Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Kebijakan Tarif. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan Tarif. Show all posts

Friday, 11 July 2025

Trump Guncang Ekonomi Indonesia 32%



Tarif Trump 32%: Pukulan Diam-diam untuk Ekonomi Indonesia

 

Bayangkan Anda adalah eksportir furnitur rotan dari Cirebon. Produk Anda laku keras di Amerika, dijual seharga $1.000 per set. Tapi tiba-tiba, pemerintah Amerika mengenakan tarif 32% atas semua barang dari Indonesia. Artinya, importir Anda di Amerika harus membayar tambahan $320 untuk setiap set kursi yang Anda kirim. Harga totalnya di pelabuhan AS menjadi $1.320, sebelum bisa dijual ke pasar. Dan ini baru permulaan dari serangkaian dampak yang bisa mengguncang ekonomi Indonesia.

 

Kebijakan tarif tinggi ini adalah bagian dari strategi ekonomi Donald Trump sebagai Presiden AS. Dalam kampanyenya yang lalu, ia menegaskan rencana mengenakan tarif 10% untuk semua barang impor dan tarif tambahan 10% bagi negara-negara BRICS, termasuk Indonesia yang baru saja bergabung. Dengan demikian, produk Indonesia bisa dikenai tarif total hingga 42%. Bagi produk padat karya seperti alas kaki, furnitur, dan tekstil, ini bisa mematikan.

 

Siapa yang Menanggung Biaya Tarif Ini?

 

Tarif bukan sekadar beban angka di atas kertas. Dampaknya menjalar ke mana-mana. Secara teori, ada tiga pihak yang bisa menanggung tarif ini:

1. Eksportir Indonesia bisa menurunkan harga jual untuk menjaga harga akhir tetap kompetitif di pasar AS. Tapi itu berarti mengorbankan margin keuntungan yang sudah kecil.

2.  Importir Amerika bisa menyerap tarif, tetapi ini akan memotong laba mereka. Dari yang semula untung $1.000, menjadi hanya $680.

3. Konsumen Amerika bisa jadi sasaran akhir. Importir akan menaikkan harga jual menjadi $1.320 atau lebih, dan beban pun berpindah ke pembeli. Maka tak heran jika banyak pihak di AS menyebut tarif ini sebagai pajak tersembunyi untuk rakyat Amerika sendiri.

 

Alasan Trump: Bawa Pulang Industri ke Amerika

 

Trump mengklaim bahwa tarif ini akan membuat perusahaan asing berinvestasi dan membuka pabrik di AS. Tapi apakah realistis? Produksi barang-barang murah seperti Indomie, yang di Indonesia dijual seharga $0,20 per bungkus, bisa melonjak hingga $2 jika diproduksi di Amerika, karena tingginya biaya tenaga kerja dan regulasi yang ketat.

 

Fakta lainnya: hanya 9,7% pekerja AS yang bekerja di sektor manufaktur pada 2023, turun jauh dari 31% di tahun 1971. Amerika kini adalah negara jasa. Mereka unggul dalam perangkat lunak, layanan digital, pusat data, dan hiburan. Ekspor terbesar AS bukanlah barang, tetapi jasa tak kasat mata seperti Google, Netflix, dan teknologi keuangan.

 

Vietnam Bergerak Cepat, Indonesia Terlambat

 

Sementara Indonesia sibuk berandai-andai dan belum memiliki Duta Besar di Washington, Vietnam sudah menyelesaikan perundingan dagang dengan AS. Mereka mendapatkan tarif hanya 20%, dan dalam perjanjiannya, mereka tidak boleh mengenakan tarif tinggi untuk barang AS. Bahkan, Vietnam memberikan proyek $1,5 miliar kepada Trump dan jaringan bisnisnya, sebuah langkah diplomatik yang realistis, meski terdengar sinis.

 

Amerika pun menutup celah dengan mengenakan tarif transhipment sebesar 40%, untuk barang-barang yang "diputar" melalui Vietnam tapi sejatinya berasal dari Tiongkok. Strategi ini menegaskan satu hal: AS kini ingin memastikan setiap barang yang masuk benar-benar berasal dari negara asalnya, bukan sekadar "stempel negara lain".

 

Indonesia di Persimpangan Jalan: BRICS atau ASEAN?

 

Masalahnya, Indonesia seperti kehilangan arah. Kita bergabung dengan BRICS—klub negara-negara besar seperti Tiongkok, India, Rusia, dan Brasil—dengan harapan tampil sebagai pemain global. Tapi di sana, Indonesia hanya ikan kecil di kolam besar. Berbeda dengan ASEAN, di mana Indonesia justru menjadi pemimpin regional yang disegani. Dengan populasi 700 juta jiwa dan pasar yang terintegrasi, ASEAN seharusnya bisa menjadi tameng dalam menghadapi tekanan ekonomi global, termasuk dari Amerika.

 

Namun, Indonesia tampaknya terbuai oleh mimpi menjadi "pemimpin Global South" dan nostalgia akan gerakan NEFO (New Emerging Forces). Retorika geopolitik ini indah di pidato, tapi tidak membayar tagihan atau menurunkan tarif ekspor.

 

Mengapa Amerika Seenaknya? Karena Mereka Bisa

 

AS bisa memaksakan tarif tinggi karena mereka punya dua kekuatan besar: militer dan konsumen. Pasar domestik AS sangat besar dan konsumtif. Mereka adalah pasar raksasa untuk segala jenis barang—mulai dari boneka plastik hingga mobil listrik mewah. Bandingkan dengan Tiongkok yang besar tapi hemat. Mereka memproduksi segalanya, tapi menutup rapat keran konsumsinya. Sistem otoriter finansial Tiongkok tidak memberi ruang bagi konsumsi liar seperti di AS.

 

Pasar AS ibarat magnet: semua negara ingin menjual ke sana. Maka ketika Trump mengancam tarif, negara-negara pun panik.

 

QRIS dan Ancaman Amerika terhadap Sistem Pembayaran

 

Satu hal lagi yang luput dari perhatian publik: Amerika tidak senang Indonesia memakai QRIS, karena sistem ini tidak melibatkan Visa, Mastercard, dan jaringan pembayaran Amerika lainnya. Jika ASEAN menerapkan QRIS lintas negara, nilai triliunan rupiah bisa lepas dari genggaman AS. Maka tak heran jika Washington mulai memberi tekanan agar Indonesia tetap memakai sistem pembayaran buatan mereka.

 

Apa Solusi untuk Indonesia?

 

Patriotisme dan jargon "cinta tanah air" saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah diplomasi yang cerdas dan cepat. Indonesia harus segera menyusun strategi dagang yang konkret. Masuknya ke BRICS harus diimbangi dengan penguatan posisi di ASEAN. Kita juga perlu segera menempatkan duta besar di Washington dan membentuk tim negosiasi tarif yang kompeten dan agresif.

 

Jika tidak, maka ancaman tarif 42% bukan lagi sekadar ilustrasi. Ia bisa menjadi kenyataan yang membekukan ekspor, mematikan industri padat karya, dan menghantam jutaan lapangan kerja.

Sunday, 13 April 2025

Perang Dagang Gagal Hentikan Tiongkok

 

Tiongkok Bukan Jepang Kedua: Ketika Perang Dagang Tak Lagi Mampu Membendung Kebangkitan

 

Pertanyaan apakah Tiongkok akan menjadi "Jepang berikutnya" mencuat seiring kemajuan pesat negeri Tirai Bambu dalam teknologi, ekonomi, dan dominasi pasar global. Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan menyentuh kekhawatiran geopolitik: akankah Amerika Serikat (AS) berhasil mengerem laju Tiongkok seperti yang pernah dilakukan terhadap Jepang? Di masa lalu, Jepang memang mengalami stagnasi ekonomi setelah sempat menjadi raksasa industri dunia.

 

AS, melalui kebijakan seperti Plaza Accord 1985, berhasil memaksa penguatan yen yang memukul ekspor Jepang, ditambah langkah keras terhadap perusahaan unggulan seperti Toshiba yang kala itu mendominasi pasar semikonduktor global (Prestowitz, 1988). Tuduhan terhadap Toshiba menjual teknologi ke Soviet—yang pada akhirnya terbukti dilakukan oleh perusahaan Norwegia, Kongsberg—tetap menjadi dasar sanksi besar-besaran terhadap Jepang. Ini memperlihatkan bahwa keberhasilan ekonomi Jepang dipatahkan bukan hanya dengan instrumen pasar, tapi juga tekanan politik dan intelijen.

 

Namun, sejarah tak selalu berulang dengan cara yang sama. China menyadari pola ini dan memilih jalan berbeda. Ketika AS menangkap Meng Wanzhou, CFO Huawei, pada 2018 dengan tuduhan melanggar sanksi AS terhadap Iran, Tiongkok tidak gentar. Justru, peristiwa itu menjadi pemantik kebangkitan nasionalisme teknologi dan perlawanan ekonomi. Tidak seperti Jepang yang cenderung akomodatif, China memilih melawan. Huawei tetap bertahan, bahkan meluncurkan ponsel Mate 60 pada 2023 yang didukung chip buatan sendiri, meski dalam tekanan sanksi teknologi ekstrem dari AS (BBC, 2023).

 

Penolakan Meng Wanzhou untuk tunduk kepada tuntutan AS menunjukkan perubahan paradigma: Tiongkok tidak ingin menjadi negara kaya namun sepenuhnya bergantung, seperti Jepang atau Korea Selatan.

 

Perbedaan fundamental lainnya terletak pada skala, strategi, dan kekuatan domestik. China memiliki pasar dalam negeri yang sangat besar, kemandirian teknologi yang makin meningkat, serta kekuatan geopolitik yang jauh lebih kompleks. Proyek seperti Belt and Road Initiative, dominasi manufaktur global, dan kemajuan dalam kecerdasan buatan serta luar angkasa, menjadikan China bukan sekadar pesaing ekonomi, tapi alternatif peradaban.

 

AS mungkin berhasil menundukkan perusahaan seperti Alstom di Prancis, namun menghadapi benteng kokoh ketika mencoba melakukan hal serupa terhadap Huawei. Sanksi dan tekanan terbukti gagal membendung inovasi China, yang kini tak hanya meniru, tetapi menciptakan sendiri teknologi yang mampu bersaing bahkan melampaui standar Barat.

 

Dengan demikian, melihat dinamika sejarah dan fakta kontemporer, Tiongkok jelas bukan "Jepang berikutnya". Ia tidak mengulang sejarah, melainkan menulis narasinya sendiri. Jika Jepang pada akhirnya tunduk dan stagnan karena tekanan eksternal, China justru menjadikannya sebagai katalis untuk mandiri dan semakin agresif menantang dominasi lama.

 

AS tampaknya kini harus menerima kenyataan baru bahwa kekuatan global telah menjadi multipolar. Bagi para pemangku kebijakan, ini menjadi pelajaran bahwa strategi lama dalam perang dagang dan hegemoni teknologi tidak lagi efektif dalam menghadapi negara yang belajar dari sejarah dan memilih untuk tidak mengulangnya.

 

Referensi:

·Prestowitz, C. (1988). Trading Places: How We Allowed Japan to Take the Lead. Basic Books.

·BBC. (2023). “Huawei’s Mate 60 Pro Launch Surprises Analysts Amid US Sanctions.” https://www.bbc.com

Tuesday, 8 April 2025

Vietnam Siapkan Strategi Hadapi AS

 


Pekerja pabrik garmen Vietnam menjahit pakaian di sebuah pabrik di Kota Ho Chi Minh, hari Kamis.

 

Vietnam menanggapi kebijakan tarif yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump dengan pendekatan diplomatik dan proaktif. Setelah pengumuman tarif sebesar 46% terhadap produk Vietnam, pemerintah Vietnam menyatakan penyesalan dan menganggap keputusan tersebut "tidak adil" serta "tidak memiliki dasar ilmiah". Mereka menyoroti bahwa tarif rata-rata Most Favored Nation (MFN) Vietnam hanya 9,4%, jauh lebih rendah dari klaim AS yang menyebutkan 90%. (Fortune+2The Economic Times+2Bloomberg+2Wikipedia)

 

Dalam upaya mengatasi situasi ini, Perdana Menteri Phạm Minh Chính mengadakan pertemuan darurat dengan kabinetnya dan membentuk satuan tugas khusus untuk merespons kebijakan AS. Vietnam menawarkan untuk menghapus semua tarif terhadap impor dari AS dan meningkatkan pembelian produk-produk AS, termasuk produk pertahanan dan keamanan. Selain itu, Vietnam berkomitmen untuk meninjau kebijakan moneter dan perdagangannya guna mengatasi kekhawatiran AS. (WikipediaReuters+2Fortune+2Bloomberg+2)

 

Meskipun demikian, tawaran Vietnam untuk menurunkan tarif terhadap produk AS ditolak oleh penasihat perdagangan utama Presiden Trump, Peter Navarro, yang menyatakan bahwa defisit perdagangan merupakan keadaan darurat nasional. (The Economic Times)

 

Selain itu, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, Tô Lâm, melakukan panggilan telepon dengan Presiden Trump, di mana keduanya sepakat untuk membahas kemungkinan penghapusan tarif tersebut. (Wikipedia+1Wikipedia+1)

 

Secara keseluruhan, Vietnam berupaya menagnggapi kebijakan tarif AS dengan pendekatan diplomatik, menawarkan konsesi perdagangan, dan meningkatkan dialog bilateral untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.