaannya pada ternak harus dibatasi.

 

OIE mempertimbangkan 3 (tiga) dari kelompok antimikroba di atas (cephalosporin generasi ke-3 dan 4, fluoroquinolone, dan macrolide) sebagai “Veterinary Critically Important Antimicrobial Agents” (VCIA) harus tidak digunakan sebagai pengobatan preventif yang diberikan melalui pakan dan air minum pada keadaan tidak ada gejala klinis pada hewan.

 

Peresepan oleh dokter hewan


Dokter hewan perlu mempertimbangkan secara hati-hati ketika meresepkan antibiotik, terutama antibiotik yang penting untuk kedokteran manusia, untuk membantu melestarikan obat penyelamat jiwa ini ke masa depan.


· Dalam membuat keputusan terapeutik, dokter hewan juga perlu mempertimbangkan masalah lain, misalnya masa henti obat (withdrawal time) dan interval pemotongan pada kasus hewan penghasil pangan.

· Jika memungkinkan, pilihan harus didasarkan pada kultur dan uji kepekaan (susceptibility testing) dan spektrum antibiotik tersempit yang efektif melawan infeksi.

 

Pedoman peresepan antibiotik

Australian Veterinary Association (AVA) pada 2017 memulai proyek bersama dengan Animal Medicines Australia, untuk mengembangkan pedoman praktik peresepan yang baik untuk berbagai spesies ternak.

▪ Pedoman yang sudah diterbitkan adalah untuk babi dan unggas.

▪ Pedoman yang akan dibuat menyusul untuk domba, sapi perah, sapi potong dan feedlot, dan kuda.

 

Penggunaan antibiotik yang sangat penting untuk kesehatan manusia.  Antibiotik pilihan pertama (first line antibiotics): digunakan setelah diagnosa bersamaan dengan pendekatan pengobatan alternatif lainnya.


· Antibiotik pilihan kedua (second line antibiotics) digunakan secara terbatas ketika uji kepekaan atau hasil klinis sudah membuktikan bahwa antibiotik pilihan pertama tidak efektif.

· Antibiotik pilihan ketiga (third line antibiotics) digunakan sebagai upaya terakhir. Antibiotik harus digunakan hanya apabila opsi lain tidak tersedia dan sedapat mungkin diberikan hanya setelah uji kepekaan selesai.

 

Faktor lain yang harus diperhatikan


·     Pengobatan lokal individu (mis. injeksi ambing, tetes mata atau telinga).

·     Pengobatan parenteral individu (intravena, intramuskular, subkutan).

·     Pengobatan oral individu (seperti tablet, bolus oral).

·     Pengobatan injeksi kelompok (metafilaksis), hanya apabila telah dijustifikasi.

·  Pengobatan oral kelompok lewat air minum/susu pengganti (metafilaksis), hanya  apabila telah dijustifikasi.

·  Pengobatan oral kelompok lewat pakan atau premiks (metafilaksis), hanya apabila telah dijustifikasi.

 

REKOMENDASI


Dokter hewan harus menggunakan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab dalam upaya untuk memberikan layanan yang optimal bagi pasien hewan, mengurangi perkembangan resistensi antimikroba (AMR) dan melestarikan obat-obatan penting ini untuk masa depan.  


Dokter hewan melalui Pemerintah (Ditjen PKH) dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) harus menyusun “Pedoman Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung jawab untuk Dokter Hewan” sebagai langkah nyata dari peran dokter hewan dalam mengatasi masalah AMR.

 

Sumber:

Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil Ph.D. 2020. Peran Dokter Hewan dalam Pengendalian Resistensi Antimikroba di Sektor Kesehatan Hewan.  Webinar “Risiko Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung Jawab” – 30 November 2020 World Antibiotic Awareness Week 2020.

 

#OneHealth 

#Antimikroba 

#DokterHewan 

#AntibiotikBijak 

#CegahAMR