Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Nested PCR. Show all posts
Showing posts with label Nested PCR. Show all posts

Wednesday, 5 November 2025

Rahasia Nested PCR Ungkap Chlamydia Psittaci dari Feses

 


Protokol Praktis dan Terkini untuk Deteksi Chlamydia psittaci dari Feses Burung Paruh Bengkok Menggunakan Nested PCR

 

Pendekatan nested PCR telah menjadi salah satu metode yang paling sensitif dan andal untuk mendeteksi Chlamydia psittaci dari sampel feses burung paruh bengkok (psittacine). Protokol ini menggabungkan praktik lapangan dan laboratorium terkini, mulai dari teknik pengambilan sampel, ekstraksi DNA yang meminimalkan pengaruh inhibitor feses, hingga desain primer spesifik yang telah banyak digunakan dalam penelitian global. Pendekatan ini juga mencakup kontrol kualitas yang ketat serta langkah konfirmasi hasil untuk memastikan akurasi deteksi.

Secara umum, target gen yang direkomendasikan dalam nested PCR adalah ompA (outer membrane protein A) dan 16S–23S rRNA intergenic spacer, keduanya telah diakui oleh WOAH sebagai penanda molekuler yang efektif. Gen ompA sering digunakan tidak hanya untuk deteksi, tetapi juga untuk genotipe karena tingkat variasinya yang tinggi antar strain. Proses ekstraksi DNA sebaiknya menggunakan kit yang dirancang khusus untuk sampel feses atau tanah, seperti QIAamp PowerFecal atau DNeasy PowerSoil/PowerFecal, yang dilengkapi dengan tahap inhibitor removal. Penambahan langkah bead-beating berkecepatan tinggi (6000–7000 rpm selama 30–60 detik) penting untuk melisiskan elementary bodies dari C. psittaci dan meningkatkan efisiensi ekstraksi DNA.

Dalam desain nested PCR, strategi yang umum digunakan adalah amplifikasi ganda: primer luar (outer primers) berfungsi memperkaya target DNA, diikuti primer dalam (inner primers) yang lebih spesifik terhadap C. psittaci. Beberapa studi terkemuka—seperti yang dilakukan oleh Sachse, Pantchev, dan Madani—telah memvalidasi pasangan primer pada gen ompA untuk menghasilkan amplikon dengan ukuran bervariasi antara 200–1000 bp. Agar hasil tetap akurat, setiap reaksi PCR sebaiknya disertai internal amplification control (IAC) untuk mendeteksi kemungkinan adanya inhibitor, atau dilakukan pengenceran template DNA (1:10) guna menilai efek hambatan amplifikasi.

Proses validasi hasil sangat penting dalam mendeteksi C. psittaci karena nested PCR memiliki sensitivitas tinggi namun juga rentan terhadap kontaminasi silang. Setiap batch PCR harus disertai kontrol positif, kontrol negatif, serta kontrol ekstraksi negatif. Produk amplifikasi yang menunjukkan pita dengan ukuran sesuai target di gel agarosa 1,5–2% dianggap positif sementara (presumptive positive). Namun, hasil tersebut perlu dikonfirmasi melalui sekuensing Sanger untuk memastikan spesies dan genotipe, atau diuji ulang menggunakan PCR real-time spesifik untuk C. psittaci guna memvalidasi identitas produk amplifikasi.

Sebelum proses PCR, kualitas DNA perlu diperiksa melalui rasio A260/280 dan uji amplifikasi gen rumah tangga (housekeeping gene) seperti 16S rRNA atau 18S rRNA. Langkah ini memastikan bahwa DNA hasil ekstraksi bebas dari inhibitor. Apabila terjadi hambatan amplifikasi, pengenceran DNA atau penggunaan sistem penghilangan inhibitor tambahan dapat memperbaiki hasil.

Kondisi PCR dapat disesuaikan berdasarkan melting temperature (Tm) primer dan enzim yang digunakan. Secara umum, reaksi tahap pertama menggunakan volume 25–50 µL dengan komposisi standar: buffer PCR 1×, dNTP 200 µM, primer 0,2–0,4 µM, dan Taq DNA polymerase 0,5–1,25 U. Siklus termal biasanya meliputi denaturasi pada 95°C selama 3 menit, diikuti 35 siklus amplifikasi (95°C selama 30 detik, annealing pada 52–60°C selama 30 detik, dan ekstensi 72°C selama 45–60 detik), serta ekstensi akhir 72°C selama 5 menit. Reaksi nested dilakukan dengan menggunakan 1–2 µL produk PCR pertama sebagai template, dengan kondisi serupa namun annealing pada suhu sedikit lebih tinggi (55–62°C).

Untuk mencegah kontaminasi, area kerja harus dipisahkan secara ketat antara tahap pra-PCR (penyiapan reagen), penambahan template DNA, dan tahap pasca-PCR (analisis gel). Penggunaan pipet dengan filter, tabung tertutup, serta sistem dUTP/UNG sangat direkomendasikan untuk mencegah carry-over contamination. Setiap run PCR wajib menyertakan no template control (NTC) untuk memastikan tidak terjadi amplifikasi nonspesifik.

Dari segi kelebihan, nested PCR memberikan sensitivitas yang sangat tinggi, sehingga efektif untuk mendeteksi jumlah target yang rendah seperti pada sampel feses yang sering mengandung DNA dalam jumlah minimal. Teknik ini juga bermanfaat untuk surveilans lapangan atau penelitian epidemiologi molekuler. Namun, kekurangannya adalah risiko kontaminasi silang yang tinggi dan proses kerja yang relatif lebih panjang dibandingkan PCR real-time. Karena itu, banyak laboratorium modern mengombinasikan pendekatan ini—menggunakan nested PCR untuk skrining awal, lalu mengonfirmasi hasil positif dengan real-time PCR atau sekuensing.

Beberapa sumber utama yang menjadi rujukan dalam pengembangan protokol ini antara lain WOAH Terrestrial Animal Health Manual untuk rekomendasi target gen dan pengambilan sampel, studi Sachse et al. (2008) mengenai genotyping berbasis ompA, serta penelitian terbaru oleh Kowalczyk et al. (2022) yang membandingkan efektivitas nested PCR dengan real-time PCR pada sampel feses burung. Selain itu, penelitian oleh Golestani et al. (2020) dan Origlia et al. (2019) turut memperkuat efektivitas metode ini untuk deteksi C. psittaci di berbagai spesies burung.

Dengan mengikuti langkah-langkah dalam protokol ini secara disiplin dan menjaga kontrol mutu di setiap tahapan, deteksi Chlamydia psittaci menggunakan nested PCR dari feses burung paruh bengkok dapat dilakukan dengan hasil yang akurat, sensitif, dan dapat direproduksi.