Kajian Kritis Pengukuran Kesejahteraan Petani Melalui Metode Nilai Tukar Petani dan Indeks Kesejahteraan Petani
PENDAHULUAN
Sektor pertanian berkontribusi dalam penghidupan dan peningkatan
kesejahteraan petani (Fatimah et al. 2021; Agustian et al. 2022). Sektor ini
juga berperan dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, serta ketahanan pangan
dan daya saing produk (Pratama and Budhi 2023). Dengan melihat kontribusi
tersebut, maka peran petani dalam pembangunan pertanian sekaligus pelaku utama
perlu mendapatkan perhatian agar kesejahteraan meningkat (Kurniawan 2022).
Potret kesejahteraan petani tersebut selama ini diukur dengan menggunakan Nilai
Tukar Petani (NTP), bahkan didalam RPJMN 2020-2024, NTP dijadikan sebagai salah
satu indicator makro ekonomi untuk mengukur kesejahteraan petani
(Bappenas/Kementerian PPN 2019).
Secara awal, gagasan nilai tukar diterapkan dalam perdagangan internasional
karena dianggap mencerminkan keadilan distribusi manfaat perdagangan antar
negara, sehingga dianggap relevan sebagai dasar penyusunan strategi pembangunan
ekonomi bagi negara-negara berkembang. Konsep nilai tukar kemudian digunakan
lebih luas, seperti nilai tukar antar sektor yang diimplementasikan pada nilai
tukar barter antara sektor pertanian dan sektor industry atau sektor-sektor
lainnya dalam ekonomi. Nilai Tukar Petani (NTP) yang dikenal di Indonesia
merupakan contoh nilai tukar kategori bagi kelompok ekonomi tertentu, dalam hal
ini adalah nilai tukar Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP). Secara umum
nilai tukar yang berkaitan dengan sektor pertanian dinamakan Nilai Tukar
Pertanian atau Agricultural Term of Trade. Konsep nilai tukar ini sangat
terkenal dan menjadi popular pada decade 1980-an (Lewis 1958), setelah itu pada
decade 1990-an meredup dan jarang digunakan pada pengukuran lebih lanjut.
Walaupun
konsep nilai tukar global sudah mulai ditinggalkan, NTP tetap dijadikan sebagai
salah satu indikator pembangunan pertanian di Indonesia yang paling dikenal dan
banyak digunakan baik akademisi, pemerintah, dan para pelaku ekonomi dalam
melihat indikator makro pertanian. Bahkan mungkin bisa dikatakan satu-satunya
negara Dimana saat ini masih terdapat banyak khalayak, Lembaga, dan akademisi
yang memandang NTP sebagai indicator kesejahteraan petani (Simatupang 1992).
Simatupang (2012) juga menjelaskan bahwa nilai tukar secara literal dianggap
sebagai nilai relative dari pertukaran diantara entitas ekonomi seperti negara,
sektor atau actor ekonomi. Nilai tukar juga menunjukkan kemampuan daya beli
yang menjual dibandingkan dengan harga yang dibeli. Tingkat pertukaran ini
adalah nilai relative dari berbagai barang atau jasa yang diperdagangkan. Pada
level negara, nilai tukar diukur berdasarkan ekspor-impor yang mencerminkan
pertukaran barang dan jasa antar negara. Pada Tingkat sektor, nilai tukar
diukur secara keseluruhan dalam sektor yang dapat berupa pertukaran output
akhir seperti nilai tukar keseluruhan output sektor pertanian dan output sektor
industri, pertukaran input-output seperti nilai tukar keseluruhan output
pertanian dengan input total usaha pertanian, serta pertukaran keseluruhan
output dengan total barang konsumsi akhir rumah tangga dari usaha pertanian.
Nilai tukar
pada suatu waktu hanya berguna untuk memahami harga relative atau harga tukar,
namun kurang bermanfaat dalam analisis ekonomi. Nilai tukar menjadi lebih
bermakna jika dianalisis berdasarkan fluktuasi dari waktu ke waktu. Perubahan
nilai tukar ini mencerminkan perubahan harga relatif, apakah harga suatu abrang
tetap, semakin rendah, atau semakin tinggi dibandingkan dengan barang lainnya.
Oleh karena itu, nilai tukar dalam bentuk indeks dengan tahun dasar tertentu
dibutuhkan untuk melakukan perbandingan antar waktu.
BPS (2017)
menyebut bahwa NTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima (it) dan
indeks yang dibayarkan (ib) oleh petani yang diungkapkan dalam bentuk
persentase. It mengukur rata-rata variasi harga
dalam satu periode dari sekumpulan jenis barang hasil pertanian pada Tingkat
harga produksi di kalangan petani dengan acuan periode tertentu. Sedangkan ib
mengukur rata-rata variasi harga dalam suatu periode dari sekumpulan barang dan
jasa biaya produksi, penambahan barang modal, serta konsumsi rumah tangga di
wilayah perdesaan berdasarkan periode ternetu. Dengan kata lain, ib adalah
penggabungan dari paket-paket jenis barang dan jasa biaya produksi seprta
penambahan barang modal (IF) dan paket barang serta jasa konsumsi rumah tangga
(IK) di Kawasan perdesaan dalam periode tertentu. Perhitngan indeks ini
dilakukan menggunakan metode laspeyres.
Peningkatan taraf hidup petani merupakan salah satu tujuan dalam
Pembangunan pertanian untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan
kesejahteraan petani (Ruslan 2022; Sitorus 2022). Razi & Wahyuni (2022)
mengungkapkan bahwa kesejahteraan petani baru diukur melalui Nilai Tukar Petani
(NTP), tingkat kemiskinan di pedesaan, serta rasio gini di kawasan perdesaan.
Wahyudi (2024) dan Ruslan (2022) menyatakan bahwa NTP adalah rasio indeks harga
yang diterima oleh petani (It) terhadap indeks harga yang harus dibayar oleh
petani (Ib). NTP
digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan/purchasing power petani di daerah
pedesaan. NTP juga mencerminkan terms of trade atau daya tukar antara
hasil pertanian dengan barang dan jasa yang digunakan serta biaya produksinya.
Sementara
itu, menurut Suhartini & Rusastra (2013), yang menyebutkan bahwa apabila
harga produk pertanian naik dengan persentase lebih besar dari kenaikan harga
barang dan jasa yang dibayarkan oleh petani, maka dengan asumsi volume produksi
tidak tetap, maka NTP naik dan pendapatan petani naik relatif lebih besar dari
kenaikan pengeluaran. Namun demikian, dalam prakteknya
peningkatan pendapatan petani tidak serta merta terjadi mengingat sebagian
besar petani merupakan usahatani skala kecil.
Berdasakan uraian diatas, Muis & Marlin (2023) dan Setiawan et al.,
(2019) menganggap bahwa secara konseptual hubungan antara NTP dan pertambahan
pendapatan petani sangat erat karena pendapatan petani berkorelasi dengan
tingkat kesejahteraan, oleh karenanya indikator ini dianggap relevan untuk
menunjukkan perkembangan kesejahteraan petani (Keumala & Zainuddin
2018;Suhartini & Rusastra 2013).
Melihat perkembangan dan dinamika pendapat pro kontra yang mewarnai dalam
diskusi pengukuran kesejahteraan petani menggunakan NTP, maka pada Rapat Komisi
IX DPR-RI dengan Menteri Keuangan, Bappenas, BPS, BI, dan OJK tanggal 8 Juni
2022 disepakati bahwa BPS harus mengkaji metode NTP dan akurasinya serta
mengembangkan indikator baru selain NTP untuk mengukur kesejahteraan petani
yang kemudian diberi nama Indeks Kesejahteraan Petani (IKP). Dibanding NTP, IKP
dapat menjadi alternatif pengukuran kesejahteraan petani dengan pendekatan
multidimensi, meliputi ketahanan pangan dan gizi, pendidikan, kesehatan,
standar hidup layak, pendapatan dan sumber daya, serta mitigasi risiko.
Dalam rangka menjawab tantangan perdebatan konsepsi NTP tersebut, berbagai
penelitian telah dilakukan dengan berbagai tema. Namun demikian, penelitian
baik yang dilakukan oleh Afifah & Nalurita (2022); BPS Jabar (2022); Darwis
et al. 2020; Ervianti (2022); Firmansyah et al (2022); Ilahi & Agustin
(2022); Mulyawan (2022); Sinaga et al (2022) hanya membahas NTP dan
penggunaannya pada komoditas. Pengukuran NTP yang dikaitkan dengan konsepsi
kesejahteraan telah diungkap oleh (Kurniawan 2022; Rachmat, 2013) namun hanya
menghubungkan nilai NTP dengan pendapatan petani, sedangkan penelitian yang
mengungkap perbandingan konsepsi NTP dan IKP belum pernah dilakukan dan ini
menjadi Gap dari kajian ini. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis : (1) dinamika NTP nasional per subsektor pada sektor
pertanian; (2) Kondisi dan perkembangan awal konsep IKP; (3) Menganalisis
keunggulan dan kelemahan konsep NTP dan IKP dalam analisis kesejahteraan
petani; dan (4) merumuskan saran dan kebijakan dalam pengukuran kesejahteraan
petani.
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Teori kesejahteraan (welfare theory) yang diambil dari teori Smith, A
(1776) menyatakan bahwa setiap individu memiliki dorongan untuk memuaskan
keinginan serta kebutuhannya. Dengan kecenderungan setiap orang untuk terus
berusaha memenuhi keinginannya, maka kesejahteraan akan tercapai Ketika Tingkat
kepuasan mencapai puncaknya. Sementara (Yulhendri and Susanti 2017) menegaskan
bahwa kesejahteraan dalam bentuk kecukupan konsumsi, Pendidikan ana yang lebih
baik, keserasian dan keharmonisan dalam rumah tangga dan eksistensi anggota
rumah tangga dalam jangka panjangg merupakan tujuan rumah tangga dalam proses
kehidupan ekonomi, maka dengan mengetahui factor yang menjadi ukuran
kesejahteraan dimasa mendatang, maka rumah tangga bisa memilih perilaku yang
tepat untuk berperilaku ekonomi dan sosial.Kesejahteraan hidup seseorang dalam
realitasnya memiliki indicator keberhasilan yang dapat diukur (Budy Kusnandar
2022; Rizal et al. 2021). Kesejahteraan suatu daerah juga bergantung pada
adanya sumberdaya, mencangkup sumberdaya manusia, sumberdaya fisik, dan
sumberdaya lainnya. Ketiga sumberdaya tersebut saling berinteraksi dalam proses
Pembangunan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan
Masyarakat. Pendapatan individu kelas menengah ke atas akan dihabiskan untuk
membeli barang mewah, sedangkan kelompok menengah kebawah dengan karakteristik
kemiskinan, Kesehatan, gizi, dan Pendidikan rendah, peningkatan pendapatan
dapat memperbaiki serta meningkatkan kesejahteraan mereka (Todaro 2011).
Kesejahteraan tersebut bisa juga dinilai dari aspek kesehatan, situasi
ekonomi, kebahagiaan, dan tingkat kualitas hidup masyarakat, serta persepsi
publik; sebuah keluarga yang sejahtera dapat mengedukasi anggotanya hingga
jenjang tertinggi. Dengan cara yang sama, semakin tinggi tingkat pendidikan
individu, semakin sejahtera pula keluarga mereka karena memperoleh imbal hasil
seperti pekerjaan yang stabil dan pendapatan yang memadai (Agustina Mutia et
al. 2023; Fausy Ar et al. 2023).
Tingkat kesejahteraan berkaitan berkaitan sangat erat dengan penghasilan.
Menurut Sukirno (2018), tingkat pendapatan Masyarakat mencerminkan
kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat, di samping itu ada beberapa
faktor lain yang penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka.
Menurut (Guritno et al. 2014) bahwa perubahan pendapatan dianggap tidak
memadai dalam mencerminkan kesejahteraan karena belum mempertimbangkan
pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi. Dalam menilai indikator keberhasilan
sektor pertanian, pemerintah memanfaatkan NTP sebagai pengganti bagi
kesejahteraan petani, bahkan NTP digunakan sebagai indikator makro ekonomi
dengan menetapkan target antara 105-208 (Bappenas/Kementerian PPN 2019).
Konsep NTP dirancang oleh BPS sebagai instrumen untuk mengevaluasi
perbandingan relatif kebahagiaan petani. Pada saat pertama kali disusun,
kelompok petani hanya mencakup yang terlibat dalam usaha pertanian tanaman
bahan pangan (hasil pertanian dan hortikultura sayuran dan buah) serta
Perkebunan rakyat, dan hanya dilakukan di beberapa provinsi. Seiring dengan
berjalannya waktu, BPS pada tahun 2008 telah melakukan perbaikan pengukuran NTP
baik dalam hal cakupan petani maupun cakupan wilayah/provinsi (Setiawan et al.
2019). Definisi “petani” diperluas untuk mencakup individu yang terlibat dalam
usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan
(Dauda, 2019; Yacoub & Mutiaradina, 2020). NTP dirancang dengan unit analisas nasional
dan regional dapat dihitung. NTP adalah akumulasi dari setiap sub sektor
sehingga indicator kesejahteraan masing-masing sub sektor, termasuk komoditi
yang menyusunnya dapat dihitung (Rachmat 2013).
Gambar 1.
Formula Nilai Tukar Petani
Nilai tukar
petani merupakan rasio indeks yang diterima dengan yang dibayar. Indeks yang
diterima mencerminkan perkembangkan harga produsen, sedangkan indeks harga yang
dibayar adalah perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani baik untuk
konsumsi rumah tangga maupun proses produksi pertanian (Wahyudi 2024). Berdasarkan
konsep NTP tersebut, yang mengungkapkan bahwa kesejahteraan akan mengacu pada
indikator kemampuan daya beli petani yaitu kemampuan pendapatan yang diterima
petani untuk kebutuhan dapat konsumsinya. Deskripsi NTP dan berbagai kebijakan
yang mempengaruhinya disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2.
Deskripsi NTP dan Kebijakan yang memengaruhi NTP
Menurut
Darwanto (2005), nilai tukar petani memiliki pengaruh besar terhadap pemenuhan kebutuhan
petani, karena jika nilai tukar rendah maka petani tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan baik, dan sebaliknya. Oleh karena itu, nilai tinggi
rendahnya rasio NTP dapat berfungsi sebagai indikator kesejahteraan petani,
meskipun belum sepenuhnya akurat. Seiring dengan perbaikan dan analisis yang
komprehensif atas indikator kesejahteraan petani, saat ini BPS Tengah melakukan
survey IKP dan menganalisis dari berbagai lokasi serta proses mendapatkan
masukan dari berbagai stakeholder.
Lingkup
Bahasan
Penulisan
lingkup bahasan kajian ini terdiri dari 3 bagian: Pertama mengenai dinamika
Nilai Tukar Petani (NTP) yang dibahas per sub sektor secara nasional, Kedua
mengenai kondisi dan konsep awal Indeks Kesejahteraan Petani (IKP). Setelah
mengetahui konsepsi kedua indikator tersebut, lalu dilakukan deskripsi
keunggulan dan kelemahannya dalam mengukur kesejahteraan petani. Terakhir, pada kajian ini akan disajikan kesimpulan dan rekomendasi
kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengukuran kesejahteraan petani secara
komprehensif.
Cakupan dan
waktu penelitian
Cakupan
kajian bersifat nasional dan dilaksanakan fokusnya pada bulan Agustus-September
2024. Namun updated data dan informasi terus dilakukan hingga bulan
Oktober 2024. Selain itu, diluar range waktu tersebut, juga telah
dikumpulkan data perkembangan NTP subsektor pertanian series waktu dari
tahun 2020 hingga September 2024.
Jenis dan
Cara Pengumpulan Data
Data yang
dikumpulkan dari berbagai sumber dan pustaka pada lingkup nasional, dan untuk memperkaya analisis menggunakan data/informasi
hasil kajian tentang NTP pada lingkup kasus tertentu. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan menggali data perkembangan NTP nasional. Jenis data yang diperoleh
adalah data sekunder deret waktu (berdasarkan kebutuhan data untuk analisis).
Sumber data diperoleh dari berbagai instansi/lembaga seperti: BPS, Kementerian
Pertanian, dan Bappenas. Selain data dihimpun, terdapat juga informasi tambahan
yang diperoleh mengenai kebijakan peningkatan NTP dari berbagai Lembaga, jurnal
ilmiah, dan sumber pustaka lainnya.
Analisis Data
Metode
pengumpulan data dalam kajian perubahan NTP dan dampaknya terhadap usahatani
dilakukan melalui Diskusi Kelompok Terfokus (FGD), telaah pustaka/studi
literatur, analisis, serta partisipasi dalam seminar (public hearing) mengenai
NTP. Pembahasan dinamika NTP nasional per subsektor pada sektor pertanian,
kondisi dan perkembangan awal konsep IKP menggunakan analisis kuantitatif
berupa tren perkembangan, sedangkan keunggulan dan kelemahan konsep NTP dan IKP
menggunakan analisis komparatif kualitatif. Sari (2021) mendefinisikan analisis
komparatif kualitatif sebagai metode penelitian yang membandingkan dua atau
lebih objek, fenomena, kebijakan, sistem, atau variabel untuk menemukan
persamaan dan perbedaannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Nilai NTP dan NTUP
Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan menggambarkan kemampuan daya tukar
petani. Semakin tinggi NTP maka semakin besar kemampuan daya tukar petani
secara relative. Perhitungan NTP yang diterapkan selama ini menggunakan diagram
timbang yang menunjukkan bobot/nilai dari setiap jenis komoditas pertanian
serta barang/jasa yang termasuk dalam paket komoditas tersebut. Diagram timbang
ini disusun pada tahun dasar dan merupakan periode waktu yang ditetapkan
sebagai awal dihitungnya angka indeks. Data NTP periode 2021 hingga 2023
memakai tahun dasar 2018 (2018=100).
Nilai diagram timbang yang dipakai dalam menyusun indeks yang diterima
petani merupakan nilai hasil produksi yang dijual oleh petani dari setiap jenis
barang hasil pertanian. Setiap sub sektor dan komoditas tersebut memiliki diagram
timbang/bobot yang berbeda (Gambar 3). Data yang digunakan mencakup produksi,
harga dari produsen, dan persentase surplus yang dipasarkan untuk setiap
komoditas. Nilai penimbang dalam harga yang dibayar merupakan nilai dari
konsumsi/nilai biaya barang atau jasa yang dibeli atau dikeluarkan untuk
kebutuhan konsumsi rumah tangga serta untuk menghasilkan produk pertanian
(Pusdatin Kementan, 2023).
Gambar 3. Bobot/Diagram Timbang Komoditas Sub
Sektor Pertanian
Nilai Tukar
Petani dipakai sebagai salah satu proxy untuk menilai tingkat kesejahteraan
petani dengan cepat atau dalam jangka pendek, dengan anggapan bahwa ada
kesamaan dalam kuantitas produksi dari waktu ke waktu. Dalam jangka
menengah/panjang, NTP akan lebih tepat jika disertai dengan indikator volume
hasil pertanian atau sumber pendapatan lainnya. NTP juga bisa dimanfaatkan
untuk menilai kemampuan tukar (terms of trade) barang yang dijual petani
dengan barang yang diperlukan petani untuk produksi dan konsumsi rumah tangga.
Dalam analisis NTP ini, data yang digunakan adalah rata-rata tahunan dari tahun
2020 hingga 2024 dengan tahun dasar 2018=100, serta data NTP tahun 2024 yang
diambil hingga bulan September. NTP di sektor pertanian
mencakup berbagai sub sektor seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan
rakyat, peternakan, dan perikanan. Namun, mengingat subsektor perikanan tidak
tergolong dalam Kementerian Pertanian, sehingga dalam penelitian ini, yang
dianalisis adalah NTP sektor pertanian tanpa mencakup perikanan dengan istilah
“NTP Pertanian Arti Sempit”.
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa pada tahun 2020, nilai It pertanian
luas nasional mencapai 107,46, menandakan adanya peningkatan rata-rata tingkat
harga produk pertanian sebesar 7,464% dibandingkan dengan rata-rata tingkat
harga produk sejenis pada tahun dasar 2018. Dengan cara yang sama, nilai Ib
pada tahun 2020 mencapai 105,72 yang menunjukkan kenaikan harga kebutuhan
petani sebesar 5,72% dibandingkan dengan tingkat harga kebutuhan petani pada
tahun 2018. Pada tahun 2020, NTP nasional total mencapai 101,65, yang
menunjukkan bahwa daya beli riil petani di tahun 2020 lebih tinggi 1,65%
dibandingkan daya beli riil petani di tahun 2018.
Pada tahun 2022, nilai indeks yang diterima tercatat 120,67, artinya
kenaikan rata-rata harga produk pertanian sebesar 20,67% dibandingkan dengan
rata-rata harga produk serupa di tahun dasar 2018.
Nilai indeks yang dibayar tahun 2022 yang mencapai 112,43 juga mencerminkan
adanya kenaikan harga kebutuhan petani sebesar 12,43% dibandingkan dengan
tingkat harga kebutuhan petani pada tahun 2018. NTP nasional gabungan tahun
2022 mencapai 107,33 yang menunjukkan bahwa daya beli riil petani pada tahun
2022 lebih tinggi 7,33% dibandingkan daya beli riil petani pada tahun 2018.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu tahun 2023, nilai It pertanian secara
nasional tercatat sebesar 131,59 yang menunjukkan peningkatan rata-rata harga
produk pertanian sebesar 31,59% dibandingkan dengan rata-rata harga produk
serupa pada tahun dasar 2018. Nilai Ib tahun 2023 yang mencapai 117,01
mencerminkan kenaikan harga kebutuhan petani sebesar 17,01% jika dibandingkan
dengan harga kebutuhan petani pada tahun 2018. NTP nasional gabungan tahun 2023
mencapai 112,47, yang menunjukkan daya beli riil petani pada tahun 2023 lebih
tinggi 12,47% dibandingkan daya beli rill tahun 2018.
Tabel 1.
Perkembangan Nilai NTP Per Sub Sektor dan NTUP, 2020-2024
Pada tahun
terakhir (hingga September 2024), nilai indeks yang diterima dalam pertanian
luas secara nasional mencapai 143,55, yang menunjukkab bahwa peningkatan
rata-rata harga produk pertanian sebesar 43,55% dibandingkan pada tahun 2018.
Sedangkan nilai indeks yang dibayar mencapai 120,68 menunjukkan peningkatan
sebesar 20,68% pada harga kebutuhan petani dibandingkan dengan tingkat harga
pada tahun 2018. NTP nasional gabungan 2024 mencapai 118,96, yang menunjukkan
bahwa daya beli riil petani pada tahun 2024 meningkat 18,96% dibandingkan daya beli
riil petani tahun 2018.
Melihat
perkembangan agregat NTP tersebut, terlihat bahwa selama periode 2020-2024
nilainya meningkat sebesar 3,3% per tahun, dan pada peningkatan rata-rata NTP
dari Januari-September 2023 ke Januari-September 2024 tercatat kenaikan sebesar
7,17. Tingkat harga jual komoditas pertanian yang diterima oleh petani
cenderung semakin meningkat, sehingga diharapkan kesejahteraan petani akan
terus berkembang (Tabel 2).
Apabila
dianalisis nilai NTP per subsektornya, tampak bahwa nilai NTP secara dominan
disumbang dari subsektor Perkebunan dan hortikultura. Nilai NTP subsektor tanaman pangan, pada periode 2020-2023 bergerak dari
98,21 hingga 107,63. Nilai NTP tersebut mengalami peningkatan sebesar 1,89%. Kemudian
pada tahun 2024 (Jan-Sept) rataan nilai NTP menjadi 110,78 atau mengalami
peningkatan sebesar 5,07% dibandingkan rataan NTP periode Januari-Sept 2023.
Pada subsektor perkebunan, besaran nilai NTP paling tinggi yaitu pada
periode 2020-2023 bergerak dari 104,32 hingga 128,49. Perkembangan nilai NTP
tersebut cukup signifikan yaitu meningkat sebesar 6,48%. Kemudian pada tahun
2024 (Jan-Sept) rataan nilai NTP menjadi 145,26 atau mengalami peningkatan
signifikan sebesar 14,13% dibandingkan rataan NTP periode Januari-Sept 2023.
Perkembangan yang signifikan berikutnya terjadi pada subsektor
hortikultura, dimana nilai NTPnya pada periode 2020-2023 bergerak dari 101,28
hingga 111,75. Nilai NTP tersebut mengalami peningkatan sebesar 3,64%. Kemudian
pada tahun 2024 (Jan-Sept) rataan nilai NTP menjadi 119,25 atau mengalami
peningkatan sebesar 7,95% dibandingkan rataan NTP periode Januari-Sept 2023.
Selanjutnya pada subsektor peternakan, besaran nilai NTP pada periode
2020-2023 bergerak dari 98,99 hingga 101,81. Perkembangan nilai NTP tersebut
yaitu meningkat sebesar 1,05%. Kemudian pada tahun 2024 (Jan-Sept) rataan nilai
NTP menjadi 102,57 atau mengalami peningkatan 0,55% dibandingkan rataan NTP
periode Januari-Sept 2023.
Dengan melihat tren perkembangan gabungan nilai NTP dan NTP subsektor yang
positif dan signifikan, maka dapat disampaikan bahwa daya beli riil petani pada
kurun waktu tersebut lebih tinggi dibanding daya beli riil petani tahun
dasarnya (2018). Demikian juga dapat diketahui bahwa tingkat harga jual
komoditas pertanian yang diterima oleh petani kecenderungannya semakin baik,
sehingga pendapatannya meningkat dan akan menjadi pertanda bagi peningkatan
kesejahteraan petani.
Tabel 2. Tren
perkembangan nilai NTP 2020-204 (%/tahun)
Di sisi lain,
NTUP adalah nilai tukar yang mempertimbangkan pengeluaran dari usaha tani saja,
termasuk biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM), tanpa
memperhitungkan pengeluaran bagi konsumsi rumah tangga. Pergerakan NTUP dan NTP nasional pertanian luas dari tahun 2020-2023
(2018=100) menunjukkan pola yang serupa. Untuk NTUP, pertumbuhannya mencapai
3,33% setiap tahun. Kenaikan NTUP yang hampir sejajar dengan laju kenaikan NTP
menyebabkan perkembangan pola nilai NTP dan NTUP dari tahun ke tahun cenderung
serupa, yaitu bergerak dari 102,17 (2020) hingga 112,21 (2023). Selanjutnya,
pada tahun 2024 (Jan-Sept), rata-rata nilai NTUP mencapai 121,64 atau naik
8,08% jika dibandingkan dengan rata-rata NTUP periode Januari-Sept 2023.
Gambar 4.
Perkembangan NTP dan NTUP 2020-2024
Kondisi dan
Perkembangan awal IKP
Pemerintah
(Menteri Keuangan, Bappenas, BPS, BI, dan OJK) pada tanggal 8 Juni 2022
menggelar Rapat dengan Komisi IX DPR-RI. Pada pembahasan tersebut, pemerintah
telah mendorong kegiatan yang berkaitan dengan sektor pertanian dan bantuan
sosial bagi rumah tangga petani. Melalui kegiatan tersebut, diharapkan mampu
mendorong sektor pertanian dan peningkatan daya beli petani dan hal itu dapat
dipotret dari hasil NTP. Namun demikian, nilai NTP secara bulanan tidak
mencerminkan perubahan signifikan, padahal NTP menjadi target pembangunan baik
sebagai indikator asumsi makro dan target pembangunan dapam RAPBN 2023, target
RPJMN 2020-204, dan RPJMD. Hal ini lantaran sejatinya NTP hanya memotret harga
yang diterima dengan yang dibeli, oleh karenanya hanya sensitif terhadap
perubahan harga, NTP belum dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan petani dan
belum bisa dijadikan tolak ukur untuk melihat dampak kebijakan pemerintah di
sektor pertanian.
Dengan adanya
pro kontra dan masukan dari berbagai stakeholder, BPS tahun 2022
melakukan kajian penyempurnaan NTP dengan metode baru serta kajian pengukuran
indikator-indikator untuk mengukur kesejahteraan petani dan nelayan. Pada tahun
berikutnya, BPS mengimplementasikan proses bisnis penyelenggaraan kegiatan statistik
untuk kebutuhan NTP metode baru dan indikator kesejahteraan petani, dan
mempertahankan series data NTP dengan metode lama sampai tahun 2024.
Sejak tahun 2022, kajian pengukuran Indikator-indikator telah dilakukan
untuk menilai kesejahteraan petani dan nelayan. Indikator yang ditentukan untuk
menilai kesejahteraan petani dan nelayan tersebut merujuk pada Indeks
Kemiskinan Multidimensi Pedesaan (RMPI) sesuai dengan pandangan FAO.
Penetapan indikator-indikator itu bertujuan untuk menilai kesejahteraan
para petani dan nelayan. Dalam RMPI yang dirancang, terdapat 6 aspek penyusun dan
20 indikator (BPS, 2024). Penyusunan NTP menggunakan metode baru dan indikator
kesejahteraan petani dengan melibatkan kementerian/lembaga telah dilaksanakan,
sembari melakukan rekonsiliasi NTP tahun 2023.
Model MPI
diperkenalkan pada tahun 2010, dengan maksud untuk menggambarkan keadaan
kemiskinan secara lebih menyeluruh. Pendekatan dalam mengukur kemiskinan secara
multidimensi memberikan sudut pandang yang lebih komprehensif dalam memahami
kemiskinan. Penyebabnya adalah kemiskinan tidak dinilai hanya dari satu dimensi
seperti tingkat konsumsi atau pendapatan, namun juga dari Pendidikan,
Kesehatan, kualitas hodup, pekerjaan, dan juga budaya. Indikator MPI menurut
SDG Nasional mencakup: 3 dimensi dan 14 indikator. Untuk dimensi Kesehatan
mencakup indikator imunisasi dasar, gizi dan morbiditas, untuk dimensi
Pendidikan mencakup indikator: lama sekolah dan partisipasi sekolah, serta
dimensi standar hidup mencakup indikator: tanpa air minum bersih, tanpa sanitasi
layak, bahan bakar masak bersih, tanpa lantai layak, tanpa Listrik, tanpa punya
asset produktif, tanpa akta lahir, pekerjaan, akses internet.
Dalam
pengembangan IKP, BPS (2024) telah melakukan pengukuran kesejahteraan petani
dengan berbagai indikator. Dalam konteks ini, kesejahteraan petani terdiri dari
berbagai Dimensi, yaitu menggunakan konsep dari Kemiskinan Multi-Dimensi (MPI),
yang memakai ukuran “deprivasi” sebagai instrumen ketertinggalan/kekurangan/lack-of
individu atau rumah tangga terhadap hak-hak dasarnya untuk bisa
mendapat/mengakses/ menerima dalam rangka mencapai sebuah standar
kesejahteraan.
Selanjutnya
untuk Konsep Non-deprivasi, sebagai sebuah kebalikan dari “terdeprivasi” untuk
mendapatkan ukuran capaian individu atau rumah tangga terhadap standar
kesejahteraan yang ditetapkan. Penyusunan IKP mengadopsi dimensi yang digunakan
dalam penghitungan R-MPI (FAO, 2020) yang disesuaikan dengan ukuran
Non-deprivasi.
Adapun
indikator dan dimensi pada pengukuran kesejahteraan petani dengan Rural
Multidimensional Poverty Index (RMPI) yang digunakan mencakup: (1) Food
security and nutrition: kecukupan gizi balita, dan ketahanan pangan; (2) Education:
partisipasi sekolah, dan lama sekolah; (3) Health: kepemilikan jaminan
kesehatan, akses terhadap layanan dasar kesehatan, dan imunisasi dasar; 4) Living
standards: bahan bakar memasak aman/bersih, sanitasi layak, air minum
layak, daya listrik, ketahanan bangunan, dan aset rumah tangga; (5) Rural
livelihoods and resources: kecukupan aset pertanian, perlindungan sosial,
pekerja anak, dan layanan penyuluhan; dan (6) Risk mitigation:
pembiayaan kredit, asuransi pertanian, dan guncangan/shock.
Sementara
untuk pengukuran Kesejahteraan Petani dengan Pendekatan MPI Non-Deprivated tersebut
rumusannya disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengukuran Kesejahteraan Petani Menggunakan Pendekatan MPI Non-Derivated
Lebih lanjut BPS (2024) mengemukakan bahwa pengukuran indeks kesejahteraan
petani (IKP) dengan pendekatan MPI Non-Deprivated, mempertimbangkan 12
tahapan/langkah yang harus dilakukan, yaitu: (1) Unit analisis: Rumah Tangga
Pertanian; (2) Menentukan Dimensi: sumber R-MPI; (3) Menentukan Indikator; (4)
Menentukan bobot dimensi dan indicator; (5) Menentukan kategori non deprivasi
tiap indicator; (6) Aplikasi kategori non deprivasi tiap indicator; (7) Hitung
jumlah non deprivasi unit analisis pada masing-masing indicator; (8) Menghitung
skor dimensi unit analisis dengan bobot indicator; (9) Menghitung skor total
menggunakan bobot dimensi; (10) Pengkategorian Sejahtera jika skor total >
2/3; (11) Menghitung head count ratio (H); dan (12) Menghitung
intensitas dan skor IKP.
Simulasi pengukuran tingkat kesejahteraan petani telah dilakukan BPS (2024)
dengan menggunakan sumber data susenaskor maret tahun 2021 dan 2022 (sesuai
dengan ketersediaan data dan telah definisikan indicator yang sudah disepakati)
yaitu dengan metode non-deprivated household.
Hasil
simulasi disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3, penimbang yang digunakan: Equal
weight untuk setiap dimensi dan indikator dalam dimensi. Dalam hal ini
tidak semua dimensi dan indikator digunakan dalam simulasi pengukuran, dengan
pertimbangan terkait ketersediaan data.
Analisis Komparatif NTP vs IKP dalam mengukur Kesejahteraan Petani
Kelemahan dan Keunggulan NTP
NTP sering dipakai tolak ukur untuk menilai kemampuan daya beli petani
dengan membandingkan harga produk pertanian yang mereka terima dengan tarif
barang dan jasa yang mereka beli. Namun, NTP tidak selalu mencerminkan tingkat
kesejahteraan petani. Ada beberapa kekurangan dalam analisis NTP, antara lain:
1. Pengukuran terbatas pada harga dan fluktuasi harga yang tidak konsisiten
NTP lebih fokus pada perbandingan harga antara hasil pertanian dan
barang/jasa yang dibeli, tanpa mempertimbangkan kualitas barang/jasa atau
perubahan dalam standar hidup. Kesejahteraan petani juga dipengaruhi oleh
aspek-aspek non-ekonomi seperti kualitas hidup, pendidikan, dan kesehatan, yang
tidak tercermin dalam NTP. Sementara itu, harga hasil pertanian dan harga
barang/jasa dapat sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan antar wilayah. Hal
ini tidak selalu mencerminkan situasi ekonomi jangka panjang atau stabil.
2. Tidak memperhitungkan biaya produksi dan perubahan teknologi
NTP tidak mempertimbangkan semua biaya yang dikeluarkan petani dalam proses
produksi. Misalnya, biaya input seperti pupuk, benih, dan tenaga kerja mungkin
tidak sepenuhnya tercermin dalam perhitungan NTP, yang dapat mempengaruhi
profitabilitas dan kesejahteraan petani. Selain itu, NTP belum memperhitungkan
pengaruh perubahan teknologi terhadap laba usahatani atau perubahan
produktivitas Total Faktor Produksi (TFP).
3. Bias angka
dasar dan adanya keterbatasan data regional
NTP dihitung
menggunakan angka dasar yang biasanya diperbarui setiap 5 tahun. NTP saat ini
masih menggunakan angka dasar tahun 2018, padahal dalam perkembanganya terjadi
perubahan produktivitas dan harga sehingga semakin jauh perhitungan NTP dengan
tahun dasar 2018. Selain itu, NTP dapat berbeda secara signifikan antara daerah
yang satu dengan yang lain karena perbedaan dalam biaya hidup, kondisi pasar
lokal, dan infrastruktur. Oleh karena itu, NTP
mungkin tidak mencerminkan kondisi petani di daerah tertentu dengan akurat.
4.
Kesejahteraan tidak selalu terkait dengan daya beli dan hanya relevan untuk Net
Producer
Kesejahteraan petani melibatkan lebih dari sekadar daya beli. Faktor-faktor
seperti akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur sosial juga
memainkan peran penting. Sementara, Perhitungan NTP mengasumsikan bahwa
produksi selalu surplus dan semua hasil produksi dapat dijual/dipasarkan. Karena hanya
membandingkan harga saja, maka NTP relevan bagi net producer, bukan net
buyer.
5. Pengaruh
subsidi dan kebijakan
Subsidi
pertanian dan kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi harga pasar, yang pada
gilirannya mempengaruhi NTP. Namun, kebijakan ini
mungkin tidak selalu mencerminkan kebutuhan atau kesejahteraan petani secara
langsung.
6. Belum dapat menangkap dinamika pendapatan petani, pengeluaran petani
dihitung dari semua komponen serta kurangnya Informasi tentang pekerjaan dan
penghasilan
Dalam hal produksi hasil pertanian, pendapatan petani dihitung dari tonase
yang dihasilkan dikalikan dengan harga komoditas. NTP hanya memotret perubahan
harga, sedangkan tonase menggunakan angka dari tahun dasar. Sementara indeks
yang dibayarkan oleh petani dihitung untuk konsumsi rumah tangga serta barang
modal dan produksi pertanian, sedangkan indeks harga yang diterima hanya
berasal dari hasil pertanian. Faktanya, petani di Indonesia tidak murni sebagai
petani, banyak yang bekerja sebagai buruh tani dan kerja sampingan yang tidak
bisa diprotret melalui NTP. Selanjutnya, NTP juga tidak memberikan informasi
tentang jumlah pekerjaan yang tersedia bagi petani atau pendapatan mereka
secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, meskipun NTP memberikan informasi tentang daya beli
petani dalam konteks harga barang dan jasa, namun masih belum mencakup semua
aspek kesejahteraan petani. Analisis ini sekaligus mematahkan berbagai pendapat
dari beberapa kalangan seperti (Suhartini and Rusastra 2013; Setiawan and
Zulfanita 2015; Keumala and Zainuddin 2018; Muis and Marlin 2023) yang
menyatakan bahwa NTP dan kesejahteraan petani kaitannya sangat erat dan dapat
digunakan sebagai indikator perhitungan. Oleh sebab itu, untuk memperoleh
pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai kesejahteraan petani, NTP perlu
digunakan bersamaan dengan indikator dan data lainnya yang mempertimbangkan
berbagai aspek kehidupan petani.
Namun demikian, Nilai Tukar Petani (NTP) memiliki beberapa keunggulan yang
menjadikannya alat yang berguna dalam analisis ekonomi pertanian. Berikut
adalah beberapa keunggulan utama dari NTP:
1. Dapat diukur setiap bulan (datanya dapat tersedia setiap bulan)
Salah satu
indikator digolongkan baik jika basis data yang dibutuhkan tersedia secara
periodik. Data NTP berupa harga yang diterima dan dibayar tersedia setiap
bulan, sehingga hasil perhitungan NTP dapat dikeluarkan bulanan.
2. Mengukur
Daya Beli/Daya Tukar Petani
Nilai Tukar
Petani menggambarkan kemampuan daya beli/tukar petani dengan membandingkan
harga produk pertanian yang mereka terima terhadap harga barang dan jasa yang
mereka konsumsi. Ini berkontribusi pada pemahaman
sejauh mana pendapatan petani mampu mencukupi kebutuhan harian mereka.
3. Evaluasi Kebijakan Pertanian
NTP dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah atau
subsidi pertanian terhadap daya beli petani. Ini membantu dalam
mengidentifikasi apakah kebijakan tersebut efektif dalam meningkatkan
kesejahteraan petani.
4. Perbandingan Regional
NTP memungkinkan dapat memperbandingkan antara daerah atau wilayah yang
berbeda, memberikan wawasan tentang perbedaan dalam kondisi ekonomi pertanian
di berbagai tempat. Ini bisa membantu dalam perencanaan dan alokasi sumber daya
secara lebih efektif.
5. Memonitor Fluktuasi Ekonomi
NTP dapat digunakan untuk memantau fluktuasi ekonomi dalam sektor pertanian
dan mendeteksi tren yang mungkin mempengaruhi daya beli petani. Hal ini dapat
membantu dalam perencanaan jangka panjang dan adaptasi terhadap perubahan
pasar.
Kelemahan dan Keunggulan IKP
Perhitungan Indeks Kesejahteraan Petani adalah metode yang digunakan untuk
mengukur kesejahteraan petani secara lebih komprehensif. Berbeda dengan Nilai
Tukar Petani (NTP) yang lebih fokus pada daya beli, indeks kesejahteraan petani
mencakup berbagai aspek kesejahteraan sosial dan ekonomi. Berikut adalah
beberapa keunggulan dari perhitungan indeks kesejahteraan petani sebagaimana
telah diperkenalkan BPS (2024):
1. Multi Dimensi
IKP mengukur berbagai dimensi kesejahteraan, termasuk pendapatan dan
sumberdaya, akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan penghidupan yang layak.
Hal ini memberikan gambaran yang lebih holistik tentang kesejahteraan petani
dibandingkan hanya mengandalkan daya beli.
2. Perhitungan Pendapatan dan Pengeluaran Petani
Sebelum melakukan pengukuran IKP, terlebih dahulu dilakukan survey.
Kuesioner yang digunakan dalam Survey IKP antara lain mencakup mengumpulkan
data jumlah pendapatan petani per sub sektor dan jumlah pengeluarannya,
sehingga relevan untuk menghitung peningkatan kesejahteraan petani.
3. Mencakup Kesejahteraan Sosial
Indeks ini tidak hanya mencakup aspek ekonomi tetapi juga kesejahteraan
sosial seperti akses ke layanan dasar, kualitas hidup, dan kondisi lingkungan.
Ini membantu dalam memahami secara lebih baik kondisi hidup petani di luar
faktor ekonomi semata.
4. Evaluasi Kualitas Hidup
Dengan mencakup berbagai indikator, indeks kesejahteraan petani dapat
memberikan informasi tentang kualitas hidup petani secara keseluruhan. Informasi
ini termasuk kesehatan, pendidikan, dan kondisi sosial yang mempengaruhi
kesejahteraan mereka.
5. Panduan untuk Kebijakan dan Intervensi
Data yang diperoleh dari indeks kesejahteraan petani dapat membantu pembuat
kebijakan dalam merancang program-program yang lebih efektif dan terarah.
Berdasarkan hal ini memungkinkan pembuatan kebijakan yang lebih komprehensif
dan menyasar berbagai aspek kebutuhan petani.
6. Pemantauan dan Evaluasi Program
Indeks kesejahteraan petani memungkinkan pemantauan dan evaluasi program
pengembangan atau bantuan yang dilaksanakan. Dengan melihat perubahan dalam
indeks, dapat dievaluasi apakah program tersebut berhasil meningkatkan
kesejahteraan petani.
7. Identifikasi Kesenjangan
Indeks ini membantu dalam mengidentifikasi kesenjangan dalam kesejahteraan
antar kelompok petani atau antar daerah. Ini membantu dalam mengarahkan
intervensi yang lebih tepat sasaran untuk mengatasi ketimpangan.
8. Perbandingan Antar Daerah
Indeks kesejahteraan petani memungkinkan perbandingan yang lebih mendalam
antara daerah atau wilayah yang berbeda. Ini berguna dalam perencanaan regional dan
alokasi sumber daya.
9. Data yang
Terintegrasi
Dengan
mengintegrasikan berbagai indikator, indeks ini memberikan data yang lebih
terintegrasi dan komprehensif tentang kesejahteraan petani. Keberadaan data ini
juga memudahkan analisis dan pengambilan keputusan yang berbasis data. Dengan
mencakup berbagai dimensi kehidupan petani, indeks kesejahteraan petani
memberikan gambaran yang lebih lengkap dan mendalam tentang kesejahteraan
mereka dibandingkan dengan hanya menggunakan indikator daya beli. Hal ini
membuatnya menjadi alat yang lebih efektif untuk perencanaan, kebijakan, dan
evaluasi dalam sektor pertanian.
Perhitungan
Indeks Kesejahteraan Petani (IKP) memiliki beberapa kelemahan meskipun
menawarkan pandangan yang lebih komprehensif tentang kesejahteraan petani. Berikut
adalah beberapa kelemahan utama dari perhitungan indeks ini:
1.
Kompleksitas dalam pengumpulan data
Kesulitan
pengumpulan data: mengumpulkan data yang diperlukan untuk perhitungan indeks
kesejahteraan petani bisa sangat kompleks dan memerlukan banyak sumber
informasi. Cakupannya termasuk data tentang pendapatan, kesehatan, pendidikan,
dan faktor sosial lainnya, yang bisa sulit dikumpulkan secara akurat dan
konsisten.
2. Hanya bisa
diukur tahunan
Ketersediaan
data dalam perhitungan IKP tidak segaram (ada bulanan, musim, bahkan tahunan).
Oleh karena itu Survey IKP hanya bisa dilakukan tahuan. Hal ini berpengaruh
terhadap keterlambatan intervensi yang diberikan oleh pemerintah.
3.
Variabilitas Data
Kualitas dan
ketersediaan data dapat bervariasi yang dapat mempengaruhi akurasi dan
konsistensi indeks. Ketidakakuratan atau kekurangan data di beberapa area dapat
menyebabkan hasil yang tidak dapat diandalkan.
4. Kesulitan
dalam penetapan bobot
Menetapkan
bobot untuk berbagai indikator dalam indeks kesejahteraan dapat menjadi
subjektif. Perbedaan dalam penilaian bobot dapat mempengaruhi hasil indeks dan
mungkin tidak mencerminkan prioritas atau kebutuhan spesifik petani di berbagai
konteks.
5.
Keterbatasan dalam penilaian kualitas
Meskipun
indeks dapat mencakup berbagai dimensi, sulit untuk menilai kualitas dari
indikator tersebut secara kuantitatif. Misalnya, bagaimana mengukur kualitas
pendidikan atau pelayanan kesehatan secara tepat dalam indeks.
6. Kesulitan
dalam mengintegrasikan berbagai dimensi
Mengintegrasikan
berbagai dimensi kesejahteraan ke dalam satu indeks bisa menjadi tantangan.
Setiap dimensi mungkin memiliki karakteristik yang berbeda, dan
menggabungkannya dalam satu angka yang komprehensif bisa sulit dan dapat
menyebabkan kehilangan detail penting.
Secara
keseluruhan, meskipun perhitungan Indeks Kesejahteraan Petani memberikan
pandangan yang lebih luas tentang kesejahteraan petani dengan mencakup berbagai
dimensi, namun penting untuk menyadari dan mempertimbangkan kelemahan-kelemahan
ini. Menggunakan indeks ini bersama dengan data dan metode lain dapat membantu
memberikan gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang kesejahteraan petani.
Secara ringkas, kelebihan dan kekurangan NTP serta IKP dari penjelasan di atas
dapat disajikan dalam tabel 4 berikut.
Tabel 4. Analisis Komparatif Keunggulan dan Kelemahan NTP dan IKP Aspek
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan perbandingan antara indeks yang diterima
(it) dengan yang dibayarkan (ib) petani dan dinyatakan dalam persentase,
sehingga NTP dapat menunjukkan tingkat daya beli petani untuk memenuhi
kebutuhan konsumsinya dan usaha pertaniannya. Semakin besar NTP, semakin tinggi
pula kemampuan/daya beli petani secara relatif. Saat ini, NTP masih berfungsi
dan menjadi alat untuk menilai kesejahteraan petani secara cepat atau jangka
pendek, mengasumsikan kesamaan tingkat produksi di berbagai waktu. Dalam jangka
menengah/panjang, NTP akan lebih tepat jika disertai dengan indikator volume
produksi pertanian atau sumber pendapatan lainnya. Selama kurun waktu 2020-2024
nilai NTP mengalami peningkatan sebesar 3,3%/tahun, dan jika dilihat peningkatan
rataan NTP periode Januari-September 2023 ke Januari-September 2024 mengalami
peningkatan sebesar 7,17%. Dengan demikian, tingkat harga jual komoditas
pertanian yang diterima oleh petani kecenderungannya semakin baik. Apabila
dianalisis nilai NTP per subsektornya, tampak bahwa nilai NTP secara dominan
disumbang dari subsektor perkebunan dan hortikultura.
Dalam mengukur kesejahteraan petani, melalui indikator NTP dan perspektif
dengan menggunakan indikator IKP masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. NTP memiliki keunggulan seperti: mudah diukur, cocok untuk
menganalisis daya beli/daya tukar, memonitor fluktuasi harga, analisis regional
dan evaluasi kebijakan. Kelemahanya: tidak memotret pendapatan, fluktuasi
harga, terbatas pada harga, tidak sensitif terhadap perubahan teknologi,
produktivitas, dan intervensi kebijakan, keterbatasan data regional, hanya
relevan untuk net producer, dan keterbatasan angka dasar.
Sedangkan IKP yang saat ini sedang mulai diimplementasikan memiliki
keunggulan: multi dimensi, dapat diukur tingkat pendapatan dan pengeluaran, dan
dapat dianalisis antar dimensi sehingga rekomendasi yang diambil lebih
komprehensif. Namun metode baru ini masih menyimpan kelemahan, diantaranya:
ketersediaan dan kompleksitas pengumpulan data, keterbatasan penentuan bobot,
variabel yang kurang konsisten, keterbatasan penilaian kualitas dan integrasi
antar dimensi. Secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan kelebihan dan
kekurangan NTP dan IKP, kedua instrumen tersebut tetap relevan untuk
dipertahankan dan digunakan sesuai dengan tujuan awal pembentukannya. NTP masih
relevan untuk mengevaluasi daya tukar/daya beli petani, sementara Survey IKP
yang saat ini sedang disempurnakan tepat untuk menilai tingkat kesejahteraan
petani.
Implikasi Kebijakan
NTP dan IKP merupakan dua alat ukur yang perlu dipertahankan dan
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pengukuran. Namun demikian, agar NTP lebih
berkualitas, maka BPS perlu menyempurnakan metodologi pengukuran seperti
memasukkan tonase produksi dan/atau mengupdate tahun dasar dari 2018 menjadi
2023. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka pemerintah juga perlu mendukung
alokasi anggaran agar data yang dihasilkan semakin berkualitas.
Perhitungan IKP yang telah dilakukan oleh BPS melalui kajian simulasi
menggunakan Susenas KOR Maret 2021 dan 2022 perlu dilanjutkan dan disempurnakan
dengan pelaksanaan survey tahun 2024 dan tahun setelahnya. Oleh karena itu,
BPS, Bappenas, dan Kemenkeu (berbagi stakeholder terkait) perlu terus
berkooordinasi untuk memastikan Survei IKP dapat dilaksanakan dengan
ketersediaan sumberdaya dana yang memadai dan senantiasa memberikan masukan
agar lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, N., Nalurita L. (2022). Analisis Determinan Nilai Tukar Petani
Tanaman Pangan Di Indonesia. NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial. 9(1).
https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.20961/agritexts.v45i2.57364.
Agustian, A., Sunarsih, S., Wahyudi, W. (2022). Analisis Kebijakan
Penguatan Cadangan Pangan Pemerintah Daerah Di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Prosiding
Seminar Nasional Hasil Penelitian Agribisnis. 6(1).
Agustina Mutia., Muhammad Orinaldi., M Hasan. (2023). Analisis Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat Melalui Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Di Kecamatan
Pengabuan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurnal Publikasi Manajemen
Informatika. 2(3). https://doi.org/10.55606/jupumi.v2i3.2078
Bappenas/Kementerian PPN. (2019). Rancangan Teknokratik: RPJMN 2020-2024.
Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024.
BPS. (2024). Indikator Kesejahteraan Petani. Badan Pusat Statistik.
Jakarta.
BPS Jabar. (2022). Statistik Nilai Tukar Petani Provinsi Jawa Barat 2022.
Jakarta: Badan Pusat Statistik Jawa Barat.
BPS. (2017). Statistik Nilai Tukar Petani. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Budy Kusnandar, V. (2022). Kesejahteraan Petani Kembali Meningkat pada
Oktober 2022. databoks.katadata.
Darwanto, D. (2005). Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan Kesejahteraan
Petani. Journal
of Ilmu Pertanian [Internet]. [accessed 2024 Oct 17] 12(2):152–164.
https://doi.org/https://doi.org/10.22146/ipas.58575
Darwis, V.,
Maulana, M., Rachmawati, RR.(2020). Dampak Pandemi Covid-19
terhadap Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Pertanian. In: Dampak Pandemi
Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian. Vol. 7.
Dauda, A.
(2019). Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Sektor Tanaman Pangan di
Provinsi Sulawesi Tengah. Bomba: Jurnal Pembangunan Daerah. 1(2).
Ervianti, Y. (2022). Strategi Peningkatan Nilai Tukar Petani Terhadap
Kesejahterahan Petani Padi Di Jawa Timur. Repository UVN Jatim. 11(2).
https://doi.org/http://repository.upnjatim.ac.id/id/eprint/4791
Fatimah, N H IM., Asmara, K. (2021). Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi
Kopi (Hs 090111) Indonesia Di Pasar Amerika Serikat : Pendekatan RSCA dan CMS. JIA (Jurnal
Ilmiah Agribisnis) : Jurnal Agribisnis dan Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. 6(3). https://doi.org/10.37149/jia.v6i3.18078
Fausy, Ar I., Meiyani, E., Amin, S. (2023). Tingkat kesejahteraan
kasyarakat dan usaha Sarang Burung Walet di Desa Belopa Kabupaten Luwu. Journal
Socius Education (JSE). 1(2). https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.0505/jse.v1i1.416
Firmansyah,
U., Junaidi, J., Achmad, E. (2022). Pengaruh nilai tukar petani, indeks
pembangunan manusia dan PDRB sektor pertanian terhadap ketimpangan distribusi
pendapatan Provinsi di Wilayah Sumatera. e-Jurnal Perspektif Ekonomi dan
Pembangunan Daerah. 11(1). https://doi.org/10.22437/pdpd.v11i1.16777
Guritno,
DER., Wibowo, BA., Boesono, H. (2014). Analisis Tingkat Kesejahteraan Nelayan
Pancing Ulur (Hand Line) di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu
Sukabumi Jawa Barat. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and
Technology. 3 (3) (2012).
Ilahi, R.,
Agustin, B. (2022). Peramalan Nilai Tukar Petani Di Bangka Belitung Dengan
Metode Holt-Winters. Fraction: Jurnal Teori dan Terapan Matematika. 2(2).
https://doi.org/10.33019/fraction.v2i2.34
Keumala, CM., Zainuddin, Z. (2018). Indikator Kesejahteraan Petani melalui
Nilai Tukar Petani (NTP) dan Pembiayaan Syariah sebagai Solusi. Economica:
Jurnal Ekonomi Islam. 9(1). https://doi.org/10.21580/economica.2018.9.1.2108
Kurniawan, J. (2022). Nilai Tukar Petani sebagai Indikator Kesejahteraan
Petani Kedelai di Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan. Journal of
Integrated Agricultural Socio-Economics and Entrepreneurial Research (JIASEE). 1(1). https://doi.org/10.26714/jiasee.1.1.2022.21-32
Lewis JN.
(1958). Trends in agriculture's terms of exchange. Australian Journal of
Agricultural and Resource Economics 2(1):57-66.
Muis, M.,
Marlin, S. (2023). Analisis Tingkat Kesejahteraan
Petani Kedelai Dengan Menggunakan Pendekatan Nilai Tukar Petani (Ntp) Dan Nilai
Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani (NTPRP). Jurnal Agrisistem: Seri Sosek dan Penyuluhan.
19(2). https://doi.org/10.52625/j-agr-sosekpenyuluhan.v19i2.299
Mulyawan, Y. (2022). Pengaruh Inflasi Terhadap Nilai Tukar Petani Di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Pembangunan (JIM EKP) Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala. 7(1). https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.24815/jimekp.v7i1.20497
Pratama,
PRY., Budhi, MKS. (2023). Analisis Pengaruh Harga, Nilai Tukar Rupiah Dan
Produksi Terhadap Volume Ekspor Kopi Indonesia. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan
Universitas Udayana. 12(1). https://doi.org/10.24843/eep.2023.v12.i01.p02
Rachmat, M. (2013). Nilai Tukar Petani : Konsep, Pengukuran dan
Relevansinya sebagai Indikator Kesejahteraan Petani. Forum penelitian Agro
Ekonomi. 31:111. https://doi.org/10.21082/fae.v31n2.2013.111-122
Razi, F., Wahyuni, S. (2022). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kesejahteraan Petani Padi Di Indonesia Tahun 2008–2012. Jurnal Agro
Nusantara. 2(2).
Rizal, J.,
Rizaly, EN., Djabbar, A. (2021). Hubungan Tingkat Partisipasi dengan Tingkat
Kesejahteraan Masyarakat dalam Pengembangan Wisata Pesisir. Jurnal Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat Bidang Pariwisata. 1(1):1–7.
Ruslan, K. (2022). Telaah Kritis Pengukuran Kesejahteraan Petani. Jakarta.
Sari, N. P.
(2021). Analisis Komparatif Strategi Pemasaran Online Dan Offline Pada UMKM
Rengginang Umi Tegal (Doctoral dissertation, Politeknik Harapan Bersama
Tegal).
Setiawan,
RAP., Noor, TI., Sulistyowati, L., Setiawan, I. (2019). Analisis Tingkat Kesejahteraan Petani Kedelai Dengan Menggunakan Pendekatan
Nilai Tukar Petani (Ntp) Dan Nilai Tukar Pendapatan Rumah Tangga Petani (Ntprp).
JURNAL
AGRIBISNIS TERPADU. 12(2). https://doi.org/10.33512/jat.v12i2.6779
Setiawan.,
Zulfanita. (2015). Pengembangan Desa Wisata Jatimalang Berbasis Industri
Kreatif (Development Jatimalang Village Tourism Based Creative Industries).
Agrokreatif. 1(2):101–109. https://doi.org/DOI: https://doi.org/10.15294/abdimas.v19i1.4695
Simatupang, P. (1992). Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor
Pertanian. Jurnal Agroekonomi: 11(1): 37-50. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Sinaga, MA.,
Wardhana, MY., Usman, M. (2022). Analisis Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Komoditas Nilam di Provinsi Aceh. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pertanian. 7(2). https://doi.org/10.17969/jimfp.v7i2.20018
Sitorus, EAG. (2022). Pengaruh Covid-19 terhadap Harga Beras, Nilai Tukar
Petani dan Kemiskinan di Wilayah Perdesaan. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis.
6(3). https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2022.006.03.9
Smith, A.
(1776). An inquiry into the wealth of nations. Strahan and Cadell, London.
Suhartini,
SH., Rusastra, IW. (2013). Dinamika nilai tukar petani:
perubahan 2003 – 2013. Jurnal Rekonstruksi Agenda Peningkatan Kesejahteraan
Petani.
Sukirno, S.
2018. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. e-conversion -
Proposal for a Cluster of Excellence.
Todaro. M. P.
(2011). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga
Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga.
Wahyudi.
(2024). Analysis of Increasing Farmer’s Exchange Rate and Efforts to Control
[Internet]. SouthJakarta; [accessed 2024 Oct 15].
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.35792.32005
Yacoub, Y.,
Mutiaradina, H. (2020). Analisis Kesejahteraan Petani dan Kemiskinan Perdesaan
di Indonesia.Prosiding Seminar Akademik Tahunan Ilmu Ekonomi dan Studi
Pembangunan.(2017).
Yulhendri, Y., Susanti, N. (2017). Analisis Konfirmatory Faktor Pengukuran
Indikator Kesejahteraan Rumah Tangga. Econosains Jurnal Online Ekonomi dan
Pendidikan. 15(2). https://doi.org/10.21009/econosains.0152.02
SUMBER: epublikasi.pertanian.go.id/berkala/jp3. 1 (1): 44-60, Juli 2025
#KesejahteraanPetani
#NTP
#IKP
#KetahananPangan
#EkonomiPertanian
