Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Kebijakan lingkungan. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan lingkungan. Show all posts

Tuesday, 2 December 2025

Banjir Bandang Makin Parah! Ini Strategi Mitigasi Nasional yang Wajib Dilakukan Segera!”

 
Mitigasi dan Pengendalian Banjir Bandang pada Musim Hujan di Indonesia

 

RINGKASAN EKSEKUTIF

 

Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November kembali menegaskan bahwa bencana hidrometeorologi di Indonesia tidak semata-mata akibat hujan ekstrem. Kerusakan hutan di hulu DAS, perubahan tata guna lahan, dan lemahnya pengawasan izin memperbesar limpasan air, meningkatkan sedimentasi, dan menimbulkan banjir bandang yang membawa material kayu, batu, dan lumpur dalam volume besar.

 

Mitigasi efektif memerlukan pendekatan berbasis daerah aliran sungai (DAS), penguatan sistem peringatan dini, penegakan hukum terhadap deforestasi ilegal, rehabilitasi hulu DAS, dan pembaruan tata ruang berbasis risiko. Kebijakan ini harus mengikuti kerangka hukum nasional seperti UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta pedoman teknis dari KLHK, BNPB, dan BMKG.

 

1. LATAR BELAKANG: APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI?

 

Berbagai laporan investigasi lapangan menunjukkan bahwa banjir bandang di Sumatra bukanlah bencana alam biasa. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menyebut bahwa hulu DAS mengalami deforestasi masif akibat pembalakan liar, ekspansi perkebunan, dan industri ekstraktif. Akibatnya, hutan kehilangan fungsi hidrologisnya sebagai penyangga air (hydrological buffer).

 

Secara ilmiah, deforestasi menyebabkan hilangnya tutupan vegetasi dan serasah yang berfungsi menahan serta menyerap air hujan. Tanpa penahan ini, air mengalir cepat sebagai limpasan permukaan (runoff), membawa sedimen dan kayu yang memperburuk banjir (Bruijnzeel, 2004). Temuan adanya kayu gelondongan dengan bekas potongan mesin memperkuat indikasi aktivitas ilegal di kawasan hulu.

 

Di tingkat kebijakan, sejumlah anggota DPR menyatakan bahwa perlindungan hutan harus menjadi prioritas nasional karena hutan berfungsi sebagai benteng alami terhadap risiko banjir, longsor, dan kekeringan. Hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan lestari sebagaimana dikemukakan oleh FAO (2020).

 

Faktor cuaca juga berperan besar. BMKG mencatat bahwa fenomena La Niña dan perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan ekstrem di Indonesia. Penelitian IPCC (2021) menunjukkan bahwa curah hujan ekstrem meningkat di kawasan tropis, termasuk Asia Tenggara. Kondisi ini menjadi semakin berbahaya ketika berinteraksi dengan DAS yang rusak.

 

Pendekatan berbasis DAS atau catchment-based management menjadi sangat penting untuk memahami pola aliran, sumber material banjir, dan risiko di hilir. Para ahli mengusulkan pemetaan lengkap mulai dari bentuk topografi, tipe catchment, tata guna lahan, curah hujan harian, hingga sumber kayu dan lumpur.

 

2. ANALISIS MASALAH: MENGAPA BANJIR BANDANG BERULANG?

 

Banjir bandang berulang karena tiga faktor utama:

(1) Kerusakan Hutan dan Alih Fungsi Lahan

Deforestasi meningkatkan limpasan hingga 30–100% di daerah tropis (Ziegler et al., 2007). Hilangnya akar pohon mempercepat erosi dan meningkatkan volume sedimen yang masuk ke sungai. Hulu DAS yang berubah menjadi perkebunan monokultur atau tambang terbuka kehilangan kemampuan menahan air (KLHK, 2021).

 

(2) Kelemahan Tata Ruang dan Pengawasan Izin

Banyak wilayah permukiman dan infrastruktur dibangun di zona rawan banjir dan jalur aliran material (debris flow). Penataan ruang belum sepenuhnya mengikuti analisis risiko bencana sebagaimana diwajibkan UU 26/2007.

 

(3) Data Hidrologi dan Sistem Peringatan Dini yang Belum Terintegrasi

Meski BMKG sudah memiliki sistem prediksi cuaca dan potensi bencana, implementasi di daerah masih terbatas. Seringkali tidak ada distribusi informasi yang cepat, dan tidak semua daerah memiliki sensor hujan atau automatic water level recorder (AWLR) di DAS hulu.

 

3. REKOMENDASI KEBIJAKAN: DARI JANGKA PENDEK HINGGA JANGKA PANJANG

 

A. Jangka Pendek (0–6 bulan): Respons Cepat dan Pengamanan Awal

 

  1. Pemetaan Cepat DAS Terdampak
    • Petakan desa terdampak, sungai, batas catchment, dan tutupan lahan.
    • Lakukan rapid hydrological assessment untuk menilai jalur aliran dan sumber material.
    • Identifikasi kayu gelondongan yang berpotensi menjadi bukti pembalakan ilegal.

 

  1. Aktivasi Sistem Peringatan Dini
    • BMKG mengeluarkan peringatan hujan ekstrem berbasis radar cuaca dan satelit.
    • BNPB/BPBD mengaktifkan community-based early warning systems.

 

  1. Moratorium Izin Sementara di Hulu DAS Kritis
    • Mengacu pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam UU Lingkungan Hidup.

 

B. Jangka Menengah (6–24 bulan): Pemulihan, Rehabilitasi, dan Pengendalian DAS

  1. Rehabilitasi Lahan Kritis dan Penguatan Fungsi Hutan
    • Reboisasi dengan spesies lokal.
    • Pembangunan rorak, terasering, dan check dam untuk menahan sedimen.
  2. Pembaruan RTRW dan RDTR Berbasis Risiko
    • Melarang pembangunan di jalur banjir bandang dan zona rawan gerakan tanah.
    • Memasukkan peta rawan banjir ke dalam perizinan OSS-RBA.
  3. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Tata Ruang dan Illegal Logging
    • Kolaborasi Polri, Kejaksaan, dan KLHK melalui Gakkum LHK.
    • Penggunaan citra satelit Sentinel dan Landsat untuk memonitor deforestasi.

 

C. Jangka Panjang (>24 bulan): Ketahanan Bencana dan Tata Kelola Lahan

 

  1. Sistem Pengelolaan DAS Terintegrasi
    • Melibatkan KLHK, PUPR, BMKG, Bappenas, masyarakat adat, dan pemegang konsesi.
    • Penyelarasan dengan konsep Integrated Watershed Management (IWM) (World Bank, 2018).
  2. Pendanaan Berkelanjutan
    • APBN/APBD, green bonds, CSR kehutanan, dan skema insentif REDD+.
  3. Pendidikan dan Penguatan Kapasitas Masyarakat
    • Pelatihan mitigasi berbasis komunitas.
    • Insentif ekonomi untuk desa yang menjaga tutupan hutan.
  4. Sistem Data Terbuka Bencana dan Kehutanan
    • Citra satelit, data curah hujan, peta izin konsesi, hingga laporan deforestasi harus terbuka untuk publik.

 

4. RENCANA IMPLEMENTASI: SIAPA MELAKUKAN APA?

 

Lembaga

Tanggung Jawab Utama

KLHK

Audit hutan, rehabilitasi DAS, pengawasan izin, penindakan illegal logging

BNPB/BPBD

Respons darurat, evakuasi, edukasi risiko, peringatan dini berbasis komunitas

BMKG

Prediksi cuaca, analisis hujan ekstrem, penyediaan data hidrometeorologi

Kementerian PUPR

Infrastruktur pengendali sedimen, normalisasi sungai, rencana teknis DAS

Bappeda Pemda

Pembaruan RTRW/RDTR, sinkronisasi kebijakan daerah

Akademisi/NGO

Analisis DAS, audit independen, penelitian kebijakan

Penegak Hukum

Tindak pidana kehutanan, tambang ilegal, pelanggaran tata ruang

 

5. INDIKATOR KEBERHASILAN

 

  • Penurunan debit puncak banjir pada DAS prioritas.
  • Peningkatan luas hutan yang direhabilitasi setiap tahun.
  • Jumlah izin bermasalah yang dicabut/ditindak.
  • Waktu respons peringatan dini <15 menit dari deteksi hujan ekstrem.
  • Pengurangan kejadian banjir bandang dalam 5 tahun.

 

6. KERANGKA TEORI DAN REGULASI

 

Kerangka Teori Ilmiah

  • Deforestasi meningkatkan runoff dan erosi (Bruijnzeel, 2004).
  • Perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan ekstrem (IPCC, 2021).
  • Pengelolaan DAS terpadu menurunkan risiko banjir (World Bank, 2018).

 

Regulasi Relevan

  1. UU 41/1999 tentang Kehutanan
  2. UU 26/2007 tentang Penataan Ruang
  3. UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
  4. PP 26/2020 tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan
  5. Permen LHK 23/2021 tentang Penyelenggaraan Rehabilitasi DAS
  6. Perka BNPB tentang Sistem Peringatan Dini Multi-Bahaya
  7. Standar BMKG tentang Informasi Cuaca Ekstrem

 

Penutup

Banjir bandang adalah hasil interaksi antara cuaca ekstrem dan kerusakan hulu DAS. Untuk mengatasinya, perlu sinergi lintas lembaga, data berbasis sains, dan penegakan hukum yang kuat. Keberhasilan mitigasi banjir bandang tidak hanya menentukan keselamatan masyarakat, tetapi juga masa depan ekosistem Indonesia. Arah kebijakan harus menuju rehabilitasi hulu, tata ruang berbasis risiko, dan transparansi pengelolaan sumber daya alam.

 

Daftar Referensi

Bruijnzeel, L. A. (2004). Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the trees? Agriculture, Ecosystems & Environment, 104(1), 185–228.

FAO. (2020). Global Forest Resources Assessment 2020. Food and Agriculture Organization.

IPCC. (2021). Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Intergovernmental Panel on Climate Change.

KLHK. (2021). Status Hutan dan Kehutanan Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

World Bank. (2018). Integrated Watershed Management for Resilience. World Bank Publications.

Ziegler, A. D., et al. (2007). Runoff response to conversion of mixed forest to grassland in a tropical catchment. Journal of Hydrology, 334(1–2), 33–50.

UU 41/1999 tentang Kehutanan.

UU 26/2007 tentang Penataan Ruang.

UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

PP 26/2020 tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Permen LHK 23/2021 tentang Penyelenggaraan Rehabilitasi DAS.

Pedoman Sistem Peringatan Dini BNPB & BMKG.


#MitigasiBanjir 

#PengelolaanDAS 

#RehabilitasiHutan 

#TataRuangAman 

#CegahBanjirBandang