Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Energi Terbarukan. Show all posts
Showing posts with label Energi Terbarukan. Show all posts

Wednesday, 19 March 2025

Kondisi Penyediaan Tenaga Listrik Saat Ini


Kondisi Penyediaan Tenaga Listrik: Sumber Energi Primer Saat Ini

 

Pendahuluan


Dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional, usaha penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh BUMN (PT PLN (Persero)), tetapi juga dilakukan oleh BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat. Usaha penyediaan tenaga listrik yang telah dilakukan oleh BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat diantaranya adalah membangun dan mengoperasikan sendiri pembangkit tenaga listrik yang kemudian tenaga listriknya dijual kepada PT PLN (Persero) atau dikenal independent power producer (IPP). Selain itu, BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat membangun dan mengoperasikan sendiri pembangkit, transmisi, dan/atau distribusi tenaga listrik secara terintegrasi yang kemudian tenaga listriknya dijual langsung kepada konsumen di suatu wilayah usaha yang dikenal dengan istilah usaha penyediaan tenaga listrik terintegrasi atau private power utility (PPU).

 

Kondisi penyediaan tenaga listrik yang disajikan disini mencakup potensi energi primer Indonesia dan kondisi sistem tenaga listrik berdasarkan data pengusahaan pemegang IUPTLU, baik dalam wilayah usaha PT PLN (Persero) maupun dalam wilayah usaha pemegang IUPTLU lainnya, serta data IUPTLS yang memiliki pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan sumber energi primer selain bahan bakar minyak.

 

Data Sumber Energi Primer

 

Indonesia memiliki beraneka ragam potensi sumber energi primer yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga listrik diantaranya adalah batubara, minyak dan gas bumi, panas bumi, air, surya, bioenergi, bayu, arus laut, dan nuklir. Data potensi sumber energi primer dapat dilihat pada Tabel 1.

 

Tabel 1.  Data Potensi Sumber Energi Primer


Sumber:

1) Roadmap Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara 2021-2045, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2021

2) Buku Statistik Minyak dan Gas Bumi Semester I 2022, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2022

3) Peta Distribusi Potensi Panas Bumi Indonesia, Badan Geologi, Desember 2020

4) Pemutakhiran Data Potensi Energi Terbarukan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi, Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, 2021

5) Peta Potensi Energi Laut Indonesia, Balai Besar Survei dan Pemetaan Geologi Kelautan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2022

6) Nuklir: Laporan Teknis Ringkas, Badan Riset dan Inovasi Nasional

 

1. Batubara

 

Indonesia memiliki sumber daya dan cadangan batubara yang cukup besar. Berdasarkan roadmap Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara 2021-2045 yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada bulan September 2021, sumber daya batubara Indonesia hingga akhir tahun 2020 mencapai sekitar 143 (seratus empat puluh tiga) miliar ton. Sumber daya terbesar berada di wilayah Kalimantan mencapai sekitar 61,5% (enam puluh satu koma lima persen) dari total sumber daya nasional. Di wilayah Kalimantan, potensi paling besar berada di Provinsi Kalimantan Timur sekitar 68% (enam puluh delapan persen) dari total potensi Kalimantan. 

 

Wilayah Sumatera juga memiliki sumber daya batubara yang cukup besar sekitar 38,3% (tiga puluh delapan koma tiga persen) dari total sumber daya nasional. Provinsi dengan sumber daya batubara terbesar di wilayah Sumatera adalah Provinsi Sumatera Selatan dengan total sumber daya mencapai sekitar 80% (delapan puluh persen) dari total sumber daya Sumatera. Wilayah Jawa, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara hanya memiliki sumber daya batubara dengan total sekitar 0,2% (nol koma dua persen) dari total sumber daya nasional.

 

2. Gas Bumi

 

Indonesia memiliki cadangan gas bumi sekitar 54,83 (lima puluh empat koma delapan tiga) TCF dengan rincian cadangan terbukti sekitar 36,34 (tiga puluh enam koma tiga empat) TCF dan cadangan potensial sekitar 18,49 (delapan belas koma empat sembilan) TCF. Cadangan tersebut sebagian besar tersebar di wilayah Maluku sekitar 29% (dua puluh sembilan persen) dari total cadangan nasional dan wilayah Papua sekitar 22% (dua puluh dua persen) dari total cadangan nasional. Wilayah Kalimantan memiliki cadangan gas bumi sekitar 11% (sebelas persen) dan wilayah Jawa memiliki cadangan gas bumi sekitar 10% (sepuluh persen) dari total cadangan nasional. Wilayah dengan cadangan gas bumi terkecil adalah wilayah Sulawesi sekitar 9% (sembilan persen) dari total cadangan nasional.

 

3. Minyak Bumi

 

Total cadangan minyak bumi di Indonesia adalah sekitar 4,17 (empat koma satu tujuh) ribu MMSTB dengan rincian cadangan terbukti sekitar 2,27 (dua koma dua tujuh) ribu MMSTB dan cadangan potensial sekitar 1,90 (satu koma sembilan nol) ribu MMSTB. Cadangan tersebut paling banyak berada di wilayah Sumatera sekitar 50% (lima puluh persen) dari total cadangan minyak bumi nasional dan di wilayah Jawa sekitar 30% (tiga puluh persen) dari total cadangan minyak bumi nasional. 

 

Di wilayah Sumatera cadangan minyak bumi tersebar di Sumatera bagian tengah sekitar 64% (enam puluh empat persen) dari total cadangan minyak bumi di wilayah Sumatera dan Sumatera bagian selatan sekitar 32% (tiga puluh dua persen) dari total cadangan minyak bumi di wilayah Sumatera. Di wilayah Jawa, cadangan minyak bumi sebagian besar berada di Provinsi Jawa Barat sekitar 55% (lima puluh lima persen) dari total cadangan minyak bumi di wilayah Jawa. Cadangan minyak bumi terdapat di wilayah Maluku sekitar 9% (sembilan persen) dari total cadangan minyak bumi nasional, Kalimantan sekitar 7% (tujuh persen) dari total cadangan minyak bumi nasional, Papua sekitar 3% (tiga persen) dari total cadangan minyak bumi nasional, dan Sulawesi sekitar 1% (satu persen) dari total cadangan minyak bumi nasional.

 

4. Panas Bumi

 

Berdasarkan data Badan Geologi yang tercantum dalam Peta Distribusi Potensi Panas Bumi Indonesia pada bulan Desember 2020, Indonesia memiliki total potensi panas bumi sekitar 23.766 (dua puluh tiga ribu tujuh ratus enam puluh enam) MW tersebar di 357 (tiga ratus lima puluh tujuh) lokasi potensi panas bumi dengan rincian potensi spekulatif sekitar 5.981 (lima ribu sembilan ratus delapan puluh satu) MW, potensi hipotesis sekitar 3.363 (tiga ribu tiga ratus enam puluh tiga) MW, dan potensi cadangan sekitar 14.421,5 (empat belas ribu empat ratus dua puluh satu koma lima) MW.

 

Potensi tersebut tersebar di wilayah Sumatera sekitar 40% (empat puluh persen) dari total potensi nasional yang tersebar di 101 (seratus satu) lokasi serta wilayah Jawa sekitar 35% (tiga puluh lima persen) dari total potensi nasional yang tersebar di 81 (delapan puluh satu) lokasi. Di wilayah Sumatera, potensi panas bumi sebagian besar tersebar di Provinsi Sumatera Utara sekitar 21% (dua puluh satu persen) dari total potensi di wilayah Sumatera, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Lampung dengan potensi masingmasing sekitar 18% (delapan belas persen) dari total potensi di wilayah Sumatera, dan Provinsi Sumatera Selatan dengan total potensi sekitar 13% (tiga belas persen) dari total potensi di wilayah Sumatera. 

 

Di wilayah Jawa, Provinsi Jawa Barat memiliki potensi panas bumi paling besar dengan potensi sekitar 57% (lima puluh tujuh persen) dari total potensi di wilayah Jawa. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi panas bumi yang cukup besar yaitu mencapai sekitar 5% (lima persen) dari total potensi panas bumi nasional yang tersebar di 31 (tiga puluh satu) lokasi.

 

5. Air

 

Berdasarkan Pemutakhiran Data Potensi Energi Terbarukan yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi, Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2021, Indonesia memiliki potensi air sekitar 95.049 (sembilan puluh lima ribu empat puluh sembilan) MW dengan rincian potensi run of river sekitar 94.626 (sembilan puluh empat ribu enam ratus dua puluh enam) MW dan reservoir atau bendungan sekitar 423 (empat ratus dua puluh tiga) MW. Potensi bendungan mengacu pada data rencana PLTA bendungan dari Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2015 sampai dengan tahun 2027.

 

Potensi air sebagian besar terletak di wilayah Kalimantan sekitar 51% (lima puluh satu persen) dari total potensi air nasional dan Papua sekitar 38% (tiga puluh delapan persen) dari total potensi air nasional. Di wilayah Kalimantan, potensi sebagian besar tersebar di Provinsi Kalimantan Utara dengan potensi sekitar 46% (empat puluh enam persen) dari total potensi air di wilayah Kalimantan, Provinsi Kalimantan Tengah sekitar 25% (dua puluh lima persen) dari total potensi air di wilayah Kalimantan, dan Provinsi Kalimantan Timur sekitar 21% (dua puluh satu persen) dari total potensi air di wilayah Kalimantan. Potensi air di wilayah Papua sebagian besar terletak di Provinsi Papua sekitar 92% (sembilan puluh dua persen) dari total potensi air di wilayah Papua.

 

6. Surya

 

Pemutakhiran potensi surya dilakukan dengan memperhatikan luasan lahan potensial dan penyaringan intensitas radiasi. Berdasarkan hasil pemutakhiran tersebut, total potensi surya di Indonesia mencapai sekitar 3.315 (tiga ribu tiga ratus lima belas) GW.

 

Wilayah dengan potensi surya terbesar adalah wilayah Sumatera dengan potensi mencapai sekitar 36% (tiga puluh enam persen) dari total potensi surya nasional. Potensi tersebut tersebar di seluruh Sumatera dengan potensi terbesar terletak di Provinsi Riau sekitar 25% (dua puluh lima persen) dari total potensi surya di wilayah Sumatera dan Provinsi Sumatera Selatan dengan total potensi sekitar 24% (dua puluh empat persen) dari total potensi surya di wilayah Sumatera. Provinsi dengan potensi surya terbesar adalah Nusa Tenggara Timur dengan total potensi mencapai sekitar 94% (sembilan puluh empat persen) dari total potensi surya di wilayah Nusa Tenggara atau sekitar 11% (sebelas persen) dari total potensi surya nasional. Provinsi dengan potensi surya terendah adalah Provinsi Gorontalo dengan potensi surya hanya sekitar 3% (tiga persen) dari total potensi surya di wilayah Sulawesi atau sekitar 0,2% (nol koma dua persen) dari total potensi surya nasional.

 

7. Bioenergi

 

Potensi bioenergi di Indonesia mencapai sekitar 55,7 (lima puluh lima koma tujuh) GW dengan rincian sekitar 53,4 (lima puluh tiga koma empat) GW potensi biomassa dan sekitar 2,3 (dua koma tiga) GW potensi biogas. Total potensi bioenergi nasional akan meningkat menjadi sekitar 57 (lima puluh tujuh) GW apabila memperhitungkan potensi palm oil mill effluent (POME) nasional sekitar 1.283 (seribu dua ratus delapan puluh tiga) MW. Wilayah Sumatera memiliki total potensi biomassa terbesar sekitar 54% (lima puluh empat persen) dari total potensi biomassa nasional. Potensi ini sebagian besar tersebar di Provinsi Riau dengan potensi biomassa sekitar 36% (tiga puluh enam persen) dari total potensi biomassa di wilayah Sumatera dan di Provinsi Sumatera Selatan dengan potensi biomassa sekitar 21% (dua puluh satu persen) dari total potensi biomassa di wilayah Sumatera.

 

Wilayah dengan potensi biomassa terendah adalah wilayah Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara dengan total potensi biomassa hanya sekitar 3% (tiga persen) dari total potensi biomassa nasional. Potensi biogas terbesar berada di wilayah Jawa sekitar 64% (enam puluh empat persen) dari total potensi biogas nasional. Potensi tersebut tersebar sebagian besar di Provinsi Jawa Barat dengan potensi biogas sekitar 32% (tiga puluh dua persen) dari total potensi biogas di wilayah Jawa serta Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah dengan total potensi biogas masing-masing sekitar 27% (dua puluh tujuh persen) dari total potensi biogas di wilayah Jawa.

 

8. Angin

 

Indonesia memiliki potensi angin sekitar 154,6 (seratus lima puluh empat koma enam) GW dengan rincian potensi angin onshore sekitar 60,4 (enam puluh koma empat) GW dan potensi angin offshore sekitar 94,2 (sembilan puluh empat koma dua) GW. Wilayah dengan potensi angin terbesar adalah wilayah Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara dengan potensi sekitar 40% (empat puluh persen) dari total potensi angin nasional. Potensi ini tersebar sebagian besar di Provinsi Maluku dengan potensi angin sekitar 36% (tiga puluh enam persen) dari total potensi angin di wilayah Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara serta Provinsi Papua dengan potensi angin sekitar 34% (tiga puluh empat persen) dari total potensi angin di wilayah Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara.

 

Wilayah Jawa memiliki potensi angin yang cukup besar sekitar 26% (dua puluh enam persen) dari total potensi angin nasional. Potensi angin tersebut tersebar di Provinsi Jawa Barat sekitar 31% (tiga puluh satu persen) dari total potensi angin di wilayah Jawa, Provinsi Jawa Timur dengan potensi angin sekitar 25% (dua puluh lima persen) dari total potensi angin di wilayah Jawa, dan Provinsi Jawa Tengah dengan potensi angin sekitar 21% (dua puluh satu persen) dari total potensi angin di wilayah Jawa. 

 

Wilayah dengan total potensi angin terendah adalah wilayah Sumatera dengan potensi angin sekitar 7% (tujuh persen) dari total potensi angin nasional. Potensi angin terbesar berada di Provinsi Lampung sekitar 36% (tiga puluh enam persen) dari total potensi angin di wilayah Sumatera, Provinsi Aceh sekitar 22% (dua puluh dua persen) dari total potensi angin di wilayah Sumatera, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 16% (enam belas persen) dari total potensi angin di wilayah Sumatera, dan Provinsi Bengkulu dengan sekitar 14% (empat belas persen) dari total potensi angin di wilayah Sumatera.

 

9. Arus Laut

 

Menurut Peta Potensi Energi Laut Indonesia, Indonesia memiliki potensi arus laut teoritikal sekitar 10.741 (sepuluh ribu tujuh ratus empat puluh satu) MW, teknikal sekitar 4.296 (empat ribu dua ratus sembilan puluh enam) MW, dan praktikal sekitar 1.504 (seribu lima ratus empat) MW. Potensi tersebut terletak di 8 (delapan) provinsi. Potensi arus laut praktikal terbesar berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 53% (lima puluh tiga persen) dari total potensi arus laut praktikal nasional. Potensi tersebut tersebar di Selat Lombok dan Selat Alas. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi arus laut praktikal yang cukup besar sekitar 24% (dua puluh empat persen) dari total potensi arus laut praktikal nasional.

 

10. Nuklir

 

Berdasarkan Laporan Teknis Ringkas yang diterbitkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional, terdapat potensi sumber daya terukur thorium sekitar 4.729 (empat ribu tujuh ratus dua puluh sembilan) ton dan uranium U308 sekitar 5.234 (lima ribu dua ratus tiga puluh empat) ton. Potensi tersebut tersebar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 2.840 (dua ribu delapan ratus empat puluh) ton uranium U308 dan sekitar 4.729 (empat ribu tujuh ratus dua puluh sembilan) ton thorium dan Provinsi Kalimantan Barat sekitar 2.394 (dua ribu tiga ratus sembilan puluh empat) ton uranium U308.

 

Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

 

Sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik. BUMN, dalam hal ini PT PLN (Persero), diberi prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Saat ini terdapat 65 (enam puluh lima) badan usaha yang memiliki wilayah usaha penyediaan tenaga listrik yang meliputi 57 (lima puluh tujuh) wilayah usaha yang terintegrasi, 1 (satu) wilayah usaha transmisi, distribusi, dan penjualan, dan 7 (tujuh) wilayah usaha distribusi dan penjualan. Peta dan lokasi wilayah usaha penyediaan tenaga listrik dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 2.

 

Gambar 1. Peta Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik

 

Tabel 2. Wilayah Usaha Penyediaan Tenaga Listrik









SUMBER:

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 85.K/TL.01/MEM.L/2025 TENTANG RENCANA UMUM KETENAGALISTRIKAN NASIONAL

Monday, 5 September 2022

Proses Biokimia Pencernaan Anaerobik

RINGKASAN

Pencarian energi dan bahan bakar alternatif telah memotivasi para peneliti untuk fokus pada cara-cara yang terbarukan dan berkelanjutan untuk mendapatkannya daripada mengandalkan cara konvensional produksi energi dan bahan bakar. Pencernaan anaerobik adalah proses biokimia di mana bahan organik kompleks didekomposisi tanpa adanya oksigen, oleh berbagai jenis mikroorganisme anaerob. Proses pencernaan anaerobik sesuai untuk semua sistem pengolahan air limbah mengingat padatan dapat dimasukkan ke sistem pada konsentrasi yang dapat diterima. Biogas, produk dari proses pencernaan anaerobik adalah bentuk energi yang bersih dan terbarukan yang dapat menggantikan sumber energi konvensional yang menyebabkan masalah ekologi-lingkungan dan pada saat yang sama menipis pada tingkat yang lebih cepat. Makalah ini mengulas proses pencernaan anaerobik dan kompleksitasnya; itu mencakup berbagai tahapan yang terlibat dalam proses, substrat yang digunakan dalam proses, hubungan antara substrat dan mikroorganisme dan parameter operasi penting seperti pH, suhu, dan laju pemuatan.

 

1. PENDAHULUAN

Kebutuhan untuk mengembangkan dan meningkatkan sumber daya energi berkelanjutan sangat penting karena sifat bahan bakar fosil kita yang terbatas [1] . Penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama telah menimbulkan beberapa tantangan ekonomi dan lingkungan [2]. Banyak masyarakat pedesaan di negara berkembang terpaksa mengandalkan sumber energi tradisional seperti kayu bakar, sisa tanaman dan parafin. Metode tradisional ini seringkali mahal, tidak ramah lingkungan dan memakan waktu [3] -[5] . Memasak menyumbang 90% dari konsumsi energi di rumah tangga negara berkembang [6], lebih jauh lagi akses listrik di daerah pedesaan relatif langka [7].

 

Biogas merupakan pengganti kayu bakar dan kotoran ternak yang dapat memenuhi kebutuhan energi penduduk pedesaan [8] . Biogas adalah gas yang mudah terbakar yang terutama terdiri dari metana, karbon dioksida dan sejumlah kecil gas lainnya dan elemen jejak, ini adalah cara yang ramah lingkungan, ekonomis dan alternatif untuk fosil seperti kayu bakar dan batu bara. Di banyak negara, biogas saat ini digunakan untuk pembangkit listrik dan panas gabungan (CHP) atau ditingkatkan dan dimasukkan ke dalam jaringan gas alam, digunakan sebagai bahan bakar kendaraan atau dalam sel bahan bakar [9] . Hasil akhir metana dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pakan, spesies, berkembang biak dan tahap pertumbuhan hewan serta jumlah dan jenis bahan tempat tidur bersama dengan kondisi pra penyimpanan sebelum produksi biogas [10] . Komposisi, yaitu kandungan protein, lemak, serat, selulosa, hemiselulosa, pati dan gula, juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi hasil metana [11].

 

Pencernaan anaerobik adalah teknologi yang cocok untuk mengolah limbah padat dan air limbah dan telah dianggap sebagai teknologi limbah menjadi energi. Kemajuan besar telah dibuat di semua bidang pengelolaan limbah tetapi pengenalan pencernaan anaerobik ke dalam pengolahan limbah padat kota adalah salah satu perkembangan teknologi paling sukses dan inovatif yang diamati selama dua dekade terakhir di bidang pengelolaan limbah [12] . Pencernaan anaerobik telah diterima sepenuhnya sebagai metode yang terbukti dan bahkan lebih disukai untuk fase biodegradasi intensif fraksi organik yang berasal dari limbah padat perkotaan. Produksi biogas melalui pencernaan anaerobik menawarkan keuntungan yang signifikan dibandingkan bentuk lain dari produksi bioenergi.

 

Pembatasan karbon dioksida dan emisi lainnya melalui peraturan emisi, pajak karbon dan pengurangan energi biomassa membuat pencernaan anaerobik menjadi teknologi yang lebih menarik dan kompetitif untuk pengelolaan limbah. Limbah berbasis selulosa tersedia melimpah, yang mungkin cocok untuk produksi biogas, mis. lignoselulosa dan limbah tekstil. Bahan-bahan ini kaya akan karbohidrat dan dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi biogas. Namun, sifat rekalsitran dari substrat ini membuatnya sangat sulit untuk dicerna, karena strukturnya menentang hidrolisis mikroba dalam produksi biogas [13] [14].

 

Saat ini, aplikasi bahan lignoselulosa dalam produksi biogas terbatas dan untuk limbah tekstil tidak ada [13] [14] . Produksi biogas dari AD membutuhkan tenaga kerja untuk produksi, pengumpulan dan pengangkutan bahan baku AD, pembuatan peralatan teknis, konstruksi, operasi dan pemeliharaan instalasi biogas. Ini berarti bahwa pengembangan sektor biogas nasional berkontribusi pada pembentukan perusahaan baru, beberapa dengan potensi ekonomi yang signifikan, meningkatkan pendapatan di daerah pedesaan dan menciptakan lapangan kerja baru.

 

2. DEGASI ANAEROBIK

Pencernaan anaerobik mendapatkan perhatian lebih saat ini, baik sebagai solusi untuk masalah lingkungan dan juga sebagai sumber energi untuk gaya hidup yang menuntut energi saat ini [15]. Dengan total 244 tanaman dan kapasitas hampir 8 juta ton kapasitas pengolahan organik, pencernaan anaerobik sudah menangani sekitar 25% dari pengolahan biologis di Eropa [12] . Dalam pencernaan anaerobik, bahan organik didegradasi oleh bakteri, tanpa adanya oksigen, mengubahnya menjadi campuran metana dan karbon dioksida. Digester atau bubur dari digester kaya akan amonium dan nutrisi lain yang digunakan sebagai pupuk organik [3] [16] -[20] . Mikroorganisme dari dua kingdom biologis, bakteri dan archaea melakukan proses ini dalam kondisi anaerobik yang ketat [21] [22].

 

Pencernaan anaerobik limbah organik semakin menarik karena menawarkan kesempatan untuk mengatasi beberapa masalah terkait pengurangan jumlah limbah organik, sambil mengurangi dampak lingkungan dan memfasilitasi pengembangan pasokan energi yang berkelanjutan [23] . Meskipun kemajuan berkelanjutan telah dibuat dengan teknologi pengobatan alternatif lainnya (gasifikasi, pirolisis, plasma, pengeringan biologis, dll.), teknologi ini sejauh ini belum melihat penerapan luas yang sama yang dapat dicapai oleh pencernaan anaerobik.

 

Di Eropa saja, 244 instalasi yang menangani fraksi organik limbah padat perkotaan sebagai bagian penting dari bahan baku telah dibangun atau diizinkan dan dikontrak untuk dibangun (hingga 2014) [12] . Ada banyak kasus sistem pencernaan anaerobik yang diterapkan di sektor pertanian pada operasi pemberian makan hewan dan buku harian untuk mengurangi beberapa dampak pupuk kandang dan untuk produksi energi [24].

 

Mayoritas sistem pencernaan anaerobik ini dalam operasinya adalah satu tahap, dalam satu tahap (satu tahap), semua reaksi biologis terjadi dalam satu reaktor atau tangki penampung. Ada penelitian bahwa pencernaan anaerobik dua tahap dapat memberikan keuntungan besar dibandingkan pencernaan satu tahap karena pengobatan yang lebih cepat dan lebih stabil dicapai [12]. Namun dalam praktiknya, dikatakan bahwa pencernaan dua tahap belum dapat memvalidasi keunggulan yang diklaim di pasar, dan manfaat tambahan dalam meningkatkan laju hidrolisis dan metanisasi belum dikonfirmasi [25]. Oleh karena itu, aplikasi industri menunjukkan sedikit penerimaan untuk sistem dua tahap sejauh ini [26].

 

2.1. PROSES PENCERNAAN ANAEROBIK

Pencernaan anaerobik sering dianggap sebagai proses yang kompleks, pencernaan itu sendiri didasarkan pada proses reduksi yang terdiri dari sejumlah reaksi biokimia yang berlangsung dalam kondisi anoksik [27] . Pembentukan metana dalam pencernaan anaerobik melibatkan empat langkah berbeda: hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis. Umumnya dalam proses pencernaan anaerobik, langkah pembatas laju dapat didefinisikan sebagai langkah yang menyebabkan kegagalan proses di bawah tekanan kinetik yang dipaksakan [27]. Dengan kata lain, dalam konteks budaya kontinu, tegangan kinetik didefinisikan sebagai pengenaan nilai waktu retensi padatan yang terus berkurang secara konstan sampai lebih rendah dari nilai batas; maka akan mengakibatkan washout mikroorganisme [28].

 

Sebagian besar peneliti melaporkan bahwa batas laju untuk substrat organik kompleks adalah langkah hidrolisis [29] - [35] karena pembentukan produk sampingan beracun (senyawa heterosiklik kompleks) atau asam lemak volatil yang tidak diinginkan (VFA) yang terbentuk selama langkah hidrolisis [ 36] [37] : sedangkan metanogenesis adalah langkah pembatas laju untuk substrat yang mudah terbiodegradasi [36] [38] -[40] . Proses pencernaan anaerobik dapat dibagi menjadi dua fase seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1.


Gambar 1. Pemisahan fase dari sistem pencernaan anaerobik. Diadaptasi dari [47] .

 

Tabel 1. Beberapa kelompok penting enzim hidrolitik dan fungsinya [48]

 


 

Mikroorganisme yang melakukan reaksi degradasi pada setiap fase ini sangat berbeda dalam hal fisiologi, kebutuhan nutrisi, kinetika pertumbuhan, dan kepekaan terhadap lingkungan. Sangat sering, sulit untuk menjaga keseimbangan antara dua kelompok ini: pembentuk asam dan mikroorganisme pembentuk metana, yang menyebabkan ketidakstabilan reaktor dan akibatnya hasil metana rendah [41] . Dua kelompok utama mikroorganisme dapat dipisahkan secara fisik dengan tujuan memanfaatkan perbedaan kinetika pertumbuhannya [25]. Untuk mencapai pemisahan fasa, beberapa teknik telah digunakan seperti pemisahan membran, kontrol kinetik, dan kontrol pH [42] -[46] .

 

2.1.1. HIDROLISIS

Ini adalah langkah pertama dalam proses pencernaan anaerobik, melibatkan transformasi enzim-dimediasi bahan organik tidak larut dan senyawa massa molekul yang lebih tinggi seperti lipid, polisakarida, protein, lemak, asam nukleat dll menjadi bahan organik terlarut yaitu senyawa yang cocok untuk digunakan sebagai sumber energi dan karbon sel seperti monosakarida, asam amino dan senyawa organik sederhana lainnya. Langkah ini dilakukan oleh bakteri anaerob ketat seperti bakteri, clostridia dan bakteri fakultatif seperti streptokokus dll [1] .

 

Tahap pertama ini sangat penting karena molekul organik yang besar terlalu besar untuk langsung diserap dan digunakan oleh mikroorganisme sebagai substrat/sumber makanan. Untuk mencapai biodegradasi, mikroorganisme tertentu mengeluarkan berbagai jenis enzim, yang disebut enzim ekstraseluler, yang "memotong" molekul yang lebih besar menjadi potongan-potongan yang lebih kecil yang kemudian dapat dibawa oleh mikroorganisme ke dalam sel dan digunakan sebagai sumber energi dan nutrisi. Beberapa mikroorganisme mengeluarkan beberapa enzim yang berbeda, yang memungkinkan mereka untuk memecah berbagai jenis bahan organik.

 

Mikroorganisme lain terspesialisasi. Misalnya, mereka mengeluarkan enzim yang memecah gula atau protein. Mikroorganisme yang memecah gula yang berbeda disebut sakarolitik, sedangkan yang memecah protein disebut proteolitik. Ada enzim yang berbeda untuk gula, protein, lemak, dll. [48] . Tabel 1 berisi contoh beberapa kelompok enzim ekstraseluler yang berbeda. Setiap kelompok mengandung beberapa enzim yang terspesialisasi dalam berbagai substrat, seperti protein yang berbeda. Laju dekomposisi selama tahap hidrolisis sangat tergantung pada sifat substrat. Transformasi selulosa dan hemiselulosa umumnya berlangsung lebih lambat dibandingkan dekomposisi protein [48].

 

2.1.2. Asidogenesis

Monomer yang dihasilkan dalam fase hidrolitik diambil oleh bakteri anaerobik fakultatif dan obligat yang berbeda dan didegradasi lebih lanjut menjadi asam organik rantai pendek seperti asam butirat, asam propanoat, asam asetat, alkohol, hidrogen, dan karbon dioksida. Konsentrasi hidrogen yang terbentuk sebagai produk antara pada tahap ini mempengaruhi jenis produk akhir yang dihasilkan selama proses fermentasi. Misalnya, jika tekanan parsial hidrogen terlalu tinggi, itu akan mengurangi jumlah senyawa tereduksi. Secara umum, selama fase ini, gula sederhana, asam lemak dan asam amino diubah menjadi asam organik dan alkohol [49].

 

2.1.3. AETOGENESIS

Produk yang dihasilkan dalam fase asidogenik dikonsumsi sebagai substrat untuk mikroorganisme lain, yang aktif dalam fase ketiga. Pada fase ketiga, juga disebut fase asidogenik, oksidasi anaerobik dilakukan [27]. Produk yang tidak dapat langsung diubah menjadi metana oleh bakteri metanogenik diubah menjadi substrat metanogenik, asam lemak volatil dan alkohol (VFA) dioksidasi menjadi substrat metanogenik seperti asetat, hidrogen dan karbon dioksida, VFA dengan rantai karbon lebih panjang dari satu unit dioksidasi menjadi asetat dan hidrogen [9].

 

Penting untuk dicatat bahwa organisme yang melakukan reaksi oksidasi anaerobik bekerja sama dengan kelompok berikutnya, mikroorganisme pembentuk metana; kolaborasi ini tergantung pada tekanan parsial hidrogen yang ada dalam sistem. Di bawah oksidasi anaerobik, proton digunakan sebagai akseptor elektron terakhir yang mengarah pada produksi H2. Namun reaksi oksidasi ini hanya dapat terjadi jika tekanan parsial hidrogen rendah, yang menjelaskan mengapa kerjasama dengan metanogen sangat penting karena mereka akan terus mengkonsumsi H2, untuk menghasilkan metana. Oleh karena itu selama hubungan simbiosis ini terjadi transfer hidrogen antar spesies [48] [50] -[52].

 

2.1.4. METANOLOGI

Pada fase metanogenik, produksi metana dan karbon dioksida dari produk antara dilakukan oleh bakteri metanogenik dalam kondisi anaerobik yang ketat [27]. Metanogenesis adalah langkah penting dalam seluruh proses pencernaan anaerobik karena merupakan reaksi biokimia paling lambat dari proses [9] . Gambar 2 menunjukkan keseluruhan proses biokimia.

 

3. SUBSTRATE UNTUK PROSES PENURUNAN ANAEROBIK

Berbagai macam jenis biomassa dapat digunakan sebagai substrat (bahan baku) untuk produksi biogas dari proses pencernaan anaerobik. Substrat harus memenuhi kebutuhan nutrisi mikroorganisme mengenai sumber energi dan berbagai komponen penting untuk membangun sel baru. Substrat juga harus mencakup berbagai macam komponen yang diperlukan untuk aktivitas sistem enzim mikroba seperti elemen dan vitamin [27]. Komposisi substrat penting dalam proses pencernaan anaerobik. Komposisi tersebut pada akhirnya juga mempengaruhi kualitas sisa pencernaan (digestate), baik dari segi kandungan nutrisi tanaman maupun potensi pencemaran (logam, senyawa organik, organisme penyebab penyakit, dll). Memilih bahan yang tepat memberi Anda kesempatan untuk mempengaruhi hasil proses, memaksimalkan keluaran energi dan menghasilkan pupuk hayati berkualitas baik.

 


Gambar 2. Tahapan kunci proses pencernaan anaerobik [9] .

 

Biomassa yang paling umum digunakan dalam produksi pabrik Biogas Eropa tercantum di bawah ini:

·         Kotoran hewan dan bubur;

·         Residu pertanian dan produk sampingannya;

·         Limbah organik yang dapat dicerna dari makanan dan agroindustri (nabati dan hewani);

·         Fraksi organik dari sampah kota dan dari katering;

·         Lumpur limbah;

·         Tanaman energi khusus (misalnya jagung, miskantus, sorgum).

 

SUBSTRAT PENTING UNTUK MIKROORGANISME

Komposisi substrat sangat penting bagi mikroorganisme dalam proses biogas dan juga untuk stabilitas proses dan produksi gas. Ketika datang ke dekomposisi bahan organik dalam proses pencernaan anaerobik, rasio karbon terhadap nitrogen (rasio C/N) juga dianggap sangat penting, oleh karena itu kinerja proses pencernaan anaerobik terbukti ditingkatkan dengan menggunakan substrat dari sumber yang berbeda dan dengan proporsi yang tepat [53] . Penyelidikan menunjukkan bahwa co-digesti substrat dari sumber yang berbeda menghasilkan lebih banyak gas daripada yang diperkirakan dibandingkan dengan produksi gas dari substrat individu [23] [54] [55].

 

Sulit untuk mengatakan dengan tepat rasio apa yang optimal karena bervariasi dengan substrat yang berbeda dan juga dengan kondisi proses. Beberapa faktor mempengaruhi rasio C/N optimum untuk proses tersebut:

 

1) Jika substrat dibatasi oleh faktor selain jumlah karbon atau nitrogen, misalnya, tingkat fosfor dan elemen jejak yang rendah. Hal ini dapat berpengaruh pada fungsi proses yang menjadi lebih penting daripada rasio C/N.

2) Efisiensi dekomposisi proses. Jika tingkat dekomposisi dalam proses (yaitu proporsi bahan organik yang diubah menjadi metana), rendah, sebagian kecil nitrogen dilepaskan sebagai amonia dibandingkan dengan proses dengan tingkat dekomposisi tinggi. Proses seperti itu "menangani" substrat dengan rasio C/N rendah lebih baik daripada proses dengan degradasi yang lebih efisien.

3) Komposisi substrat (yaitu komponen mana yang benar-benar bertanggung jawab atas rasio C/N). Senyawa karbon rantai panjang, seperti selulosa, dipecah secara perlahan, dan risiko proses pengasaman secara signifikan lebih rendah daripada di mana sebagian besar karbonnya adalah glukosa, yang terdegradasi dengan sangat cepat. Beberapa karbon juga dapat terjadi dalam bentuk lignin, yang dalam bentuk utuhnya tidak terurai sama sekali selama proses berlangsung [56].

 

Juga lebih disukai untuk menggunakan substrat yang tidak terlalu encer, yaitu mengandung terlalu banyak air dibandingkan dengan jumlah substrat organik. Jika bahan terlalu encer, dan mengandung terlalu sedikit bahan organik, risikonya adalah mikroorganisme hanyut dalam proses yang berkelanjutan. Ini karena tingkat pertumbuhan mereka rendah. Kadar air yang disukai tergantung pada jenis proses yang digunakan. Bahan yang sangat encer dapat diperlakukan dengan berbagai teknik untuk mempertahankan mikroorganisme, misalnya, menggunakan bahan pembawa atau menambahkan kembali biomassa [57] [58] .

 

4. FAKTOR PENCERNAAN

Pencernaan anaerobik tergantung pada beberapa parameter yang berbeda untuk kinerja yang optimal. Kelompok mikroorganisme yang berbeda terlibat dalam produksi metana, dan kondisi yang sesuai harus ditetapkan untuk menjaga keseimbangan semua mikroorganisme. Beberapa parameter tersebut adalah: pH, temperatur, pencampuran, substrat, rasio C/N, dan waktu retensi hidrolik (HRT) [27] . Pencernaan merupakan proses yang lambat dan membutuhkan waktu minimal tiga minggu bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dengan kondisi baru ketika terjadi perubahan substrat atau suhu [51]. Hubungan simbiosis diperlukan antara mikroorganisme asetogenik penghasil hidrogen dan metanogen pemakan hidrogen. Selanjutnya, pH netral menguntungkan untuk produksi biogas, karena sebagian besar metanogen tumbuh pada kisaran pH 6,7 - 7,5. Suhu juga merupakan faktor penting dalam produksi biogas. Sebagian besar mikroorganisme pembentuk asam tumbuh dalam kondisi mesofilik; namun, untuk metanogen, suhu yang lebih tinggi menguntungkan [51] . Pencampuran juga merupakan parameter penting untuk produksi biogas. Terlalu banyak pencampuran menekankan mikroorganisme dan tanpa pencampuran terjadi buih. Mikroorganisme pembentuk metana tumbuh lambat, dengan waktu penggandaan sekitar 5 – 16 hari. Oleh karena itu, waktu retensi hidraulik harus setidaknya 10 - 15 hari, kecuali jika bakteri ini tertahan oleh, misalnya, jebakan.

 

Substrat dan keseimbangan sumber karbon dengan nutrisi lain seperti nitrogen, fosfor, dan belerang juga penting. Substrat harus dicerna perlahan; jika tidak, substrat yang mudah terdegradasi dapat menyebabkan peningkatan kandungan asam secara tiba-tiba. Rasio karbon dan nitrogen harus sekitar 16:1 - 25:1. Terlalu banyak peningkatan atau penurunan rasio karbon/nitrogen mempengaruhi produksi biogas. Konsentrasi padatan dalam digester harus bervariasi antara 7% dan 9%. Ukuran partikel bukan merupakan faktor penting dibandingkan dengan parameter lain seperti pH dan suhu. Namun, ukuran partikel yang digunakan mempengaruhi degradasi dan pada akhirnya tingkat produksi biogas [23] [49] [51].

 

5. KESIMPULAN

Kekhawatiran global yang berkembang tentang meningkatnya jumlah limbah, pemanasan global dan ketergantungan pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama telah mendorong penelitian tentang proses pencernaan anaerobik dan kompleksitasnya. Sebuah analisis kritis literatur mengungkapkan bahwa proses pencernaan anaerobik adalah sumber utama produksi biogas.

Dibandingkan dengan bahan bakar nabati lainnya, dalam produksi biogas, berbagai substrat dapat digunakan asalkan dapat terurai secara hayati. Penggunaan substrat tertentu untuk proses tergantung pada kemampuan substrat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mikroorganisme. Oleh karena itu komposisi substrat sangat penting dalam proses pencernaan anaerobik. Bioenergi akan menjadi sumber energi terbarukan yang paling signifikan karena menawarkan daya tarik ekonomis dan alternatif bahan bakar fosil.

Pencernaan anaerobik memiliki banyak keuntungan karena konsumsi energinya yang rendah, produksi lumpur yang rendah, kebutuhan ruang yang lebih kecil, pengurangan volume limbah dan produksi pupuk hayati dan kondisioner tanah yang berharga.

 

DAFTAR PUSTAKA

1.        Merlin Christy, P., Gopinath, L.R. and Divya, D. (2014) A Review on Anaerobic Decomposition and Enhancement of Biogas Production through Enzymes and Microorganisms. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 34, 167-173. http://dx.doi.org/10.1016/j.rser.2014.03.010   [Citation Time(s):2]

2.        Budiyono, Widiasa, I.N., Johari, S. and Sunarso (2010) The Kinetic of Biogas Production Rate from Cattle Manure in Batch Mode. International Journal of Chemical and Biomolecular Engineering, 3, 39-44.   [Citation Time(s):1]

3.        NAS (1977) Methane Generation from Human. Animal and Agricultural Waste; National Academy of Sciences, Washington DC.   [Citation Time(s):2]

4.        Ravindanath, N.H. (2000) Renewable Energy and Environment: A Policy Analysis for INDIA: Tata. Mcgraw-Hill, Pradesh.

5.        Zhang, J., Mauzerall, D.L., Zhu, T., Liang, S., Ezzah, M. and Remais, J.V. (2010) Environmental Health in China: Progress towards Clean Air and Safe Water. Lancet, 375, 1110-1119. http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(10)60062-1   [Citation Time(s):1]

6.        Bioenergylists. http://www.stoves.Bioenergylists.Org   [Citation Time(s):1]

7.        Luijten, C.C.M. and Kerkhof, E. (2011) Jatropha Oil and Biogas in a Dual Fuel Combustion Engine for Rural Electrification. Energy Conversion and Management, 52, 1426-1438.   [Citation Time(s):1]

8.        Bhattacharya, S.C., Abdul Salam, P. and Sharma, M. (2000) Emissions from Biomass Energy Use in Some Selected Asian Countries. Energy, 25, 169-188. http://dx.doi.org/10.1016/S0360-5442(99)00065-1   [Citation Time(s):1]

9.        Al Seadi, T., Ruiz, D., Prassl, H., Kottner, M., Finsterwaldes, T., Volke, S. and Janssers, R. (2008) Handbook of Biogas. University of Southern Denmark, Esbjerg.   [Citation Time(s):4]

10.    Moller, H.B., Sommer, S.G. and Ahring, B.K. (2004) Methane Productivity of Manure Straw and Solid Fractions of Manure. Biomass and Bioenergy, 25, 485-495. http://dx.doi.org/10.1016/j.biombioe.2003.08.008   [Citation Time(s):1]

11.    Comino, E., Rosso, M. and Riggio, V. (2009) Development of a Pilot Scale Anaerobic Digester for Biogas Production from Cow Manure and Why They Mix. Bioresource Technology, 100, 5072-5078. http://dx.doi.org/10.1016/j.biortech.2009.05.059   [Citation Time(s):1]

12.    De Baere, L. (2000) Anaerobic Digestion of Solid Waste: State of the Art. Water Science and Technology, 41, 283- 290.   [Citation Time(s):4]

13.    Jeihanipour, A. (2011) Waste Textiles Bioprocessing to Ethanol and Biogas. Doctoral Thesis, Chalmers University of Technology, Gothenburg.   [Citation Time(s):2]

14.    Teghammar, A. (2013) Biogas Production from Lignocelluloses: Pretreatment, Substrate Characterization, Co-Diges- tion and Economic Evaluation. Doctoral Thesis, Chalmers University of Technology, Gothenburg.   [Citation Time(s):2]

15.    Asam, Z.U.Z., Poulsen, T.G., Nzami, A-S., Raxique, R., Kiely, G. and Murphy, J.D. (2011) How Can We Improve Biomethane Production Per Unit of Feedstock in Biogas Plant. Applied Energy, 88, 2013-2018. http://dx.doi.org/10.1016/j.apenergy.2010.12.036   [Citation Time(s):1]

16.    Meynell, P.J. (1976) Methane: Planning a Digester. Sochen Books, Prison Stable Court, Dorset, Clarington.   [Citation Time(s):1]

17.    Santerre, M.T. and Smith, K.R. (1982) Measures of Appropriateness. The Resource Requirements of Anaerobic Digestion (Biogas) System. World Development, 10, 239-261. http://dx.doi.org/10.1016/0305-750X(82)90013-4

18.    Sathianathan, M.A. (1975) Biogas Achievements and Challenges. Association of Voluntary Agencies for Rural Development, New Delhi.

19.    Singh, R.B. (1973) Bio-Gas Plant: Design with Specifications. Gober Gas Plant Research Station, Ajitmal.

20.    Singh, R.B. (1974) Bio-Gas Plant: Generating Methane from Organic Wastes. Gober Gas Plant Research Station, Ajitmal.   [Citation Time(s):1]

21.    Dugba, P.N. and Zhang, R. (1999) Treatment of Diary Waste Water with Two Stage Anaerobic Sequencing Batch Reactor Systems―Thermophilic versus Mesophilic Operations. Bioresource Technology, 68, 225-233. http://dx.doi.org/10.1016/S0960-8524(98)00156-4   [Citation Time(s):1]

22.    Veeken, A.H.M. and Hamelers, B.V.M. (2000) Effect of Substrate-Seed Mixing and Leachate Recirculation on Solid Waste Slate Digestion of Biowaste. Water Science and Technology, 41, 225-262.   [Citation Time(s):1]

23.    Yadvika, S., Sreekrishnan, T.R., Kholi, S. and Rana, V. (2004) Enhancement of Biogas Production from Solid Substrates Using Different Techniques―A Review. Bioresource Technology, 95, 1-100.   [Citation Time(s):3]

24.    Rapport, J., Zhang, R., Jenkins, B.M. and Williams, R.B. (2008) Current Anaerobic Digestion Technologies Used for Treatment of Municipal Organic Solid Waste. California Environmental Protection Agency, Sacramento.   [Citation Time(s):1]

25.    Pohland, F.G. and Ghosh, S. (1971) Developments in Anaerobic Stabilization of Organic Wastes―The Two-Phase Concept. Environmental Letters, 1, 255-266.   [Citation Time(s):2]

26.    Vandevivere, P., De Baere, L. and Verstraete, W. (2003) Types of Anaerobic Digesters for Solid Wastes. In: Mata Alvarez, J., Ed., Biomethanization of the Organic Fraction of Municipal Wastes, IWA Press, London, 111-137   [Citation Time(s):1]

27.    Aslanzadeh, S. (2014) Pretreatment of Cellulosic Waste and High Rate Biogas Production. Doctoral Thesis on Resource Recovery, University of Borås, Borås, 1-50.   [Citation Time(s):6]

28.    Paslotathis, S.G. and Girardo-Gomez, E. (1991) Kinetics of Anaerobic Treatment: A Critical Review. Critical Reviews in Environmental Control, 21, 411-490. http://dx.doi.org/10.1080/10643389109388424   [Citation Time(s):1]

29.    Fernandes, T.V., Klaasse Bos, G.J., Zeeman, G., Sander, J.P.M. and Lier, J.B. (2009) Effects of Thermo-Chemical Pretreatment on Anaerobic Biodegradability and Hydrolysis of Lingocellulosic Biomass. Bioresource Technology, 100, 2575-2579. http://dx.doi.org/10.1016/j.biortech.2008.12.012   [Citation Time(s):1]

30.    Heo, N.H., Park, S.C., Lee, J.S. and Kang, H. (2003) Solubilization of Waste Activated Sludge by Alkaline Pretreatment and Biochemical Methane (BMP) Tests for Anaerobic Co-Digestion of Municipal Organic Waste. Water Science and Technology, 48, 211-219.

31.    Izumi, K., Okishio, Y.K., Niwa, C., Yamamoto, S. and Toda, T. (2010) Effects of Particle Size on Anaerobic Digestion of Food Waste. International Biodeterioration & Biodegradation, 64, 601-608.

32.    Maj Duong, T.H., Smits, M., Vestraete, W. and Carballa, M. (2011) Enhanced Biomethanation of Kitchen Waste by Different Pretreatments. Bioresource Technology, 102, 592-599. http://dx.doi.org/10.1016/j.biortech.2010.07.122

33.    Miah, M.S., Tada, C. and Yang, Y. (2005) Aerobic Thermophilic Bacteria Enhance Biogas Production. Journal of Ma- terial Cycles and Waste Management, 7, 48-54.

34.    Rafique, R., Poulsen, T.G., Nizami, A.S., Asamzz, Z.U.Z., Murphy, J.D. and Kiely, G. (2010) Effect of Thermal, Chemical and Thermo-Chemical Pretreatments to Enhance Methane Production. Energy, 35, 4556-4561. http://dx.doi.org/10.1016/j.energy.2010.07.011

35.    Valo, A., Carrere, H. and Delgenes, J.P. (2004) Thermal, Chemical and Thermo-Chemical Pre-Treatments of Waste Activated Sludge for Anaerobic Digestion. Journal of Chemical Technology and Biotechnology, 79, 1197-1203. http://dx.doi.org/10.1002/jctb.1106   [Citation Time(s):1]

36.    Lu, J.,Gavala, H.N., Skiadas, I.V., Mladenovska, Z. and Ahrin, B.K. (2008) Improving Anaerobic Sewage Sludge Digestion by Implementation of a Hyper-Thermophilic Prehydrolysis Step. Journal of Environmental Management, 88, 881-889. http://dx.doi.org/10.1016/j.jenvman.2007.04.020   [Citation Time(s):2]

37.    Nevers, L., Ribeiro, R., Oliveira, R. and Alves, M.M. (2006) Enhancement of Methane Production from Barley Waste. Biomass and Bioenergy, 30, 599-560. http://dx.doi.org/10.1016/j.biombioe.2005.12.003   [Citation Time(s):1]

38.    Gavala, H.N., Yenal, U., Skiadas, I.V., Westermann, P. and Ahring, B.K. (2003) Mesophilic and Thermophilic Anaerobic Digestion of Primary and Secondary Sludge, Effect of Pretreatment at Elevated Temperatures. Water Research, 37, 4561-4572.   [Citation Time(s):1]

39.    Rozzi, A. and Remigi, E. (2004) Methods of Assessing Microbial Activity and Inhibition under Anaerobic Conditions: A Literature Review. Re/Views in Environmental Science & Bio/Technology, 3, 93-115. http://dx.doi.org/10.1007/s11157-004-5762-z

40.    Skiadas, I.V., Gavala, H.N., Lu, J. and Ahring, B.K. (2005) Thermal Pretreatment of Primary and Secondary Sludge at 70˚C Prior to Anaerobic Digestion. Water Science and Technology, 52, 161-166.   [Citation Time(s):1]

41.    Demirel, B. and Yenigun, O. (2002) Two Phase Anaerobic Digestion Processes: A Review. Journal of Chemical Tech- nology and Biotechnology, 77, 743-755. http://dx.doi.org/10.1002/jctb.630   [Citation Time(s):1]

42.    Ghosh, S. and Pohland, F.G. (1974) Kinetics of Substrate Assimilation and Product Formation in Anaerobic Digestion. Journal of Water Pollution Control Federation, 46, 748-759.   [Citation Time(s):1]

43.    Massay, M.L. and Pohland, F.G. (1978) Phase Separation of Anaerobic Stabilization by Kinetics Controls. Journal of water Pollution Control Federation, 50, 2204-2222.

44.    Cohen, A., Zoetemeyer, R.J., Van Deursen, A. and Van Andel, J.G. (1979) Anaerobic Digestion of Glucose with Separated Acid Production and Methane Formation. Water Research, 13, 571-580. http://dx.doi.org/10.1016/0043-1354(79)90003-4

45.    Pohland, F.G. and Mancy, K.H. (1969) Use of pH and pE Measurements during Methane Biosynthesis. Biotechnology and Bioengineering, 11, 683-699. http://dx.doi.org/10.1002/bit.260110412

46.    Fernandes, I.A.P. (1986) Application of Porous Membranes for Biomass Retention in a Two-Phase Anaerobic Process. University of Newcastle, Newcastle upon Tyne.   [Citation Time(s):1]

47.    US EPA Biosolids Technology Factsheet (2006) Multi Stage Anaerobic Digestion. US Environmental Protection Agency, Washington DC, EPA 832-F-806-031.   [Citation Time(s):1]

48.    Schnurer, A. and Jarvis, A. (2009) Microbiological Handbook for Biogas Plant. Swedish Waste Management, Swedish Gas Centre, Malmö, 1-74.   [Citation Time(s):4]

49.    Gerardi, M.H. (2003) The Microbiology of Anaerobic Digesters. Wiley, Hoboken, 89-92. http://dx.doi.org/10.1002/0471468967.ch14   [Citation Time(s):2]

50.    Chandra, R., Takeuchi, H. and Hasegawa, T. (2012) Methane Production from Lignocellulosic Agricultural Crop Wastes: A Review in Context to Second Generation of Biofuel Production. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 16, 1462-1476. http://dx.doi.org/10.1016/j.rser.2011.11.035   [Citation Time(s):1]

51.    Deublein, D. and Steinhauser, A. (2008) Biogas from Waste and renewable Resources: An Introduction. Wiley-VCH, Weinheim, 89-290.   [Citation Time(s):3]

52.    Schink, B. (1997) Energetics of Syntrophic Cooperation in Methanogenesis Degradation. Microbiology and Molecular Biology Reviews, 61, 262-280.   [Citation Time(s):1]

53.    Yen, H.W. and Brune, D.E. (2007) Anaerobic Co-Digestion of Algal Sludge and Waste Paper to Produce Methane. Bioresource Technology, 98, 130-134. http://dx.doi.org/10.1016/j.biortech.2005.11.010   [Citation Time(s):1]

54.    Ahring, B., Angelidaki, I., Macario, E.C., Gavala, H.N., Hofman-Bang, J., Macario, A.J.L., Elferink, S.J., Raskin, L., Stams, A.J.M., Westermann, P. and Zheng, D. (2003) Perspective for Anaerobic Digestion. Biomethanation, 81, 1-30. Springer, Berlin and Heidelberg.   [Citation Time(s):1]

55.    Pages Diaz, J., Pereda Reyes, I., Lundin, M. and Sarvari Horvath, I. (2011) Co-Digestion of Different Waste Mixtures from Agro-Industrial Activities: Kinetic Evaluation and Synergetic Effects. Bioresource Technology, 102, 10834- 10840. http://dx.doi.org/10.1016/j.biortech.2011.09.031   [Citation Time(s):1]

56.    Gunaseelan, V.N. (1997) Anaerobic Digestion of Biomass for Methane Production: A Review. Biomass and Bioenergy, 13, 83-144. http://dx.doi.org/10.1016/S0961-9534(97)00020-2   [Citation Time(s):1]

57.    Barber, N.P. and Stucky, D.C. (1999) The Use of the Anaerobic Baffled Reactor (ABR) for Waste Water Treatment: A Review. Water Research, 33, 1559-1578.   [Citation Time(s):1]

58.    Fannin, K.F. and Biljetina, R. (1987) Reactor Design. In: Chynoweth, D.P. and Isaacson, R., Eds., Anaerobic Digestion of Biomass, Elsevier Applied Science, London, 109-128.   [Citation Time(s):1]

SUMBER:

Kayode Feyisetan Adekunle, Jude Awele Okolie. 2015. Advances in Bioscience and Biotechnology Vol. 06 No.03(2015), Article ID:55061,7 pages.