Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Kesehatan Ternak. Show all posts
Showing posts with label Kesehatan Ternak. Show all posts

Wednesday, 5 November 2025

Ancaman Sunyi: Daya Tersembunyi Virus BIV pada Sapi

 



Bovine Immunodeficiency Virus (BIV)

 

Abstrak

Bovine immunodeficiency virus (BIV) merupakan lentivirus yang menginfeksi sapi dan kerbau di berbagai wilayah dunia. Virus ini memiliki kekerabatan genetik dan antigenik yang erat dengan Jembrana disease virus (JDV) serta human immunodeficiency virus (HIV). Meskipun demikian, hingga kini BIV umumnya dianggap nonpatogen karena tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas pada hewan yang terinfeksi. Walaupun efek klinisnya ringan, sejumlah bukti menunjukkan bahwa BIV dapat mengganggu fungsi sistem imun dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi sekunder. Tulisan ini mengulas sejarah penemuan, struktur genom, keragaman genetik, mekanisme infeksi, respons imun, serta metode diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi BIV pada populasi sapi di berbagai negara.

 

1. Pendahuluan

 

Bovine immunodeficiency virus (BIV) merupakan anggota genus Lentivirus dalam famili Retroviridae, subfamili Orthoretrovirinae, ordo Ortervirales. Virus ini pertama kali diisolasi dari sapi yang menunjukkan limfadenopati persisten dan penurunan kondisi tubuh di Amerika Serikat pada tahun 1969. Penemuan ini menarik perhatian karena kemiripan BIV dengan virus lentivirus lain yang bersifat imunotropik, seperti human immunodeficiency virus (HIV) pada manusia dan feline immunodeficiency virus (FIV) pada kucing.

 

Hingga saat ini, dampak BIV terhadap kesehatan sapi masih belum sepenuhnya dipahami. Sebagian besar infeksi bersifat subklinis, meskipun beberapa penelitian melaporkan adanya perubahan hematologis dan imunosupresi ringan. Penularan BIV diduga terjadi melalui kontak darah, cairan tubuh, atau melalui transmisi vertikal dari induk ke anak.

 

2. Sejarah Penemuan dan Klasifikasi Taksonomi

 

BIV pertama kali dilaporkan oleh Van der Maaten dan Colleagues pada tahun 1972 dari kasus sapi dengan limfadenopati kronis. Secara taksonomi, BIV dikelompokkan dalam genus Lentivirus bersama dengan JDV, HIV, feline immunodeficiency virus (FIV), caprine arthritis encephalitis virus (CAEV), dan maedi-visna virus (MVV).

 

Analisis filogenetik menunjukkan bahwa BIV memiliki hubungan yang sangat erat dengan JDV, yang menyebabkan penyakit Jembrana pada sapi Bali di Indonesia. Kedua virus ini memiliki struktur genom yang serupa dan membentuk satu klad lentivirus sapi (bovine lentivirus group).

 

3. Hubungan Filogenetik dengan Lentivirus Lain

 

BIV memiliki kemiripan tinggi dengan JDV dalam hal struktur genom, organisasi gen, dan urutan nukleotida. Namun, JDV menunjukkan virulensi tinggi yang menyebabkan penyakit akut dengan tingkat mortalitas tinggi pada sapi Bali, sedangkan BIV umumnya tidak menimbulkan gejala klinis yang berat. Perbedaan tingkat patogenisitas ini menarik perhatian ilmuwan dalam memahami mekanisme evolusi lentivirus serta faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi antarspesies.

 

4. Struktur dan Fungsi Genomik

 

Genom BIV tersusun dari RNA untai tunggal positif dengan panjang sekitar 8,7 kilobasa. Virus ini memiliki gen utama gag, pol, dan env, serta gen tambahan vif, tat, dan rev yang berperan dalam regulasi replikasi virus dan penghindaran respons imun inang.

 

Gen gag mengode protein struktural kapsid (CA), matriks (MA), dan nukleokapsid (NC), sedangkan gen pol mengode enzim penting seperti reverse transcriptase, integrase, dan protease. Gen env mengode glikoprotein amplop (gp120/gp41) yang berperan dalam pengikatan reseptor dan fusi membran sel inang.

 

Analisis sekuens menunjukkan bahwa variasi genetik terutama terjadi pada gen env, yang menjadi target utama dalam diferensiasi strain dan pengembangan metode diagnostik molekuler.

 

5. Siklus Replikasi dan Infeksi BIV

 

Infeksi dimulai ketika glikoprotein amplop virus berikatan dengan reseptor spesifik pada permukaan sel target, terutama sel monosit dan limfosit T. Setelah proses fusi, RNA virus dilepaskan ke dalam sitoplasma dan dikonversi menjadi DNA melalui aktivitas reverse transcriptase. DNA virus kemudian diintegrasikan ke dalam genom inang dalam bentuk provirus.

 

Dalam kondisi normal, provirus dapat bertahan dalam keadaan laten. Namun, faktor-faktor seperti stres, infeksi sekunder, atau perubahan hormonal dapat menginduksi aktivasi kembali provirus menjadi virus RNA yang infeksius. Hal ini menjelaskan sifat kronis dan laten infeksi BIV pada sapi.

 

6. Keragaman Genetik dan Evolusi Virus

 

Studi molekuler menunjukkan bahwa BIV memiliki variasi genetik yang cukup luas antarisolat, mencerminkan adaptasi terhadap populasi inang dan tekanan seleksi lingkungan. Analisis filogenetik terhadap gen pol dan env mengindikasikan adanya beberapa kluster genetik berdasarkan wilayah geografis, seperti isolat dari Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.

 

Keragaman genetik ini berimplikasi terhadap sensitivitas uji diagnostik serta kemungkinan adanya perbedaan tingkat replikasi dan virulensi antarstrain.

 

7. Patogenesis dan Efek Klinis pada Sapi

 

Sebagian besar sapi yang terinfeksi BIV tidak menunjukkan tanda-tanda klinis yang khas. Namun, penelitian eksperimental memperlihatkan adanya limfadenopati, penurunan berat badan, serta perubahan hematologis berupa limfositosis atau anemia ringan.

 

Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh, terutama sel T dan monosit, sehingga berpotensi menurunkan respons imun terhadap infeksi lain. Pada beberapa kasus, infeksi BIV dilaporkan memperberat penyakit yang disebabkan oleh patogen lain, seperti Bovine leukemia virus (BLV) atau Mycobacterium bovis.

 

8. Respons Imun terhadap Infeksi BIV

 

a. Respons Kekebalan Humoral

Hewan yang terinfeksi BIV mengembangkan antibodi spesifik terhadap protein struktural dan nonstruktural virus. Antibodi ini biasanya terdeteksi dalam waktu 3–6 minggu pascainfeksi dan dapat bertahan dalam jangka panjang, meskipun tidak selalu bersifat protektif.

b. Respons Kekebalan Seluler

Respons seluler terhadap BIV melibatkan aktivasi sel T CD4+ dan CD8+, serta produksi sitokin yang memengaruhi dinamika infeksi. Namun, infeksi kronis dapat menurunkan fungsi imun, serupa dengan mekanisme imunosupresi pada lentivirus lain.

 

9. Metode Diagnostik

 

a. Isolasi Virus

Isolasi BIV dapat dilakukan menggunakan kultur sel monosit atau limfosit dari sapi, meskipun metode ini memerlukan waktu lama dan fasilitas biosafety memadai.

 

b. Deteksi Molekuler

PCR dan nested PCR merupakan metode utama untuk mendeteksi DNA provirus BIV pada jaringan atau darah. Primer biasanya menargetkan gen pol atau gag, yang bersifat konservatif. Pengembangan quantitative PCR (qPCR) telah meningkatkan sensitivitas deteksi terutama untuk surveilans epidemiologis.

 

c. Diagnostik Serologis

Uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan Western blot digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap BIV. Uji serologis sering digunakan dalam studi prevalensi karena efisien dan dapat diaplikasikan pada populasi besar.

 

10. Kesimpulan dan Arah Penelitian Masa Depan

BIV merupakan lentivirus sapi yang unik karena memiliki kesamaan genetik dengan virus lentivirus patogen, tetapi menunjukkan patogenisitas yang rendah. Walaupun infeksi biasanya bersifat subklinis, potensi gangguan imun yang diakibatkannya tetap perlu diperhatikan, terutama pada sistem pemeliharaan intensif atau pada hewan dengan komorbiditas.

 

Ke depan, penelitian diarahkan pada pemahaman hubungan molekuler antara BIV dan JDV, potensi rekombinasi antarlentivirus, serta peran BIV dalam evolusi lentivirus mamalia. Pengembangan metode diagnostik yang lebih sensitif dan studi longitudinal pada populasi sapi di berbagai negara juga diperlukan untuk memperjelas dampak biologis dan epidemiologis infeksi BIV.

 

SUMBER:

Sandeep Bhatia, S.S. Patil, and R. Sood. 2013. Bovine immunodeficiency virus: a lentiviral infection. Indian J Virol. V.24(3) 2013.

 

Thursday, 25 September 2025

Gawat! Perubahan Iklim Bikin Sektor Peternakan Kolaps—Dampaknya Jauh Lebih Besar dari yang Kita Bayangkan!

 



RINGKASAN


Secara global, sektor peternakan mengalami perubahan cepat sebagai respons terhadap globalisasi dan meningkatnya permintaan pangan hewani berkualitas. Performa ternak optimal hanya dapat dicapai bila faktor lingkungan berada pada kondisi ideal, namun hal ini sulit terpenuhi karena sifatnya yang sangat bervariasi. Tingkat dan jenis stres akibat lingkungan fisik dipengaruhi oleh iklim suatu wilayah, kemampuan adaptasi hewan, karakteristik ras, serta intervensi manajemen manusia untuk meminimalkan kerugian.

 

Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi produktivitas ternak, keberlanjutan pertanian dan vegetasi, ketersediaan air, produksi susu, kesehatan dan reproduksi ternak, serta keanekaragaman hayati. Emisi metana dari pencernaan enterik dan pengelolaan kotoran ternak merupakan sumber utama kontribusi peternakan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, diperlukan strategi multidisiplin yang menitikberatkan pada nutrisi, manajemen perumahan, dan kesehatan hewan untuk mengurangi dampak negatif stres lingkungan terhadap ternak.

 

PENDAHULUAN


Iklim India secara umum dapat digolongkan sebagai iklim monsun tropis dengan empat musim utama: musim dingin (Januari–Februari), musim panas (Maret–Mei), monsun barat daya (Juni–September), dan monsun timur laut (Oktober–Desember). Namun, terdapat variasi spesifik di wilayah tertentu, misalnya lembah Kashmir yang beriklim sedang serta Ladakh yang memiliki iklim gurun dingin-kering. Proyek Penelitian Pertanian Nasional (NARP) dan indeks panas–kelembapan Thornthwaite digunakan untuk mengklasifikasikan iklim di India.

 

Secara global, perubahan iklim merupakan masalah kompleks yang memengaruhi aspek biologis, lingkungan, hingga sosial-politik. Meningkatnya suhu bumi, pola musim yang tidak menentu, serta kejadian cuaca ekstrem—seperti gelombang panas, kekeringan, banjir, dan curah hujan berlebihan—menimbulkan tantangan besar bagi produksi pertanian dan peternakan.

 

Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya konsentrasi CO₂ atmosfer melebihi 400 ppm pada tahun 2013. Tren jangka panjang suhu dan curah hujan digunakan sebagai indikator utama perubahan iklim, di samping faktor lain seperti kelembapan dan tekanan lingkungan. Dampak yang paling nyata meliputi perubahan pola cuaca, mencairnya lapisan es, serta kenaikan permukaan laut.

 

Menurut Carney (2015), terdapat dua jenis risiko yang terkait dengan perubahan iklim, yaitu risiko fisik dan risiko transisi. Risiko fisik umumnya berkaitan dengan dampak negatif terhadap masyarakat, rantai pasok, serta operasi bisnis akibat bencana iklim (Tankov & Tantet, 2019). Sementara itu, risiko transisi berhubungan dengan perubahan menuju ekonomi rendah karbon, termasuk implikasinya bagi bahan bakar fosil dan sektor yang bergantung padanya (Curtin et al., 2019).

 

Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) memperkirakan suhu permukaan global akan meningkat rata-rata 0,2 °C per dekade, dan pada tahun 2100 kenaikan bisa mencapai 1,8–4 °C (IPCC, 2007). Pemanasan global juga memengaruhi siklus hidrologi. IPCC mencatat suhu global rata-rata telah meningkat 0,85 °C sejak 1880. Jika suhu naik 1,5–2,5 °C, maka 20–30% spesies tumbuhan dan hewan diprediksi terancam punah.

 

Di India, sekitar 70% populasi ternak dimiliki oleh petani kecil dan buruh tanpa lahan, sehingga dampak perubahan iklim terhadap sektor peternakan akan sangat signifikan.

 

A) Dampak Perubahan Iklim pada Pertanian


Perubahan iklim memengaruhi pertanian melalui dampak langsung maupun tidak langsung pada tanaman, tanah, ternak, dan hama.

  • Tanaman dengan jalur fotosintesis C3 mendapat manfaat dari peningkatan CO₂ atmosfer karena berfungsi sebagai pupuk yang mendorong pertumbuhan dan produktivitas.
  • Kenaikan suhu dapat memperpendek umur tanaman, meningkatkan laju respirasi, mengubah proses fotosintesis, serta memengaruhi kelangsungan hidup dan penyebaran populasi serangga.
  • Peningkatan frekuensi dan durasi peristiwa cuaca ekstrem, seperti gelombang panas, siklon, banjir, dan kekeringan, berdampak negatif terhadap produktivitas pertanian.
  • Produksi menurun di daerah yang mengandalkan hujan akibat meningkatnya kebutuhan air tanaman dan perubahan pola curah hujan.
  • Penurunan kualitas terjadi pada komoditas seperti kopi, teh, tanaman aromatik dan obat, buah-buahan, serta sayuran.
  • Perubahan pola hama dan penyakit pertanian dipicu oleh meningkatnya sensitivitas inang, percepatan penularan patogen, serta meningkatnya produksi patogen dan vektor.
  • Suhu yang lebih hangat, naiknya permukaan laut, curah hujan yang tidak menentu, serta meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana alam menimbulkan ancaman bagi keanekaragaman hayati pertanian.
  • Jika suhu di India meningkat 2,5–4,9 °C, hasil panen padi diperkirakan turun 32–40%, sedangkan hasil gandum turun 41–52%.
  • Penelitian Institut Penelitian Pertanian India (IARI) menunjukkan bahwa setiap kenaikan suhu 1 °C dapat menurunkan produktivitas gandum sebesar 4–5 juta ton, terutama pada tanaman musim rabi.

 

B) Dampak Perubahan Iklim terhadap Ternak


Perubahan iklim menimbulkan risiko terhadap hasil produksi ternak, tergantung pada tingkat kinerja, kerentanan hewan, dan kondisi lingkungan. Hewan semakin rentan karena tuntutan produksi yang tinggi, seperti pertambahan berat badan, produksi susu, maupun produksi telur. Mengingat bahwa 70% ternak India dimiliki oleh petani kecil dan marjinal, sektor peternakan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

 

a) Dampak Iklim pada Produksi Hewan

 

Kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak secara langsung dipengaruhi oleh cuaca buruk dan kondisi iklim ekstrem. Dampak tidak langsung meliputi perubahan kualitas serta kuantitas pakan, peningkatan biaya produksi, frekuensi kejadian penyakit, serta perubahan distribusi penyakit dan hama.

 

Perubahan iklim terutama memengaruhi laju pertumbuhan, konsumsi pakan, efisiensi reproduksi, serta produksi susu, telur, dan wol. Stres panas menjadi faktor utama yang menurunkan produktivitas, karena berdampak pada konsumsi pakan, perkembangan, kesehatan, dan kemampuan reproduksi hewan.

 

Suhu tinggi juga memengaruhi emisi metana enterik; pada kondisi stres panas ekstrem, produksi metana meningkat per unit asupan bahan kering (Yadav et al., 2012) [18]. Produksi susu menurun baik dari segi jumlah maupun kualitas, ditandai dengan berkurangnya kadar lemak, SNF, laktosa, serta meningkatnya kadar asam stearat dan palmitat.

 

Stres panas juga menekan sistem imun, baik humoral maupun seluler, misalnya pada ayam. Sebaliknya, pada kondisi stres dingin, asupan pakan meningkat namun daya cerna menurun karena nutrisi dialihkan untuk menghasilkan panas. Dengan demikian, baik stres panas maupun dingin sama-sama berdampak buruk terhadap kondisi fisiologis dan imunologis hewan.

 

b) Pengaruh Iklim terhadap Pertumbuhan Hewan

 

Suhu lingkungan yang tinggi menurunkan pertumbuhan ternak karena mengurangi asupan pakan dan meningkatkan energi yang dikeluarkan untuk mengatasi stres. Pada kondisi stres panas, asupan pakan menurun, sedangkan pada stres dingin nutrisi lebih banyak dialihkan untuk produksi panas. Kedua kondisi ini menyebabkan penurunan pertambahan bobot harian.

 

Stres panas juga meningkatkan pemecahan protein untuk energi dan menurunkan daya cerna, sehingga retensi nitrogen berkurang. Kehilangan nitrogen melalui keringat semakin memperparah kondisi hewan yang sedang tumbuh.

 

c) Efek Iklim pada Produksi Susu, Daging, dan Telur

 

Secara umum, stres panas menurunkan asupan pakan, produksi susu, pertambahan bobot harian, produksi telur, serta kualitas kerabang telur, sementara kebutuhan energi pemeliharaan meningkat.

 

Pada sapi perah dengan produksi tinggi, stres panas memberikan dampak besar terhadap kuantitas dan kualitas susu. Komposisi susu juga berubah, dengan berkurangnya total protein, menurunnya laktosa, serta perubahan konsentrasi asam lemak. Stres panas memengaruhi produksi susu secara tidak langsung melalui penurunan hormon tirotropik, perubahan pasokan substrat untuk sintesis susu, peningkatan adrenalin, dan penurunan hormon aldosteron.

 

Produksi daging juga terdampak, ditandai dengan rendahnya asupan pakan, pertumbuhan buruk, penurunan bobot karkas, rendahnya kadar protein dan pH otot, berkurangnya kandungan glikogen, serta meningkatnya kehilangan tetesan. Dampak ini terutama terlihat pada unggas.

 

Suhu dan kelembapan tinggi menurunkan produksi telur, yang ditunjukkan melalui penurunan ukuran telur, kualitas kerabang, laju pertambahan bobot ayam, serta meningkatnya mortalitas akibat ketidakseimbangan hormon.

 

d) Pengaruh Iklim terhadap Produksi Wol

 

Variasi iklim yang signifikan berdampak negatif terhadap pertumbuhan wol domba. Faktor yang memengaruhi antara lain kondisi fisiologis, ras, pakan, jenis kelamin, serta waktu pencukuran bulu. Sebagai hewan yang bereproduksi musiman, fisiologi domba sangat dipengaruhi oleh panjang siang–malam (fotoperiode).

 

KESIMPULAN

 

Perubahan iklim membawa tantangan besar bagi sektor pertanian dan peternakan, terutama di negara-negara dengan ketergantungan tinggi pada sumber daya alam dan dominasi petani kecil. Dampaknya terlihat pada produktivitas tanaman, ketersediaan pakan, kesehatan hewan, pertumbuhan, serta hasil produksi seperti susu, daging, telur, dan wol. Suhu ekstrem, curah hujan yang tidak menentu, serta meningkatnya frekuensi bencana alam memperburuk kerentanan sistem pangan.

 

Selain itu, perubahan iklim juga memperparah penyebaran penyakit dan hama, menurunkan kualitas komoditas pertanian, serta memengaruhi komposisi gizi produk hewani. Kondisi ini tidak hanya mengancam keberlanjutan produksi, tetapi juga berimplikasi pada ketahanan pangan, pendapatan petani, dan kesejahteraan masyarakat.

 

Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan strategi adaptasi dan mitigasi yang bersifat multidisiplin. Upaya tersebut mencakup perbaikan manajemen pakan, perumahan, kesehatan hewan, pemuliaan ternak yang lebih tahan terhadap stres iklim, serta penerapan teknologi ramah lingkungan guna menekan emisi gas rumah kaca. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga penelitian, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci dalam membangun sistem pertanian dan peternakan yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim.

 

REFERENSI

 

1. Aggarwal A, Upadhyay RC. Pulmonary and cutaneous evaporative water losses in Sahiwal and Sahiwal x Holstein cattle during solar exposure. Asian Australas Journal of Animal Sciences. 1997;10:318-323.

2. Barnes A, Beechener S, Cao Y, Elliot J, Harris D, Jones G, et al. Market Segmentation in the Agriculture Sector: Climate Change, DEFRA Project FF0201. ADAS, UK; c2008.

3. Bouwman AF. Direct emission of nitrous oxide from agricultural soils. Nutrient cycling in agroecosystems.1996;46:53-70.

4. Carvalho G, Moutinho P, Nepstad D, Mattos L, Santilli M. An Amazon perspective on the forest-climate connection: opportunity for climate mitigation, conservation and development. Environment, development and sustainability. 2004;6:163-174.

5. Denef K, Archibeque S, Paustian K. Greenhouse gas emissions from US agriculture and forestry: A review of emission sources, controlling factors, and mitigation potential. Interim report to USDA under Contract# GS-23F8182H, 2011, 53.

6. Dickie A, Streck C, Roe S, Zurek M, Haupt F, Dolginow A. Strategies for mitigating climate change in agriculture: Abridged report. Climate focus and California environmental associates, prepared with the support of the climate and land use Alliance; c2014.

7. HavlĂ­k P, Valin H, Mosnier A, Obersteiner M, Baker JS, Herrero M, et al. Crop productivity and the global livestock sector: Implications for land use change and greenhouse gas emissions. American Journal of Agricultural Economics. 2013;95(2):442-448.

8. Henry B, Charmley E, Eckard R, Gaughan JB, Hegarty R. Livestock production in a changing climate: adaptation and mitigation research in Australia. Crop and Pasture Science. 2012;63(3):191-202.

9. IFAD (International Fund for Agricultural Development). Livestock and climate change; c2010. Available at: http://www.ifad.org/lrkm/events/cops/papers/climate.pdf. 2010.

10. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Climate Change 2007: Synthesis Report; c2007.

11. Kurukulasuriya P, Rosenthal S. Climate change and agriculture: A review of impacts and adaptations; c2013.

12. Lallawmkimi MC, Singh SV, Dandage SD, Vaidya MM, Upadhyay RC. Impact of vitamin E supplementation on antioxidants in thermal stressed Murrah buffaloes. Revista Veterinaria, 2010, 21(1). 13. Rischkowsky B, Pilling D. The state of the world's animal genetic resources for food and agriculture. Food & Agriculture Org; c2007.

14. Rowlinson P. Adapting livestock production systems to climate change–temperate zones. Livestock and Global Climate Change, 2008, 61.

15. Steinfeld H. Livestock's long shadow: Environmental issues and options. Food & Agriculture Org.; c2006.

16. Thornton PK, Gerber PJ. Climate change and the growth of the livestock sector in developing countries. Mitigation and adaptation strategies for global change. 2010;15:169-184.

17. UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Challenges and opportunities for mitigation in the agricultural sector: technical paper; c2008.

18. Yadav B, Singh G, Wankar A, Dutta N, Verma AK, Chaturvedi VB. Effect of thermal stress on methane emission in crossbred cattle. In Proceedings of VIIIth Biennial Conference of ANAC and symposium on Animal Nutrition Research Strategies for Food Security; c2012 Nov. p. 28-30.

19. Carney M. Breaking the tragedy of the horizon–climate change and financial stability. Speech given at Lloyd’s of London. 2015 Sep 29;29:220-30.

20. Tankov P, Tantet A. Climate data for physical risk assessment in finance. Available at SSRN 3480156. 2019 Nov 3.

21. Curtin D, Drewes M, McCullough M, Meade P, Mohapatra RN, Shelton J, et al. Long-lived particles at the energy frontier: the MATHUSLA physics case. Reports on progress in physics. 2019 Oct 1;82(11):116201.

22. Kumar K, Parida M, Katiyar VK. Short term traffic flow prediction for a non-urban highway using artificial neural network. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 2013 Dec 2; 104:755-64.

 

SUMBER

Karishma Choudhary, Vinod Kumar Palsaniya and MC Sharma. 2024. Impact of climate change on livestock sector. International Journal of Research in Agronomy 2024; SP-7(3): 34-37

#PerubahanIklim 

#Peternakan 

#KesehatanTernak 

#KetahananPangan 

#SektorPertanian