Ulasan Krisis Iklim dan Ketahanan Pangan Nasional
ABSTRAK
Krisis iklim telah menjadi ancaman
nyata terhadap fondasi ketahanan pangan Indonesia. Sebagai negara kepulauan
tropis yang kaya sumber daya alam, Indonesia menghadapi dampak langsung dari
perubahan suhu global, pergeseran pola hujan, kekeringan, banjir, hingga
naiknya permukaan laut. Dampak ini tidak hanya mengganggu produksi pertanian,
perikanan, dan peternakan, tetapi juga mengguncang seluruh rantai pasok
pangan—dari ketersediaan, keterjangkauan, pemanfaatan, hingga stabilitas.
Data global menegaskan posisi
Indonesia masih rentan: peringkat ke-63 dalam Global Food Security Index
dan ke-77 dalam Global Hunger Index menunjukkan bahwa ketahanan pangan
nasional belum sepenuhnya kokoh. Perubahan iklim memperparah tantangan ini
melalui penurunan produktivitas padi dan jagung, rusaknya tambak pesisir akibat
abrasi dan intrusi air asin, serta meningkatnya stres panas dan penyakit pada
ternak.
Krisis ini bersifat majemuk: gagal
panen di darat beriringan dengan penurunan hasil laut dan melemahnya pasokan
protein hewani. Di sisi lain, masyarakat produsen pangan—petani, nelayan, dan
peternak kecil—masih berjuang di tengah keterbatasan modal, teknologi, dan
infrastruktur distribusi yang belum efisien.
Menghadapi situasi tersebut,
Indonesia perlu melakukan transformasi sistem pangan secara menyeluruh,
berbasis ilmu pengetahuan, inovasi adaptif, dan kearifan lokal. Ketahanan
pangan tidak lagi dapat diartikan sebatas ketersediaan bahan pangan, tetapi
harus mencakup aspek gizi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa
langkah adaptasi dan mitigasi yang terpadu lintas sektor, krisis iklim
berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi dan sosial bangsa di masa depan.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di
jantung iklim tropis. Letak geografis ini memberikan kekayaan hayati yang luar
biasa, tetapi sekaligus membuat Indonesia sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Stabilitas bangsa tidak bisa dilepaskan dari ketahanan pangan,
dan saat ini sistem pangan kita menghadapi tekanan yang semakin berat. Fenomena
seperti naiknya permukaan laut, cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi,
serta pergeseran pola hujan dan monsun, bukan lagi sekadar ramalan ilmiah.
Semua itu kini sudah menjadi kenyataan sehari-hari yang dirasakan jutaan
petani, nelayan, dan peternak di berbagai daerah.
Perubahan iklim membawa konsekuensi serius: ia mengubah dasar biofisik yang
menopang produksi pangan. Jika tidak diantisipasi, hal ini bisa menghambat
pembangunan nasional, memperlebar kesenjangan sosial, dan bahkan menimbulkan
instabilitas ekonomi. Karena itu, cara lama memahami ketahanan pangan hanya
sebatas ketersediaan bahan makanan tidak lagi memadai. Saat ini, konsep
ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security) menjadi rujukan utama,
baik di tingkat global melalui FAO, maupun di tingkat nasional sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012.
Konsep modern
ini menekankan empat pilar penting, yang kini semuanya sedang terancam oleh
krisis iklim:
1.Ketersediaan (Availability) – yakni
cukupnya pasokan pangan, baik dari produksi dalam negeri, cadangan nasional,
maupun impor. Krisis iklim berpotensi menurunkan
produktivitas pertanian, perikanan, dan peternakan, sehingga mengurangi
ketersediaan pangan.
2.Keterjangkauan (Access) – yaitu kemampuan masyarakat untuk mendapatkan pangan, baik secara fisik
maupun ekonomi. Bencana alam bisa merusak infrastruktur distribusi, sementara
gagal panen dapat membuat harga pangan melambung, sehingga menyulitkan
masyarakat miskin dan rentan.
3.Pemanfaatan (Utilization/Quality & Safety) – mencakup
konsumsi pangan yang aman, bergizi, dan seimbang. Perubahan iklim dapat
menurunkan kualitas gizi hasil pertanian, meningkatkan risiko penyakit bawaan
makanan dan air, serta mendorong masyarakat beralih ke makanan olahan yang
kurang sehat.
4.Stabilitas (Stability/Resilience) – yaitu
kemampuan sistem pangan untuk tetap menyediakan akses terhadap pangan di tengah
berbagai guncangan, baik musiman maupun bencana besar.
Keempat pilar
inilah yang menjadi titik kritis. Krisis iklim tidak hanya menguji daya tahan
sistem pangan, tetapi juga menuntut kemampuan untuk pulih setelah terguncang. Karena itu, respon parsial atau kebijakan reaktif tidak lagi cukup.
Diperlukan transformasi sistem pangan secara menyeluruh—mulai dari cara
mengembangkan benih, mengelola air dan lahan, mendistribusikan hasil panen,
hingga membentuk pola konsumsi yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Transformasi ini harus berbasis ilmu pengetahuan, berpijak pada kearifan
lokal, serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, Indonesia
dapat membangun sistem pangan yang lebih tangguh, inklusif, dan berdaya saing,
sehingga ketahanan pangan tetap terjaga di tengah tantangan krisis iklim yang
semakin nyata.
B. POTRET KETAHANAN PANGAN INDONESIA KONTEMPORER
Dalam
beberapa dekade terakhir, Indonesia berhasil mencatat berbagai kemajuan di
bidang pangan. Namun, di balik pencapaian tersebut, sistem pangan nasional
masih menyimpan kerentanan yang cukup besar, bahkan tanpa memperhitungkan
tekanan tambahan dari krisis iklim. Evaluasi berbasis indeks global memberi
gambaran objektif mengenai posisi Indonesia di dunia sekaligus menyoroti
kelemahan struktural yang perlu segera diatasi.
Salah satu
rujukan utama adalah Global Food Security Index (GFSI). Pada
tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ke-63 dari 113 negara. Posisi ini
masih tertinggal dibanding negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura
(28), Malaysia (41), dan Vietnam (46). Angka ini menandakan adanya tantangan
serius, terutama pada pilar Natural Resources and Resilience atau
“Sumber Daya Alam dan Ketahanan.” Pilar ini mengukur kemampuan sebuah negara
menghadapi guncangan iklim dan degradasi lingkungan. Skor rendah Indonesia pada
aspek ini menjadi peringatan dini bahwa fondasi sistem pangan kita belum cukup
kuat menghadapi tekanan iklim yang semakin intens.
Indeks
lainnya, Global Hunger Index (GHI) 2024, menempatkan Indonesia di
peringkat ke-77 dari 127 negara dengan skor 16,9—kategori “moderat.” Meski
tidak termasuk dalam kategori “mengkhawatirkan,” skor ini menutupi masalah yang
lebih mendasar. Salah satunya adalah prevalensi stunting (tengkes) pada anak
balita yang masih sangat tinggi, yaitu 26,8%. Kondisi ini mencerminkan masalah
gizi kronis yang belum terselesaikan dan dapat mengurangi kualitas sumber daya
manusia di masa depan.
Jika ditelaah
melalui empat pilar ketahanan pangan, gambaran yang muncul adalah kompleksitas
sekaligus paradoks.
1. Ketersediaan. Fokus kebijakan pangan nasional selama ini banyak diarahkan pada
swasembada beras. Meski capaian itu kerap diraih, Indonesia tetap
bergantung pada impor komoditas penting seperti gandum, kedelai, gula, dan
daging sapi. Ketergantungan ini menjadikan sistem
pangan kita rentan terhadap fluktuasi harga global maupun gangguan rantai pasok
akibat konflik geopolitik atau kebijakan proteksionis negara lain. Selain itu,
produksi beras yang meningkat sering kali tidak cukup untuk menyeimbangi
pertumbuhan penduduk dan konsumsi nasional.
2. Keterjangkauan. Akses terhadap pangan masih menjadi masalah besar, terutama bagi kelompok
berpenghasilan rendah dan masyarakat di wilayah terpencil. Ketimpangan
infrastruktur menyebabkan perbedaan harga yang tajam antarwilayah.
Provinsi-provinsi di Indonesia timur konsisten menghadapi tingkat kerawanan
pangan yang lebih tinggi dibanding wilayah lain.
3. Pemanfaatan. Di sinilah muncul paradoks utama. Secara makro, ketersediaan
kalori—terutama dari beras—memadai. Namun di tingkat individu, kualitas gizi
masih jauh dari ideal. Indonesia kini menghadapi double burden of
malnutrition: stunting dan wasting berdampingan dengan meningkatnya
obesitas. Bahkan, jika ditambah defisiensi mikronutrien, kondisi ini disebut triple
burden. Studi kasus di Bandung Barat menunjukkan meski asupan energi dan
protein cukup, lemahnya akses sanitasi, air bersih, dan layanan kesehatan
membuat status ketahanan pangan daerah tersebut tetap dikategorikan “rawan.” Ini membuktikan bahwa peningkatan produksi saja tidak otomatis
menyelesaikan masalah gizi. Perubahan iklim memperparah situasi dengan
memperbesar risiko penyakit dan membatasi akses terhadap pangan bergizi
beragam.
4. Stabilitas. Resiliensi sistem pangan nasional masih
tergolong lemah. Ketergantungan pada faktor eksternal membuatnya sangat rentan
terhadap guncangan, baik pandemi, konflik global, maupun kejadian iklim ekstrem
seperti El Niño dan La Niña. Dampaknya terlihat jelas: lonjakan harga, gangguan
distribusi, hingga penurunan produksi yang signifikan. Semua ini berujung pada ketidakpastian pasokan pangan di tingkat rumah
tangga.
Potret ini menegaskan bahwa ketahanan pangan Indonesia bukan hanya soal
jumlah produksi, melainkan soal daya tahan sistem pangan secara keseluruhan.
Tanpa pembenahan struktural, krisis iklim akan memperburuk masalah yang sudah
ada dan mengancam masa depan ketahanan pangan nasional.
C. PROYEKSI ILMIAH PERUBAHAN IKLIM DI KEPULAUAN INDONESIA
Berbagai data dari lembaga kredibel seperti IPCC, BMKG, dan BRIN memberikan
gambaran yang konsisten: iklim Indonesia akan berubah drastis dalam beberapa
dekade mendatang. Pemanasan global sudah menjadi kenyataan, dan dampaknya di
Indonesia semakin terasa. Suhu rata-rata global pada dekade 2011–2020 tercatat
meningkat sekitar 1,09°C dibandingkan era pra-industri (1850–1900). Proyeksi
menunjukkan bahwa suhu di Indonesia akan terus naik, antara 0,5–1°C pada 2050,
dan bisa mencapai 1–3°C pada 2100. Jika emisi gas rumah kaca tidak terkendali
(skenario RCP 8.5), kenaikan bisa menembus 3°C pada akhir abad ini.
Kajian BRIN bahkan memperkirakan bahwa daerah sentra pangan utama seperti
Jawa, Sumatra, dan Kalimantan akan mengalami suhu harian ekstrem antara 28–30°C
pada periode 2021–2050. Suhu setinggi ini melampaui batas optimal banyak
tanaman pangan, sehingga hasil panen berpotensi turun signifikan.
Perubahan Pola Hujan dan Cuaca Ekstrem
Perubahan iklim tidak hanya berarti suhu lebih panas, tetapi juga siklus
hidrologi yang makin ekstrem. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai “cambuk
hidrologis” (hydrological whiplash): pergantian cepat antara
kekeringan panjang dan hujan deras yang merusak.
- El Niño
(kekeringan). Fenomena ini, yang selama ini sudah kerap melanda
Indonesia, diproyeksikan akan lebih sering terjadi dengan intensitas lebih
kuat. Dampaknya serius bagi lahan pertanian tadah hujan yang mendominasi
wilayah di luar Jawa. Kekeringan memperpanjang musim kemarau, menunda awal
tanam, mengurangi ketersediaan air irigasi, hingga berujung pada gagal
panen. Sejarah mencatat El Niño 1997 sebagai salah satu pemicu krisis
pangan nasional.
- La Niña
(banjir). Sebaliknya, La Niña membawa curah hujan berlebih
yang memicu banjir di banyak daerah. Tanaman, terutama padi sawah,
terendam dan rusak, sementara infrastruktur pertanian ikut terdampak.
Kondisi lembap berkepanjangan juga mempercepat ledakan hama dan penyakit
tanaman, seperti wereng batang coklat atau hawar daun bakteri, yang makin
menekan hasil panen.
Kombinasi kekeringan dan banjir ini membuat perencanaan pertanian semakin
sulit. Kekeringan panjang menguras cadangan air, lalu hujan deras berikutnya
menimbulkan banjir dan erosi. Proyeksi menunjukkan curah hujan ekstrem di
Indonesia bisa meningkat 15–26% pada periode 100 tahun mendatang, sehingga
risiko banjir di sentra pangan kian besar.
Kenaikan Permukaan Laut
Sebagai negara maritim dengan 65% penduduk tinggal di pesisir, Indonesia
juga menghadapi ancaman serius dari naiknya permukaan laut. Proyeksi
menunjukkan kenaikan 25–40 cm pada 2050, dan hingga 95 cm pada 2100 di bawah
skenario emisi tinggi. Dampaknya bukan hanya hilangnya daratan akibat genangan,
tetapi juga intrusi air asin ke lahan pertanian dan sumber air tawar. Intrusi ini
membuat sawah pesisir tidak lagi produktif dan menurunkan ketersediaan air
bersih.
Selain itu, kenaikan permukaan laut memperparah abrasi pantai. Ribuan
hektare tambak udang dan ikan, yang selama ini menjadi sumber penghidupan
masyarakat pesisir sekaligus penopang ketersediaan protein nasional, berisiko
hilang.
Ringkasan Proyeksi
Secara umum, semua wilayah Indonesia akan mengalami kenaikan suhu antara
1–2°C pada pertengahan abad dan bisa mencapai lebih dari 3°C pada akhir abad,
terutama di bawah skenario emisi tinggi. Pola curah hujan akan semakin tidak
menentu: beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara diproyeksikan makin kering,
sementara Kalimantan dan Papua justru lebih basah dengan curah hujan ekstrem.
Gambaran ini menegaskan bahwa perubahan iklim bukan ancaman abstrak,
melainkan risiko nyata yang akan menentukan masa depan sistem pangan Indonesia.
Tanpa strategi adaptasi yang kuat, krisis iklim dapat mengguncang fondasi
ketahanan pangan nasional.
D. TEKANAN PADA PRODUKSI TANAMAN PANGAN STRATEGIS
Padi dan jagung adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional. Keduanya
menyumbang sebagian besar kebutuhan karbohidrat masyarakat Indonesia. Namun,
kedua komoditas ini juga yang paling rentan terhadap guncangan iklim. Perubahan
suhu, kekeringan ekstrem, hingga banjir besar memberi dampak langsung pada
produktivitas, bahkan bisa berujung pada kegagalan panen massal.
Dampak Kenaikan Suhu
Setiap tanaman memiliki “zona nyaman” suhu optimal untuk tumbuh dan
bereproduksi. Bagi padi, rentang itu berada di kisaran 20–33°C. Saat suhu
rata-rata melonjak melampaui ambang tersebut, tanaman akan mengalami stres
panas. Penelitian menunjukkan bahwa kenaikan suhu 1°C selama musim tanam dapat
menurunkan hasil panen padi hingga 10%. Suhu tinggi juga mempercepat penguapan
air (evapotranspirasi), membuat tanaman membutuhkan lebih banyak pasokan air
meskipun curah hujan normal. Lebih jauh lagi, fase pematangan biji berlangsung
terlalu cepat, sehingga pengisian gabah tidak sempurna. Hasilnya: kualitas dan
bobot panen menurun drastis.
Dampak serupa juga terjadi pada jagung. Kenaikan suhu 2°C diperkirakan
dapat memangkas produksi hingga 20%. Pada skala petani kecil, kerugian ini
sangat memukul, karena pendapatan mereka sangat bergantung pada hasil panen
musiman.
Dampak Kekeringan (El Niño)
Fenomena El Niño sudah lama menjadi momok bagi petani Indonesia. Kekeringan
parah yang menyertainya menghantam sawah tadah hujan dan lahan kering yang
bergantung penuh pada curah hujan musiman. Data historis mencatat bahwa setiap
kali El Niño kuat terjadi, produksi padi nasional bisa turun 4–6%.
Contoh nyata terjadi di Kota Serang pada tahun 2023. El Niño menyebabkan
kekeringan hebat sehingga produksi padi anjlok ke titik terendah dalam empat
tahun terakhir. Secara nasional, El Niño ekstrem berpotensi memangkas produksi
beras hingga 450 ribu ton dan menyebabkan puluhan ribu hektare sawah puso
(gagal panen total).
Dampak Banjir (La Niña)
Jika El Niño membawa kekeringan, La Niña justru memicu banjir besar. Curah
hujan ekstrem membuat sawah tergenang berhari-hari, menyebabkan akar padi
membusuk dan tanaman mati. Penelitian di sentra padi Jawa Barat dan Jawa Tengah
menunjukkan bahwa banjir bisa menurunkan hasil panen hingga 2,5–3 ton per
hektare. Dari sisi ekonomi, kerugian petani akibat banjir diperkirakan mencapai
Rp6,5–7 juta per hektare.
Memang, di
beberapa daerah La Niña dapat memperluas areal tanam karena ketersediaan air
berlimpah. Namun, keuntungan itu seringkali tidak sebanding dengan kerugian
akibat banjir dan meledaknya hama serta penyakit yang menyertainya.
Eskalasi Serangan Hama dan Penyakit (OPT)
Perubahan iklim tidak hanya mengubah ketersediaan air dan suhu, tetapi juga
menciptakan kondisi ideal bagi ledakan organisme pengganggu tanaman (OPT). Suhu
hangat mempercepat siklus hidup hama, sehingga dalam satu musim tanam bisa
muncul lebih banyak generasi serangga. Kelembapan tinggi akibat La Niña
mendukung penyebaran penyakit tanaman.
Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens) dan hawar daun bakteri (Xanthomonas
oryzae), dua hama utama padi, cenderung meledak saat kondisi hangat dan
lembap. Sementara itu, kekeringan akibat El Niño membuat tanaman melemah dan
lebih rentan terhadap hama sekunder. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
memproyeksikan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan kerugian produksi
sebesar 15,2% akibat hama dan 12,6% akibat penyakit. Ini jelas
ancaman serius bagi stabilitas produksi pangan nasional.
E. ANCAMAN TERHADAP SISTEM PANGAN BERBASIS KELAUTAN DAN PESISIR
Sebagai
negara bahari, Indonesia menggantungkan sebagian besar ketahanan pangan dan
gizinya pada sektor kelautan dan perikanan. Laut bukan hanya penyedia ikan dan
hasil budidaya, tetapi juga sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat pesisir.
Namun, krisis iklim menimbulkan ancaman eksistensial yang perlahan tapi pasti
menggerus fondasi sistem pangan berbasis laut ini.
Kenaikan Permukaan Laut dan Abrasi
Naiknya muka laut menjadi ancaman nyata bagi tambak dan lahan produktif
pesisir. Abrasi yang diperparah oleh badai dan gelombang ekstrem mengikis garis
pantai, menghancurkan infrastruktur, dan menelan lahan pertanian serta tambak.
Sebuah studi di Kecamatan Bancar, Tuban, mencatat bahwa dalam 35 tahun
terakhir garis pantai mundur sejauh 174 meter, meluluhlantakkan lahan pertanian
dan tambak produktif. Bank Dunia juga memperingatkan bahwa banyak tambak udang
dan ikan di sepanjang pesisir Indonesia terancam tergenang permanen. Artinya, bukan hanya kerugian ekonomi sesaat, melainkan hilangnya kapasitas
produksi pangan secara permanen.
Pengasaman Laut: Ancaman yang Senyap
Laut menyerap sepertiga emisi karbon dioksida (CO₂) yang dihasilkan
manusia. Akibatnya, pH laut menurun, memicu fenomena pengasaman laut.
Proses ini mengurangi ketersediaan ion karbonat—“bahan baku” penting bagi biota
laut pembentuk cangkang dan kerangka kalsium karbonat, termasuk terumbu karang,
kerang, dan krustasea.
Penelitian di perairan Indonesia menemukan bahwa 67% biota yang diuji
mengalami hambatan pertumbuhan akibat penurunan pH. Dampaknya sangat luas:
budidaya kerang dan kepiting terancam, rantai makanan laut terganggu, hingga
ekosistem perairan menjadi tidak stabil.
Pemutihan Karang: Runtuhnya Kota di Bawah Laut
Selain pengasaman, pemanasan laut menimbulkan ancaman lain: pemutihan
karang (coral bleaching). Kenaikan suhu hanya 1–2°C di atas
rata-rata sudah cukup membuat karang stres. Alga simbiotik yang memberi warna
dan energi bagi karang keluar dari jaringan, meninggalkan karang dalam kondisi
putih dan lemah. Jika suhu tinggi bertahan lama, karang akan mati.
Indonesia sudah mengalami beberapa kali kejadian pemutihan karang massal,
misalnya di Aceh (2010) dan Gili Matra (2016). Dampaknya sangat terasa: studi
di Gili Matra mencatat penurunan kelimpahan ikan karang dari 28.733 individu
per hektare pada 2012 menjadi hanya 11.431 individu per hektare pada 2016.
Terumbu karang yang rusak berarti “kota bawah laut” runtuh, dan stok ikan ikut
lenyap. Bagi nelayan, ini sama artinya dengan hilangnya sumber pendapatan
utama.
Kerentanan Komunitas Pesisir
Yang paling terpukul dari semua dampak ini adalah masyarakat pesisir.
Nelayan skala kecil dan pembudidaya ikan sangat bergantung pada ekosistem laut
yang sehat, namun mereka justru memiliki kapasitas adaptasi paling rendah.
Mereka tidak bisa begitu saja memindahkan tambak yang terkikis abrasi, atau
membeli kapal besar untuk melaut lebih jauh ketika ikan di dekat pantai semakin
langka. Bagi mereka, degradasi ekosistem berarti kehilangan nafkah,
meningkatnya kerawanan pangan, dan makin dalamnya jurang kemiskinan.
Krisis iklim di laut dan pesisir tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga
soal keadilan sosial. Ketahanan pangan nasional hanya bisa terjaga jika
kelompok paling rentan—masyarakat pesisir—diberi dukungan adaptasi yang
memadai, dari perlindungan ekosistem hingga akses teknologi dan pasar yang
lebih adil.
F. KERENTANAN SEKTOR PETERNAKAN NASIONAL
Sektor peternakan merupakan tulang punggung penyedia protein hewani
sekaligus penggerak ekonomi pedesaan di Indonesia. Namun, sektor ini juga
sangat rentan terhadap dampak krisis iklim. Gangguan muncul baik secara langsung,
melalui stres fisiologis pada ternak, maupun tidak langsung, melalui
berkurangnya ketersediaan pakan dan meningkatnya penyakit.
Stres Panas pada Ternak
Salah satu ancaman terbesar bagi peternakan adalah stres panas (heat
stress). Tingkat kenyamanan ternak biasanya diukur menggunakan Temperature
Humidity Index (THI), dan nilai di atas 72 sudah cukup untuk memicu
stres panas.
- Sapi Perah:
Sentra-sentra produksi susu di Indonesia sering mengalami nilai THI yang
melampaui ambang batas nyaman. Dampaknya sangat serius, mulai dari
penurunan nafsu makan, berkurangnya produksi susu hingga 35–40%, penurunan
kualitas susu (kadar lemak dan protein), hingga gangguan reproduksi
seperti turunnya angka konsepsi dan interval beranak yang lebih panjang.
- Unggas: Ayam pedaging dan petelur juga sangat sensitif terhadap
suhu tinggi. Stres panas pada unggas dapat mengurangi konsumsi
pakan, memperlambat pertumbuhan, menurunkan produksi telur, serta
meningkatkan angka kematian—terutama pada sistem pemeliharaan intensif.
Gangguan Ketersediaan Pakan
Dampak perubahan iklim tidak hanya dirasakan tubuh ternak, tetapi juga
rantai pakan yang menopang sistem peternakan.
- Kekeringan
berkepanjangan mengurangi produktivitas padang rumput dan lahan
pakan, sehingga peternak kesulitan menyediakan hijauan. Kondisi ini sering
memaksa mereka mengurangi populasi ternak atau membeli pakan tambahan
dengan harga tinggi.
- Curah hujan
berlebih dan banjir merusak tanaman pakan, menurunkan kualitas jerami
dan silase akibat pertumbuhan jamur, serta membuat hijauan terlalu basah.
Pada ruminansia, hal ini dapat menimbulkan gangguan pencernaan seperti
kembung.
Pola cuaca yang semakin sulit diprediksi membuat produksi dan konservasi
pakan tidak menentu, menambah tekanan pada peternak.
Peningkatan Risiko Penyakit
Perubahan iklim juga mengubah pola penyakit pada hewan ternak. Suhu yang
lebih hangat dan kelembapan tinggi menjadi kondisi ideal bagi parasit dan
vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, dan caplak.
- Selama musim
hujan, kandang yang lembap meningkatkan risiko penyakit kuku dan mulut,
infeksi cacing, serta penyakit yang ditularkan nyamuk seperti Bovine
Ephemeral Fever (demam tiga hari).
- Stres lingkungan juga menekan sistem
kekebalan tubuh ternak, sehingga lebih rentan terhadap infeksi.
Risiko Sistemik: Krisis Pangan Majemuk
Ancaman iklim
terhadap peternakan tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dengan
sektor pangan lainnya. Kekeringan akibat El Niño, misalnya, tidak hanya
menyebabkan gagal panen padi dan jagung—dua sumber utama pangan manusia—tetapi
juga mengurangi ketersediaan hijauan serta bahan baku pakan seperti dedak padi
dan tumpi jagung. Pada saat yang sama, pemanasan laut
menyebabkan pemutihan karang dan menurunkan stok ikan.
Akibatnya, Indonesia berpotensi menghadapi krisis pangan majemuk:
beras berkurang, produksi susu dan daging menurun, dan pasokan ikan melemah.
Jika kebijakan hanya berfokus pada satu komoditas, misalnya dengan mengamankan
cadangan beras, langkah itu jelas tidak cukup. Krisis iklim menuntut pendekatan
terpadu lintas sektor yang mampu melindungi seluruh sumber protein dan
energi pangan sekaligus.
Contoh dari Malang: Sapi Perah
Kabupaten Malang, khususnya kecamatan seperti Pujon dan Ngantang, dikenal
sebagai sentra sapi perah di Jawa Timur. Data BPS Kabupaten Malang menunjukkan
populasi sapi perah sekitar 85.820 ekor di Agustus 2023, tersebar di
beberapa kecamatan seperti Pujon, Ngantang, dan Jabung. Produksi susu di Malang
pun meningkat: dari sekitar 137,56 ribu ton pada 2022, menjadi 143,58 ribu ton
pada 2023, dan diperkirakan mencapai 149,91 ribu ton pada 2024.
Meskipun demikian, peternak sapi perah di Malang juga mulai merasakan
dampak dari stres panas. Salah satu adaptasi yang dilakukan adalah membangun
kandang dengan sistem close house agar suhu dan kelembapan lebih
terjaga, meskipun investasi awal lebih tinggi. Di lereng Gunung Kawi, pada
peternakan Holstein berskala perusahaan seperti Greenfields, misalnya,
penggunaan kipas angin, ventilasi yang baik, dan atap yang dirancang untuk
mengurangi panas langsung digunakan agar sapi tetap nyaman.
Stres panas
ini bukan hanya soal kenyamanan: sapi yang mengalami stres menampilkan perilaku
berbeda, seperti lebih lama berbaring, nafsu makan menurun, dan produktivitas
turun. Dalam kasus tertentu, produktivitas susu sapi perah turun hingga
beberapa liter per ekor per hari dibanding kondisi ideal.
Contoh dari
Blitar: Ayam Petelur
Kabupaten
Blitar adalah salah satu sentra peternakan ayam petelur terbesar di Jawa Timur
dan Indonesia. Pada tahun 2020, populasi ayam ras
petelur di Blitar mencapai lebih dari 20 juta ekor, dengan produksi
telur sekitar 1.150-1.200 ton/hari.
Walau
jumlahnya besar, peternak di Blitar menghadapi tantangan iklim, terutama
terkait kenaikan suhu dan fluktuasi kelembapan yang memicu stres pada ayam.
Sebagai contoh, penelitian di Desa Gunung Gede, Blitar, menunjukkan bahwa
frekuensi pernapasan ayam petelur dan suhu rektal meningkat seiring berat badan
ayam pada kondisi lingkungan yang lebih panas—indikator stres panas.
Selain itu,
harga pakan ayam menjadi sangat volatil terutama ketika jagung sebagai bahan
baku utama terpengaruh oleh kekeringan (misalnya saat fenomena El Niño).
Pemerintah kabupaten Blitar pun memberikan subsidi pakan kepada peternak ayam
dan telur sebagai langkah mitigasi agar harga produk tidak melonjak terlalu
drastis.
Tekanan
Peternakan
Dengan
contoh-contoh tersebut di atas dapat memperjelas bahwa kerentanan peternakan
bukan sekadar teori, tetapi sudah menjadi kenyataan di lapangan:
- Di Malang, peternak sapi perah harus
beradaptasi dengan cuaca yang kian panas melalui sistem kandang tertutup,
ventilasi dan perangkat pendingin, agar sapi tetap produktif. Meskipun ada
peningkatan produksi susu, stres panas menggerus potensi penuh yang
seharusnya bisa dicapai.
- Di Blitar,
dengan skala produksi telur ayam yang sangat besar, fluktuasi kondisi
iklim dan gejolak harga pakan langsung berdampak pada profitabilitas
peternak. Penyesuaian
operasional dan dukungan subsidi menjadi penyelamat sementara.
Dengan
memasukkan contoh lokal seperti ini, kita bisa melihat bahwa kerentanan sektor
peternakan bukanlah sesuatu yang akan terjadi di masa depan saja, tetapi sudah
berlangsung sekarang, terutama di daerah-daerah sentra produksi. Ini menguatkan
argumen bahwa kebijakan adaptasi perlu segera ditingkatkan, skala lokal
diperhatikan, dan intervensi diarahkan agar peternak kecil pun bisa bertahan
menghadapi krisis iklim.
G. TANTANGAN
STRUKTURAL YANG MEMPERBURUK DAMPAK IKLIM
Dampak krisis
iklim tidak berdiri sendiri. Ia berinteraksi dengan serangkaian kelemahan
struktural yang telah lama membelenggu sistem pangan dan ekonomi pedesaan
Indonesia. Alih-alih hanya menjadi ancaman lingkungan, krisis iklim justru
memperbesar rapuhnya fondasi sektor pangan yang selama ini bergantung pada
produsen kecil, rantai pasok yang tidak efisien, serta sumber daya alam yang
semakin terdegradasi.
Kerentanan Produsen Skala Kecil
Tulang punggung produksi pangan Indonesia adalah jutaan petani, nelayan,
dan peternak skala kecil. Ironisnya, mereka adalah kelompok yang paling rentan
terhadap guncangan iklim. Sebagian besar beroperasi di lahan sempit dengan
margin keuntungan tipis, serta memiliki akses yang sangat terbatas terhadap
modal, teknologi, informasi iklim yang akurat, maupun skema asuransi.
Keterbatasan ini secara drastis menurunkan kapasitas adaptif mereka.
Ketika gagal panen akibat kekeringan atau banjir melanda, banyak produsen
skala kecil terjerat utang, kehilangan modal kerja, dan kesulitan memulai usaha
pada musim berikutnya. Posisi tawar mereka dalam rantai pasok juga lemah.
Mereka menanggung sebagian besar risiko produksi, sementara keuntungan terbesar
justru dinikmati oleh pedagang perantara.
Inefisiensi Rantai Pasok dan Logistik
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam logistik dan
distribusi pangan. Infrastruktur yang tidak
memadai—mulai dari jalan rusak, pelabuhan terbatas, hingga minimnya fasilitas
penyimpanan berpendingin (cold storage)—menyebabkan biaya distribusi
mahal, kerugian pascapanen tinggi, dan kualitas produk menurun.
Rantai pasok yang rapuh ini sangat rentan terhadap gangguan iklim. Banjir
yang merusak jalan, badai yang menghentikan pelayaran antarpulau, atau
gelombang tinggi yang menunda distribusi dapat dengan mudah memutus jalur
pangan. Akibatnya, di satu wilayah dapat terjadi kelangkaan dan lonjakan harga,
sementara di wilayah lain justru surplus produk yang terbuang percuma. Situasi
ini melahirkan volatilitas harga ekstrem sekaligus ketidakmerataan akses pangan
antarwilayah.
Degradasi Sumber Daya Alam
Krisis iklim juga bertindak sebagai threat multiplier—pengganda
ancaman—yang memperburuk kondisi sumber daya alam yang sudah tertekan akibat
praktik pertanian dan pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan. Selama
beberapa dekade, degradasi tanah, deforestasi, dan krisis air semakin meluas di
berbagai daerah.
Tanah yang miskin bahan organik kehilangan kapasitas menahan air,
membuatnya lebih rentan terhadap kekeringan. Daerah aliran sungai (DAS) yang
gundul karena deforestasi kehilangan fungsi tata airnya: banjir bandang lebih
sering terjadi saat musim hujan, sementara kekeringan semakin parah di musim
kemarau. Akibatnya, daya dukung lingkungan untuk produksi pangan melemah, dan
resiliensi alaminya terhadap guncangan iklim kian terkikis.
Tantangan Regenerasi Pelaku Sektor Pangan
Di luar faktor lingkungan dan ekonomi, sektor pangan Indonesia juga
menghadapi tantangan demografis. Semakin tingginya risiko, rendahnya
profitabilitas, dan beratnya kerja fisik membuat profesi sebagai petani,
peternak, atau nelayan tidak lagi menarik bagi generasi muda.
Fenomena “penuaan petani” terlihat jelas di banyak wilayah: rata-rata usia
petani terus meningkat, sementara minat generasi muda untuk terjun ke sektor
pangan sangat rendah. Jika tren ini berlanjut, Indonesia berisiko menghadapi
krisis sumber daya manusia di sektor pangan—kehilangan kapasitas produksi
sekaligus hilangnya pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan lintas
generasi.
Kerentanan Produsen Skala Kecil
Tulang punggung produksi pangan Indonesia adalah jutaan petani, nelayan,
dan peternak skala kecil. Ironisnya, mereka adalah kelompok yang paling rentan
terhadap guncangan iklim. Sebagian besar beroperasi di lahan sempit dengan
margin keuntungan tipis, serta memiliki akses yang sangat terbatas terhadap
modal, teknologi, informasi iklim yang akurat, maupun skema asuransi.
Keterbatasan ini secara drastis menurunkan kapasitas adaptif mereka.
Ketika gagal panen akibat kekeringan atau banjir melanda, banyak produsen
skala kecil terjerat utang, kehilangan modal kerja, dan kesulitan memulai usaha
pada musim berikutnya. Posisi tawar mereka dalam rantai pasok juga lemah.
Mereka menanggung sebagian besar risiko produksi, sementara keuntungan terbesar
justru dinikmati oleh pedagang perantara.
Inefisiensi Rantai Pasok dan Logistik
Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam
logistik dan distribusi pangan. Infrastruktur yang tidak memadai—mulai dari
jalan rusak, pelabuhan terbatas, hingga minimnya fasilitas penyimpanan
berpendingin (cold storage)—menyebabkan biaya distribusi mahal, kerugian
pascapanen tinggi, dan kualitas produk menurun.
Rantai pasok yang rapuh ini sangat rentan terhadap gangguan iklim.
Contohnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), banjir bandang pada tahun 2021 memutus
akses jalan ke beberapa wilayah sentra pangan. Akibatnya, pasokan beras dan
bahan pangan lain terhenti, harga melonjak hingga dua kali lipat di pasar
lokal, sementara di wilayah lain surplus pangan justru membusuk karena tak bisa
dikirim. Situasi seperti ini menunjukkan betapa mudahnya jalur distribusi
pangan terputus dan menimbulkan krisis akses pangan lokal.
Degradasi Sumber Daya Alam
Krisis iklim juga bertindak sebagai threat multiplier—pengganda
ancaman—yang memperburuk kondisi sumber daya alam yang sudah tertekan akibat
praktik pertanian dan pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan. Selama
beberapa dekade, degradasi tanah, deforestasi, dan krisis air semakin meluas di
berbagai daerah.
Tanah yang miskin bahan organik kehilangan kapasitas menahan air,
membuatnya lebih rentan terhadap kekeringan. Daerah aliran sungai (DAS) yang
gundul karena deforestasi kehilangan fungsi tata airnya: banjir bandang lebih
sering terjadi saat musim hujan, sementara kekeringan semakin parah di musim
kemarau. Contoh nyata terlihat di wilayah Hulu DAS Citarum, Jawa Barat, di mana
deforestasi memperparah banjir saat musim hujan dan kekeringan pada musim
kemarau, sehingga berdampak langsung pada produktivitas pertanian di wilayah
hilir.
Tantangan Regenerasi Pelaku Sektor Pangan
Di luar faktor lingkungan dan ekonomi, sektor pangan Indonesia juga
menghadapi tantangan demografis. Semakin tingginya risiko, rendahnya
profitabilitas, dan beratnya kerja fisik membuat profesi sebagai petani,
peternak, atau nelayan tidak lagi menarik bagi generasi muda.
Fenomena “penuaan petani” terlihat jelas di Jawa Tengah. Data BPS tahun
2018 menunjukkan rata-rata usia petani di provinsi ini telah mencapai 52 tahun,
dengan mayoritas generasi muda memilih beralih ke sektor industri atau jasa.
Akibatnya, jumlah tenaga kerja di pertanian terus berkurang, sementara
regenerasi pelaku pangan berjalan sangat lambat. Jika tren ini berlanjut,
Indonesia berisiko menghadapi krisis sumber daya manusia di sektor
pangan—kehilangan kapasitas produksi sekaligus hilangnya pengetahuan dan
kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi.
H. PELUANG TRANSFORMASI MENUJU SISTEM PANGAN BERKETAHANAN IKLIM
Di tengah
tantangan berat, krisis iklim juga dapat menjadi katalisator untuk transformasi
besar dalam sistem pangan nasional. Alih-alih hanya dilihat sebagai ancaman,
krisis ini membuka peluang untuk membangun sistem pangan baru yang lebih
tangguh, produktif, berkelanjutan, dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Potensi
Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture/CSA)
CSA adalah pendekatan terpadu dengan tiga tujuan utama:
1.
meningkatkan
produktivitas dan pendapatan pertanian secara berkelanjutan,
2.
memperkuat adaptasi dan
ketahanan terhadap perubahan iklim, dan
3.
mengurangi emisi gas
rumah kaca jika memungkinkan.
CSA bukan sekadar satu teknologi, melainkan kerangka untuk memilih praktik
yang sesuai dengan konteks biofisik dan sosial-ekonomi lokal. Di Indonesia,
beberapa praktik CSA telah menunjukkan hasil yang signifikan:
- System of
Rice Intensification (SRI) dan Jajar Legowo: Teknik tanam bibit
muda dengan jarak lebih lebar serta irigasi berselang terbukti
meningkatkan hasil padi 49–78%, sambil mengurangi penggunaan air hingga
42% dan menekan emisi metana. Praktik ini sudah diterapkan di Jawa Tengah
dan Jawa Timur dengan hasil nyata pada peningkatan produksi sekaligus
efisiensi penggunaan air.
- Integrasi
Tanaman–Ternak: Misalnya sapi digembalakan di perkebunan kelapa
sawit. Hewan memakan gulma sehingga kebutuhan herbisida berkurang,
sementara kotorannya menjadi pupuk organik. Studi menunjukkan hasil tandan buah segar sawit bisa
meningkat hingga 17%.
- Agroforestri: Kombinasi
pohon dengan tanaman pangan memperkuat ekosistem. Pohon memberi naungan,
menurunkan suhu mikro, mengurangi erosi, serta meningkatkan keanekaragaman
hayati. Di Nusa Tenggara Timur, pola agroforestri berbasis sorgum dan
pohon lamtoro terbukti membantu petani menghadapi musim kering panjang.
CSA menandai pergeseran dari pertanian berbasis input kimia menuju
pertanian berbasis pengetahuan dan ekologi.
Peluang Diversifikasi Pangan Lokal
Ketergantungan yang tinggi pada beras adalah salah satu kerentanan terbesar
sistem pangan Indonesia. Padahal, negeri ini kaya akan sumber pangan lokal yang
lebih tahan iklim dan bergizi tinggi:
- Sorgum: Tahan
kekeringan, dapat tumbuh di lahan marjinal, sekaligus berfungsi sebagai
pangan, pakan, dan bioetanol. Di
Sumba Timur, sorgum kini kembali dikembangkan sebagai alternatif beras dan
jagung.
- Ubi Kayu (Singkong): Tahan kering, menghasilkan kalori
tinggi, dan produk olahannya (seperti tepung Mocaf) dapat
menggantikan terigu impor.
- Sagu: Tanaman khas Papua dan Maluku ini sangat produktif di lahan
basah, dan menjadi sumber karbohidrat utama yang adaptif terhadap
perubahan iklim.
Diversifikasi
pangan lokal tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga membuka
peluang ekonomi daerah, meningkatkan status gizi, dan mengurangi ketergantungan
impor gandum yang rawan gejolak harga global.
Agenda diversifikasi pangan lokal ini kini mendapat dukungan kuat dari BRIN dan Bapanas, tidak hanya untuk meningkatkan ketahanan pangan lokal tetapi juga membuka peluang ekonomi daerah.
Peran Teknologi dan Inovasi
Teknologi modern, jika digunakan secara tepat, dapat mempercepat adaptasi
iklim:
- Pertanian
Presisi: Penggunaan sensor IoT, drone, citra satelit, dan GPS memungkinkan
petani mengatur input (air, pupuk, pestisida) secara lebih efisien.
Praktik ini dapat mengurangi biaya 20–25%, meningkatkan keuntungan hingga
50%, sekaligus menekan dampak lingkungan.
- Sistem
Peringatan Dini Iklim: BMKG telah mengembangkan Kalender Tanam Terpadu
(KATAM) yang dipadukan dengan Sekolah Lapang Iklim. Petani dapat menyesuaikan
jadwal tanam dan varietas sesuai prakiraan, mengurangi kerugian akibat
anomali iklim hingga 80%.
- Platform
Digital Rantai Pasok: Teknologi blockchain dan aplikasi pemasaran daring
memungkinkan produk petani ditelusuri asal-usulnya, harga lebih
transparan, dan distribusi lebih efisien.
Meski menjanjikan, penerapan teknologi masih terbentur hambatan: biaya
investasi tinggi, kesenjangan literasi digital, serta keterbatasan
infrastruktur internet di desa. Karena itu, kunci keberhasilan terletak pada
pendekatan campuran—menggabungkan teknologi canggih (prediksi iklim satelit)
dengan mekanisme tradisional berbasis komunitas (penyuluh pertanian, koperasi).
Potensi
Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture - CSA)
CSA adalah sebuah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk secara simultan mencapai tiga tujuan:
(1) meningkatkan produktivitas dan pendapatan pertanian secara berkelanjutan;
(2) meningkatkan adaptasi dan membangun ketahanan terhadap perubahan iklim; dan
(3) mengurangi emisi gas rumah kaca jika memungkinkan.
Ini bukan
tentang satu set teknologi tunggal, melainkan sebuah pendekatan untuk
mengidentifikasi praktik dan teknologi yang paling sesuai dengan konteks
biofisik dan sosial-ekonomi lokal. Di Indonesia, beberapa praktik CSA telah
terbukti sangat efektif:
- System of Rice Intensification (SRI) dan Jajar Legowo: Kombinasi teknik penanaman bibit muda, jarak tanam yang lebih lebar, dan irigasi berselang (tidak terus-menerus digenangi) terbukti mampu meningkatkan hasil panen padi hingga 49–78%, sambil mengurangi penggunaan air 42% dan menekan emisi metana. Contoh kasus: Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penerapan metode SRI oleh kelompok tani sejak 2010 berhasil meningkatkan produktivitas padi rata-rata dari 5 ton/ha menjadi 8 ton/ha, sekaligus menurunkan biaya produksi karena penghematan pupuk dan air.
- Sistem
Integrasi Tanaman-Ternak: Mengintegrasikan sapi ke dalam perkebunan kelapa
sawit menciptakan sistem siklus tertutup. Sapi memakan gulma, mengurangi
kebutuhan herbisida, sementara kotorannya menjadi pupuk organik. Studi
menunjukkan praktik ini dapat meningkatkan hasil tandan buah segar kelapa
sawit hingga 17%.
- Agroforestri: Menanam
tanaman pangan di antara pepohonan meningkatkan ketahanan iklim,
mengurangi erosi tanah, menjaga kelembapan, serta memperkaya
keanekaragaman hayati.
CSA pada dasarnya adalah pergeseran dari pertanian intensif input (pupuk dan pestisida kimia) ke pertanian intensif pengetahuan dan pengelolaan ekosistem.
Peran Teknologi dan Inovasi
Teknologi modern dapat mempercepat adaptasi iklim jika diterapkan dengan
tepat, seperti pertanian presisi berbasis IoT, sistem peringatan dini iklim
dari BMKG, hingga platform digital rantai pasok berbasis blockchain. Namun,
tantangan seperti biaya, literasi digital, dan infrastruktur pedesaan perlu
diatasi dengan model “campuran” yang menggabungkan teknologi canggih dengan
pendekatan berbasis komunitas, seperti penyuluh pertanian dan koperasi.
I. REKOMENDASI KEBIJAKAN
UNTUK RESILIENSI PANGAN NASIONAL
Krisis iklim bukan hanya soal suhu yang terus meningkat, tetapi juga
tantangan besar bagi ketahanan pangan Indonesia. Perubahan pola cuaca,
kekeringan, banjir, hingga naiknya salinitas air laut langsung memengaruhi
tanah, air, benih, dan petani yang menjadi ujung tombak produksi pangan. Karena
itu, kita membutuhkan kebijakan yang tidak sekadar reaktif, tetapi benar-benar
terintegrasi dengan rencana pembangunan nasional, seperti RPJMN dan RAN-API.
Berikut beberapa rekomendasi strategis untuk memperkuat resiliensi pangan
nasional.
Penguatan Fondasi Produksi yang Adaptif
Langkah pertama adalah memastikan fondasi produksi pangan—tanah, air, dan
benih—mampu bertahan di tengah tekanan iklim. Benih menjadi kunci utama.
Varietas unggul yang selama ini dikembangkan lebih fokus pada produktivitas
dalam kondisi normal, bukan pada ketahanan menghadapi cekaman ekstrem. Karena
itu, riset pemuliaan varietas tahan kekeringan, genangan, dan salinitas harus
dipercepat, sekaligus dipadukan dengan biofortifikasi untuk memperkaya
kandungan gizi tanaman pangan pokok. Dengan begitu, benih tidak hanya
produktif, tetapi juga mampu membantu mengatasi masalah stunting.
Selain benih,
air adalah faktor penentu. Saat ini hampir setengah jaringan irigasi di
Indonesia dalam kondisi rusak. Rehabilitasi menjadi
kebutuhan mendesak, namun tidak cukup hanya memperbaiki saluran. Kita perlu
membangun sistem pengelolaan air cerdas berbasis sensor, irigasi hemat air, dan
pemantauan berbasis teknologi. Dengan infrastruktur modern, air hujan bisa
disimpan untuk musim kemarau, sekaligus mengurangi risiko banjir saat curah
hujan ekstrem datang.
Untuk melindungi petani dari ketidakpastian iklim, sistem asuransi
pertanian juga harus diperbarui. Skema berbasis indeks iklim, yang klaimnya
dipicu otomatis oleh data cuaca dari BMKG, jauh lebih cepat dan objektif
dibanding survei lapangan. Dengan subsidi premi dari pemerintah, petani kecil
bisa mengakses perlindungan finansial ini, sehingga lebih berani berinvestasi
pada benih dan pupuk unggul tanpa takut bangkrut ketika panen gagal.
Transformasi Rantai Pasok dan Pemberdayaan Pelaku
Produksi pangan yang kuat akan percuma tanpa rantai pasok yang efisien.
Karena itu, pembangunan infrastruktur logistik cerdas iklim menjadi prioritas.
Lumbung pangan modern, gudang berpendingin yang tahan bencana, dan sistem
distribusi berbasis energi terbarukan akan mengurangi kerugian pascapanen serta
menjaga harga tetap stabil. Modernisasi pelabuhan dan armada logistik juga akan
memperlancar distribusi antar pulau, sehingga akses pangan lebih merata.
Selain infrastruktur, kelembagaan petani dan nelayan perlu diperkuat.
Kelompok tani tradisional harus ditransformasi menjadi koperasi berbadan hukum
agar memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Dengan dukungan pemerintah,
koperasi bisa menjadi pintu masuk petani kecil ke pasar modern, industri
pengolahan, bahkan ekspor. Skala ekonomi yang tercipta juga akan mempermudah
mereka mendapatkan pembiayaan dan teknologi baru.
Tidak kalah penting, pengetahuan tentang iklim harus menjangkau petani di
lapangan. Program Sekolah Lapang Iklim (SLI) perlu diperluas dengan kurikulum
yang selalu diperbarui sesuai data prakiraan BMKG. Melalui model “train the
trainer”, penyuluh, tokoh masyarakat, dan petani maju dapat mempercepat
penyebaran praktik pertanian cerdas iklim, sehingga petani tidak lagi
menebak-nebak kapan harus menanam, melainkan mengambil keputusan berbasis
sains.
Peningkatan Tata Kelola dan Kerangka Regulasi
Resiliensi pangan juga membutuhkan dukungan dari sisi tata kelola. Adaptasi
iklim harus menjadi arus utama dalam perencanaan pembangunan, baik nasional
maupun daerah. Artinya, penilaian risiko iklim harus masuk dalam RPJMN, RPJMD,
hingga tata ruang wilayah. Tanpa itu, ada risiko pembangunan justru menimbulkan
kerentanan baru di masa depan.
Di tingkat kelembagaan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) perlu diperkuat
mandatnya untuk mendorong diversifikasi pangan. Selama ini kebijakan terlalu
berfokus pada beras, padahal Indonesia memiliki potensi sorgum, singkong, dan
jagung sebagai pangan alternatif. Dengan kewenangan lebih besar, Bapanas bisa
mengoordinasikan riset, kampanye publik, hingga pengelolaan cadangan pangan
pemerintah yang lebih beragam.
Terakhir, urusan pendanaan tidak boleh dilupakan. Transformasi pangan
berkelanjutan memerlukan investasi jauh lebih besar daripada yang bisa
ditanggung APBN. Karena itu, sistem penandaan anggaran iklim perlu diperkuat,
dan pemerintah harus berani menerbitkan instrumen pembiayaan inovatif seperti
obligasi hijau atau sukuk hijau. Dengan skema pembiayaan campuran, investasi
swasta pun bisa diarahkan untuk memperkuat infrastruktur dan teknologi pangan
yang ramah iklim.
J. KESIMPULAN: MENUJU KEDAULATAN PANGAN DI ERA KRISIS IKLIM
Krisis iklim kini nyata dan hadir dalam kehidupan sehari-hari. Kenaikan
suhu, curah hujan yang semakin sulit diprediksi, hingga naiknya permukaan laut
telah terbukti menurunkan produktivitas pertanian, merusak ekosistem laut, dan
menambah beban para petani serta nelayan kecil. Ancaman ini diperparah oleh
persoalan lama yang belum terselesaikan, seperti rantai pasok pangan yang tidak
efisien dan kerusakan sumber daya alam. Jika tidak segera diantisipasi,
kombinasi masalah ini dapat mengguncang fondasi ketahanan pangan Indonesia.
Namun, di
balik ancaman besar tersebut, tersimpan peluang emas. Krisis iklim bisa menjadi titik balik untuk melakukan transformasi mendasar
pada sistem pangan nasional. Kita tidak bisa lagi berorientasi pada masa lalu
yang sudah tidak relevan, melainkan harus berani membangun sistem pangan baru
yang lebih produktif, efisien, berkeadilan, dan ramah lingkungan. Yang lebih
penting, sistem ini harus tangguh menghadapi berbagai guncangan iklim di masa
depan.
Langkah menuju resiliensi pangan menuntut pendekatan menyeluruh dan lintas
sektor. Tidak cukup hanya dengan intervensi parsial. Pertanian, kelautan,
pekerjaan umum, lingkungan hidup, keuangan, hingga perencanaan pembangunan
harus bergerak bersama dalam satu kerangka kebijakan yang saling mendukung.
Sinergi ini menjadi kunci agar setiap kebijakan tidak berjalan sendiri-sendiri,
melainkan memperkuat satu sama lain.
Rekomendasi yang disampaikan dalam kajian ini—mulai dari pengembangan benih
unggul yang tahan iklim, modernisasi infrastruktur air dan logistik, hingga
reformasi tata kelola pangan—dirancang sebagai satu paket kebijakan yang
terintegrasi. Implementasinya tidak boleh ditunda. Setiap keterlambatan hanya
akan menambah beban ekonomi dan sosial di kemudian hari dengan skala kerugian
yang jauh lebih besar.
Berinvestasi pada resiliensi iklim hari ini sejatinya adalah bentuk
asuransi terbaik bagi masa depan bangsa. Dengan langkah berani dan visioner,
Indonesia dapat mewujudkan kedaulatan pangan yang kokoh di abad ke-21.
Perjuangan membangun ketahanan pangan tidak bisa dipisahkan dari upaya
memperkuat ketahanan iklim—keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama
yang akan menentukan kesejahteraan dan keamanan bangsa di masa depan.
SUMBER:
Pudjiatmoko. Krisis Iklim dan Ketahanan Pangan Nasional. WEBINAR
NASIONAL. [A Collaboration between CSDS MITI - IMPASSEL IPB University]. “Krisis Iklim:
Siapa yang Siap Jadi Pahlawan Hijau?” Bogor 28 September 2025.
#KetahananPangan
#KeamananPangan
#KrisisIklimGlobal
#AdaptasiIklim
#PanganBerkelanjutan
