Tarif Trump 32%: Pukulan Diam-diam untuk Ekonomi Indonesia
Bayangkan
Anda adalah eksportir furnitur rotan dari Cirebon. Produk Anda laku keras di
Amerika, dijual seharga $1.000 per set. Tapi tiba-tiba,
pemerintah Amerika mengenakan tarif 32% atas semua barang dari Indonesia.
Artinya, importir Anda di Amerika harus membayar tambahan $320 untuk setiap set
kursi yang Anda kirim. Harga totalnya di pelabuhan AS menjadi $1.320, sebelum
bisa dijual ke pasar. Dan ini baru permulaan dari serangkaian dampak yang bisa
mengguncang ekonomi Indonesia.
Kebijakan
tarif tinggi ini adalah bagian dari strategi ekonomi Donald Trump sebagai
Presiden AS. Dalam kampanyenya yang lalu, ia menegaskan rencana mengenakan tarif
10% untuk semua barang impor dan tarif tambahan 10% bagi negara-negara BRICS,
termasuk Indonesia yang baru saja bergabung. Dengan demikian, produk Indonesia bisa dikenai tarif total hingga 42%. Bagi
produk padat karya seperti alas kaki, furnitur, dan tekstil, ini bisa
mematikan.
Siapa yang
Menanggung Biaya Tarif Ini?
Tarif bukan sekadar beban angka di atas kertas. Dampaknya menjalar ke
mana-mana. Secara teori, ada tiga pihak yang bisa menanggung tarif ini:
1. Eksportir Indonesia bisa menurunkan harga jual untuk
menjaga harga akhir tetap kompetitif di pasar AS. Tapi itu berarti mengorbankan
margin keuntungan yang sudah kecil.
2. Importir Amerika bisa menyerap tarif, tetapi ini akan
memotong laba mereka. Dari yang semula untung $1.000, menjadi hanya $680.
3. Konsumen Amerika bisa
jadi sasaran akhir. Importir akan menaikkan harga jual menjadi $1.320 atau
lebih, dan beban pun berpindah ke pembeli. Maka tak heran jika banyak pihak di
AS menyebut tarif ini sebagai pajak tersembunyi untuk rakyat Amerika sendiri.
Alasan Trump:
Bawa Pulang Industri ke Amerika
Trump
mengklaim bahwa tarif ini akan membuat perusahaan asing berinvestasi dan
membuka pabrik di AS. Tapi apakah realistis? Produksi barang-barang murah
seperti Indomie, yang di Indonesia dijual seharga $0,20 per bungkus, bisa
melonjak hingga $2 jika diproduksi di Amerika, karena tingginya biaya tenaga
kerja dan regulasi yang ketat.
Fakta lainnya: hanya 9,7% pekerja AS yang bekerja di sektor manufaktur pada
2023, turun jauh dari 31% di tahun 1971. Amerika kini adalah negara jasa.
Mereka unggul dalam perangkat lunak, layanan digital, pusat data, dan hiburan.
Ekspor terbesar AS bukanlah barang, tetapi jasa tak kasat mata seperti Google,
Netflix, dan teknologi keuangan.
Vietnam
Bergerak Cepat, Indonesia Terlambat
Sementara
Indonesia sibuk berandai-andai dan belum memiliki Duta Besar di Washington,
Vietnam sudah menyelesaikan perundingan dagang dengan AS. Mereka mendapatkan tarif
hanya 20%, dan dalam perjanjiannya, mereka tidak boleh mengenakan tarif tinggi
untuk barang AS. Bahkan, Vietnam memberikan proyek $1,5 miliar kepada Trump dan
jaringan bisnisnya, sebuah langkah diplomatik yang realistis, meski terdengar
sinis.
Amerika pun
menutup celah dengan mengenakan tarif transhipment sebesar 40%, untuk
barang-barang yang "diputar" melalui Vietnam tapi sejatinya berasal
dari Tiongkok. Strategi ini menegaskan satu hal: AS kini ingin memastikan
setiap barang yang masuk benar-benar berasal dari negara asalnya, bukan sekadar
"stempel negara lain".
Indonesia di Persimpangan Jalan: BRICS atau ASEAN?
Masalahnya, Indonesia seperti kehilangan arah. Kita
bergabung dengan BRICS—klub negara-negara besar seperti Tiongkok, India, Rusia,
dan Brasil—dengan harapan tampil sebagai pemain global. Tapi di sana, Indonesia hanya ikan kecil di kolam besar. Berbeda
dengan ASEAN, di mana Indonesia justru menjadi pemimpin regional yang disegani.
Dengan populasi 700 juta jiwa dan pasar yang terintegrasi, ASEAN seharusnya
bisa menjadi tameng dalam menghadapi tekanan ekonomi global, termasuk dari
Amerika.
Namun,
Indonesia tampaknya terbuai oleh mimpi menjadi "pemimpin Global South"
dan nostalgia akan gerakan NEFO (New Emerging Forces). Retorika
geopolitik ini indah di pidato, tapi tidak membayar tagihan atau menurunkan
tarif ekspor.
Mengapa Amerika Seenaknya? Karena Mereka Bisa
AS bisa memaksakan tarif tinggi karena mereka punya dua kekuatan besar: militer
dan konsumen. Pasar domestik AS sangat besar dan konsumtif. Mereka adalah pasar
raksasa untuk segala jenis barang—mulai dari boneka plastik hingga mobil
listrik mewah. Bandingkan dengan Tiongkok yang besar tapi hemat. Mereka
memproduksi segalanya, tapi menutup rapat keran konsumsinya. Sistem
otoriter finansial Tiongkok tidak memberi ruang bagi konsumsi liar seperti di
AS.
Pasar AS
ibarat magnet: semua negara ingin menjual ke sana. Maka ketika Trump mengancam tarif, negara-negara pun panik.
QRIS dan
Ancaman Amerika terhadap Sistem Pembayaran
Satu hal lagi
yang luput dari perhatian publik: Amerika tidak senang Indonesia memakai QRIS, karena
sistem ini tidak melibatkan Visa, Mastercard, dan jaringan pembayaran Amerika
lainnya. Jika ASEAN menerapkan QRIS lintas
negara, nilai triliunan rupiah bisa lepas dari genggaman AS. Maka tak heran
jika Washington mulai memberi tekanan agar Indonesia tetap memakai sistem
pembayaran buatan mereka.
Apa Solusi untuk Indonesia?
Patriotisme
dan jargon "cinta tanah air" saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah diplomasi yang cerdas dan cepat. Indonesia harus
segera menyusun strategi dagang yang konkret. Masuknya ke BRICS harus diimbangi
dengan penguatan posisi di ASEAN. Kita juga perlu segera menempatkan duta besar
di Washington dan membentuk tim negosiasi tarif yang kompeten dan agresif.
Jika tidak, maka ancaman tarif 42% bukan lagi sekadar ilustrasi. Ia bisa menjadi kenyataan yang membekukan ekspor, mematikan industri padat karya, dan menghantam jutaan lapangan kerja.

