Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Virologi Veteriner. Show all posts
Showing posts with label Virologi Veteriner. Show all posts

Wednesday, 5 November 2025

Ancaman Sunyi: Daya Tersembunyi Virus BIV pada Sapi

 



Bovine Immunodeficiency Virus (BIV)

 

Abstrak

Bovine immunodeficiency virus (BIV) merupakan lentivirus yang menginfeksi sapi dan kerbau di berbagai wilayah dunia. Virus ini memiliki kekerabatan genetik dan antigenik yang erat dengan Jembrana disease virus (JDV) serta human immunodeficiency virus (HIV). Meskipun demikian, hingga kini BIV umumnya dianggap nonpatogen karena tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas pada hewan yang terinfeksi. Walaupun efek klinisnya ringan, sejumlah bukti menunjukkan bahwa BIV dapat mengganggu fungsi sistem imun dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi sekunder. Tulisan ini mengulas sejarah penemuan, struktur genom, keragaman genetik, mekanisme infeksi, respons imun, serta metode diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi BIV pada populasi sapi di berbagai negara.

 

1. Pendahuluan

 

Bovine immunodeficiency virus (BIV) merupakan anggota genus Lentivirus dalam famili Retroviridae, subfamili Orthoretrovirinae, ordo Ortervirales. Virus ini pertama kali diisolasi dari sapi yang menunjukkan limfadenopati persisten dan penurunan kondisi tubuh di Amerika Serikat pada tahun 1969. Penemuan ini menarik perhatian karena kemiripan BIV dengan virus lentivirus lain yang bersifat imunotropik, seperti human immunodeficiency virus (HIV) pada manusia dan feline immunodeficiency virus (FIV) pada kucing.

 

Hingga saat ini, dampak BIV terhadap kesehatan sapi masih belum sepenuhnya dipahami. Sebagian besar infeksi bersifat subklinis, meskipun beberapa penelitian melaporkan adanya perubahan hematologis dan imunosupresi ringan. Penularan BIV diduga terjadi melalui kontak darah, cairan tubuh, atau melalui transmisi vertikal dari induk ke anak.

 

2. Sejarah Penemuan dan Klasifikasi Taksonomi

 

BIV pertama kali dilaporkan oleh Van der Maaten dan Colleagues pada tahun 1972 dari kasus sapi dengan limfadenopati kronis. Secara taksonomi, BIV dikelompokkan dalam genus Lentivirus bersama dengan JDV, HIV, feline immunodeficiency virus (FIV), caprine arthritis encephalitis virus (CAEV), dan maedi-visna virus (MVV).

 

Analisis filogenetik menunjukkan bahwa BIV memiliki hubungan yang sangat erat dengan JDV, yang menyebabkan penyakit Jembrana pada sapi Bali di Indonesia. Kedua virus ini memiliki struktur genom yang serupa dan membentuk satu klad lentivirus sapi (bovine lentivirus group).

 

3. Hubungan Filogenetik dengan Lentivirus Lain

 

BIV memiliki kemiripan tinggi dengan JDV dalam hal struktur genom, organisasi gen, dan urutan nukleotida. Namun, JDV menunjukkan virulensi tinggi yang menyebabkan penyakit akut dengan tingkat mortalitas tinggi pada sapi Bali, sedangkan BIV umumnya tidak menimbulkan gejala klinis yang berat. Perbedaan tingkat patogenisitas ini menarik perhatian ilmuwan dalam memahami mekanisme evolusi lentivirus serta faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi antarspesies.

 

4. Struktur dan Fungsi Genomik

 

Genom BIV tersusun dari RNA untai tunggal positif dengan panjang sekitar 8,7 kilobasa. Virus ini memiliki gen utama gag, pol, dan env, serta gen tambahan vif, tat, dan rev yang berperan dalam regulasi replikasi virus dan penghindaran respons imun inang.

 

Gen gag mengode protein struktural kapsid (CA), matriks (MA), dan nukleokapsid (NC), sedangkan gen pol mengode enzim penting seperti reverse transcriptase, integrase, dan protease. Gen env mengode glikoprotein amplop (gp120/gp41) yang berperan dalam pengikatan reseptor dan fusi membran sel inang.

 

Analisis sekuens menunjukkan bahwa variasi genetik terutama terjadi pada gen env, yang menjadi target utama dalam diferensiasi strain dan pengembangan metode diagnostik molekuler.

 

5. Siklus Replikasi dan Infeksi BIV

 

Infeksi dimulai ketika glikoprotein amplop virus berikatan dengan reseptor spesifik pada permukaan sel target, terutama sel monosit dan limfosit T. Setelah proses fusi, RNA virus dilepaskan ke dalam sitoplasma dan dikonversi menjadi DNA melalui aktivitas reverse transcriptase. DNA virus kemudian diintegrasikan ke dalam genom inang dalam bentuk provirus.

 

Dalam kondisi normal, provirus dapat bertahan dalam keadaan laten. Namun, faktor-faktor seperti stres, infeksi sekunder, atau perubahan hormonal dapat menginduksi aktivasi kembali provirus menjadi virus RNA yang infeksius. Hal ini menjelaskan sifat kronis dan laten infeksi BIV pada sapi.

 

6. Keragaman Genetik dan Evolusi Virus

 

Studi molekuler menunjukkan bahwa BIV memiliki variasi genetik yang cukup luas antarisolat, mencerminkan adaptasi terhadap populasi inang dan tekanan seleksi lingkungan. Analisis filogenetik terhadap gen pol dan env mengindikasikan adanya beberapa kluster genetik berdasarkan wilayah geografis, seperti isolat dari Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.

 

Keragaman genetik ini berimplikasi terhadap sensitivitas uji diagnostik serta kemungkinan adanya perbedaan tingkat replikasi dan virulensi antarstrain.

 

7. Patogenesis dan Efek Klinis pada Sapi

 

Sebagian besar sapi yang terinfeksi BIV tidak menunjukkan tanda-tanda klinis yang khas. Namun, penelitian eksperimental memperlihatkan adanya limfadenopati, penurunan berat badan, serta perubahan hematologis berupa limfositosis atau anemia ringan.

 

Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh, terutama sel T dan monosit, sehingga berpotensi menurunkan respons imun terhadap infeksi lain. Pada beberapa kasus, infeksi BIV dilaporkan memperberat penyakit yang disebabkan oleh patogen lain, seperti Bovine leukemia virus (BLV) atau Mycobacterium bovis.

 

8. Respons Imun terhadap Infeksi BIV

 

a. Respons Kekebalan Humoral

Hewan yang terinfeksi BIV mengembangkan antibodi spesifik terhadap protein struktural dan nonstruktural virus. Antibodi ini biasanya terdeteksi dalam waktu 3–6 minggu pascainfeksi dan dapat bertahan dalam jangka panjang, meskipun tidak selalu bersifat protektif.

b. Respons Kekebalan Seluler

Respons seluler terhadap BIV melibatkan aktivasi sel T CD4+ dan CD8+, serta produksi sitokin yang memengaruhi dinamika infeksi. Namun, infeksi kronis dapat menurunkan fungsi imun, serupa dengan mekanisme imunosupresi pada lentivirus lain.

 

9. Metode Diagnostik

 

a. Isolasi Virus

Isolasi BIV dapat dilakukan menggunakan kultur sel monosit atau limfosit dari sapi, meskipun metode ini memerlukan waktu lama dan fasilitas biosafety memadai.

 

b. Deteksi Molekuler

PCR dan nested PCR merupakan metode utama untuk mendeteksi DNA provirus BIV pada jaringan atau darah. Primer biasanya menargetkan gen pol atau gag, yang bersifat konservatif. Pengembangan quantitative PCR (qPCR) telah meningkatkan sensitivitas deteksi terutama untuk surveilans epidemiologis.

 

c. Diagnostik Serologis

Uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan Western blot digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap BIV. Uji serologis sering digunakan dalam studi prevalensi karena efisien dan dapat diaplikasikan pada populasi besar.

 

10. Kesimpulan dan Arah Penelitian Masa Depan

BIV merupakan lentivirus sapi yang unik karena memiliki kesamaan genetik dengan virus lentivirus patogen, tetapi menunjukkan patogenisitas yang rendah. Walaupun infeksi biasanya bersifat subklinis, potensi gangguan imun yang diakibatkannya tetap perlu diperhatikan, terutama pada sistem pemeliharaan intensif atau pada hewan dengan komorbiditas.

 

Ke depan, penelitian diarahkan pada pemahaman hubungan molekuler antara BIV dan JDV, potensi rekombinasi antarlentivirus, serta peran BIV dalam evolusi lentivirus mamalia. Pengembangan metode diagnostik yang lebih sensitif dan studi longitudinal pada populasi sapi di berbagai negara juga diperlukan untuk memperjelas dampak biologis dan epidemiologis infeksi BIV.

 

SUMBER:

Sandeep Bhatia, S.S. Patil, and R. Sood. 2013. Bovine immunodeficiency virus: a lentiviral infection. Indian J Virol. V.24(3) 2013.