Untuk Hewan dan Produk Hewan
A.Persyaratan Umum Karantina Hewan
1. Dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan/Sanitasi oleh pejabat yang berwenang dari negara asal/daerah asal.
2. Melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan.
3. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina hewan di tempat pemasukan atau tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.
B. Persyaratan Teknis impor dan ekspor hewan dan produk hewan
Selain persyaratan karantina yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.82/2000 sebagaimana tersebut diatas, diperlukan kewajiban tambahan berupa persyaratan teknis impor/ekspor hewan dan produk hewan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, sebagai berikut :
Negara yang belum melakukan kerjasama bilateral perdagangan.
a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular atau berbahaya tertentu yang tidak terdapat di negara pengimpor
b. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.
c. Perlakuan tindakan karantina di negara pengimpor bertujuan untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan tersebut benar telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.
d. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.
e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara epidimilogy terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor secara tidak langsung melalui data-data yang ada dan tersedia.
f. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa melakukan transit di negara lain.
g. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.
Negara yang telah melakukan kerjasama bilateral perdagangan.
a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular dan berbahaya tertentu yang dipersyaratkan negara pengimpor
b. Melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor tersebut di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.
c. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri (Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan/ Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.
d. Perlakuan tindakan karantina di negara pengekspor dengan tujuan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan dalam perjanjian bilateral tersebut telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.
e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara langsung terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor (approval and accreditation).
f. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama dan penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.
g. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa transit di negara lain, kecuali telah disetujui oleh ke dua negara dalam perjanjian bilateral atau trilateral dengan ketentuan negara transit minimal mempunyai situasi dan kondisi penyakit hewan yang sama dengan negara pengimpor.
h. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.
i. Tindakan karantina diutamakan terhadap hewan yang tidak atau belum sempat dilaksanakan di negara pengekspor sesuai dengan persyaratan teknis yang telah disepakati.Prosedur Tindakan Karantina Hewan
1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.
2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.
3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.
4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).
5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).
6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.
7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.
8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).
9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).
10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.
Prosedur Tindakan Karantina Hewan
1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.
2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.
3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.
4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).
5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).
6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.
7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.
8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).
9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).
10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.
Sumber: Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian RI
Thursday, 8 January 2009
Prosedur Karantina Hewan Indonesia
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
16:34
1 comments
Labels: Karantina
Wednesday, 31 December 2008
Informasi umum tentang SPS (1)
SPS merupakan singkatan dari Sanitary and Phytosanitary Measures yang artinya tindakan-tindakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan.
1. Resiko yang ditimbulkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran dari hama, penyakit, organism pembawa penyakit atau organism penyebab penyakit.
2. Resiko yang ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (food additives), pencemaran, racun atau organism penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan makanan.
3. Resiko terkena penyakit-penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk yang dibuat dari padanya.
4. Melakukan pencegahan dan membatasi bahaya lainnya di dalam wilayah negaranya dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.
Ketentuan SPS ini berlaku secara global, karena ketentuan ini merupakan salah satu persetujuan (agreement) yang disepakati oleh seluruh negara anggota WTO pada pembentukan organisasi ini pada tahun 1994. Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dan mengundangkannya dalam hukum positif Indonesia. Regulasi ini tertuang dalam UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization.
Selama produk yang diperdagangkan terkait dengan aturan SPS maka ketentuan ini digunakan sebagai dasar dalam persyaratan pemenuhan keberterimaan suatu produk. Seluruh anggota WTO, termasuk Indonesia sangat mungkin menggunakan ketentuan SPS dalam perdagangan antar Negara.
Isi dari perjanjian SPS-WTO pengaturan hal-hal sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
2. Hak dan Kewajiban
3. Harmonisasi
4. Kesepadanan
5. Analisis resiko dan penetapan tingkat perlindungan SPS
6. Adaptasi terhadap keadaan regional tranparansi
7. Prosedur pengendalian, Inspeksi dan pemberian persetujuan
8. Bantuan Teknis
9. Perlakuan Khusus dan Berbeda
10. Konsultasi dan penyelesaian perselisihan
11. Administrasi
12. Pelaksanaan
13. Ketentuan Penutup
Isu-isu SPS menjadi sangat penting belakangan ini. Dengan berangsur direduksinya hambatan berupa tariff, kuota serta subsidi dalam perdagangan internasional, maka isu-isu sentral dalam perdagangan saat ini bergerak pada yang disebut dengan hambatan non-tariff barrier. Hambatan ini diidentikan sebagai hambatan yang disebabkan oleh aspek-aspek teknis. Salah satu perjanjian di dalam WTO yang kental dengan aspek teknis tersebut adalah perjanjian tentang Sanitary and Phytosanitary Measures.
Amanah yang perlu diperhatikan oleh Negara anggota WTO sebagai rambu di dalam perdagangan menekankan 3 hal dalam perjanjian SPS yaitu sebagai berikut:
1. Tindakan SPS harus berlandaskan kajian disertai bukti ilmiah
2. Tindakan SPS harus transparan dan tidak boleh melanggar prinsip non diskriminasi
3. Tindakan SPS tidak dijadikan sebagai suatu hambatan terselubung di dalam perdagangan.
Saat ini terdapat tiga lembaga organisasi internasional yang menjadi rujukan dalam setiap tindakan SPS yang dikenal dengan three sisters adalah:
1. Codex Alimentarius Commission
2. International Plant Protection Convention
3. World Organization for Animal Health
Ruang lingkup justifikasi yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission adalah mengatur regulasi teknis yang berkenaan dengan pangan, termasuk aspek keamanan pangan, standar, serta rekomendasi teknis lainnya. International Plant Protection Convention bertugas mengeluarkan standar-standar tentang perlindungan tanaman atau dikenal dengan International Standard for Phytosanitary Measerues (ISPM). Sedangkan World Organization for Animal Health berfungsi menetapkan peraturan (code-code) yang terkait dengan aspek kesehatan hewan.
Bila dilihat dari justifikasi yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga diatas, tampaknya ketentuan SPS ini sangat kental nuansanya untuk perdagangan produk-produk pangan dan pertanian saja. Namun tidak sepenuhnya demikian. Pada prinsipnya, selama produk tersebut akan berdampak seperti pada alinea kedua di atas, sangat relevan ketentuan SPS diterapkan. Artinya tidak mesti hanya terbatas pada produk pangan dan pertanian saja.
Contohnya, pada kemasan kayu yang digunakan sebagai packing produk industri impor. Perhatian utama ketentuan SPS dalam hal ini bukan pada produk industri apa yang dikemas, namun pada bahan packing yang terbuat dari kayu. Maka dari itu perlu dilakukan memastikan bahwa tidak terdapat hama penyakit tertentu yang dapat terbawa pada media kayu yang digunakan sebagai kemasan produk industri tersebut.
Bersambung.
Sumber: 30 informasi umum seputar sanitary & Phytosanitary, SPS National Enquiry Point
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
12:54
0
comments
Labels: Karantina
Sunday, 16 November 2008
Pets: Requirements for Entrance into Indonesia
Prosedur Pemasukan Hewan Piaraan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan Sebangsanya dari Luar Negeri ke Wilayah / Daerah Bebas Rabies di Indonesia
Surat Permohonan
Untuk memasukkan hewan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya dari luar negeri ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia harus mengajukan permohonan kepada Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian, sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelumnya dengan alamat Kantor Pusat Departemen Pertanian, Gedung C Lantai IX Jalan Harsono RM No.3, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Telp.+62-21-781-0090, +62-21-782-7466 Fax: +62-21-781-5783. Dalam permohonan ijin masuk supaya diberi keterangan tentang hewan yang akan dibawa yang meliputi: bangsa/ras; jenis kelamin; umur; warna; tanda-tanda khusus; nama hewan; tempat tinggal setelah di Indonesia.
Persyaratan
Mempunyai surat keterangan kesehatan hewan atau Health Certificate dari dokter hewan negara asal yang menerangkan bahwa hewan tersebut telah diperiksa kesehatannya dan dinyatakan sehat, dan selama 4 bulan terakhir tidak ada kejadian penyakit rabies.
Mempunyai surat keterangan identitas (paspor) yang berisi antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di negara asal dan hewan telah berumur 6 (enam) bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih.
Surat keterangan vaksinasi rabies yang menerangkan bahwa hewan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan telah disuntik dengan rabies, kecuali anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya itu berasal dari daerah bebas rabies dimana vaksinasi rabies tidak diperlukan/dilarang.
Prosedur Karantina
Kepada Stasiun Karantina Hewan supaya diberitahukan tanggal kedatangan hewan tersebut, dengan kapal laut/pesawat apa dan perkiraan jam kedatangan agar persiapan dapat dilakukan sebelumnya oleh petugas yang akan memeriksa hewan tersebut pada waktu kedatangannya.
Pemilik/importir atau agen yang ditunjuk bertanggung jawab terhadap hewanannya pada saat hewan tersebut tiba di pelabuhan/bandara laut/udara dan wajib mengurus penyelesaian hewannya dengan mengajukan permohonan pemeriksaan kepada Dokter Hewan Karantina di pelabuhan laut/udara tersebut.
Kepada Dokter Hewan Karantina harus diserahkan:
Surat ijin pemasukan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang dikeluarkan oleh Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian.
Surat Keterangan Kesehatan (health certificate) dari dokter hewan negara asal.
Surat Keterangan dari nahkoda/pilot yang menyatakan bahwa selama dalam perjalanan hewan tidak pernah didaratkan dan selama berada di atas kapal tidak ada kejadian rabies.
Surat keterangan vaksinasi rabies.
Pemeriksaan di Karantina Hewan
Jika pada saat pemeriksaan ternyata hewannya sehat, tidak menderita penyakit rabies dan surat-surat yang diperlukan lengkap serta hewan tersebut berada dari daerah bebas rabies, maka Dokter Hewan Karantina membuat Surat Ijin Keluar Karantina dan hewannya dapat segera dikeluarkan/dibebaskan dari karantina hewan.
Jika pada pemeriksaan ternyata hewannya sehat, tidak menderita penyakit rabies dan berasal dari daerah bebas rabies, tetapi surat-suratnya tidak lengkap maka oleh Dokter Hewan Karantina diberikan waktu tertentu kepada pemilik untuk melengkapi surat-surat dimaksud dan selama waktu tertentu tersebut hewan ditahan di karantina.
Jika pada pemeriksaan ternyata hewan sehat, tidak menderita rabies, tetapi surat-surat keterangan yang diperlukan tidak dapat dilengkapi pada waktunya atau hewannya berasal dari daerah rabies maka hewan tersebut wajib dikarantina selama 4 (empat) bulan.
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
10:03
0
comments
Labels: Karantina
Tuesday, 9 September 2008
Persyaratan Impor Produk Asal Hewan
1. Melaporkan rencana pemasukan kepada petugas karantina hewan di bandara/pelabuhan pemasukan dengan mengajukan permohonan periksa 2 hari sebelum pemasukan.
2. Diserahkan kepada petugas karantina setibanya di bandara/pelabuhan pemasukan untuk keperluan tindak karantina sesuai dengan peraturan perundangan karantina.
Persyaratan Impor:
1. Dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Surat keterangan asal (Certificate of Origin) bagi media yang tergolong benda lain yang diterbitkan oleh perusahaan tempat pengolahan di daerah asal.
3. Surat persetujuan pemasukan (SPP) dari Direktorat Jendral Peternakan.
4. Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan.
5. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk keperluan tindakan karantina.
6. Surat angkut satwa (CITES) bagi media yang tergolong hewan liar yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal.
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
14:36
0
comments
Labels: Karantina
Friday, 4 April 2008
Prosedur Pemasukan Benih Tumbuhan ke Indonesia
PROSEDUR TETAP TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN TERHADAP PEMASUKAN BENIH TUMBUHAN KEDALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
1. Setiap benih tumbuhan yang dimasukan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib :
a. Dilengkapai sertifikat kesehatan tumbuhan (Phytosanitary Certificate) dari Negara Asal dan Negara Transit;
b. Disertai Surat Ijin Pemasukan (SIP) dari Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuknya;
c. Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
d. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas Karantina Tumbuhan setibanya di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan Karantina Tumbuhan
2. Untuk penerbitan Surat Ijin Pemasukan (SIP) benih Tumbuhan, Menteri Pertanian atau Pejabat yang mengatasnamakannya akan memperhatikan persyaratan teknis karantina dan kelengkapan dokumen yang ditetapkan berdasarkan Analisis Resiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT).
3. Analisis Resioko Organisme Pengganggu Tumbuhan dilaksanakan dengan berpedoman kepada standar internasional pengaturan Fitosanitari (International Standar for Phytosanitary Measures) yang diterbitkan oleh Sekretariat IPPC (International Plant Protection Convention).
4. Kajian analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan meliputi :
a. Kajian awal tentang informasi pengelolaan sertifikasi benih dan sertifikasi kesehatan benih serta situasi organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) di Negara Asal;
b. Hasil kajian AROPT merupakan rekomendasi tentang persyaratan teknis yang dikenakan terhadap benih tumbuhan yang akan diimpor dan rekomendasi tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang memberikan Surat Ijin Pemasukan (SIP).
5. Pemeriksaan Karantina di negara asal dilakukan berdasarkan pertimbangan kesulitan teknis dilakukannya tindakan karantina di tempat pemasukan dan/atau analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan di negara asal yang merupakan daerah sebar organisme pengganggu tumbuhan karantina yang beresiko tinggi.
6. Pemeriksaan di negara asal dilakukan oleh petugas Karantina Tumbuhan dan petugas ahli lainnya yang diperlukan.
7. Apabila diperlukan Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan kerjasama bilateral dengan negara pengirim benih, melalui program klarifikasi (pre clearance program).
8. Pemasukan benih tumbuhan yang tidak memenuhi ketentuan dalam prosedur tetap ini ditolak pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Sumber : Keputusan Kepala badan Karantina Pertanian Nomor : 152/Kpts/PD.540/L/8/03 tanggal 8 Agustus 2003
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
15:31
1 comments
Labels: Karantina
Prosedur Pemasukan Hasil Tumbuhan ke Indonesia
THE STANDARD PROCEDURES OF PLANT QUARANTINE MEASUREMENT FOR THE ENTRY OF PLANT PRODUCTS INTO THE TERRITORY OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
1. Any importation of plant products is subject to the following conditions:
a. Importation must be made through designated points of entry;
b. Accompanied by Phytosanitary Certificate issued by the Plant Quarantine Service of the Country of Origin and Country/countries where the consignments are transit;
c. Notified and submitted to Plant Quarantine Inspectors upon arrival of the consignment for quarantine actions
2. Notwithstanding to general condition mentioned above, the importation of the particular plant products are subjected to specific condition based on the Pest Risk Analyzes (PRA).
3. The result of the PRA will determine the status of the introduction and technical requirements which will be needed to the importation of plant products.
4. The plant quarantine inspections in the country of origin (pre-shipment inspection system) will be held based on the technical difficulties of implementation of quarantine action in the entry points and/or the result of PRA shows that the country origin is determined as distribution area of harmful plant pests.
5. The plant quarantine inspections in the country of origin will be performed by the Indonesian Plant Quarantine Inspectors.
6. If needed, the Government of the Republic of Indonesia could make a bilateral cooperation with the exportation country through classified program (pre clearance program).
7. The importation of plant products which are not fullfiled the requirement of the standard procedure should be refused entry into the territory of the Republic of Indonesia.
PROSEDUR TETAP TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN TERHADAP PEMASUKAN HASIL TUMBUHAN DI DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
1.Setiap hasil tumbuhan yang dimasukan ke dalam wilayah negara Asal Republik Indonesia wajib :
a.Dilengkapi sertifikat kesehatan tumbuhan dari negara asal dan negara transit;
b.Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
c.Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina tumbuhan setibanya di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina tumbuhan.
2.Dalam hal tertentu, terhadap pemasukan hasil tumbuhan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dapat dikenakan kewajiban tambahan berdasarkan analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan.
3.Hasil analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan akan menentukan status pemasukan dan persyaratan teknis yang diperlukan terhadap pemasukan hasil tumbuhan.
4.Pemeriksaan karantina di negara asal di lakukan berdasarkan pertimbangan kesulitan teknis dilakukannya tindakan karantina di tempat pemasukan dan/atau analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan negara asal merupakan daerah sebar organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) yang beresiko tinggi.
5.Pemeriksaan di negara asal dilakukan oleh Petugas Karantina Tumbuhan.
6.Apabila diperlukan pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan kerjasama bilateral dengan negara pengirim hasil tumbuhan, melalui program klarifikasi (pre clearance program)
7.Pemasukan hasil tumbuhan yang tidak memenuhi ketentuan dalam prosedur tetap ini ditolak pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Sumber : Keputusan Kepala badan Karantina Pertanian Nomor : 152/Kpts/PD.540/L/8/03 tanggal 8 Agustus 2003.
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
15:26
0
comments
Labels: Karantina
Tuesday, 10 April 2007
Akhir 2005 Jepang Perketat Impor Kimchi
Akhir tahun 2005 Jepang memperketat impor Kimchi dari Korea dan China
Japan telah memperketat Kimchi yang diimport dari
Beberapa minggu setelah dideteksinya telur parasit tersebut dari makanan import dari China, Food watchdog Agency Korea Selatan minggu lalu mengatakan bahwa 16 dari 502 produk Kimchi lokal yang terkontaminasi oleh telur cacing bulat (roundworm) dinyatakan berasal dari kucing dan anjing.
Tahun 2004 Jepang telah mengimport 32.000 ton Kimchi dari Korea Selatan.
Petugas dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan (Ministry of Health, Labor, and Welfare) menyatakan bahwa telah mengkonfirmasi ke beberapa perusahaan yang produknya terkontaminasi telur parasit tersebut. Tetapi kami tidak tahu secara pasti lot mana yang terkontaminasi tersebut.
Pihak Kementerian Kesehatan belum melakukan inspeksi terhadap Kimchi yang diimport, tetapi kami akan merencanakan inspeksi dengan mengambil sample, katanya.
Minggu yang lalu Pemerintah
China merespon dengan cara menolak 10 produk makanan yang berasal dari Korea termasuk didalamnya Kimchi, hot papper paste, dan bumbu untuk broiler beef, dikatakan bahwa bahan ini juga terkontaminasi dengan telur parasit.
Kim Myong Hyun, Wakil Kepala Korea Food and Drug Administration, mengatakan bahwa manusia tidak dapat terkontaminasi oleh cacing bundar (roundworm)atau telur-telurnya. Ia menganjurkan untuk menguji dengan ketat Kimchi yang dieksport karena terdapat sample-sampel tidak lulus uji keamanan berasal dari Producer Kimchi yang menjual 43 ton Kimchi ke Jepang tahun lalu.
Sumber: Japan Times, 8 November 2005
Posted by
Drh.Pudjiatmoko,PhD
at
08:25
0
comments
Labels: Karantina