Beradaptasi dengan Perubahan Iklim dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dengan panjang lebih dari 1,6 juta kilometer, garis
pantai laut dan samudra mencakup wilayah luas yang dimiliki oleh 85% negara di
dunia. Wilayah pesisir menjadi rumah bagi lingkungan alami yang kaya, mencakup
lebih dari 1 juta spesies laut dan darat, termasuk seperempat dari seluruh
spesies laut.
Lingkungan alaminya, bersama dengan sumber daya yang
melimpah dan peluang yang ditawarkannya, menjadikan wilayah pesisir area yang
menarik untuk pemukiman manusia. Saat ini, pesisir laut dan samudra dihuni oleh
2,4 miliar orang—sekitar 40% dari populasi dunia. Meskipun wilayah pesisir
hanya mencakup 20% dari permukaan daratan global, kepadatan penduduknya tiga
kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata global. Selain itu, 75% wilayah
metropolitan terbesar berada di kawasan pesisir, dan populasi global di zona
pesisir dengan elevasi rendah (kurang dari 10 meter di atas permukaan laut)
diperkirakan mencapai 1,4 miliar pada tahun 2060.
Akibatnya, sebagian besar output ekonomi global
dihasilkan di kawasan pesisir. Aktivitas ekonomi pesisir mencakup eksploitasi
sumber daya alam, perikanan, dan pertanian yang memanfaatkan tanah subur yang
menjadi ciri dataran dan delta pesisir. Pesisir juga menjadi titik akses
transportasi maritim, yang bertanggung jawab atas pengiriman 80% barang yang
diperdagangkan secara global. Sebagian besar energi, baik dari sumber
terbarukan maupun tidak terbarukan, dihasilkan di atau dekat wilayah pesisir.
Selain itu, sektor pariwisata dan rekreasi memberikan kontribusi besar terhadap
pendapatan dan lapangan kerja: di Amerika Serikat, misalnya, 85% pariwisata
bergantung pada kunjungan pantai. Secara keseluruhan, wilayah pesisir di
Amerika Serikat menghasilkan setengah dari produk domestik bruto (PDB) negara
tersebut.
Selain menciptakan nilai ekonomi besar melalui mekanisme
pasar, ekosistem pesisir juga memberikan manfaat ekonomi non-pasar melalui
layanan ekosistemnya. Hutan bakau dan rawa asin menyediakan penyangga alami dan
perlindungan terhadap risiko pesisir yang terkait dengan iklim, seperti badai,
serta berkontribusi dalam mengatur kualitas air, sehingga mengurangi biaya
pengolahan air limbah. Selain itu, ekosistem pesisir berperan dalam mitigasi
perubahan iklim secara global. Misalnya, lahan basah pesisir mampu menyerap dan
menyimpan karbon dalam jumlah besar. Secara keseluruhan, cadangan karbon di
sedimen pesisir diperkirakan lima kali lebih besar daripada di hutan tropis
daratan.
Ekspansi sosial-ekonomi yang cepat di wilayah pesisir
telah menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan dan mengancam komunitas
pesisir. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur berkontribusi pada
penurunan tanah dan intrusi air asin ke dalam air permukaan dan air tanah.
Limbah, aktivitas pertanian, dan industri lainnya secara signifikan
meningkatkan polusi air di wilayah pesisir, sementara eksploitasi sumber daya
alam, perikanan, dan pembangkit energi berhubungan dengan gangguan ekosistem
dan hilangnya habitat. Akibatnya, kehilangan keanekaragaman hayati dan
kerusakan ekosistem semakin cepat. Sejak tahun 1900, lebih dari 50% lahan basah
pesisir telah hilang, dan saat ini, seperempat zona pesisir mengalami erosi
dengan laju 0,5 meter per tahun, dengan beberapa garis pantai diproyeksikan
mundur beberapa meter dalam beberapa tahun mendatang.
Perubahan iklim diperkirakan akan memperburuk kerentanan
yang ada dan memperparah dampak pada komunitas pesisir. Di wilayah pesisir,
perubahan iklim terutama akan dirasakan melalui:
·Kenaikan permukaan laut: Pada akhir abad ke-21,
permukaan laut diproyeksikan naik rata-rata antara 40 cm hingga 75 cm, dan
bahkan melebihi 1 meter di beberapa wilayah. Hal ini akan meningkatkan
frekuensi dan intensitas banjir pesisir, mempercepat erosi pantai, serta
menyebabkan mundurnya garis pantai yang tidak terlindungi. Karena elevasi yang
rendah, beberapa pulau menghadapi risiko tenggelam sepenuhnya. Pada tahun 2100,
banjir akibat kenaikan permukaan laut diperkirakan akan memengaruhi 360 juta
orang, dengan kerugian tahunan mencapai 50 triliun USD (setara dengan 4% dari
PDB global).
·Badai pesisir: Di beberapa wilayah, peningkatan suhu udara dan laut,
bersama dengan perubahan pola curah hujan, gelombang, dan angin, membuat badai
menjadi lebih intens dan lebih sering menghantam pantai. Aktivitas badai yang
meningkat akan menyebabkan banjir pesisir episodik, mempercepat erosi pantai,
serta intrusi air asin ke dalam akuifer air tawar, sekaligus merusak ekosistem
pesisir utama, seperti hutan bakau dan terumbu karang, yang berfungsi sebagai
pelindung pantai.
·Pemanasan dan pengasaman laut: Lautan diperkirakan akan terus
menghangat, dengan potensi kenaikan tiga derajat tambahan pada tahun 2100
dibandingkan rata-rata 1980–1999. Hal ini akan memengaruhi sirkulasi air,
mengurangi volume es laut, serta mempercepat kenaikan permukaan laut dan erosi
pantai. Pengasaman laut juga diperkirakan akan berdampak pada terumbu karang,
meningkatkan kemungkinan pemutihan dan kematian karang.
·Perubahan siklus hidrologi: Perubahan iklim mengubah
frekuensi dan intensitas curah hujan, memengaruhi volume dan waktu aliran
sungai, limpasan air, dan suplai sedimen. Delta yang memiliki curah hujan
tinggi berisiko mengalami banjir pesisir yang lebih sering dan lebih parah,
sedangkan wilayah dengan curah hujan menurun kemungkinan akan menghadapi
peningkatan salinitas air dan polusi.
Interaksi antara perkembangan sosial-ekonomi,
ekosistem pesisir, dan risiko iklim menciptakan tantangan yang kompleks dan
membutuhkan respons kebijakan yang terkoordinasi dan disesuaikan.
Dengan meningkatnya variabilitas iklim dan ekstremitas iklim yang
memberikan tantangan lebih besar bagi kawasan pesisir, adaptasi iklim dan
ketahanan pesisir harus menjadi tujuan utama dalam perencanaan dan pelaksanaan
kebijakan zona pesisir. Strategi pesisir yang sukses perlu mengintegrasikan
respons kebijakan di berbagai sektor dan tingkat pemerintahan, serta melibatkan
para pemangku kepentingan non-pemerintah.
PENDAHULUAN
Zona pesisir memainkan peran penting secara ekonomi dan lingkungan.
Meskipun hanya mencakup kurang dari 20% dari permukaan daratan bumi, zona
pesisir menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 40% populasi dunia dan 75% kota
terbesar di dunia. Permukiman manusia terkonsentrasi di sekitar garis pantai
karena berbagai manfaat yang ditawarkan, termasuk pendapatan, rekreasi, dan
kesejahteraan. Pada saat yang sama, kawasan pesisir juga merupakan pusat
ekonomi penting, dengan peran utama dalam perikanan, pertanian, eksploitasi
sumber daya, pariwisata, dan transportasi laut. Selain nilai sosial-ekonomi
yang tinggi, zona pesisir menawarkan beberapa ekosistem paling kaya secara
ekologis dan berperan penting dalam pengaturan fungsi ekologi.
Namun, karena pemanfaatannya yang intensif, kesehatan lingkungan kawasan
pesisir telah mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Perkembangan perkotaan
yang pesat, perubahan penggunaan lahan, dan eksploitasi sumber daya pesisir
yang tidak berkelanjutan telah menyebabkan berbagai konsekuensi negatif, mulai
dari penurunan lahan, erosi pantai, hingga kehilangan keanekaragaman hayati dan
berkurangnya ketersediaan air.
Zona pesisir juga sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, yang
meliputi gelombang badai, pengasaman laut, kenaikan permukaan laut, peningkatan
suhu air, dan perubahan siklus hidrologis. Pada tahun 2100, risiko banjir
pesisir saja diperkirakan akan memengaruhi 360 juta orang dan menyebabkan
kerugian triliunan dolar setiap tahun, sementara gelombang badai dan siklon
tropis saat ini telah memengaruhi jutaan orang di kawasan pesisir setiap tahun,
menyebabkan kerugian besar dalam bentuk nyawa, aset, dan gangguan secara
keseluruhan. Dampak perubahan iklim sangat merugikan bagi kawasan pesisir yang
datar seperti delta sungai, dataran pesisir, dan negara-negara pulau kecil yang
menjadi tempat tinggal bagi 10% populasi dunia. Selain itu, perubahan iklim
juga memperburuk tekanan lingkungan lainnya, memperbesar risiko, dan semakin
meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir.
Makalah kebijakan ini memberikan gambaran umum tentang masalah-masalah
tersebut dengan tujuan memahami bagaimana kebijakan yang tepat dapat
dikembangkan untuk menghadapi tantangan kompleks ini. Untuk tujuan makalah ini,
zona pesisir didefinisikan sebagai antarmuka antara daratan dan laut, sebuah
area yang melampaui garis fisik pertemuan air dan daratan, tetapi tidak
melampaui 100 km ke daratan dan 50 meter di atas atau di bawah permukaan laut.
Makalah ini berfokus pada garis pantai laut, sehingga tidak mencakup pantai
sungai dan danau di pedalaman. Pilihan ini didasarkan pada fokus penelitian analisis
ini, dan bukan untuk mengecualikan sungai dan danau pedalaman dari definisi
zona pesisir.
1. Nilai lingkungan
dan sosial-ekonomi zona pesisir
Zona pesisir menyediakan berbagai manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi
yang signifikan bagi komunitas manusia. Zona ini menjadi tempat tinggal bagi
40% populasi dunia dan 75% dari kawasan metropolitan terbesar, dengan kepadatan
penduduk tiga kali lebih tinggi dari rata-rata global. Kawasan pesisir
mendukung kegiatan ekonomi utama, mulai dari perikanan, akuakultur, dan
pertanian hingga pembangkitan energi, pariwisata, dan eksploitasi sumber daya.
Ekosistem pesisir juga memberikan layanan penting, seperti perlindungan alami
dari risiko pesisir oleh hutan bakau dan terumbu karang, serta penyimpanan
setengah dari karbon yang tersekuestrasi di sedimen laut.
1. NILAI
LINGKUNGAN ZONA PESISIR
Zona pesisir mencakup
beberapa ekosistem yang paling bernilai secara ekologis. Pantai dan lahan
basah, terumbu karang dan laguna, tebing dan delta sungai menyediakan habitat
bagi berbagai spesies akuatik, terestrial, dan udara, termasuk sejumlah spesies
migrasi, sehingga mendukung keanekaragaman hayati yang kaya. Terumbu karang
saja diperkirakan mendukung seperempat dari semua spesies laut. Secara
keseluruhan, garis pantai dunia kemungkinan menjadi tempat tinggal bagi lebih
dari 1 juta spesies.
Selain mendukung
keanekaragaman hewan dan tumbuhan, ekosistem pesisir memainkan peran penting
dalam pengaturan fungsi ekologi. Sebagai contoh, lahan basah pesisir seperti
hutan bakau dan rawa asin mengatur aliran dan kualitas air dengan cara mengisi
kembali air tanah, menyaring limbah pertanian dan industri, serta
mentransformasi atau menghilangkan nutrisi, bahan kimia, dan limbah dari aliran
air. Selain itu, pantai, terumbu karang, pulau penghalang, dan lahan basah
berfungsi sebagai zona penyangga yang meredam gelombang dan angin, sehingga
melindungi daerah pedalaman dari banjir, badai, dan gelombang pasang serta
mengurangi erosi pantai dan kemunduran garis pantai.
Ekosistem pesisir juga
berperan dalam menstabilkan aliran sedimen, memastikan transfer nutrisi di
berbagai ekosistem, dan memainkan peran penting dalam siklus karbon. Ekosistem
pesisir menyimpan sekitar separuh karbon yang terdapat di sedimen laut,
sehingga berkontribusi pada siklus biogeokimia yang penting dan memberikan
manfaat mitigasi yang signifikan dengan mengurangi konsentrasi karbon dioksida
(CO₂) di atmosfer (lihat Kotak 1).
Kotak 1. Zona Pesisir dan Penyimpanan Karbon Biru
Ekosistem
pesisir memainkan peran penting dalam siklus karbon. Padang lamun dan lahan
basah pesisir seperti hutan bakau dan rawa asin menyerap karbon dioksida dari
atmosfer dan menyimpannya dalam biomassa hidup serta di dalam tanah, sehingga
berfungsi sebagai penyerap karbon. Karbon yang tersimpan di ekosistem pesisir
dan laut disebut sebagai "karbon biru." Meskipun ekosistem pesisir
hanya mencakup kurang dari 2% dari luas samudra global, mereka menyimpan
sekitar separuh karbon yang terdapat di sedimen laut secara global.
Dibandingkan dengan
ekosistem darat yang kaya karbon seperti hutan hujan tropis, ekosistem pesisir
dan laut menyimpan karbon dalam jumlah yang jauh lebih besar per hektar area.
Sebuah penilaian terbaru di Afrika menunjukkan hal ini dengan jelas. Selain
itu, karbon biru tetap tersimpan dalam tanah pesisir untuk jangka waktu yang
lebih lama. Secara keseluruhan, stok karbon di wilayah pesisir dan laut secara
global diperkirakan lima kali lebih besar dibandingkan stok karbon di hutan
tropis daratan.
Sumber: Karani dan Failler (2020); Conservation International (2019); IPCC (2019);
IUCN (2017); Komisi Oseanografi Antarpemerintah (2017).

Gambar 1.
Penyimpanan Karbon Global oleh Ekosistem Pesisir Terpilih
Catatan: Grafik ini menunjukkan
kapasitas rata-rata penyimpanan karbon dari karbon organik tanah dan biomassa
hidup pada tingkat global, hanya mempertimbangkan lapisan tanah hingga
kedalaman satu meter. Hutan tropis juga dimasukkan untuk memberikan perbandingan.
Sumber: Duke University Nicholas
Institute for Environmental Policy Solutions (2011[77]).
2. NILAI SOSIAL-EKONOMI WILAYAH PESISIR
Wilayah pesisir menawarkan banyak manfaat sosial-ekonomi bagi negara-negara
yang berbatasan dengan laut maupun bagi perekonomian global secara keseluruhan.
Peluang sosial dan ekonomi yang ditawarkan oleh wilayah pesisir, bersama dengan
kondisi iklim dan biofisik yang menguntungkan, menjadikan pesisir sebagai
wilayah dengan populasi terpadat di dunia (Ranasinghe, 2016[33]). Hingga saat
ini, sebanyak 2,4 miliar orang – sekitar 40% dari populasi dunia – tinggal di
wilayah pesisir, meskipun wilayah ini hanya mencakup 20% dari total permukaan
daratan global (United Nations, 2017[1]).
Secara global, satu dari sepuluh orang tinggal di wilayah pesisir dengan
ketinggian rendah (Low-Elevation Coastal Zones/LECZs) (IPCC, 2019[28];
Wong et al., 2014[5]; Cazenave dan Le Cozannet, 2013[34]), yang hanya mencakup
2% dari total permukaan daratan (Wong et al., 2014[5]). Akibatnya, wilayah
pesisir menunjukkan kepadatan populasi yang kira-kira tiga kali lebih tinggi
daripada rata-rata global (Nicholls et al., 2007[27]; OECD, 2016[35]). Tren
global ini juga tercermin dalam tren nasional dan regional di banyak negara.
Sebagai contoh, lebih dari 95% populasi tinggal dalam radius 100 kilometer dari
pantai di beberapa negara OECD, termasuk Yunani (99%), Israel (99%), Jepang
(97%), Norwegia (97%), dan Inggris (98%) (OECD, 2020[36]) (Gambar 2).
GAMBAR 2. Populasi yang Tinggal di Wilayah Pesisir di
Negara-Negara Pesisir OECD
Sumber: OECD (2020[36]), Sustainable Ocean Economy
(database), https://stats.oecd.org/index.aspx?datasetcode=OCEAN
(diakses pada 9 Maret 2021).
Tren populasi ini
sejalan dengan tingkat pengembangan perkotaan yang tinggi (Ranasinghe,
2016[33]) (Gambar 3). Sebagai contoh, seluruh populasi pesisir di Togo tinggal
di daerah perkotaan (Croitoru, Miranda, dan Sarraf, 2019[37]), dan hampir
sepertiga dari garis pantai Viet Nam tertutupi oleh pemukiman perkotaan
(Rentschler et al., 2020[38]). Secara global, 75% dari aglomerasi perkotaan
terbesar di dunia terletak di wilayah pesisir (Luisetti et al., 2010[2]), dan
dua pertiga dari semua kota dengan lebih dari 5 juta penduduk berada di wilayah
pesisir dengan ketinggian rendah (Low-Elevation Coastal Zones/LECZs)
(Wong et al., 2014[5]).
GAMBAR 3. Aglomerasi
Perkotaan Utama di Sepanjang Pesisir Dunia
Sumber: UN DESA (2018[39]), World Urbanization Prospects:
The 2018 Revision (database), https://population.un.org/wup/Download (diakses
pada 11 Desember 2020).
Permukiman pesisir
telah berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir dan diproyeksikan akan
terus bertumbuh dalam beberapa tahun mendatang (Ranasinghe dan Stive,
2009[40]). Pada pertengahan abad ini, lebih dari 1 miliar orang diperkirakan
akan tinggal di wilayah pesisir dengan ketinggian rendah (Low-Elevation
Coastal Zones/LECZs) (IPCC, 2019[28]; Merkens et al., 2016[41]) dalam semua
Shared Socioeconomic Pathways. Dalam skenario pertumbuhan populasi
tinggi, populasi LECZ global dapat mencapai 1,4 miliar pada tahun 2060, atau
sekitar 12% dari total populasi dunia (Neumann et al., 2015[42]). Perubahan
terbesar diperkirakan terjadi di benua Afrika, serta di wilayah delta yang
sudah padat penduduk di Asia Tenggara (Wong et al., 2014[5]; Nicholls dan
Cazenave, 2010[43]).
Pengembangan perkotaan
di wilayah pesisir juga telah menyebabkan konsentrasi aset-aset penting di
sepanjang garis pantai, termasuk pelabuhan dan infrastruktur transportasi
lainnya, energi, komunikasi, fasilitas pengolahan limbah dan air, serta
infrastruktur pertahanan laut (Sadoff et al., 2015[44]). Pada tahun 2005, nilai
aset pesisir global diperkirakan mencapai sekitar USD 3.000 miliar (atau 5%
dari PDB global pada tahun 2005) (Sadoff et al., 2015[44]). Nilai ini diproyeksikan
terus meningkat, hingga mencapai USD 35.000 miliar pada tahun 2070 (atau 9%
dari PDB global yang diproyeksikan) (Nicholls et al., 2008[45]). Saat ini, di
Uni Eropa, nilai aset fisik yang berada dalam jarak 500 meter dari pantai
diperkirakan bernilai antara EUR 500 miliar hingga EUR 1 triliun (European
Environment Agency, 2019[46]).
Konsentrasi tinggi
populasi, aset, dan sumber daya membuat wilayah pesisir menjadi pusat ekonomi
yang penting dan cenderung menghasilkan nilai ekonomi di atas rata-rata. Di
Amerika Serikat, wilayah pesisir mencakup kurang dari 10% dari total luas
daratan negara, tetapi menampung 40% dari populasi dan hampir setengah dari PDB
nasional (NOAA, 2017[47]). Demikian pula, di 13 dari 20 negara anggota Uni
Eropa yang berbatasan dengan laut, wilayah pesisir cenderung menghasilkan PDB
per kapita yang lebih tinggi dibandingkan wilayah non-pesisir (Eurostat,
2015[48]). Di Afrika Barat, wilayah pesisir menyumbang lebih dari separuh PDB
kawasan tersebut, meskipun hanya menampung sepertiga dari total populasi
kawasan itu (Croitoru, Miranda, dan Sarraf, 2019[37]). Di Viet Nam, wilayah
pesisir menunjukkan tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan rata-rata
nasional (Rentschler et al., 2020[38]).
Ekonomi laut juga
semakin penting secara global, dengan dampak positif yang besar terhadap
pendapatan dan pekerjaan di wilayah pesisir. Sebelum pandemi COVID-19, OECD
memperkirakan bahwa ekonomi laut menyumbang sekitar 2,5% dari PDB global dan
menciptakan 31 juta pekerjaan setiap tahun (OECD, 2016[35]).
Wilayah pesisir
memainkan peran sentral dalam perikanan, akuakultur, dan pengolahan hasil laut,
secara signifikan berkontribusi terhadap pendapatan dan pekerjaan di wilayah
pesisir (OECD, 2020[49]). Secara global, perikanan dan akuakultur menghasilkan
lebih dari USD 360 miliar dalam nilai penjualan pertama setiap tahunnya (World
Bank, 2020[51]). Di Uni Eropa saja, perikanan laut dan akuakultur menghasilkan
sekitar EUR 7 miliar dalam nilai tambah bruto setiap tahun (European
Parliamentary Research Service, 2020[52]). Di negara-negara berkembang dengan
akses langsung ke laut, perikanan laut menyumbang porsi yang signifikan dalam
ekonomi nasional, mencapai 6-8% dari PDB nasional di negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah ke bawah (OECD, 2020[53]).
Wilayah pesisir juga
sangat penting bagi sektor pertanian, karena dataran pantai menawarkan beberapa
lahan paling produktif di dunia (FAO, 1998[15]). Secara keseluruhan, 12% garis
pantai dunia digunakan untuk pertanian (MartÃnez et al., 2007[6]). Sebagai
contoh, sekitar setengah dari garis pantai barat daya Bangladesh – khususnya
dataran deltaik Sungai Gangga-Brahmaputra-Meghna – digunakan untuk pertanian,
dengan 85% populasi pesisir bergantung pada pertanian untuk mata pencaharian
mereka (Lazar et al., 2015[54]; Abedin dan Shaw, 2013[55]).
Wilayah pesisir juga
sangat menguntungkan untuk ekstraksi sumber daya alam seperti mineral berat,
karang, dan elemen tanah jarang. Pasir dan kerikil merupakan bahan tambang yang
paling banyak ditambang di dunia (Torres et al., 2017[56]), dengan cadangan
yang setidaknya 100 kali lebih melimpah di wilayah pesisir dibandingkan daerah
pedalaman (Osterkamp dan Morton, 2005[57]). Bersama dengan batuan dan batu
kapur, material ini digunakan untuk memproduksi bahan konstruksi, amandemen
tanah, dan barang elektronik (Torres et al., 2017[56]; Barwell, 2016[58];
Kildow et al., 2016[59]; Barbier et al., 2011[60]; Osterkamp dan Morton,
2005[57]).
Demikian pula, karang
juga digunakan untuk memproduksi pengisi jalan, batu bata, dan semen, serta
untuk keperluan manufaktur dan komersial lainnya (Barbier et al., 2011[60]).
Elemen tanah jarang, seperti europium dan tantalum – yang digunakan dalam
industri elektronik, transportasi, dan telekomunikasi – sebagian besar
diekstraksi dari pasir pesisir di negara-negara seperti Australia, Bangladesh,
Republik Rakyat Tiongkok (selanjutnya disebut Tiongkok), India, dan Senegal
(Carvalho, 2017[61]).
Wilayah pesisir juga
menyediakan peluang untuk ekstraksi mineral berat lainnya, termasuk emas,
berlian, dan magnetit.
Gambar 4.
Aliran Pariwisata di Beberapa Wilayah Uni Eropa Terpilih
Selain
aktivitas berbasis sumber daya, industri pariwisata, rekreasi, dan hiburan
menjadi sumber pendapatan yang semakin meningkat bagi komunitas pesisir
(Nicholls et al., 2007[27]). Di Uni Eropa, lebih dari 2 juta orang bekerja di
sektor pariwisata pesisir (European Parliamentary Research Service, 2020[52]),
dan sektor ini – yang pada tahun 2012 menyumbang 43% dari total kunjungan
wisatawan semalam di Uni Eropa (Gambar 1.4) (Eurostat, 2015[48]) – menghasilkan
lebih dari EUR 180 miliar nilai tambah bruto setiap tahunnya (European
Environment Agency, 2019[46]).
Di Amerika
Serikat, 85% pendapatan pariwisata bergantung hanya pada kunjungan ke pantai
(Karani dan Failler, 2020[31]; Barbier et al., 2011[60]), sementara di Vietnam,
pariwisata pesisir menyumbang 70% dari total PDB pariwisata (Rentschler et al.,
2020[38]). Di Afrika, sektor pariwisata pesisir dan laut saat ini menciptakan
24 juta lapangan kerja dan diproyeksikan menghasilkan sekitar USD 140 miliar
nilai tambah tahunan pada tahun 2060 (Karani dan Failler, 2020[31]).
Pariwisata
pesisir juga sangat penting bagi beberapa negara kecil kepulauan, yang dalam
beberapa kasus menyumbang lebih dari seperempat dari total PDB mereka
(Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2017[1]).
Wilayah
pesisir juga menjadi titik akses untuk lalu lintas maritim dan pengiriman
barang, sehingga memainkan peran penting dalam transportasi barang dan
penumpang internasional. Saat ini, lebih dari 80% perdagangan barang global
berdasarkan volume mengandalkan transportasi barang maritim (UNCTAD, 2020[62]).
Selain itu,
wilayah pesisir memainkan peran penting dalam sektor energi. Wilayah ini
menyediakan sumber energi terbarukan yang bernilai tinggi, mulai dari arus laut
hingga energi gelombang, angin, dan pasang surut. Produksi energi dari sumber
daya terbarukan kelautan meningkat sebesar 13% pada tahun 2019 dibandingkan
tahun sebelumnya (Chowdhury et al., 2020[67]), dan pada tahun 2050 diperkirakan
akan menyumbang 7% dari produksi listrik global (Esteban dan Leary, 2012[68]).
Wilayah
pesisir juga berperan penting dalam produksi energi dari sumber daya fosil,
karena terdapat cadangan gas dan minyak yang signifikan di wilayah ini.
Meskipun rig minyak dan gas lepas pantai kini dibangun semakin jauh dari garis
pantai (Maribus, 2017[69]), wilayah pesisir tetap menjadi lokasi banyak
platform minyak dan gas.
Selain
menghasilkan nilai ekonomi melalui mekanisme pasar, ekosistem pesisir juga
memberikan penghematan ekonomi melalui perlindungan pantai, pengolahan air, dan
layanan ekosistem lainnya (OECD, 2020[71]). Meskipun tidak semua layanan ini
berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi, layanan ini memberikan manfaat
besar dan memiliki dampak signifikan pada ekonomi lokal dan nasional (Kotak 2).
Kotak 2. Menilai Ekosistem Pesisir
Banyak
layanan berharga yang ditawarkan oleh ekosistem pesisir tidak tercermin dalam
harga pasar barang dan jasa, sehingga disebut sebagai manfaat non-pasar.
Manfaat ini sangat besar, dan studi penilaian yang ada memberikan estimasi
nilai yang berguna. Sebagai contoh, estimasi terbaru menunjukkan bahwa
perlindungan 10% dari ekosistem laut dan pesisir melalui kawasan lindung laut
akan menghasilkan manfaat layanan ekosistem sebesar USD 622 miliar hingga USD
923 miliar antara tahun 2015 dan 2050 (OECD, 2017[72]).
Studi
penilaian yang ada juga menunjukkan manfaat non-pasar yang terkait dengan
layanan ekosistem. Layanan perlindungan pesisir yang ditawarkan oleh ekosistem
dekat pantai sangat penting untuk mengurangi kerugian ekonomi akibat bencana
alam dan perubahan iklim. Sebagai contoh, setiap hektar hutan bakau di Thailand
menyediakan layanan perlindungan badai yang bernilai USD 9.000 hingga USD
11.000, sementara setiap hektar lahan rawa asin di Amerika Serikat menghemat
lebih dari USD 8.000 setiap tahun dari kerusakan akibat badai. Sejalan dengan
temuan ini, sebuah studi terbaru tentang dampak badai di Louisiana
memperkirakan bahwa setiap acre lahan basah pesisir yang sehat mengurangi
kerusakan akibat badai hingga USD 100 hingga USD 140.
Ekosistem
pesisir juga memberikan kontribusi besar terhadap pariwisata dan rekreasi.
Secara global, nilai rekreasi tahunan yang dihasilkan oleh ekosistem pesisir
diperkirakan antara USD 150 hingga USD 71.000 per acre lahan.
Selain
kontribusi besar dalam perlindungan pesisir dan rekreasi, ekosistem pesisir
sangat bernilai untuk kontribusinya terhadap kualitas air serta penyediaan
makanan dan bahan baku. Sebagai contoh, hutan bakau di Thailand menyediakan
bahan baku senilai USD 484 hingga USD 585 per hektar setiap tahun, sementara
lahan rawa asin di Amerika Serikat memungkinkan penghematan USD 785 hingga USD
15.000 per acre dalam pengolahan air limbah. Demikian pula, terumbu karang di
Hawaii memberikan nilai perikanan sebesar USD 1,3 juta setiap tahun.
KESIMPULAN
Makalah ini
menunjukkan bahwa interaksi antara pembangunan sosial-ekonomi yang intensif,
dampaknya terhadap ekosistem pesisir, dan risiko iklim yang semakin meningkat,
menimbulkan tantangan yang kompleks. Untuk mengatasi kompleksitas tersebut,
penting untuk memberikan respons kebijakan yang komprehensif yang bertujuan
memperkuat ketahanan wilayah pesisir terhadap dampak yang merugikan. Tantangan
dalam strategi pengelolaan wilayah pesisir terletak pada pengintegrasian
berbagai respons kebijakan, yang mencakup perencanaan ruang dan perencanaan
kota, pengurangan risiko bencana, konservasi ekosistem, perencanaan
infrastruktur, adaptasi iklim, serta pengelolaan pertanian dan sumber daya. Dalam
proses ini, penting untuk mengintegrasikan dan menyeimbangkan berbagai tujuan
kebijakan, dengan memperhitungkan trade-off dan sinergi di antara mereka. Oleh
karena itu, koordinasi di antara pembuat kebijakan dari berbagai sektor dan
tingkat pemerintahan serta pihak pemangku kepentingan non-pemerintah (seperti
operator infrastruktur swasta) menjadi kunci untuk memperkuat ketahanan
pesisir.
Selama beberapa dekade
terakhir, pemerintah telah mengakui multidimensionalitas dalam pengelolaan
wilayah pesisir dengan mempromosikan pendekatan kebijakan terintegrasi seperti
manajemen wilayah pesisir terintegrasi (ICZM). Namun, dalam beberapa tahun
terakhir, ketahanan iklim telah menjadi pertimbangan yang tak terhindarkan
untuk menjaga keberlanjutan wilayah pesisir di masa depan. Hal ini berarti
bahwa setiap strategi pengelolaan wilayah pesisir yang dikembangkan atau
diperbarui saat ini perlu memperhitungkan dampak perubahan iklim yang
diproyeksikan dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk melindungi komunitas
dan pengembangan ekonomi. Oleh karena itu, lebih banyak pekerjaan diperlukan
untuk memahami apakah kebijakan ketahanan iklim dapat dipromosikan sebagai
kebijakan terpisah atau apakah kebijakan tersebut akan lebih bermanfaat jika
diintegrasikan lebih lanjut dengan strategi ICZM.
SUMBER
Adapting to a changing climate in the management of
coastal zones. POLICY PERSPECTIVES OECD. ENVIRONMENT POLICY PAPER NO. 24
#Pesisir
#PerubahanIklim
#AdaptasiIklim
#KetahananPesisir
#Lingkungan