Bovine Immunodeficiency Virus (BIV)
Abstrak
Bovine immunodeficiency virus (BIV) merupakan lentivirus yang menginfeksi sapi dan
kerbau di berbagai wilayah dunia. Virus ini memiliki kekerabatan genetik dan
antigenik yang erat dengan Jembrana disease virus (JDV) serta human
immunodeficiency virus (HIV). Meskipun demikian, hingga kini BIV umumnya
dianggap nonpatogen karena tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas pada
hewan yang terinfeksi. Walaupun efek klinisnya ringan, sejumlah bukti
menunjukkan bahwa BIV dapat mengganggu fungsi sistem imun dan meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi sekunder. Tulisan ini mengulas sejarah penemuan,
struktur genom, keragaman genetik, mekanisme infeksi, respons imun, serta
metode diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi BIV pada populasi sapi di
berbagai negara.
1. Pendahuluan
Bovine immunodeficiency virus (BIV) merupakan anggota genus Lentivirus dalam
famili Retroviridae, subfamili Orthoretrovirinae, ordo Ortervirales.
Virus ini
pertama kali diisolasi dari sapi yang menunjukkan limfadenopati persisten dan
penurunan kondisi tubuh di Amerika Serikat pada tahun 1969. Penemuan ini
menarik perhatian karena kemiripan BIV dengan virus lentivirus lain yang
bersifat imunotropik, seperti human immunodeficiency virus (HIV) pada
manusia dan feline immunodeficiency virus (FIV) pada kucing.
Hingga saat ini, dampak BIV terhadap
kesehatan sapi masih belum sepenuhnya dipahami. Sebagian besar infeksi bersifat
subklinis, meskipun beberapa penelitian melaporkan adanya perubahan hematologis
dan imunosupresi ringan. Penularan BIV diduga terjadi melalui kontak darah,
cairan tubuh, atau melalui transmisi vertikal dari induk ke anak.
2. Sejarah Penemuan dan Klasifikasi Taksonomi
BIV pertama kali dilaporkan oleh Van der Maaten dan
Colleagues pada tahun 1972 dari kasus sapi dengan limfadenopati kronis. Secara
taksonomi, BIV dikelompokkan dalam genus Lentivirus bersama dengan JDV,
HIV, feline immunodeficiency virus (FIV), caprine arthritis
encephalitis virus (CAEV), dan maedi-visna virus (MVV).
Analisis filogenetik menunjukkan bahwa BIV memiliki
hubungan yang sangat erat dengan JDV, yang menyebabkan penyakit Jembrana pada
sapi Bali di Indonesia. Kedua virus ini memiliki struktur genom yang serupa dan
membentuk satu klad lentivirus sapi (bovine lentivirus group).
3. Hubungan Filogenetik dengan Lentivirus Lain
BIV memiliki kemiripan tinggi dengan JDV dalam hal
struktur genom, organisasi gen, dan urutan nukleotida. Namun, JDV menunjukkan
virulensi tinggi yang menyebabkan penyakit akut dengan tingkat mortalitas
tinggi pada sapi Bali, sedangkan BIV umumnya tidak menimbulkan gejala klinis
yang berat. Perbedaan tingkat patogenisitas ini menarik perhatian ilmuwan dalam
memahami mekanisme evolusi lentivirus serta faktor-faktor yang mempengaruhi
virulensi antarspesies.
4. Struktur dan Fungsi Genomik
Genom BIV tersusun dari RNA untai tunggal positif dengan
panjang sekitar 8,7 kilobasa. Virus ini memiliki gen utama gag, pol,
dan env, serta gen tambahan vif, tat, dan rev yang
berperan dalam regulasi replikasi virus dan penghindaran respons imun inang.
Gen gag mengode protein struktural kapsid (CA),
matriks (MA), dan nukleokapsid (NC), sedangkan gen pol mengode enzim
penting seperti reverse transcriptase, integrase, dan protease.
Gen env mengode glikoprotein amplop (gp120/gp41) yang berperan dalam
pengikatan reseptor dan fusi membran sel inang.
Analisis sekuens menunjukkan bahwa variasi genetik
terutama terjadi pada gen env, yang menjadi target utama dalam
diferensiasi strain dan pengembangan metode diagnostik molekuler.
5. Siklus Replikasi dan Infeksi BIV
Infeksi dimulai ketika glikoprotein amplop virus
berikatan dengan reseptor spesifik pada permukaan sel target, terutama sel
monosit dan limfosit T. Setelah proses fusi, RNA virus dilepaskan ke dalam
sitoplasma dan dikonversi menjadi DNA melalui aktivitas reverse
transcriptase. DNA virus kemudian diintegrasikan ke dalam genom inang dalam
bentuk provirus.
Dalam kondisi normal, provirus dapat bertahan dalam
keadaan laten. Namun, faktor-faktor seperti stres, infeksi sekunder, atau
perubahan hormonal dapat menginduksi aktivasi kembali provirus menjadi virus
RNA yang infeksius. Hal ini menjelaskan sifat kronis dan laten infeksi BIV pada sapi.
6. Keragaman Genetik dan Evolusi Virus
Studi molekuler menunjukkan bahwa BIV memiliki variasi
genetik yang cukup luas antarisolat, mencerminkan adaptasi terhadap populasi
inang dan tekanan seleksi lingkungan. Analisis filogenetik terhadap gen pol
dan env mengindikasikan adanya beberapa kluster genetik berdasarkan
wilayah geografis, seperti isolat dari Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.
Keragaman genetik ini berimplikasi terhadap sensitivitas
uji diagnostik serta kemungkinan adanya perbedaan tingkat replikasi dan
virulensi antarstrain.
7. Patogenesis dan Efek Klinis pada Sapi
Sebagian besar sapi yang terinfeksi BIV tidak menunjukkan
tanda-tanda klinis yang khas. Namun, penelitian eksperimental memperlihatkan
adanya limfadenopati, penurunan berat badan, serta perubahan hematologis berupa
limfositosis atau anemia ringan.
Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh, terutama sel
T dan monosit, sehingga berpotensi menurunkan respons imun terhadap infeksi
lain. Pada beberapa kasus, infeksi BIV dilaporkan memperberat penyakit yang
disebabkan oleh patogen lain, seperti Bovine leukemia virus (BLV) atau Mycobacterium
bovis.
8. Respons Imun terhadap Infeksi BIV
a. Respons Kekebalan Humoral
Hewan yang terinfeksi BIV mengembangkan antibodi spesifik
terhadap protein struktural dan nonstruktural virus. Antibodi ini biasanya
terdeteksi dalam waktu 3–6 minggu pascainfeksi dan dapat bertahan dalam jangka
panjang, meskipun tidak selalu bersifat protektif.
b. Respons Kekebalan Seluler
Respons seluler terhadap BIV melibatkan aktivasi sel T
CD4+ dan CD8+, serta produksi sitokin yang memengaruhi dinamika infeksi. Namun, infeksi kronis
dapat menurunkan fungsi imun, serupa dengan mekanisme imunosupresi pada
lentivirus lain.
9. Metode Diagnostik
a. Isolasi Virus
Isolasi BIV dapat dilakukan menggunakan kultur sel
monosit atau limfosit dari sapi, meskipun metode ini memerlukan waktu lama dan
fasilitas biosafety memadai.
b. Deteksi Molekuler
PCR dan nested PCR merupakan metode utama untuk
mendeteksi DNA provirus BIV pada jaringan atau darah. Primer biasanya
menargetkan gen pol atau gag, yang bersifat konservatif.
Pengembangan quantitative PCR (qPCR) telah meningkatkan sensitivitas
deteksi terutama untuk surveilans epidemiologis.
c. Diagnostik Serologis
Uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan Western
blot digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap BIV. Uji serologis sering
digunakan dalam studi prevalensi karena efisien dan dapat diaplikasikan pada
populasi besar.
10. Kesimpulan dan Arah Penelitian Masa Depan
BIV merupakan lentivirus sapi yang unik karena memiliki
kesamaan genetik dengan virus lentivirus patogen, tetapi menunjukkan
patogenisitas yang rendah. Walaupun infeksi biasanya bersifat subklinis,
potensi gangguan imun yang diakibatkannya tetap perlu diperhatikan, terutama
pada sistem pemeliharaan intensif atau pada hewan dengan komorbiditas.
Ke depan, penelitian diarahkan pada
pemahaman hubungan molekuler antara BIV dan JDV, potensi rekombinasi
antarlentivirus, serta peran BIV dalam evolusi lentivirus mamalia. Pengembangan
metode diagnostik yang lebih sensitif dan studi longitudinal pada populasi sapi
di berbagai negara juga diperlukan untuk memperjelas dampak biologis dan
epidemiologis infeksi BIV.
SUMBER:
Sandeep Bhatia, S.S. Patil, and R. Sood. 2013. Bovine
immunodeficiency virus: a lentiviral infection. Indian J Virol. V.24(3) 2013.

