Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Karantina. Show all posts
Showing posts with label Karantina. Show all posts

Thursday, 12 February 2009

Petunjuk Teknis Persyaratan dan Tindakan Karantina Hewan terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (anjing, kucing, kera & hewan sebangsanya)

Persyaratan Karantina terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (HPR) dari Luar Negeri yang Bebas Rabies

A. Dari Luar Negeri

Dari negara bebas Rabies sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1096 Tahun 1999 yang dapat diperbaharui sesuai perkembangan status bebas rabies dunia;

B. Kelengkapan Dokumen: Harus memiliki

i. Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal dan negara transit;

ii. Surat Persetujuan Pemasukan

iii. Pasport Hewan atau surat keterangan identitas hewan dalam bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara asal yang memuat antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 (enam bulan) di negara asal sebelum diberangkatkan dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur 6 (enam) bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan. Pasport mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas; atau memiliki

iv. Penanda identitas permanen dengan identifikasi elektronik (microchip), bila microchip yang digunakan tidak sesuai dengan alat baca pada pelabuhan/bandara pemasukan, maka pemilik atau kuasa pemilik harus menyediakan sendiri perangkat alat baca untuk microchip tersebut.

v. Hewan yang akan masuk ke wilayah/daaerah bebas rabies di Indonesia diberangkatkan langsung dari negara bebas rabies. Apabila harus transit maka harus ada persetujuan dari Menteri Pertanian Cq. Dirjen Peternakan dan otoritas veteriner di negara transit memberikan keterangan transit;

vi. Surat Keterangan vaksinasi bagi negara yang melaksanakan vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan:
- untuk hewan yang divaksinasi pertama kali(primer), sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan tidak lebih dari 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal 3 (tiga) bulan;
- untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan atau tidak lebih dari 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan.

vii. Surat Keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari negara asal. Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari 6 (enam) bulan setelah vaksinasi dari Laboratrium yang telah diakreditasi.

C. Ketentuan Vaksinasi

(1) Bila di negara asal bebas rabies dan wilayah/daerah tujuan tidak ada kegiatan vaksinasi, makahewan yang dilalulintaskan tidak dilakukan vaksinasi;

(2) Bila di negara asal bebas rabies tidak ada kegiatan vaksinasi sedangkan di wilayah/daerah tujuan ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilaulintaskan dilakukan vaksinasi di wilayah/daerah tujuan;

(3) Bila di negara asal bebas rabies dan wilayah/daerah tujuan ada kegiatan vaksinasi, maka hewan yang dilalulintaskan dilakukan vaksinasi di negara asal;

(4) Bila di negara asal bebas rabies ada kegiatan vaksinasi sedangkan di wilayah/daerah tujuan tidak ada kegiatan vaksinasi , maka hewan yang dilaulintaskan dilakukan di negara asal;

(5) Vaksinasindi negara asal bebas rabies sekurang-kurangnya dilakukan 30 hari dan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan;

(6) Dengan uji serum netralisasi (SN test) memiliki titer antibodi rabies kurang dari 0,1 IU/ml (< 0,1 IU/ml) dari negara asal bebas rabies tidak ada kegiatan vaksinasi; dan lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml dari negara asal bebas rabies ada kegiatan vaksinasi, oleh laboratorium yang ditunjuk oleh Kepala Badan Karantina Pertanian.

Sumber : Lampiran Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian, no. 344.b/kpts/PD 670.370/L/12/06 tanggal 13 Desember 2006. Petunjuk Teknis Persyaratan dan Tindakan Karantina Hewan terhadap Lalulintas Pemasukan Hewan Penular Rabies (anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya), Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian.

Thursday, 8 January 2009

Prosedur Karantina Hewan Indonesia

Untuk Hewan dan Produk Hewan

A.Persyaratan Umum Karantina Hewan

1. Dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan/Sanitasi oleh pejabat yang berwenang dari negara asal/daerah asal.

2. Melalui tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan.

3. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina hewan di tempat pemasukan atau tempat pengeluaran untuk keperluan tindakan karantina.

B. Persyaratan Teknis impor dan ekspor hewan dan produk hewan

Selain persyaratan karantina yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.82/2000 sebagaimana tersebut diatas, diperlukan kewajiban tambahan berupa persyaratan teknis impor/ekspor hewan dan produk hewan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, sebagai berikut :

Negara yang belum melakukan kerjasama bilateral perdagangan.

a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular atau berbahaya tertentu yang tidak terdapat di negara pengimpor

b. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

c. Perlakuan tindakan karantina di negara pengimpor bertujuan untuk memastikan bahwa ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan tersebut benar telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.

d. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.

e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara epidimilogy terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor secara tidak langsung melalui data-data yang ada dan tersedia.

f. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa melakukan transit di negara lain.

g. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.

Negara yang telah melakukan kerjasama bilateral perdagangan.

a. Negara pengekspor harus bebas dari penyakit hewan menular dan berbahaya tertentu yang dipersyaratkan negara pengimpor

b. Melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor tersebut di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

c. Mendapatkan persetujuan impor/ekspor dari pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri (Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan/ Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) dengan mempersyaratkan ketentuan-ketentuan teknis yang harus dilakukan terhadap komoditi impor di negara pengekspor sebelum dikapalkan/diangkut menuju negara pengimpor.

d. Perlakuan tindakan karantina di negara pengekspor dengan tujuan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan teknis yang dipersyaratkan dalam perjanjian bilateral tersebut telah dilakukan sesuai ketentuan internasional.

e. Negara pengimpor berhak melakukan penelitian dan pengamatan secara langsung terhadap situasi dan kondisi penyakit hewan menular dan berbahaya yang ada di negara pengekspor (approval and accreditation).

f. Melengkapi komoditi tersebut dengan Surat Keterangan Kesehatan atau Sanitasi dan surat keterangan lainnya yang menerangkan bahwa komoditi tersebut bebas dari hama dan penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia, hewan dan lingkungan hidup, disamping menerangkan pemenuhan persyaratan ketentuan teknis seperti tersebut di atas.

g. Pengangkutan komoditi impor tersebut harus langsung ke negara tujuan pengimpor tanpa transit di negara lain, kecuali telah disetujui oleh ke dua negara dalam perjanjian bilateral atau trilateral dengan ketentuan negara transit minimal mempunyai situasi dan kondisi penyakit hewan yang sama dengan negara pengimpor.

h. Negara pengimpor berhak melakukan tindakan-tindakan penolakan dan pencegahan masuknya penyakit hewan menular dan berbahaya, jika dijumpai hal yang mencurigakan, dilaporkan tidak benar atau ada kemungkinan bahwa komoditi tersebut dapat bertindak sebagai media pembawa hama penyakit hewan menular dan berbahaya.

i. Tindakan karantina diutamakan terhadap hewan yang tidak atau belum sempat dilaksanakan di negara pengekspor sesuai dengan persyaratan teknis yang telah disepakati.

Prosedur Tindakan Karantina Hewan

1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.

2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.

3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.

4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).

5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).

6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.

7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.

8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).

9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).

10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.

Prosedur Tindakan Karantina Hewan

1. Pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan dan tindakan karantina kepada pimpinan UPT Karantina Hewan tempat pemasukan atau pengeluaran.

2. UPT Karantina Hewan memproses secara administrasi permohonan tersebut, untuk selanjutnya menugaskan pejabat fungsional karantina hewan untuk melakukan tindakan karantina tahap I yaitu pemeriksaan (P1). Dari hasil pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan beberapa tindakan karantina lainnya.

3. Untuk media pembawa yang menurut hasil pemeriksaan memerlukan tindakan pengasingan (P2) dan pengamatan (P3), segera dimasukkan ke dalam instalasi karantina untuk selama masa karantina yang dapat diperpanjang menurut pertimbangan dokter hewan karantina.

4. Untuk media pembawa yang sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit hewan karantina, tidak menunjukkan perubahan fisik dan tidak memerlukan masa pengasingan untuk pengamatan, dapat langsung dilakukan tindakan pembebasan (P8).

5. Sebaliknya, untuk media pembawa yang menunjukkan gejala penyakit hewan karantina atau perubahan fisik yang mengarah kepada penyakit hewan golongan I, dapat langsung dilakukan tindakan penolakan (P6).

6. Media pembawa yang mempunyai dokumen tidak benar dan tidak lengkap atau menurut hasil pemeriksaan menunjukkan gejala penyakit hewan golongan II, dilakukan tindakan penahanan (P5) untuk selanjutnya dapat dikembalikan ke proses tahap II yaitu pengasingan dan pengamatan.

7. Hasil tindakan pengasingan dan pengamatan, dapat dilanjutkan ke proses tahap III yaitu tindakan perlakuan (P4) untuk meyakinkan kembali bahwa media pembawa bebas dari hama penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi menularkan atau menyebarkan hama penyakit hewan ke media pembawa lainnya.

8. Jika dari hasil tindakan pemeriksaan, pengasingan, pengamatan dan perlakuan, media pembawa tidak dapat dibebaskan dari penyakit hewan karantina atau telah mengalami perubahan fisik, maka terhadap media pembawa tersebut lansung dilakukan tindakan pemusnahan (P7).

9. Setelah dilakukan tindakan pengasingan dan pengamatan serta perlakuan media pembawa diyakini tidak mengandung penyakit hewan karantina dan tidak dapat lagi bertindak sebagai media penular atau penyebar, maka dapat dilakukan tindakan pembebasan (P8).

10. Hasil tindakan pembebasan, penahanan, penolakan, dan pemusnahan kemudian diserahkan kembali kepada UPT Karantina Hewan yang memberi tugas untuk diproses secara administrasi termasuk memenuhi kewajiban tambahan, yang selanjutnya disampaikan kepada pemohon dan instansi terkait lainnya untuk dilaksanakan.

Sumber: Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian RI

Wednesday, 31 December 2008

Informasi umum tentang SPS (1)

Apa yang disebut SPS ?

SPS merupakan singkatan dari Sanitary and Phytosanitary Measures yang artinya tindakan-tindakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan.
Perlindungan dimaksud meliputi 4 hal penting sebagai berikut:

1. Resiko yang ditimbulkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran dari hama, penyakit, organism pembawa penyakit atau organism penyebab penyakit.

2. Resiko yang ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (food additives), pencemaran, racun atau organism penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan makanan.

3. Resiko terkena penyakit-penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk yang dibuat dari padanya.

4. Melakukan pencegahan dan membatasi bahaya lainnya di dalam wilayah negaranya dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.

Ketentuan SPS ini berlaku secara global, karena ketentuan ini merupakan salah satu persetujuan (agreement) yang disepakati oleh seluruh negara anggota WTO pada pembentukan organisasi ini pada tahun 1994. Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dan mengundangkannya dalam hukum positif Indonesia. Regulasi ini tertuang dalam UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization.

Selama produk yang diperdagangkan terkait dengan aturan SPS maka ketentuan ini digunakan sebagai dasar dalam persyaratan pemenuhan keberterimaan suatu produk. Seluruh anggota WTO, termasuk Indonesia sangat mungkin menggunakan ketentuan SPS dalam perdagangan antar Negara.

Isi dari perjanjian SPS-WTO pengaturan hal-hal sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
2. Hak dan Kewajiban
3. Harmonisasi
4. Kesepadanan
5. Analisis resiko dan penetapan tingkat perlindungan SPS
6. Adaptasi terhadap keadaan regional tranparansi
7. Prosedur pengendalian, Inspeksi dan pemberian persetujuan
8. Bantuan Teknis
9. Perlakuan Khusus dan Berbeda
10. Konsultasi dan penyelesaian perselisihan
11. Administrasi
12. Pelaksanaan
13. Ketentuan Penutup

Isu-isu SPS menjadi sangat penting belakangan ini. Dengan berangsur direduksinya hambatan berupa tariff, kuota serta subsidi dalam perdagangan internasional, maka isu-isu sentral dalam perdagangan saat ini bergerak pada yang disebut dengan hambatan non-tariff barrier. Hambatan ini diidentikan sebagai hambatan yang disebabkan oleh aspek-aspek teknis. Salah satu perjanjian di dalam WTO yang kental dengan aspek teknis tersebut adalah perjanjian tentang Sanitary and Phytosanitary Measures.

Amanah yang perlu diperhatikan oleh Negara anggota WTO sebagai rambu di dalam perdagangan menekankan 3 hal dalam perjanjian SPS yaitu sebagai berikut:
1. Tindakan SPS harus berlandaskan kajian disertai bukti ilmiah
2. Tindakan SPS harus transparan dan tidak boleh melanggar prinsip non diskriminasi
3. Tindakan SPS tidak dijadikan sebagai suatu hambatan terselubung di dalam perdagangan.

Saat ini terdapat tiga lembaga organisasi internasional yang menjadi rujukan dalam setiap tindakan SPS yang dikenal dengan three sisters adalah:
1. Codex Alimentarius Commission
2. International Plant Protection Convention
3. World Organization for Animal Health

Ruang lingkup justifikasi yang dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission adalah mengatur regulasi teknis yang berkenaan dengan pangan, termasuk aspek keamanan pangan, standar, serta rekomendasi teknis lainnya. International Plant Protection Convention bertugas mengeluarkan standar-standar tentang perlindungan tanaman atau dikenal dengan International Standard for Phytosanitary Measerues (ISPM). Sedangkan World Organization for Animal Health berfungsi menetapkan peraturan (code-code) yang terkait dengan aspek kesehatan hewan.

Bila dilihat dari justifikasi yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga diatas, tampaknya ketentuan SPS ini sangat kental nuansanya untuk perdagangan produk-produk pangan dan pertanian saja. Namun tidak sepenuhnya demikian. Pada prinsipnya, selama produk tersebut akan berdampak seperti pada alinea kedua di atas, sangat relevan ketentuan SPS diterapkan. Artinya tidak mesti hanya terbatas pada produk pangan dan pertanian saja.

Contohnya, pada kemasan kayu yang digunakan sebagai packing produk industri impor. Perhatian utama ketentuan SPS dalam hal ini bukan pada produk industri apa yang dikemas, namun pada bahan packing yang terbuat dari kayu. Maka dari itu perlu dilakukan memastikan bahwa tidak terdapat hama penyakit tertentu yang dapat terbawa pada media kayu yang digunakan sebagai kemasan produk industri tersebut.

Bersambung.

Sumber: 30 informasi umum seputar sanitary & Phytosanitary, SPS National Enquiry Point

Sunday, 16 November 2008

Pets: Requirements for Entrance into Indonesia



Prosedur Pemasukkan Hewan Piaraan ke Indonesia

Prosedur Pemasukan Hewan Piaraan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan Sebangsanya dari Luar Negeri ke Wilayah / Daerah Bebas Rabies di Indonesia

Surat Permohonan

Untuk memasukkan hewan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya dari luar negeri ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia harus mengajukan permohonan kepada Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian, sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sebelumnya dengan alamat Kantor Pusat Departemen Pertanian, Gedung C Lantai IX Jalan Harsono RM No.3, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Telp.+62-21-781-0090, +62-21-782-7466 Fax: +62-21-781-5783. Dalam permohonan ijin masuk supaya diberi keterangan tentang hewan yang akan dibawa yang meliputi: bangsa/ras; jenis kelamin; umur; warna; tanda-tanda khusus; nama hewan; tempat tinggal setelah di Indonesia.

Persyaratan

Mempunyai surat keterangan kesehatan hewan atau Health Certificate dari dokter hewan negara asal yang menerangkan bahwa hewan tersebut telah diperiksa kesehatannya dan dinyatakan sehat, dan selama 4 bulan terakhir tidak ada kejadian penyakit rabies.

Mempunyai surat keterangan identitas (paspor) yang berisi antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan di negara asal dan hewan telah berumur 6 (enam) bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur 6 (enam) minggu atau lebih.

Surat keterangan vaksinasi rabies yang menerangkan bahwa hewan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun sebelum diberangkatkan telah disuntik dengan rabies, kecuali anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya itu berasal dari daerah bebas rabies dimana vaksinasi rabies tidak diperlukan/dilarang.

Prosedur Karantina

Kepada Stasiun Karantina Hewan supaya diberitahukan tanggal kedatangan hewan tersebut, dengan kapal laut/pesawat apa dan perkiraan jam kedatangan agar persiapan dapat dilakukan sebelumnya oleh petugas yang akan memeriksa hewan tersebut pada waktu kedatangannya.

Pemilik/importir atau agen yang ditunjuk bertanggung jawab terhadap hewanannya pada saat hewan tersebut tiba di pelabuhan/bandara laut/udara dan wajib mengurus penyelesaian hewannya dengan mengajukan permohonan pemeriksaan kepada Dokter Hewan Karantina di pelabuhan laut/udara tersebut.

Kepada Dokter Hewan Karantina harus diserahkan:

Surat ijin pemasukan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya yang dikeluarkan oleh Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian.

Surat Keterangan Kesehatan (health certificate) dari dokter hewan negara asal.

Surat Keterangan dari nahkoda/pilot yang menyatakan bahwa selama dalam perjalanan hewan tidak pernah didaratkan dan selama berada di atas kapal tidak ada kejadian rabies.

Surat keterangan vaksinasi rabies.

Pemeriksaan di Karantina Hewan

Jika pada saat pemeriksaan ternyata hewannya sehat, tidak menderita penyakit rabies dan surat-surat yang diperlukan lengkap serta hewan tersebut berada dari daerah bebas rabies, maka Dokter Hewan Karantina membuat Surat Ijin Keluar Karantina dan hewannya dapat segera dikeluarkan/dibebaskan dari karantina hewan.


Jika pada pemeriksaan ternyata hewannya sehat, tidak menderita penyakit rabies dan berasal dari daerah bebas rabies, tetapi surat-suratnya tidak lengkap maka oleh Dokter Hewan Karantina diberikan waktu tertentu kepada pemilik untuk melengkapi surat-surat dimaksud dan selama waktu tertentu tersebut hewan ditahan di karantina.


Jika pada pemeriksaan ternyata hewan sehat, tidak menderita rabies, tetapi surat-surat keterangan yang diperlukan tidak dapat dilengkapi pada waktunya atau hewannya berasal dari daerah rabies maka hewan tersebut wajib dikarantina selama 4 (empat) bulan.

Tuesday, 9 September 2008

Manual Persyaratan Kesehatan Hewan

BAB 1. MANUAL PERSYARATAN KESEHATAN HEWAN DAN SANITASI PRODUK HEWAN EKSPOR

MANUAL 01: PERSYARATAN KESEHATAN UNTUK HEWAN KESAYANGAN

Hewan kesayangan, anjing dan kucing, yang akan diekspor dari Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Standar 1.1

1. Disertai dengan Izin Ekspor yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan(Ditjennak)-Departemen Pertanian-Republik Indonesia. Selain itu, juga disertai dengan surat persetujuan ekspor yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan setempat/propinsi asal atau Dokter Hewan yang memiliki izin praktek.

2. Disertai dengan Sertifikat Kesehatan Hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Pemerintah yang berwenang/Dinas Peternakan setempat/Propinsi asal atau Dokter Hewan yang memiliki izin praktek.

3. Disertai dengan Sertifikat Vaksinasi Rabies yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Pemerintah atau Dokter Hewan yang memiliki izin praktek; vaksinasi tersebut harus dilakukan sekurang-kurangnya 30 hari dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum pengiriman/ekspor.

4. Hewan tersebut tidak berumur lebih dari 90 hari pada saat pengiriman/ekspor.

5. Hewan tersebut tidak sedang berada dalam kondisi bunting atau laktasi.

6. Pengiriman hewan tersebut harus dilaporkan ke Petugas Karantina Hewan di Bandar Udara Internasional Juanda-Surabaya, sekurang-kurangnya 2 (dua) hari sebelum ekspor. Telepon: 031-8673997, Faksimil: 031-8673996 atau Email: info@karantinahewansby.org

7. Sebelum keberangkatan, dokter hewan karantina harus melaksanakan pemeriksaan fisik hewan tersebut dan memverifikasi semua dokumen persyaratan. Jika semua dokumen persyaratan telah lengkap dan hewan tersebut sehat, kemudian dokter hewan karantina akan mengeluarkan sertifikat kesehatan hewan untuk melengkapi persyaratan ekspor hewan tersebut.

8. Hewan tersebut harus sesuai dengan persyaratan dari Pemerintah negara pengimpor (negara tujuan).

MANUAL 02 :PERSYARATAN SANITASI UNTUK SARANG BURUNG WALET

Masing-masing negara importir memiliki standar persyaratan sanitasi yang
berbeda-beda tergantung pada permintaan negara tersebut.
Adapun persyaratan umum yang berlaku pada masing-masing negara
tersebut adalah sebagai berikut:

Standar 2.1

Standar Persyaratan Sanitasi Umum untuk Sarang Burung Walet yang berlaku di Amerika Serikat

Standar 2.1.A

Sarang Burung Walet harus dicuci dan dikeringkan selama 120 hari(empat bulan)sebelum pengiriman ke Amerika Serikat. Sarang Burung Walet tersebut harus telah dipanaskan dengan suhu internal minimal yaitu antara 72 - 74 C.

Standar 2.1.B

Sarang Burung Walet tersebut harus dicuci dan dikeringkan, Selain itu harus dibersihkan dan disanitasi secara menyeluruh, serta dipanaskan pada suhu 100 C selama satu jam. Selain itu kebersihan sarang burung walet tersebut juga harus diperiksa. Sarang burung walet harus bebas dari tanah, feses, ektoparasit, bulu dan kotoran permukaan. Sarang burung walet tidak boleh dikemas dengan materi dari kayu keras.

Standar 2.2

Standar Persyaratan Sanitasi Umum untuk Sarang Burung Walet yang berlaku di Hong Kong.

Standar 2.2.A

Sarang Burung Walet harus dicuci dan dikeringkan selama 120 hari(empat bulan) sebelum pengiriman ke Hong Kong. Sarang Burung Walet tersebut harus telah dipanaskan dengan suhu internal minimal yaitu antara 72 - 74 C.

Standar 2.2.B

Sarang Burung Walet tersebut harus dicuci dan dikeringkan, Selain itu
dibersihkan dan disanitasi secara menyeluruh, serta dipanaskan pada suhu 100 C selama satu jam. Selain itu kebersihan sarang burung walet tersebut juga harus diperiksa. Sarang burung walet harus bebas dari tanah, feses, ektoparasit, bulu dan kotoran permukaan. Sarang burung walet tidak boleh dikemas dengan materi dari kayu keras.

Standar 2.2.C

Sarang Burung Walet harus dibersihkan, disterilisasi dan dipanaskan sampai dengan suhu 172 F atau 77 C selama satu jam.

Standar 2.2.D

Sarang Burung Walet harus dicuci dalam larutan sulfa untuk membersihkan dari semua kotoran. Setelah itu dipanaskan dengan uap(steaming) pada suhu minimal 100 C dalam waktu tidak kurang dari 30 menit. Kadar oksigen pada bulu tersebut harus sebesar 12,0% per 100 gram.

Standar 2.3.D

Standar Persyaratan Sanitasi Umum untuk Sarang Burung Walet yang berlaku di Kanada.

Standar 2.3.A

Sarang Burung Walet tersebut harus dicuci dan dikeringkan, Selain itu harus dibersihkan dan disanitasi secara menyeluruh, serta dipanaskan pada suhu 100 C selama satu jam. Selain itu kebersihan sarang burung walet tersebut juga harus diperiksa. Sarang burung walet harus bebas dari tanah, feses, ektoparasit, bulu dan kotoran permukaan. Sarang burung walet tidak boleh dikemas dengan materi dari kayu keras.

Standar 2.3.B

Sarang Burung Walet tersebut harus dicuci, dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 75oC selama satu jam. Sarang burung walet harus bebas dari feses, ektoparasit, bulu dan kotoran permukaan

Standar 2.4

Standar Persyaratan Sanitasi Umum untuk Sarang Burung Walet yang berlaku di Australia. Sarang Burung Walet yang akan dikirim harus diperiksa untuk mengetahui kebersihan sarang burung tersebut dari feses, ekstoparasit dan bulu unggas dan kotoran permukaan. Semua sarang burung tersebut harus dikeringkan pada suhu suhu minimal 100 C sebelum diekspor ke Australia, untuk memperoleh nilai minimal 2,8. Produk akhir harus berada dalam kontainer yang tersegel secara termatik (kedap udara), serta harus mengalami proses pemanasan (dengan menggunakan labu distilasi) di dalam kontainer tersebut. Produk ini tidak perlu memerlukan proses pendinginan.

MANUAL 03: PERSYARATAN SANITASI UNTUK BAHAN BAKU KULIT

Standar Persyaratan Sanitasi Umum untuk Bahan Baku Kulit (negara tujuan pengiriman Wet Blue: Italia, Belanda, India, Spanyol, Thailand, Cina, Yunani, Hongkong, Jerman, Jepang; negara tujuan pengiriman Finished Leather: Cina, Hongkong, India, Jerman, Portugal, Thailand, Slovakia, Vietnam, Taiwan, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Jepang, Korea, Denmark, Italia, Perancis) adalah sebagai berikut:

Standar 3.1

1. Untuk kulit lokal harus berasal dari daerah yang selama enam bulan terakhir bebas penyakit hewan menular terutama Anthraks dan dilengkapi surat keterangan dari Dinas Peternakan Daerah yang menerangkan bahwa bahan baku kulit mentah berasal dari daerah
setempat.

2. Untuk bahan baku kulit mentah eks luar negeri maupun lokal harus
dilakukan pengawasan Kesmavet Dinas Peternakan setempat.

3. Setiap pengeluaran harus dikemas dengan baik dan dihindarkan dari
pencemaran.

4. Memenuhi tatacara dan peraturan karantina hewan yang berlaku dan
ketentuan dari instansi lain yang terkait

MANUAL 04: PERSYARATAN SANITASI UNTUK BULU BEBEK

Standar Persyaratan Sanitasi Umum untuk Bulu Bebek yang berlaku di Taiwan adalah sebagai berikut:

Standar 4.1

1. Untuk bulu bebek lokal harus berasal dari daerah yang selama enam bulan terakhir bebas penyakit hewan menular terutama AI dan dilengkapi surat keterangan dari Dinas Peternakan Daerah yang menerangkan bahwa bahan baku bulu bebek berasal dari daerah
setempat.

2. Untuk bahan baku bulu bebek eks luar negeri maupun lokal harus dilakukan pengawasan oleh petugas pengawas Kesmavet Dinas peternakan setempat.

3. Setiap pengeluaran harus dikemas dengan baik dan dihindarkan dari pencemaran.

4. Memenuhi tatacara dan peraturan karantina hewan yang berlaku dan ketentuan dari instansi lain yang terkait.

Standar 4.2

1. Bulu Bebek harus berasal dari area non epizootik
2. Produk tersebut harus mengalami proses pemanasan untuk memusnahkan virus Avian Influenza dan New Castle Disease.

BAB 2
MANUAL PERSYARATAN KESEHATAN HEWAN DAN SANITASI PRODUK HEWAN IMPOR


MANUAL 05: PERSYARATAN KESEHATAN UNTUK HEWAN KESAYANGAN

Hewan kesayangan, anjing dan kucing, yang akan diimpor ke Indonesia melalui harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Standar 5.1

1. Disertai dengan Izin Ekspor yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjennak)-Departemen Pertanian-Republik Indonesia. Selain itu, juga disertai dengan surat persetujuan ekspor yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan setempat/propinsi asal atau Dokter Hewan yang memiliki izin praktek.

2. Disertai dengan Sertifikat Kesehatan Hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Pemerintah yang berwenang/Dinas Peternakan setempat/Propinsi asal atau Dokter Hewan yang memiliki izin praktek.

3. Disertai dengan Sertifikat Vaksinasi Rabies yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Pemerintah atau Dokter Hewan yang memiliki izin praktek; vaksinasi tersebut harus dilakukan sekurang-kurangnya 30 hari dan tidak lebih dari 1 tahun sebelum pengiriman/ekspor.

4. Hewan tersebut tidak berumur lebih dari 90 hari pada saat pengiriman/ekspor.

5. Hewan tersebut tidak sedang berada dalam kondisi bunting atau laktasi.

6. Pengiriman hewan tersebut harus dilaporkan ke Petugas Karantina Hewan di Bandar Udara Internasional Juanda-Surabaya, sekurang-kurangnya 2 (dua) hari sebelum ekspor. Telepon: 031-8673997, Faksimil: 031-8673996 atau Email: info@karantinahewansby.org

7. Sebelum keberangkatan, dokter hewan karantina harus melaksanakan pemeriksaan fisik hewan tersebut dan memverifikasi semua dokumen persyaratan. Jika semua dokumen persyaratan telah lengkap dan hewan tersebut sehat, kemudian dokter hewan karantina akan mengeluarkan sertifikat kesehatan hewan untuk melengkapi persyaratan ekspor hewan tersebut.

8. Hewan tersebut harus sesuai dengan persyaratan dari Pemerintah negara pengimpor (negara tujuan).

MANUAL 06: PERSYARATAN KESEHATAN UNTUK SAPI BIBIT


Sapi bibit yang akan diimpor ke Indonesia melalui harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Standar 6.1

1. Sapi yang diimpor berasal dari peternakan / wilayah yang selama enam bulan terakhir tidak diketemukan adanya kasus penyakit hewan menular.
2. Tidak menunjukkan gejala klinis Leptospirosis 90 hari sebelum pengapalan.
3. Sapi impor tersebut harus bebas dari penyakit Brucellosis dan TBC yang dinyatakan dengan hasil negatif pemeriksaan laboratorium kesehatan hewan.
4. Pada saat pemberangkatan tidak diketemukan adanya kejadian Ring Wom(Trichopythosis), Pink Eye, Actinomycosis dan Dermatophytosis.
5. Vaksinasi Anaplasmosis dan Babesiosis dilaksanakan 7 sampai dengan 60 hari sebelum pengapalan.
6. Pengobatan terhadap infeksi cacing dilaksanakan 15 hari sebelum pengapalan dengan preparat Ivermectin atau obat cacing lain yang sejenis.
7. Semua kegiatan penanganan Kesehatan hewan tersbut di atas harus di bawah pengawasan Dokter Hewan berwenang di negara asal dan daerah tujuan.
8. Memenuhi ketentuan tindak karantina, sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

MANUAL 07: PERSYARATAN SANITASI UNTUK DAGING

Untuk mencegah masuknya penyakit infeksius terutama penyakit eksotik ke dalam negara Indonesia, mencegah agar konsumen tidak tertular penyakit zoonosis dan menjamin keamanan dari daging impor, maka daging yang dimasukkan ke Indonesia harus memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam SK Mentan No.745/Kpts/TN.240/12/1992:

Standar 7.1

Semua pengiriman daging dari luar negeri harus disertai dengan Sertifikat Sanitasi yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:

1. Negara atau daerah asal daging tersebut harus bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest sekurang-kurangnya selama 12 bulan.

2. Negara tersebut harus bebas dari Bovine Spongioform Encephalopathy.

3. Daging tersebut harus berasal dari hewan yang dilahirkan serta dibesarkan atau hewan yang sudah berada di negara asal selama 4 bulan terakhir sebelum impor.

4. Hewan harus berasal dari Rumah Potong Hewan yang telah memiliki izin serta melalui pemeriksaan ante mortem dan post mortem, dan telah diproses sesuai persyaratan sanitasi dan higiene sehingga daging tersebut aman dan sesuai untuk konsumsi manusia.

5. Semua daging seperti pada poin tersebut di atas, harus memiliki stempel inspeksi pada permukaan daging tersebut, atau pada permukaan kemasan daging untuk daging yang berada dalam kemasan.

6. Daging tersebut tidak mengandung bahan pengawet, bahan tambahan makanan, atau zat lain pada tingkat yang membahayakan kesehatan manusia, serta daging tersebut tidak boleh disimpan lebih dari tiga bulan terhitung mulai dari tanggal pemotongan sampai dengan tanggal pengiriman.

-Importasi daging dari luar negeri untuk konsumsi masyarakat dan/atau untuk diperdagangkan harus berasal dari rumah potong seperti pada poin keempat, serta harus dipotong sesuai dengan syariah Islam, memiliki Sertifikat Halal dan Nomer Kontrol Veteriner rumah potong hewan tersebut yaitu: EST.180, 555, 686, 505A,1058, 640, 486, 648, 297, 2773
- Daging impor tersebut harus dikirimkan secara langsung dari negara asal ke tempat-tempat pemasukan di Indonesia.
- Kemasan daging tersebut harus memiliki segel asli dengan label Nomer Kontrol Veteriner, tanggal pemotongan dan tipe daging serta
label tersebut harus dapat terbaca.,
- Kontainer untuk mengirimkan daging dari negara asal harus memiliki segel dari Dokter Hewan yang berwenang dan segel tersebut hanya dapat dilepas oleh Petugas Karantina Hewan yang berwenang di tempat-tempat pemasukan.
- Selama transportasi, suhu dalam kontainer harus tetap stabil (berkisar antara -18 C sampai dengan -22 C).
- Semua produk daging impor harus dilaporkan oleh importir ke petugas karantina hewan pada tempat-tempat pemasukan untuk menjalani pemeriksaan karantina sesuai dengan peraturan karantina yang berlaku.
- Dalam kasus di mana pemeriksaan karantina dilakukan di luar tempat-tempat pemasukan, Badan Karantina Pertanian Nasional harus menentukan lokasi pemeriksaan tersebut.

Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Daging ke dalam negara Indonesia

Standar 7.2

Pemasukan daging dapat dilakukan oleh importir umum sepanjang memenuhi ketentuan jenis dan kualitas, persyaratan teknis penolakan penyakit hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, persyaratan keamanan dan ketentraman batin konsumen.
Importir dan/atau pengedar daging asal luar negeri, harus mencegah kemungkinan timbul dan menjalarnya penyakit hewan yang dapat ditularkan melalui daging yang diimpor dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggungjawab atas keamanan dan ketentraman batin konsumen.
Persyaratan Pemasukan Daging Pemasukan daging harus memenuhi persyaratan teknis yang terdiri dari persyaratan :

i. Negara asal;
ii. Rumah Potong asal daging;
iii.Kualitas daging;
iv. Cara pemotongan;
v. Pengemasan;
vi. Pengangkutan.

Tata Cara Pemasukan Daging

i.Setiap orang atau badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai importir umum dapat melakukan pemasukan daging dari Luar negeri ke dalam wilayah negara republik Indonesia.

ii.Direktur Jenderal Peternakan melakukan penilaian terhadap situasi penyakit, sistem pengawasan kesehatan dan tata cara pemotongan daging, RPH dan Perusahaan pengolahan daging di negara atau bagian suatu negara asal daging, serta jenis, kualitas, dan peruntukan daging yang akan dimasukkan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

iii. Penilaian oleh Direktur Jenderal Peternakan sebagaimana dimaksud pada point.2) dilakukan berdasarkan persyaratan teknis dan dapat disesuaikan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat dilaksanakan penilaian.

iv. Untuk keperluan penilaian sebagaimana dimaksud pada point.2,
importir mengajukan permohonan rencana pemasukan daging secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan mencantumkan Negara Asal, Nama, Alamat dan Nomor Kontrol Veteriner RPH atau Perusahaan Pengolahan Daging, tujuan daerah pemasukan, jenis dan peruntukan, serta jumlah dan rencana pemasukan daging serta melampirkan data perusahaan dan data teknis yang dipersyaratkan.

Informasi :
Keterangan lebih lanjut, hubungi : Subdit.Produk Pangan Hewan Telp.(021) 9116354 pes.4844 ; E_Mail : pph@deptan.go.id

Prosedur Pemasukan Produk Pangan Hewani terdapat pada SK.Dirjenak No.71/TN.690/Kpts/DJP/Deptan/2000, 30 Juni 2000

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sub Direktorat Produk Pangan Hewani, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Jl. Harsono RM. No.
3 Telp. (021) 9116354, (021) 7815380-84, Pes : 4844, Fax : (021)7827466

MANUAL 08: PERSYARATAN SANITASI UNTUK SUSU, SUSU BUBUK, PRODUK SUSU DAN KRIM SUSU

Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi susu, susu bubuk, produk susu dan krim susu ke Indonesia, adalah sebagai berikut:

Standar 8.1

Semua pengiriman susu dari luar negeri harus disertai dengan Sertifikat Sanitasi yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:

1. Importasi produk hewan harus disertai dengan Sertifikat Kesehatan Hewan, dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari Pemerintah Negara Asal, yang menyatakan bahwa:

2. Negara atau bagian dari negara atau daerah asal bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest sekurang-kurangnya selama 12 bulan.

3. Produk susu tersebut harus berasal dari kelompok atau kawanan ternak yang tidak menjadi subyek pembatasan karena adanya penyakit Brucellosis atau Tuberculosis pada saat pengumpulan susu.

4. Susu atau krim berasal dari Perusahaan Industri Pemrosesan yang telah memperoleh izin Pemerintah Nasional dan telah menerapkan rencana HACCP. Untuk inaktivasi patogen yang terdapat pada susu atau krim yang dipergunakan untuk konsumsi manusia, harus melakukan salah satu dari tandar berikut ini:

Standar 8.1.A
Ultra-high temperature (UHT=suhu minimal 132 C, sekurang-kurangnya selama 1 detik).

Standar 8.1.B
Jika susu tersebut memiliki pH kurang dari 7,0, maka dilakukan pasteurisasi high temperature short time (HTST).

Standar 8.1.C
Jika susu tersebut memiliki pH 7,0 atau lebih, maka dilakukan HTST ganda. Untuk inaktivasi patogen yang terdapat pada susu atau krim yang dipergunakan untuk konsumsi hewan, harus melakukan salah satu dari standar berikut ini:

Standar 8.1.D
HTST ganda (72 oC sekurang-kurangnya selama 15 detik)

Standar 8.1.E
HTST dikombinasi dengan perlakuan fisik lainnya, misalnya pH dipertahankan

MANUAL 09: PERSYARATAN SANITASI UNTUK PAKAN HEWAN JADI (PAKAN HEWAN KERING DAN KALENGAN) YANG DIGUNAKAN SEBAGAI PAKAN HEWAN KESAYANGAN

Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi pakan hewan jadi
(pakan hewan kering dan kalengan) ke Indonesia, adalah sebagai berikut:

Standar 9.1
Importasi dari negara pengekspor pakan hewan jadi (pakan hewan kering dan kalengan) ke Indonesia dengan bahan baku yang berasal dari ruminansia, babi dan unggas harus memenuhi persyaratan dan juga dilengkapi dengan sertifikat terlampir, sebagai berikut:

1. Sertifikat Kesehatan Hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan yang
berwenang, yang menyatakan bahwa:
- Negara asal dinyatakan bebas dari penyakit hewan utama seperti: Penyakit Mulut dan Kuku, Rinderpest, Peste des petits Ruminant, Vesikular Stomatitis, Swine Vesicular Disease, African Swine Fever, Bovine Spongioform Encephalopathy, Scrapie dan Highly Pathogenic Avian Influenza.
-Importasi dari negara endemik PMK diperbolehkan bilamana produk tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang berasal dari ruminansia atau babi.

2. Sertifikat Pemrosesan yang dikeluarkan oleh Petugas kontrol kualitas pada industri tersebut, yang menyatakan bahwa:
- Industri tersebut pada saat memproses produk harus sepengetahuan dan dalam pengawasan dari pemerintah negara asal dan juga harus memiliki nomer pendirian.
- Bahan-bahan yang digunakan harus tercantum secara spesifik.

Material tersebut harus mendapat perlakuan sesuai dengan standar berikut ini:

Standar 9.1.A

Untuk Produk Pakan Kering, bahan-bahan yang berasal dari hewan harus dipanaskan pada suhu minimal 240 F (115 C) sekurang-kurangnya selama 20 menit dengan tekanan atmosfer. Bahan-bahan tersebut dikombinasi dengan sereal dan bahan-bahan lain. Setelah itu dilanjutkan dengan proses pemanasan.Proses pemanasan produk tersebut dilakukan dengan proses ekstrusi yang memanaskan produk tersebut hingga mencapai suhu minimal 240 F (115 C) selama 15 detik dan dengan tekanan atmosfer selama 28 menit.

Standar 9.1.B

Produk Pakan Kalengan diproduksi sesuai dengan teknik pengolahan
makanan kaleng standar, dengan suhu tidak kurang dari 240 F (115 C)
dalam periode tidak kurang dari 75 menit.

Persyaratan Kesehatan untuk Importasi pakan hewan jadi (pakan hewan kering dan kalengan) yang digunakan sebagai pakan hewan kesayangan ke dalam negara Indonesia.

Standar 9.2

Importasi pakan hewan harus dilaporkan oleh pihak importir ke Petugas Karantina Hewan pada bandara/pelabuhan pemasukan untuk menjalani pemeriksaan karantina sesuai dengan peraturan karantina yang berlaku. Semua pakan hewan impor harus dicatat oleh Dokter Hewan Karantina berwenang pada bandara/pelabuhan pemasukan.

MANUAL 10: PERSYARATAN SANITASI UNTUK BAHAN BAKU PAKAN ASAL HEWAN (TEPUNG TULANG DAN DAGING / DAGING / TULANG / TANDUK / DARAH DARI SAPI, KAMBING , DOMBA, DAN RUSA SERTA TEPUNG BY- PRODUCT UNGGAS / BULU UNGGAS)

Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi bahan baku pakan
ternak (tepung tulang dan daging / daging / tulang / tanduk / darah) ke

Indonesia, adalah sebagai berikut:

Standar 10.1

Importasi produk yang mengandung produk hewan yang digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:

1. Produk ini berasal dari Negara atau bagian Negara yang bebas dari PMK, rinderpest, Peste des petits Ruminant sekurang-kurangnya 12 bulan sebelum ekspor, BSE dan Scrapie.

2. Produk berasal dari perusahaan pengolahan yang memiliki izin dan memiliki NKV. Alamat industri harus tercantum dalam Sertifikat Kesehatan.

3. Produk berasal dari hewan yang sehat. Pabrik pengolahan harus mencatat penggunaan hewan untuk produksi serta harus mencatat tanggal produksi pada setiap pengiriman.

4. Produk telah mendapat perlakuan pemanasan secara termal sampai Mencapai tingkat penghancuran target yang mengandung mikroorganisme.

5. Produk harus menjadi subyek pengujian pasca produksi untuk memeriksa adanya Salmonella (dan Clostridium). Uji ini harus dilakukan di Laboratorium Pemerintah atau laboratorium yang bersertifikat. Tanggal pengujian dan hasil pengujian harus tercantum dalam sertfikat kesehatan.

6. Produk ini harus diolah dan diproses berdasarkan Peraturan/Standar
Pemerintah negara eksporter untuk memastikan keamanan produk.

7. Setelah perlakuan, harus dilakukan tindakan pencegahan untuk
mencegah kontaminasi dengan sumber pathogen utama.

8. Pabrik pengolahan harus menerapkan GMP dan prosedur hygiene
sanitasi sebelum pengemasan. Standar Persyaratan Sanitasi umum untuk importasi bahan baku pakan ternak (tepung by-product unggas / bulu) ke Indonesia, adalah sebagai berikut:

Standard 10.2

Importasi produk yang mengandung produk hewan yang digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur, harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang dari negara asal yang menyatakan bahwa:

1. Produk ini berasal dari area yang memenuhi kriteria OIE yaitu berasal dari area yang bebas dari wabah HPAI dan area yang tidak melaporkan adanya wabah PMK dalam waktu sebulan sebelum ekspor.

2. Produk ini berasal dari pabrik pengolahan yang memiliki izin dan NKV. Pabrik pengolahan harus memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam penjualan domestik.

3. Produk ini berasal dari pabrik pengolahan yang hanya melakukan pengolahan khusus hanya untuk satu spesies atau memiliki jalur pengolahan terpisah untuk mencegah kontaminasi dengan bahan-bahan asal ruminansia atau babi.

4. Pabrik pengolahan tersebut harus memiliki catatan semua sumber bahan mentah yang digunakan. Produk yang dinyatakan di sini, diproduksi pada tanggal berikut: (termasuk tanggal produksi).

5. Pengujian rutin terhadap adanya salmonella harus dilakukan pada produk ini sesuai dengan protokol yang disetujui di laboratorium pemerintah atau laboratorium bersertifikat.

6. Dilakukan perlakuan pemanasan kering pada material yang diolah berdasarkan standar yang disetujui.

7. Dilakukan tindakan pencegahan untuk mencegah kontaminasi agen patogenik pada produk tersebut setelah pengolahan.

8. Produk tersebut diolah sesuai dengan persyaratan sanitasi standar dan sesuai dengan GMP.

9. Produk ini tidak mengandung bahan-bahan asal ruminansia dan
unggas.

Persyaratan lain:
1. Produk ini harus memiliki label bahwa produk ini tidak sesuai untuk konsumsi manusia dan tidak mengandung bahan asal babi serta hanya digunakan untuk pakan unggas, babi dan akuakultur.

2. Penerapan pengujian dan perlakuan seperti tersebut di atas harus berada dalam pengawasan langsung Dokter Hewan Berwenang dari negara asal.

3. Produk yang menunjukkan bukti fisik adanya kerusakan pada kantung atau kemasan dan terletak pada kotak/kontainer yang tidak terjamin keamanannya, harus ditarik dari pengiriman dan ditolak untuk dimuat.

4. Sertifikat kesehatan harus diserahkan pada kapten/perusahaan ekspedisi, sedangkan salinannya diserahkan kepada perwakilan Indonesia di negara asal.

5. Jika dianggap perlu, maka Ditjennak dapat melakukan. pemeriksaan langsung di lokasi pengolahan tersebut.

MANUAL 11: PERSYARATAN SANITASI UNTUK BULU RUMINANSIA(WOOL) YANG DIGUNAKAN UNTUK KEPERLUAN INDUSTRI

Standar Persyaratan sanitasi umum untuk importasi wool yang digunakan
untuk keperluan industri ke dalam negara Indonesia adalah sebagai
berikut:

Standar 11.1

Importasi bahan baku wool ruminan yang berasal dari negara pengekspor untuk keperluan industri harus memenuhi persyaratan serta disertai dengan sertifikat sebagai berikut:

1. Sertifikat Kesehatan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang yang menyatakan bahwa: Negara asal dinyatakan bebas dari penyakit hewan utama yaitu:
Penyakit Mulut dan Kuku, Rinderpest, Peste des Petits Ruminant, Cacar Domba dan Cacar Kambing.
- Impor bulu ruminansia (wool top)dari negara endemik diperbolehkan setelah pengendalian, pemeriksaan dan pemberian izin.
-Bahan baku harus berasal dari daerah bebas anthrax dan dari hewan yang berada dalam negara tersebut selama sekurang-kurangnya empat bulan, serta telah menjalani pemeriksaan ante mortem dan post mortem atau berasal dari negara lain yang bebas dari penyakit ini.

2. Sertifikat Pemrosesan yang dikeluarkan oleh Petugas Kontrol Kualitas pada negara tersebut yang menyatakan bahwa:
-Industri tersebut pada saat memproses produk harus sepengetahuan dan dalam pengawasan dari pemerintah negara asal. Jika industri tersebut terdapat pada Negara dengan status sebagai Negara endemik Penyakit Hewan Utama, maka impor hanya diperbolehkan pada industri yang telah disetujui oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Controlling, Inspection and Approval (CIA).

Pemrosesan produk tersebut dilakukan sesuai dengan standar OIE yang berlaku yaitu dengan menggunakan salah satu dari prosedur berikut ini:

Standar 11.1.A

Pencucian industrial, yang terdiri dari mengimersikan wool ke dalam bak berisi air, sabun dan Natrium hidroksida atau Kalium hidroksida (Potash).

Standar 11.1.B
Deplesi kimia dengan menggunakan kapur mati atau Natrium Sulfida.

Standar 11.1.C
Fumigasi dalam formaldehida dalam ruang kedap udara sekurang-kurangnya selama 24 jam.

Standar 11.1.D
Pembilasan industrial dengan mengimersikan wool dalam deterjen larut air pada suhu 60-70 C.

Standar 11.1.E
Penyimpanan wool pada suhu 18oC selama 4 minggu, atau 37oC selama 8hari.

MANUAL 12: PERSYARATAN SANITASI UNTUK RAW HIDE / SKIN (WET / DRY SALTED) YANG DIGUNAKAN UNTUK KEPERLUAN INDUSTRI

Standar Persyaratan sanitasi umum untuk importasi raw hide/skin (wet/dry salted) yang digunakan untuk keperluan industri ke dalam negara Indonesia adalah sebagai berikut:

Standar 12.1

Manual Persyaratan Kesehatan Hewan dan Sanitasi Produk Hewan Importasi bahan baku raw hide/skin (wet/dry salted) yang berasal dari negara pengekspor untuk keperluan industri harus memenuhi persyartan serta disertai dengan sertifikat sebagai berikut:

1. Sertifikat Kesehatan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang yang menyatakan bahwa:

-Negara asal dinyatakan bebas dari penyakit hewan utama yaitu: Penyakit Mulut dan Kuku, Rinderpest, Peste des Petits Ruminant, Lumpy Skin Disease, Cacar Domba dan Cacar Kambing sekurang-kurangnya selama enam bulan sebelum tanggal ekspor.

-Bahan baku harus berasal dari daerah bebas anthrax dan telah menjalani pemeriksaan ante mortem dan post mortem atau berasal dari negara lain yang bebas dari penyakit ini.

2. Sertifikat Pemrosesan yang dikeluarkan oleh Petugas Kontrol Kualitas pada negara tersebut yang menyatakan bahwa:

- Industri tersebut pada saat memproses produk harus sepengetahuan dan dalam pengawasan dari pemerintah negara asal serta memiliki nomer pendirian.
- Pada saat pengolahan, material tersebut harus menjalani proses penggaraman sekurang-kurangnya selama 28 hari dalam garam laut yang mengandung 2% Natrium Karbonat.

Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Bahan Baku Kulit ke dalam negara Indonesia


Standar 12.2

-Pemasukan Kulit Mentah Diawet :
Harus berasal dari dan atau transit di suatu negara yang sekurang-kurangnya dalam jangka 6 (enam) bulan terakhir dinyatakan bebas penyakit hewan menular daftar A-OIE (termasuk PMK).

-Pemasukan Kulit Wet Pickled :
Dapat dimasukkan dari dan/atau transit di negara yang sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan dinyatakan bebas penyakit hewan menular daftar A-OIE. Dapat dimasukkan dari berbagai negara yang berstatus endemik (tertular) penyakit hewan menular daftar A-OIE dengan persyaratan telah terlebih dahulu dilakukan Establishment Approval pada industri pengolahan kulit di negara asal.

MANUAL 13: PERSYARATAN SANITASI UNTUK WET BLUE / CRUST / FINISHED LEATHER YANG DIGUNAKAN UNTUK KEPERLUAN INDUSTRI

Standar Persyaratan sanitasi umum untuk importasi Wet blue/crust/finished leather yang digunakan untuk keperluan industri ke dalam negara Indonesia adalah sebagai berikut:

Standar 13.1

Importasi bahan baku wet blue/crust/finished leather yang berasal dari negara pengekspor untuk keperluan industri harus memenuhi persyartan serta disertai dengan sertifikat sebagai berikut:

1. Sertifikat Kesehatan yang dikeluarkan oleh Dokter Hewan Berwenang yang menyatakan bahwa:

-Negara asal tidak sedang dalam keadaan terjangkit wabah penyakit hewan utama yaitu: Penyakit Mulut dan Kuku, Rinderpest, Peste des Petits Ruminant, Lumpy Skin Disease, Cacar Domba dan Cacar Kambing.

-Impor kulit jadi (finished leather) dari negara epidemik diperbolehkan setelah Controlling, Inspection and Approval (CIA).

-Bahan baku harus berasal dari daerah bebas anthrax dan dari hewan yang berada dalam negara tersebut selama sekurang-kurangnya empat bulan, serta telah menjalani pemeriksaan ante mortem dan post mortem atau berasal dari negara lain yang bebas dari penyakit ini.

2. Sertifikat Pemrosesan yang dikeluarkan oleh Petugas Kontrol Kualitas pada negara tersebut yang menyatakan bahwa:

-Industri tersebut pada saat memproses produk harus sepengetahuan dan dalam pengawasan dari pemerintah negara asal serta memiliki nomer pendirian.

-Wet blue/crust/finished leather harus diolah sesuai dengan Standar Operasional dan Prosedur yang berlaku.

Persyaratan Kesehatan untuk Importasi Bahan Baku Kulit ke dalam negara Indonesia

Standar 13.2

-Pemasukan Kulit Wet Blue, Crust dan Finished Leather.

Dapat dimasukkan dari dan/atau transit di semua negara (status bebas dan endemik penyakit daftar A-OIE). Tetapi dari negara yang sedang dinyatakan wabah (epidemi) penyakit tersebut, maka dilarang pemasukannya ke Indonesia.Apabila wabah penyakit telah dapat dikendalikan (setelah 30 hari sejak kasus terakhir) maka pemasukkannya
dapat disetujui kembali.

Sumber: Balai Besar Karantina Hewan Tanjung Perak Surabaya

Persyaratan Impor Produk Asal Hewan

Prosedur Impor:

1. Melaporkan rencana pemasukan kepada petugas karantina hewan di bandara/pelabuhan pemasukan dengan mengajukan permohonan periksa 2 hari sebelum pemasukan.

2. Diserahkan kepada petugas karantina setibanya di bandara/pelabuhan pemasukan untuk keperluan tindak karantina sesuai dengan peraturan perundangan karantina.

Persyaratan Impor:

1. Dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

2. Surat keterangan asal (Certificate of Origin) bagi media yang tergolong benda lain yang diterbitkan oleh perusahaan tempat pengolahan di daerah asal.

3. Surat persetujuan pemasukan (SPP) dari Direktorat Jendral Peternakan.

4. Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan.

5. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk keperluan tindakan karantina.

6. Surat angkut satwa (CITES) bagi media yang tergolong hewan liar yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal.

Friday, 4 April 2008

Prosedur Pemasukan Benih Tumbuhan ke Indonesia

PROSEDUR TETAP TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN TERHADAP PEMASUKAN BENIH TUMBUHAN KEDALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1. Setiap benih tumbuhan yang dimasukan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib :

a. Dilengkapai sertifikat kesehatan tumbuhan (Phytosanitary Certificate) dari Negara Asal dan Negara Transit;
b. Disertai Surat Ijin Pemasukan (SIP) dari Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuknya;
c. Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
d. Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas Karantina Tumbuhan setibanya di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan Karantina Tumbuhan

2. Untuk penerbitan Surat Ijin Pemasukan (SIP) benih Tumbuhan, Menteri Pertanian atau Pejabat yang mengatasnamakannya akan memperhatikan persyaratan teknis karantina dan kelengkapan dokumen yang ditetapkan berdasarkan Analisis Resiko Organisme Pengganggu Tumbuhan (AROPT).

3. Analisis Resioko Organisme Pengganggu Tumbuhan dilaksanakan dengan berpedoman kepada standar internasional pengaturan Fitosanitari (International Standar for Phytosanitary Measures) yang diterbitkan oleh Sekretariat IPPC (International Plant Protection Convention).

4. Kajian analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan meliputi :

a. Kajian awal tentang informasi pengelolaan sertifikasi benih dan sertifikasi kesehatan benih serta situasi organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) di Negara Asal;
b. Hasil kajian AROPT merupakan rekomendasi tentang persyaratan teknis yang dikenakan terhadap benih tumbuhan yang akan diimpor dan rekomendasi tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang memberikan Surat Ijin Pemasukan (SIP).

5. Pemeriksaan Karantina di negara asal dilakukan berdasarkan pertimbangan kesulitan teknis dilakukannya tindakan karantina di tempat pemasukan dan/atau analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan di negara asal yang merupakan daerah sebar organisme pengganggu tumbuhan karantina yang beresiko tinggi.

6. Pemeriksaan di negara asal dilakukan oleh petugas Karantina Tumbuhan dan petugas ahli lainnya yang diperlukan.

7. Apabila diperlukan Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan kerjasama bilateral dengan negara pengirim benih, melalui program klarifikasi (pre clearance program).

8. Pemasukan benih tumbuhan yang tidak memenuhi ketentuan dalam prosedur tetap ini ditolak pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Sumber : Keputusan Kepala badan Karantina Pertanian Nomor : 152/Kpts/PD.540/L/8/03 tanggal 8 Agustus 2003

Prosedur Pemasukan Hasil Tumbuhan ke Indonesia

THE STANDARD PROCEDURES OF PLANT QUARANTINE MEASUREMENT FOR THE ENTRY OF PLANT PRODUCTS INTO THE TERRITORY OF THE REPUBLIC OF INDONESIA

1. Any importation of plant products is subject to the following conditions:
a. Importation must be made through designated points of entry;
b. Accompanied by Phytosanitary Certificate issued by the Plant Quarantine Service of the Country of Origin and Country/countries where the consignments are transit;
c. Notified and submitted to Plant Quarantine Inspectors upon arrival of the consignment for quarantine actions

2. Notwithstanding to general condition mentioned above, the importation of the particular plant products are subjected to specific condition based on the Pest Risk Analyzes (PRA).

3. The result of the PRA will determine the status of the introduction and technical requirements which will be needed to the importation of plant products.

4. The plant quarantine inspections in the country of origin (pre-shipment inspection system) will be held based on the technical difficulties of implementation of quarantine action in the entry points and/or the result of PRA shows that the country origin is determined as distribution area of harmful plant pests.

5. The plant quarantine inspections in the country of origin will be performed by the Indonesian Plant Quarantine Inspectors.

6. If needed, the Government of the Republic of Indonesia could make a bilateral cooperation with the exportation country through classified program (pre clearance program).

7. The importation of plant products which are not fullfiled the requirement of the standard procedure should be refused entry into the territory of the Republic of Indonesia.



PROSEDUR TETAP TINDAKAN KARANTINA TUMBUHAN TERHADAP PEMASUKAN HASIL TUMBUHAN DI DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

1.Setiap hasil tumbuhan yang dimasukan ke dalam wilayah negara Asal Republik Indonesia wajib :

a.Dilengkapi sertifikat kesehatan tumbuhan dari negara asal dan negara transit;
b.Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan;
c.Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina tumbuhan setibanya di tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina tumbuhan.

2.Dalam hal tertentu, terhadap pemasukan hasil tumbuhan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dapat dikenakan kewajiban tambahan berdasarkan analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan.

3.Hasil analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan akan menentukan status pemasukan dan persyaratan teknis yang diperlukan terhadap pemasukan hasil tumbuhan.

4.Pemeriksaan karantina di negara asal di lakukan berdasarkan pertimbangan kesulitan teknis dilakukannya tindakan karantina di tempat pemasukan dan/atau analisis resiko organisme pengganggu tumbuhan negara asal merupakan daerah sebar organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) yang beresiko tinggi.

5.Pemeriksaan di negara asal dilakukan oleh Petugas Karantina Tumbuhan.

6.Apabila diperlukan pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan kerjasama bilateral dengan negara pengirim hasil tumbuhan, melalui program klarifikasi (pre clearance program)

7.Pemasukan hasil tumbuhan yang tidak memenuhi ketentuan dalam prosedur tetap ini ditolak pemasukannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Sumber : Keputusan Kepala badan Karantina Pertanian Nomor : 152/Kpts/PD.540/L/8/03 tanggal 8 Agustus 2003.

Tuesday, 10 April 2007

Akhir 2005 Jepang Perketat Impor Kimchi

 

 Akhir tahun 2005 Jepang memperketat impor Kimchi dari Korea dan China

 

Japan telah memperketat Kimchi yang diimport dari Korea dan China untuk diuji setelah pegawai kantor kesehatan di Seoul mendeteksi telur parasit pada sample makanan olahan berbumbu.

Beberapa minggu setelah dideteksinya telur parasit tersebut dari makanan import dari China, Food watchdog Agency Korea Selatan minggu lalu mengatakan bahwa 16 dari 502 produk Kimchi lokal yang terkontaminasi oleh telur cacing bulat (roundworm) dinyatakan berasal dari kucing dan anjing.

Tahun 2004 Jepang telah mengimport 32.000 ton Kimchi dari Korea Selatan.

Petugas dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan (Ministry of Health, Labor, and Welfare) menyatakan bahwa telah mengkonfirmasi ke beberapa perusahaan yang produknya terkontaminasi telur parasit tersebut. Tetapi kami tidak tahu secara pasti lot mana yang terkontaminasi tersebut.

Pihak Kementerian Kesehatan belum melakukan inspeksi terhadap Kimchi yang diimport, tetapi kami akan merencanakan inspeksi dengan mengambil sample, katanya.

Minggu yang lalu Pemerintah Korea telah melakukan inspeksi terhadap kimchi asal china, dan telah memerintahkan untuk dimusnahkan setelah produk tersebut tidak lulus uji keamanan.

China merespon dengan cara menolak 10 produk makanan yang berasal dari Korea termasuk didalamnya Kimchi, hot papper paste, dan bumbu untuk broiler beef, dikatakan bahwa bahan ini juga terkontaminasi dengan telur parasit.

Kim Myong Hyun, Wakil Kepala Korea Food and Drug Administration, mengatakan bahwa manusia tidak dapat terkontaminasi oleh cacing bundar (roundworm)atau telur-telurnya. Ia menganjurkan untuk menguji dengan ketat Kimchi yang dieksport karena terdapat sample-sampel tidak lulus uji keamanan berasal dari Producer Kimchi yang menjual 43 ton Kimchi ke Jepang tahun lalu.

Sumber: Japan Times, 8 November 2005

Monday, 9 April 2007

Kajian Sistem Informasi Perkarantinaan di Jepang

OLEH :
EDDY PRAMINTO dan SRIYANTO
BIDANG INFORMASI PERKARANTINAAN, PUSAT INFORMASI DAN KEAMANAN HAYATI, BADAN KARANTINA PERTANIAN, DEPARTEMEN PERTANIAN


1. PENDAHULUAN

Latar belakang

Jepang merupakan salah satu negara maju dikawasan Asia baik di bidang industri maupun pertaniannya. Hasil komoditas pertanian di Jepang baik hewan, produk hewan, tumbuhan dan produk tumbuhan sebagaian besar untuk kebutuhan dalam negeri. Bahkan mereka rela membeli produk pertanian dari negaranya meskipun harganya cukup mahal seperti buah mangga, buah jeruk, apel, beras. Semua hasil produksi pertaniannya dengan kualitas yang sangat bagus.

Oleh karenanya untuk mencegah dari kemungkinan masuknya hama dan penyakit hewan serta organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan antar area diterapkan sistem perkarantinaan secara ketat. Sistem perkarantinaan hewan dan tumbuhan Jepang telah berjalan lebih dari 1 abad, sehingga dengan berbagai fasilitas yang dimiliki serta penerapan sistem informasi yang memadai telah menempatkan karantina Jepang ke jajaran karantina yang disegani di negara lain.

Dalam rangka mengembangkan sistem informasi perkarantinaan pertanian di Indonesia agar selaras dengan perkembangan situasi dan kondisi terkini yaitu arus globalisasi perdagangan bebas, Bidang Informasi Perkarantiaan, Badan Karantina Pertanian mengadakan kunjungan ke Dinas Karantina Jepang.

Hasil-hasil selama kunjungan dipaparkan dalam laporan ini. Untuk selanjutnya dalam laporan ini akan diuraikan secara berurutan mengenai Sistem Perkarantinaan di Jepang, Sistem Pertukaran Data Elektronik dan Penutup. Dengan laporan perjalanan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan bagi pengembangan sistem perkarantinaan di Indonesia khususnya sistem perkarantinaan hewan dan tumbuhan untuk mencapai visi yang diinginkan yaitu Badan Karantina Pertanian yang tangguh dan modern tahun 2009.

Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan kunjungan ke Dinas Karantina Hewan dan Tumbuhan di Jepang ini adalah :
1) Menggali dan mempelajari sistem informasi perkarantinaan di Jepang,
2) Menjajaki kemungkinan kerjasama teknis antar dua negara serta
3) Melihat secara lebih dekat penerapan sistem operasional perkarantina baik Hewan dan Tumbuhan di Jepang.

2. SISTEM PERKARANTINAAN DI JEPANG

A. Sistem Karantina Hewan

Pendahuluan

Dinas Karantina Hewan Jepang (Animal Quarantine Service) bertujuan untuk memajukan industri peternakan melalui pencegahan masuknya penyakit hewan menular yang dapat terbawa melalui importasi hewan dan produk hewan, menjaga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (public health dan welfare) melalui pencegahan masuknya penyakit hewan menular seperti Rabies dan Ebola (Ebola hemorrhagic fever). Pelaksanaan inspeksi terhadap kegiatan importasi ini dilakukan oleh dokter hewan dan tenaga handal lainnya yang telah dilatih di lapangan seperti bagaimana menangani hewan. Disamping pencegahan dari kemungkinan masuknya penyakit hewan menular dan zoonosis dari luar negeri, karantina hewan Jepang juga berperan penting dalam pencegahan menyebarnya wabah penyakit hewan menular dari suatu area / distrik ke area atau distrik lain dengan melakukan isolasi dan pengendalian bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Hal ini telah dibuktikan dengan berhasilnya mengendalikan wabah penyakit flu burung (avian flu) beberapa tahun lalu.

Jepang merupakan salah satu negara maju yang memiliki komitmen tinggi untuk melindungi sumber daya alam hayatinya dari kemungkinan masuk dan menyebarnya hama dan penyakit hewan serta organisme pengganggu tumbuhan dari negara lain. Hanya dari negara yang telah bebas penyakit utama OIE yang diijinkan mengekpor hewan dan produknya ke Jepang seperti Australia dan New Zealand serta negara-negara di kawasan Eropa.

Untuk dapat merealisasikan ekspor hewan dan produk hewan ke Jepang, dipersyaratkan adanya preshipment inspection ke negara asalnya. Jepang akan mengecek secara detail perusahaan pengekspor dan akan meregistrasinya apabila beberapa persyaratan telah terpenuhi. Tujuannya adalah untuk memudahkan menelusuri ke belakang jika di kemudian hari terjadi pelanggaran atau ditemukan barang yang tidak sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan. Oleh karena itu untuk dapat menembus ekspor ke Jepang diperlukan adanya komunikasi antar pemerintah ke dua negara dan partisipasi pengusaha/perusahaan untuk dapat mengikuti aturan yang dipersyaratkan. Eksportasi komoditas karantina hewan ke Jepang dari Indonesia selama ini adalah kera ekor panjang (ada 4 perusahaan yang telah disetujui Jepang), udang (tahap negosiasi sehubungan ditemukan residu antibiotik), tepung ikan serta pucuk daun tebu (Jepang meminta justifikasi sehubungan dengan pernyataan Indonesia bebas penyakit PMK seperti berupa bukti kegiatan surveilan PMK).

Organisasi karantina hewan Jepang

Sebagaimana negara lain didunia, karantina hewan Jepang merupakan suatu alat proteksi dari masuknya hewan dan produk hewan yang tidak sehat dan tidak aman ke Jepang. Sejarah karantina hewan Jepang pertama dikenalkan berdasarkan Surat Keputusan pemerintahan Meiji tahun 1871 yang bertujuan untuk mencegah masuknya penyakit Rinderpest yang telah melanda di Siberia saat itu. Sistem perkarantinaan hewan diterapkan pada tahun 1896 dengan ditetapkannya UU No. 60 tahun 1896 tentang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Epizootic.

Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi, organisasi karantina hewan di Jepang juga terus mengalami dinamisasi. Pelabuhan Nagasaki merupakan pelabuhan karantina hewan pertama untuk impor sapi dan domba pada tahun 1897, kemudian diikuti pelabuhan Kobe, Yokohama dan Kanmon. Sebagai konsekuensinya sistem dan struktur organisasi karantina hewan pun mengalami perubahan. Tahun 1947, karantina hewan bergabung bersama karantina tumbuhan menjadi Dinas Karantina Hewan dan Tumbuhan (Animal and Plant Quarantine Service) dibawah Kementrian Pertanian dan Kehutanan. Selang 3 tahun kemudian, tepatnya tahun 1951 berdasarkan UU No. 166 tentang Pengendalian Penyakit Hewan Menular Domestik, sistem ekspor/impor karantina hewan diperbaiki dan konsekuensinya organisasi karantina hewan terpisah dari karantina tumbuhan menjadi Animal Quarantine Service sebagaimana sebelumnya dibawah kementrian Pertanian dan Kehutanan.

Saat ini organisasi dinas karantina hewan Jepang (Animal Quarantine Service) berada dibawah Kementrian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries) dengan kantor pusat di Pelabuhan Yokohama. Animal Quarantine Service ini membawahi 6 kantor cabang (branch) di seluruh Jepang yaitu Narita branch, Chubu branch, Kansai branch, Kobe branch, Moji branch dan Okinawa branch, dimana masing-masing kantor cabang membawahi kantor subcabang (sub-branch) dengan total ada 17 kantor subcabang.

Untuk menjalankan tugas dan fungsinya, Animal Quarantine Service di Yokohama memiliki 4 Bagian (department) yaitu Bagian Perencanaan dan Koordinasi (Department of Planning and Coordination), Bagian Umum (Department of General Affairs), Bagian Karantina (Department of Quarantine) dan Bagian Penyidikan dan Penelitian (Department of Investigation and Research). Bagian karantina membawahi 3 divisi yaitu divisi jaminan mutu (Quality Assurance), divisi pemeriksaan hewan (Animal Inspection) dan divisi pemeriksaan produk hewan (Animal Product Inspection). Bagian Perencanaan dan Koordinasi membawahi 2 divisi yaitu divisi perencanaan dan koordinasi dan divisi inteligent. Bagian Penyidikan dan Penelitian membawahi 3 divisi yaitu divisi pemeriksaan Mikrobiologi, divisi pemeriksaan Pathology dan Physiochemical dan divisi Analisa Resiko. Struktur organisasi secara lebih jelas dapat dilihat dalam gambar dibawah ini :

Tindakan Operasional Karantina Hewan

Untuk menjalankan kegiatan operasionalnya karantina hewan di Jepang berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu :
1. Undang-undang tentang pengendalian penyakit hewan menular domestik (domestic animal infectious control law)
2. Undang-undang tentang pencegahan penyakit rabies (the rabies prevention law)
3. Undang-undang yang memperhatikan pencegahan infeksi dan perawatan medis bagi pasien yang terinfeksi.

Setelah kami mengamati kegiatan di lapang yaitu di Karantina Hewan di Pelabuhan Yokohama dan di bandara Internasional Narita, kegiatan operasional Karantina hewan di Jepang hampir sama dengan yang dilakukan di Indonesia.

Secara umum tindakan karantina hewan di Jepang ditujukan untuk :
a. Pencegahan masuknya penyakit hewan menular
Hewan yang diimpor dari luar negeri harus masuk dan diperiksa di dalam fasilitas karantina (instalasi karantina hewan) selama periode tertentu. Hewan-hewan tersebut akan menjalani pemeriksaan seperti pemeriksaan klinis, pemeriksaan darah, pemeriksaan serologi dan test reaksi intradermal. Untuk produk hewan, pemeriksaan akan dilakukan di gudang dan terminal kontainer yang telah disediakan oleh petugas Karantina di bandara maupun pelabuhan laut. Sementara hewan dan produk hewan yang dibawa sebagai barang bawaan penumpang, akan diperiksa oleh petugas Karantina di konter Karantina hewan dalam areal bandara. Pemeriksaan juga dilakukan untuk komoditas hewan dan produk hewan yang akan diekspor dan dilalulintaskan antar pulau.
Penyakit hewan menular yang patut diwasdai pemerintah Jepang mencakup 26 jenis penyakit yang harus dinotifikasi (notifiable) seperti PMK, African swine fever, BSE (sapi gila), Equine infectious anemia, HPAI (flu burung), dan Foul brood serta 71 jenis penyakit yang perlu dilaporkan (reportable) antara lain Bluetongue, Bovine leukemia, Aujeszky, Contagious equine metritis.
Adapun hewan dan produk hewan yang masuk dalam kategori yang diperiksa untuk mencegah penyakit hewan menular ini adalah 1) hewan berkuku genap (sapi, domba, kambing, babi), kuda, unggas domestik (itik, ayam, angsa, kalkun dll), anjing, kelinci dan lebah madu; 2) Tulang, daging, bulu, telur, dan produk lain asal hewan, 3) pakan ternak (jerami, pucuk daun, tepung ikan dll)


b. Pencegahan penyakit rabies
Jepang merupakan salah satu Negara yang telah bebas dari penyakit rabies, oleh karenanya untuk melindungi ketentraman masyarakat akan serangan penyakit rabies yang datang dari luar negeri dilakukan pemeriksaan secara ketat. Undang-undang pencegahan rabies Jepang menyatakan bahwa setiap anjing, kucing, rubah dll yang berpotensi membawa penyakit rabies yang diimpor ke Jepang harus dilakukan tindakan karantina. Hewan-hewan tersebut akan dimasukkan ke Instalasi Karantina untuk menjalani serangkaian tindakan pemeriksaan/skrining rabies. Anjing atau hewan pembawa rabies yang berasal dari Negara atau wilayah yang bebas rabies maka periode karantinanya 12 jam jika hewan tersebut telah dilengkapi sertifikat kesehatan, identitas dalam microchip ID (yang di tempatkan dibawah kulit) dan telah divaksinasi menggunakan vaksin rabies in-aktif. Diluar itu maka akan dikenakan ketentuan karantina selama 180 hari.
c. Pencegahan penyakit zoonosis
Berdasarkan undang-undang pencegahan infeksi dan perawatan medis bagi pasien yang terinfeksi, semua hewan primata yang diimpor ke Jepang akan dikarantina untuk menentukan bahwa hewan tersebut bebas penyakit zoonosis seperti Ebola hemorrhagic fever dan Marburg hemorrhagic fever.

Masa Karantina hewan di Jepang

Untuk sapi dan ruminansia kecil yang diimpor baik dari Australia maupun dari New Zealand mereka juga menerapkan wajib masuk ke instalasi Karantina hewan untuk menjalani masa Karantina. Lamanya kurang lebih 15 hari. Sementara untuk produk hewan, setelah mereka lakukan pemeriksaan dan didapati dalam kondisi yang baik maka produk hewan itu akan diijinkan masuk ke dalam Negara Jepang.
Minimum periode masa karantina hewan di Jepang telah ditentukan. Periode minimum masa karantina untuk impor dan ekspor masing-masing Kuda10 hari dan 5 hari; Hewan berkuku genap15 hari dan 7 hari; DOC 14 hari dan 2 hari; Anjing dalam 12 jamndan dalam 12 jam; Kelinci 1 hari dan 1 hari; Lebah madu 1 hari dan 1 hari; Unggas domestik 10 hari dan 2 hari.

Untuk mendukung operasional di lapang, mereka melakukan pengujian secara laboratorium, dimana disetiap cabang karantina hewan memiliki fasilitas laboratorium dan 1 laboratorium khusus yang berkedudukan di kantor pusat Dinas Karantina Hewan di Yokohama yaitu untuk pemeriksaan penyakit berbahaya yang memerlukan penanganan secara hati-hati serta untuk laboratorium rujukan. Di laboratorium rujukan ini dilengkapi dengan fasilitas uji PCR, Elisa, Mikroskop elektron serta fasilitas laboratorium yang memiliki bio-sekuritas tinggi (biosekuritas level 3).

Dalam Laboratorium biosekurity level 3, orang tidak bisa keluar masuk secara leluasa, udara yang keluar dari ruang laboratorium harus melewati filter yang menggunakan HEFA filter sehingga tidak membahayakan/mencemari lingkungan, demikian juga air yang keluar dari laboratorium ditampung dan disterilisasi sebelum dibuang keluar. Virus-virus yang diperiksa dilaboratorium dengan biosekuritas level 3 ini seperti penyakit virus yang menyebabkan keguguran pada kuda, Vesicular stomatitis, Clasical swine fever, PMK, Aujesky disease, Equine viral artitis dll. Semua sampel dari penyakit-penyakit ini harus dilewati melalui lorong (tidak dibawa masuk orang secara langsung) dan keluar melalui oven dulu sehingga kemungkinan dari dalam laboratorium keluar penyakit sangat kecil.

Satu hal catatan yang menarik untuk dicermati bahwa perhatian pemerintah Jepang terhadap kelestarian sumber daya alam hayatinya cukup besar hal ini dibuktikan dengan memberikan porsi yang memadai bagi petugas karantina untuk dapat melaksanakan tugasnya secara optimal baik di areal bandara maupun di pelabuhan.

Bandara Internasional Narita

Di bandara internasional Narita, di setiap terminal disediakan kantor karantina yang representatif serta di pintu kedatangan penumpang disediakan konter pemeriksaan barang bawaan. Untuk memudahkan dalam mendeteksi barang bawaan penumpang disamping menggunakan ex-ray juga memanfaatkan keahlian 2 ekor anjing pelacak yang mampu mendeteksi produk hewan yang dibawa oleh penumpang. Konter pemeriksaan barang bawaan terlihat secara jelas di dekat pintu keluar dengan penyinaran yang cukup terang dan terpampang poster-poster karantina.

Jika dalam hasil pemeriksaan petugas ditemukan adanya barang bawaan penumpang yang berasal dari produk hewan maka semua barang bawaan milik penumpang yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal maka barang-barang bawaan itu disita untuk dimusnahkan.

Disamping disetiap terminal, fasilitas pemeriksaan dan kantor untuk karantina juga disediakan di gudang (cargo) sama seperti fasilitas yang disediakan untuk beacukai (disesuaikan dengan jumlah dan frekuensi importasi). Jumlah fasilitas untuk karantina tumbuhan lebih banyak dibandingkan karantina hewan karena jumlah, variasi dan frekuensi import tumbuhan lebih banyak dibandingkan karantina hewan. Khusus komoditas karantina, setelah selesai diperiksa petugas karantina dimana semua dokumen yang dipersyaratkan lengkap serta dinyatakan bebas dari penyakit maka akan diterbitkan sertifikat pelepasan yang akan disampaikan ke beacukai lewat elektronik data interchange (EDI). Setelah respon dari karantina diterima maka pihak beacukai akan mengeluarkan barang-barang yang diimpor setelah pemilik atau kuasa pemilik barang telah membayar bea yang ditetapkan. Untuk semua pelayanan karantina mulai dari pemeriksaan dokumen, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium hingga ke penggunaan fasilitas instalasi karantina hewan tidak dikenakan pungutan imbalan jasa karantina.

Pelabuhan Laut Yokohama

Pelabuhan laut Yokohama merupakan pelabuhan pemasukan terbesar di Jepang (seperti Tanjung Priok di Indonesia). Di Yokohama inilah Kantor pusat Dinas Karantina Hewan berkedudukan. Kantor Karantina Hewan di Yokohama ini cukup luas dengan fasilitas yang sangat memadai. Beberapa fasilitas tersebut adalah unit laboratorium yang dilengkapi bio-sekurity level 3, Instalasi Karantina Hewan untuk sapi, kuda, dan ruminansia kecil (domba dan babi), unit pengolahan kotoran hewan menjadi amoniak, unit incenerator dan kantor. Fasilitas lain yang disediakan untuk keperluan pemeriksaan hampir sama dengan yang disediakan di bandara sesuai yang dibutuhkan.

B. Sistem Karantina Tumbuhan

Pendahuluan

Dinas Karantina Tumbuhan Jepang menjalankan kegiatan operasionalnya berdasarkan ketentuan yang ada dalam Plant Quarantine Law yang diundangkan pada tahun 1914. Ketetapan ini dibentuk dengan mempertimbangkan bahwa pada pada era EDO telah diterapkan kebijakan isolasi yang ketat dalam kerangka mencegah masuknya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) asing dari luar negeri. Namun demikian, selama era MEIJI, yaitu zaman setelah EDO, didapatkan beberapa jenis OPT memasuki wilayah Jepang dan mengancam pertanian Jepang secara keseluruhan.

Mempertimbangkan pula bahwa laju arus lalu-lintas perdagangan produk pertanian yang sedemikian cepat didukung oleh modernisasi teknologi transportasi yang memungkinkan percepatan gerakan perpindahan komoditas perdagangan, yang juga berarti membuka gateway masuknya OPT Karantina dari luar negeri, mendorong dibentuknya Dinas Karantina Tumbuhan ini. Dinas tersebut bertujuan melindungan pertanian Jepang dari infiltrasi OPT Karantina yang berasal dari luar negeri melalui pelabuhan laut dan bandar udara. Pelayanan karantina domestik juga dilakukan dalam usaha mencegah penyebaran OPT lokal yang mampu mengancam produksi pertanian dalam negeri. Sedangkan karantina ekspor ditujukan sebagai upaya memenuhi ketentuan karantina Negara tujuan.

Dalam perkembangan selanjutnya, Dinas Karantina Tumbuhan Jepang terdiri dari :

a. Karantina Tumbuhan Internasional:

1. Karantina Tumbuhan Impor:
a) Pemeriksaan tumbuhan impor;
b) Karantina Pasca-Masuk;
c) Preshipment Quarantine di negara asal.
2. Karantina Tumbuhan Ekspor: Pemeriksaan Tumbuhan Ekspor

b. Karantina Tumbuhan Domestik.
1. Karantina bagi Benih/bibit tumbuhan dalam negeri;
2. Program eradikasi terhadap OPT tertentu;
3. Survai pemantauan terhadap OPT yang diduga baru;
4. Pengendalian darurat.

Kemudian ada 2 kegiatan lagi yang dianggap penting untuk ditambahkan yaitu Penelitian dan Pelatihan.

Pelaksanaan Operasional Karantina Tumbuhan

Dinas Karantina Tumbuhan Jepang berada di bawah Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (MAFF), yang terpisah dengan Dinas Karantina Hewan. Terdapat 5 Head Office yang tersebar di seluruh Kepulauan Jepang, yaitu : Kobe Plant Protection Station dengan 19 tempat pemeriksaan; Moji Plant Protection Station dengan 14 tempat pemeriksaan; Naha Plant Protection Station dengan 5 tempat pemeriksaan; Nagoya Plant Protection Station dengan 12 tempat pemeriksaan; dan Yokohama Plant Protection Station dengan 27 tempat pemeriksaan. Yokohama merupakan stasiun karantina tumbuhan terbesar dan berada di pelabuhan laut terbesar Jepang dan menjadi obyek kunjungan studi banding, disamping Narita Airport Plant Protection Station.

Kegiatan operasional Karantina Tumbuhan dilakukan sebagai berikut :

1. Karantina Tumbuhan Impor:

Tumbuhan dan hasil tumbuhan yang diimpor dari luar negeri, baik melalui barang muatan, bagasi penumpang, maupun paket/kiriman pos, dll. harus melalui pemeriksaan petugas karantina tumbuhan. Tumbuhan dan hasil tumbuhan impor ini diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Kelompok komoditas pertanian yang dilarang masuk, yaitu komoditas yang dikirim dari Negara yang telah ditulari OPT yang tidak diketahui adanya di Jepang, dan pemasukan OPT tersebut dapat berakibat merusakkan pertanian dan lingkungan Jepang, atau OPT penyebab kerusakan pertanian, atau tanah dan tanaman yang disertai tanah;
b. Kelompok komoditas pertanian yang harus diperiksa petugas Karantina Tumbuhan, yaitu komoditas tertentu yang tidak termasuk ke dalam kelompok a tetapi harus diperiksa petugas karantina tumbuhan. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah berbagai jenis benih, tanaman hias, bunga potong segar, umbi, biji-bijian, buah segar, sayuran segar, serealia, polong-polongan, kayu gelondongan, rempah-rempah, jamu, dll.
c. Kelompok komoditas yang tidak memerlukan pemeriksaan karantina, yaitu kelompok komoditas yang sudah mengalami proses sempurna, seperti: kayu gergajian (lumber), teh dan sejenisnya.

Kegiatan operasionalnya sendiri dilakukan sebagai berikut :

1.a. Pemeriksaan Barang Muatan di Pelabuhan Laut:
Barang muatan ini dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu : kelompok curah dan kelompok kontainerisasi. Kelompok curah umumnya terdiri dari serealia, buah dan sayuran, kayu gelondongan, dll. Sedangkan kelompok kontainerisasi antara lain adalah: buah segar, sayuran segar, bunga potong segar, umbi-umbian, benih, dsb. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan di atas alat pengangkut, lapangan penumpukan kontainer, gudang, dan/atau lapangan khusus tempat kayu gelondongan.

1.b. Pemeriksaan Barang Muatan di Bandar Udara:
Tumbuhan yang diangkut melalui pesawat umumnya adalah bunga potong, umbi-umbian, sayuran segar, buah segar, dll. Disamping itu juga berbagai jenis paket-paket kecil atau contoh komoditas untuk diperdagangkan. Pemeriksaan dilakukan di fasilitas karantina di dalam wilayah pergudangan bandara.

1.c. Pemeriksaan Karantina Terhadap Benih dan Bibit Tanaman:
Disamping pemeriksaan di tempat-tempat pemasukan, umbi-umbian dan benih/bibit tanaman buah ditanam di lahan isolasi rata-rata selama 1 tahun dan diamati secara ketat dengan berbagai teknik pemeriksaan seperti uji inokulasi, uji serologi dsb. Tujuan dari karantina pasca-masuk ini adalah untuk menguji bebas virus atau berbagai jenis OPT Karantina lainnya yang tidak dapat dideteksi pada pemeriksaan di pelabuhan/bandara. Benih juga diamati di laboratorium terhadap kemungkinan penyakit tular benih. Untuk beberapa jenis tanaman yang OPT Karantinanya sulit dideteksi, dilakukan pemeriksaan lapang selama pertumbuhannya di Negara pengekspor.

1.d. Diagnosa dan identifikasi OPT
Identifikasi OPT yang didapatkan pada saat pemeriksaan merupakan hal yang sangat penting bagi tugas perkarantinaan. Pakar identifikasi melakukan pengujian secara teliti dan rinci terhadap OPT dan menetapkan taksonominya. Dalam rangka mengidentifikasi OPT dengan benar dan cepat, para pakar ini menggunakan pedoman dan memberikan pelatihan tentang teknik-teknik identifikasi kepada petugas karantina tumbuhan. Selanjutnya, para pakar ini akan mengklasifikasi dan mengawetkan specimen tersebut sebagai koleksi temuan karantina dari hasil pemeriksaan.

1.e. Preshipment Quarantine di Negara Pengekspor
Beberapa jenis komoditas terlarang tertentu dapat juga diimpor bila memenuhi standar khusus yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. Standar tersebut meliputi antara lain terminologi dan persyaratan tertentu bagi jenis dan varitas tumbuhan, area produksi, metoda sterilisasi, cara pengangkutan, dll. Pada saat komoditas tersebut akan diekspor, petugas karantina tumbuhan Jepang dikirimkan ke Negara pengekspor untuk menyaksikan pelaksanaan perlakuan sterilisasi dan pemeriksaan ekspor yang dilakukan oleh petugas di Negara pengekspor.
Contoh lain dari pelaksanaan pemeriksaan pra-pengapalan ini adalah yang dilakukan terhadap bunga potong hias dan umbi bunga-bungaan dari Belanda yang diekspor secara besar-besaran ke Jepang. Petugas karantina tumbuhan Jepang akan berada di Belanda untuk melakukan pemeriksaan preclearance agar dapat memenuhi ketentuan impor yang dipersyaratkan Jepang.
Beberapa Negara yang sudah menyelenggarakan perjanjian bilateral untuk pelaksanaan pemeriksaan pra pengapalan dengan pihak karantina tumbuhan Jepang ini adalah : Argentina (jeruk manis, lemon dan grapefruit), Australia (jeruk manis, lemon, mangga, Imperial, Ellendale, Murcott, dan Minneola), Belgia (ketimun dan tomat), Brazil (mangga), Kanada (cherry, jerami gandum dan tanaman dari genus Agropyron yang menghasilkan jerami), Cili (cherry), RRC (melon Xinjiang Uighur, leci, dan jerami padi), Kolumbia (Yellow pitaya), Perancis (apel), Hawaii (papaya dan mangga), Israel (Jeruk manis, grapefruit, pomelo, dan buah kesemek), Belanda (strawberry, ketimun, paprika, tomat, terung, anggur, melon, dan labu), New Zealand (Cherry, nektarin dan apel), Filipina (mangga dan papaya), Afrika Selatan (Jeruk manis, lemon, dan grapefruit), Spanyol (lemon, jeruk manis dan jeruk Clementine), Swaziland (jeruk manis dan grapefruit), Taiwan (jeruk Ponkan, mangga, leci, anggur, pomelo, dan papaya), Thailand (mangga dan manggis), daratan Amerika Serikat (cherry, nektarin, apel Washington dan Oregon, jerami gandum dan tanaman genus Agropyron yang menghasilkan jerami, walnut berkulit dan plum), Tasmania (apel).

2. Karantina Tumbuhan Ekspor:

Dahulu, guna menghindari hambatan terhadap komoditas ekspor dari Jepang, komoditas yang akan diekspor tersebut terlebih dahulu dikarantina di Jepang. Saat ini, beberapa Negara tujuan menginginkan pemeriksaan lapangan terhadap bibit dan benih tanaman sebelum diekspor dari Jepang. Juga beberapa Negara memerlukan dikenakan tindakan perlakuan terhadap bahan kemasan yang berasal dari kayu sebelum dikapalkan dari Jepang. Dinas Karantina Tumbuhan Jepang telah melakukan sosialisasi bagi para pengusaha perusahaan pengepakkan/kemasan kayu tentang hal-hal yang berkaitan dengan perlakuan panas dan fumigasi.
Beberapa jenis komoditas yang dapat dicontohkan adalah pengiriman bonsai ke Eropa, benih-benih tumbuhan ke berbagai Negara Asia, buah segar untuk Negara-negara Asia dan Amerika Serikat.

3. Karantina Tumbuhan Domestik:

Karantina Tumbuhan domestik dilakukan terhadap bibit kentang dan bibit tanaman buah-buahan guna memastikan bebas dari virus dan berbagai jenis penyakit lainnya dalam kerangka menjamin penyediaan benih/bibit yang sehat bagi para petani. Karantina tumbuhan domestik ini terdiri dari:

3.a. Karantina terhadap benih/bibit dalam negeri:
Petugas karantina tumbuhan akan melakukan pemeriksaan lapanga terhadap jenis-jenis tanaman tertentu. Kenytang adalah salah satu jenis tanaman yang telah ditetapkan untuk selalu diamati. Jika telah ditetapkan oleh petugas bahwa benih/bibit kentang tersebut sehat, baru diijinkan untuk dipasarkan.
Stok induk tanaman buah-buahan juga menjadi obyek pemeriksaan karantina tumbuhan. Tanaman tersebut antara lain adalah: jeruk, apel, anggur, pear, persik, cherry dan plum.
3.b. Program eradikasi terhadap OPT Tertentu:
Program ini dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah terhadap OPT yang telah ditetapkan dan diatur dalam peraturan karantina tumbuhan domestik. Stasiun Perlindungan Tumbuhan bekerjasama dalam program tersebut dengan melakukan monitoring hasil eradikasi dan memberikan keputusan akhir keberhasilan program ini.
OPT yang berhasil dieradikasi antara lain adalah : Lalat buah oriental (1986), dan lalat buah melon (1993). Saat ini sedang dilakukan eradikasi penggerek ubi jalar (Cylas formicarius) dan pencegahan penyebaran dan pelaksanaan pengendalian terhadap Citrus greening.
3.c. Survai pemantauan terhadap OPT yang diduga baru
Sangatlah penting mendeteksi OPT yang diduga introduksi baru lebih awal agar dapat dengan mudah dilakukan pencegahan sebelum timbul outbreak. Petugas karantina tumbuhan akan melakukan survai penyebaran lalt buah di sekitar tempat-tempat pemasukan penting serta di sekitar kantor pos internasional.


3.d. Pengendalian darurat:
Guna mencegah penyebaran lebih lanjut OPT asing di Jepang, Pemerintah menjalankan pengendalian darurat. Stasiun Perlindungan Tumbuhan bekerjasama dalam pelaksanaannya dan mengkonfirmasi tindakan eradikasi yang dilakukan pada program ini.

4. Penelitian:

Agar mencapai keefektivan pelaksanaan tugas, tindakan karantina tumbuhan harus selalu didasarkan pada latar belakang teknis yang berkaitan dengan aspek keilmuan termasuk diantaranya klasifikasi, ekologi, analisis risiko OPT, dan perlakuan sterilisasi OPT dimaksud. Berdasarkan hal tersebut, penelitian kemudian dilakukan yang meliputi:

a. Pengembangan teknik-teknik pemeriksaan;
b. Analisis Risiko OPTK (AROPTK);
c. Pengembangan teknik-teknik sterilisasi
d. Pengkoleksian informasi OPTK dari luar negeri;
e. Penelitian terhadap OPT; dan
f. Penyiapan data karantina.

5. Pelatihan:

Dengan tujuan mendapatkan petugas karantina tumbuhan yang kapabel, dapat dipercaya, petugas karantina harus mengikuti berbagai jenis pelatihan yang berkaitan dengan pelaksanaan tupoksinya. Aspek-aspek yang berkaitan dengan botani, entomologi terapan, patologi tumbuhan, zat kimia yang sering digunakan dalam bidang pertanian, teknik-teknik sterilisasi, adminsitrasi karantina tumbuhan dan praktek-praktek dalam hubungannya dengan perdagangan. Pelaksanaan pelatihan ini dilakukan di Pemusatan Pelatihan Yokohama.

3. PERTUKARAN DATA ELEKTRONIK (E-GOVERMEN )

Dalam mendukung pelaksanaan tugas, institusi karantina hewan dan karantina tumbuhan telah menerapkan program pertukaran data yang disebut PQ-Network (Plant quarantine network) untuk karantina tumbuhan dan ANIPAS (Animal quarantine inspection procedure automated system) untuk karantina hewan. Kedua program ini dibangun pada tahun 1997 oleh suatu perusahaan swasta besar (out-sourcing) yaitu NTT-Data. Semua data yang berkaitan dengan perkarantinaan berada pada server yang ditempatkan di kantor pusat NTT-Data di Shinkawa dengan backup data ditempatkan di kota lain yaitu Chiba. Penempatan backup data di tempat yang berjauhan ini dimaksudkan sebagai pengamanan apabila terjadi sesuatu bencana pada server induk di Shinkawa. NTT-Data tidak hanya menangani sentra data karantina saja namun juga NACCS (program milik Bea & Cukai Jepang), FAINS (Food Automated Import Notification and Inspection Network System), dan JETRAS (Japan Electronic Open Network Trade Control System). Dengan demikian sistem serupa National Single Windows telah diterapkan di Jepang.

Cara kerja PQ-Net

Pengguna Jasa (Importir dan Custom Broker) menyampaikan data tentang komoditasnya melalui jaringan tertutup kepada NACCS (Sea-NACCS dan Air-NACCS). Komputer NACCS kemudian akan melanjutkan data tersebut kepada pihak-pihak berkepentingan melalui jaringan IFS (Interface System). Data yang telah diterjemahkan untuk masing-masing pihak ini kemudian akan diterima oleh sistem PQ-Network dan diolah serta disimpan secara otomatis oleh komputer. Stasiun Karantina Tumbuhan dan tempat-tempat pemeriksaan akan melakukan browsing data guna mengetahui komoditas yang dilaporkan dan harus ditangani oleh petugas Karantina. Hasil penanganan komoditas oleh Stasiun Karantina Tumbuhan setempat, akan diupload ke dalam sistem dan langsung diakses ke dalam NACCS.

Selanjutnya petugas akan melakukan kegiatan operasionalnya, yaitu antara lain pemeriksaan kesehatan komoditas dimaksud. Hasil pemeriksaannya akan dilaporkan melalui sistem menuju komputer induk PQ-Network. Data inilah yang kemudian akan diteruskan kepada pengguna jasa melalui komputer NACCS.
PQ-Network sudah digunakan oleh 71 Stasiun dengan 100 clients dan pada tahun 2005 telah menangani 284.579 permohonan secara on-line atau 84% dari seluruh permohonan pemeriksaan karantina dan tindak lanjutnya.

Pada saat ini PQ-Network hanya menangani kegiatan impor saja, untuk ekspor baru akan diterapkan pada 2 (dua) tahun mendatang. Sistem berjalan dengan trafik tertutup yang ditangani oleh NTT-Data. Namun kesemuanya tidak dikenakan biaya, baik biaya trafik, upload dan download data, maupun pelaksanaan kegiatan perkarantinaan semuanya dilakukan secara gratis. Pengembangan sistem menuju web-based baru akan dilaksanakan kemudian.

PQ-Network dan ANIPAS dioperasikan sejak tahun 1997. Sedangkan NACCS yang pada awalnya diterapkan oleh Bea & Cukai Narita Airport (Narita Airport Customs Cargo Clearance System) dioperasikan lebih awal.

Pertukaran data antar unit kerja di dalam Dinas Karantina Tumbuhan sendiri dilakukan dengan memanfaatkan jaringan LAN (intranet). Pada setiap jam 12 siang penanggung-jawab PQ-Network akan mengambil data melalui flash-disk dari server induk, mengolah dan memindahkannya secara manual kepada web server untuk disebarluaskan baik secara terbatas maupun secara meluas.

Pada sistem ini terlihat bahwa sentral yang terhubung kepada pengguna jasa adalah NACCS, baik untuk data masuk maupun data keluar. Akses data oleh PQ-Network kepada NACCS dilakukan melalui mediator, yaitu IFS. PQ-Network tidak langsung berhubungan dengan pengguna jasa. Oleh karena itu hubungan pertukaran data secara elektronik dengan pihak Bea & Cukai dapat berjalan dengan baik.

Rencana penerapan e-certification dengan Negara lain masih belum dilakukan. Hal yang menjadi alasan mereka adalah karena belum ada standar yang mengatur. Berbeda halnya dengan ANIPAS yang telah terhubung dengan AQIS melalui program SANCRT. Program ini sendiri sudah dianggap out-of-date oleh AQIS dan akan segera digantikan dengan e-certification.

Cara kerja ANIPAS

Cara kerja program operasional ANIPAS hampir sama dengan PQ-Net, dimana trasfer data yang dilakukan oleh pengguna jasa ke sistem operasional bea cukai (NACCS) dan kemudian diteruskan ke karantina dilakukan secara realtime. Pengguna Jasa (Importir dan Custom Broker) menyampaikan data tentang komoditasnya melalui jaringan tertutup kepada NACCS (Sea-NACCS dan Air-NACCS). Komputer NACCS kemudian akan melanjutkan data tersebut kepada pihak-pihak berkepentingan melalui jaringan IFS (Interface System). Data yang telah diterjemahkan untuk masing-masing pihak ini kemudian akan diterima oleh sistem ANIPAS dan diolah serta disimpan secara otomatis oleh komputer. Kantor pusat karantina hewan dan cabang-cabang karantina hewan berikut sub-sub cabang karantina hewan akan melakukan browsing data guna mengetahui komoditas yang dilaporkan dan harus ditangani oleh petugas Karantina. Hasil penanganan komoditas oleh Stasiun Karantina Hewan setempat, akan diupload ke dalam sistem dan langsung diakses ke dalam NACCS.

Selanjutnya petugas akan melakukan kegiatan operasionalnya, yaitu antara lain pemeriksaan kesehatan komoditas dimaksud. Hasil pemeriksaannya akan dilaporkan melalui sistem menuju komputer induk ANIPAS. Data inilah yang kemudian akan diteruskan kepada pengguna jasa melalui komputer NACCS.

Berbeda dengan PQ-net, ANIPAS telah terhubung dengan AQIS Australia melalui program SANCRT. Dengan program ini maka petugas karantina dapat mencari informasi secara lebih dini komoditas karantina hewan yang diimpor dari Australia pada saat hari itu dan dapat mencetak sertifikat kesehatan yang telah dikeluarkan Australia. Program ini baru satu arah yaitu dari Australia ke Jepang, sementara dari Jepang ke Australia belum dilaksanakan.

4. PENUTUP

PQ-Network dan ANIPAS pada dasarnya menyerupai SIPUSRA (Sistem Operasional Karantina Tumbuhan) dan Sikawan (Sistem Operasional Karantina Hewan), namun dalam pengoperasiannya sangat berbeda. Kerjasama dengan Bea & Cukai telah dijalin dengan baik melalui program NACCS mereka. Bea & Cukai bertindak sebagai sentral data untuk semua program yang dihubungkan dengan IFS.

Sistem ini mungkin akan sulit diterapkan di Indonesia karena ada beberapa hal teknis dan non-teknis yang masih menjadi kendala, antara lain pembuatan program IFS guna pembacaan semua sistem yang ada saat ini masih belum dilakukan, kalaupun ada instansi mana yang akan membangun sistem ini yang bertindak sebagai leading sector. Ada semacam kekhawatiran deviasi data apabila data dari pengguna jasa tidak langsung mengakses ke komputer SIPUSRA dan Sikawan melainkan harus melalui komputer Bea & Cukai dulu, meskipun hal ini secara teknis mungkin masih dapat diatasi.

Sistem baru yang akan diterapkan melalui SIPUSRA dan Sikawan on-line ditunjang dengan program pertukaran data elektronik PPK, adalah bahwa pengguna jasa akan mengakses data secara langsung ke komputer SIPUSRA dengan menggunakan trafik public (web-based). PPK yang diterima oleh komputer SIPUSRA akan ditindak-lanjuti petugas fungsional POPT dan sistem akan berpindah ke in-house application yang dimiliki oleh unit-unit kerja Karantina Tumbuhan di seluruh Indonesia. Semua kegiatan akan dipantau oleh Sentra Data pada Bidang Informasi Perkarantinaan melalui program In-house Barantan dan akan disajikan kepada Menteri Pertanian melalui Executive Information System (EIS) serta untuk publik melalui website Badan Karantina Pertanian. Hubungan pertukaran data dengan Bea & Cukai akan dilakukan melalui web-based program serta pemanfaatan Harmonized System Codes (Kode HS). Penggunaan Kode HS ini adalah untuk mencegah masuknya data (PIB) yang bermuatan komoditas karantina oleh pengguna jasa, langsung menuju komputer Bea & Cukai sebelum dilaporkan kepada komputer SIPUSRA atau Sikawan.

Dengan melihat pada program yang digunakan oleh Dinas Karantina Hewan dan Tumbuhan Jepang, program SIPUSRA dan Sikawan akan dianalisis kembali guna menutup kekurangan (bug) yang mungkin ada pada sistem tersebut.

Usulan Tindak lanjut

Beberapa hal yang dapat diusulkan dalam kegiatan pembelajaran sistem informasi perkarantinaan di Jepang ini adalah :

1. Mengusulkan terjalinnya hubungan kerjasama perkarantinaan yang lebih erat di antara kedua negara, antara lain dengan :
a. Menerapkan kerjasama operasional, dengan pembicaraan bilateral tentang pelaksanaan pre-clearance procedures dan pre-shipment inspection system baik bagi produk-produk Jepang yang akan diimpor ke Indonesia maupun produk-produk ekspor Indonesia yang akan memasuki Jepang;
b. Membahas kemungkinan kerjasama pertukaran data elektronik melalui sistem e-certification dan atau sistem pelaporan yang lain.
2. Mengajukan usulan penguatan sarana dan prasarana pemeriksaan karantina pertanian melalui forum Economic Patnership Agreement yang telah dibangun antar Pemerintah Jepang dengan Indonesia melalui Dirjend P2HP Perikanan. Dalam hal ini pihak Atase Pertanian KBRI bersedia menjadi fasilitator.
3. Melakukan usulan technical assisstance dalam bidang Teknologi Informasi (pelatihan petugas pengolah data dan pemantapan peralatan pertukaran data di Unit-Unit Pelaksana Teknis Karantina Hewan dan Tumbuhan) dan bidang Laboratorium Karantina Hewan dan Tumbuhan (pelatihan petugas dan peralatan laboratorium).


ACKNOLEDGEMENT

Terima kasih kami sampaikan kepada :
1. Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA, Kepala Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian RI.
2. Suharto, SH, MA, Kepala Pusat Informasi dan Keamanan Hayati, Badan Karantina Pertanian.
3. Pudjiatmoko, DVM., Ph.D, Atase Pertanian Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo.
4. Director General, Yokohama Animal Quarantine Service, MAFF-Japan, Mr. Minoru Yoshida, D.V.M.
5. Director General, Narita Branch Animal Quarantine Service, MAFF-Japan, Mr. Hirohiko Sano, D.V.M.
6. Senior Researcher, Yokohama Plant Protection Station, MAFF-Japan, Mr. Shin’ichi Takahara
7. Supervisory PPQ Officer, Narita Sub-Station, Mr. Haruki Itoh
8. Pak Hardiyanto dan Pak Taufik (staf KBRI - Tokyo) dan mas Bowo Prasetyo serta semua pihak yang telah membantu terselenggaranya pembelajaran sistem informasi perkarantinaan di Jepang.