
Pada
akhir tahun 2012, peternak itik di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur
dikejutkan oleh wabah misterius. Ribuan itik mati mendadak, sebagian besar
masih berusia muda. Gejala yang muncul cukup aneh: ada itik yang kepalanya
terpuntir (tortikolis), matanya memutih, hingga lumpuh dan mati. Pada itik
dewasa, dampaknya lebih banyak berupa penurunan produksi telur.
Balai
Besar Veteriner Wates segera turun tangan melakukan investigasi. Tim lapangan
mengumpulkan sampel dari jaringan tubuh, usapan tenggorok, kotoran, bahkan bulu
itik. Hasil uji laboratorium menunjukkan, penyebab utamanya bukan bakteri atau
jamur, melainkan virus flu burung tipe H5N1.
Mengapa
Kasus Ini Mengherankan?
Sejak
tahun 2003, Indonesia sudah akrab dengan virus flu burung H5N1 clade 2.1 yang
terutama menyerang ayam. Itik
selama ini relatif lebih tahan, sehingga kasus kematian massal jarang terjadi.
Namun, dalam wabah 2012 ini, justru itik yang paling terpukul. Rata-rata
tingkat kematian mencapai hampir 40%, bahkan di beberapa lokasi mencapai 100%.
Yang lebih mengejutkan, hasil analisis genetik
menunjukkan virus yang menyerang itik tersebut bukan berasal dari clade lama
(2.1), melainkan dari clade baru: 2.3.2.1. Virus ini sebelumnya belum pernah
terdeteksi di Indonesia. Dengan kata lain, ada kemungkinan telah terjadi
“pendatang baru” dalam peta flu burung nasional.
Bukti dari Laboratorium
Pemeriksaan jaringan otak itik yang mati memperlihatkan
adanya kerusakan saraf parah, peradangan, dan jejak antigen virus yang menempel
di sel-sel otak. Semua ini menegaskan bahwa virus H5N1 memang menyerang sistem
saraf itik dengan ganas.
Analisis DNA memperlihatkan bahwa virus tersebut punya
kemiripan 97–98% dengan virus clade 2.3.2.1 yang beredar di luar negeri,
sementara kesamaannya dengan virus lama clade 2.1 di Indonesia hanya sekitar
91–93%. Artinya, virus ini kemungkinan besar datang dari luar, bukan hasil
mutasi dari virus lokal.
Implikasi
bagi Indonesia
Penemuan
clade baru ini menjadi alarm penting. Selama hampir satu dekade, Indonesia
“hanya” bergulat dengan virus H5N1 clade 2.1. Kini, munculnya clade 2.3.2.1
membuka potensi ancaman baru: apakah virus ini bisa menyebar ke ayam atau
bahkan menular ke manusia? Pertanyaan ini membutuhkan riset lanjutan.
Selain itu, kasus ini juga mengingatkan pentingnya sistem
pengawasan penyakit hewan. Lalu lintas unggas, baik itik maupun produk
turunannya, bisa menjadi jalur masuk dan penyebaran virus baru. Tanpa
pengawasan ketat, virus ini berpotensi meluas ke wilayah lain di Indonesia.
Kesimpulan
Wabah pada itik di Jawa pada tahun 2012 bukan sekadar
kejadian lokal, melainkan penanda munculnya clade baru flu burung H5N1 di
Indonesia. Fakta ini menegaskan bahwa virus flu burung terus berevolusi,
menembus batas spesies, dan siap menghadirkan ancaman baru jika tidak diawasi
dengan baik.
Langkah selanjutnya sangat jelas: riset lebih mendalam,
pengawasan lebih ketat, serta kolaborasi antarpeternak, pemerintah, dan ilmuwan
untuk mencegah wabah lebih besar di masa depan.