Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Kepemimpinan. Show all posts
Showing posts with label Kepemimpinan. Show all posts

Tuesday, 14 October 2025

Rahasia Pasangan dalam Ciptaan Allah

 



Keindahan dan Keseimbangan Semesta dari Surat Yasin Ayat 36

 

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi, dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)

 

Pembuka

 

“Tidak ada yang berdiri sendiri di alam ini, kecuali Allah Yang Maha Esa. Semua makhluk hidup berpasangan, saling melengkapi, dan menjadi tanda kebesaran-Nya.”

 

Tadabbur tentang Kesempurnaan Ciptaan

 

Setiap waktu subuh adalah waktu terbaik untuk berzikir dan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah Swt di sekitar kita. Salah satu ayat yang penuh makna adalah Surat Yasin ayat 36, yang menyingkap rahasia besar di balik sistem ciptaan Allah: semuanya diciptakan berpasang-pasangan.

 

Dari bumi yang menumbuhkan tumbuhan, dari diri manusia, hingga dari apa yang belum diketahui oleh ilmu manusia — semuanya menunjukkan bahwa kehidupan berjalan dengan keseimbangan yang indah dan sempurna.

 

Pasangan sebagai Tanda Kebesaran Allah

 

Allah SWT berfirman dalam Surat Adz-Dzariyat ayat 49:

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”

Ayat ini mengingatkan kita bahwa keberpasangan bukan sekadar fenomena biologis, melainkan tanda kekuasaan dan keagungan Sang Pencipta. Siang melengkapi malam, panas disandingkan dengan dingin, laut berpasangan dengan daratan. Semuanya berjalan dalam harmoni yang teratur agar kehidupan terus berlanjut.

 

Keteraturan inilah yang menjadi bukti bahwa alam semesta tidak terjadi secara kebetulan. Ada hikmah dan keseimbangan yang dirancang oleh Allah SWT untuk menjadi bahan renungan bagi manusia yang berakal.

 

Tumbuh-tumbuhan: Saksi Kehidupan yang Berpasangan

 

Perhatikanlah bagaimana tumbuhan hidup di sekitar kita. Setiap bunga memiliki sistem jantan dan betina yang berperan dalam proses penyerbukan. Dari pertemuan dua unsur itulah muncul buah, biji, dan kehidupan baru.

Allah berfirman: “Dan dari tiap-tiap buah-buahan Allah menjadikan berpasang-pasangan.” (QS. Ar-Ra‘d: 3)

Fenomena ini bukan hanya pelajaran biologi, melainkan tanda spiritual — bahwa tidak ada kehidupan tanpa keseimbangan, dan keseimbangan itu merupakan rahmat dari Allah SWT.

 

Dari Diri Manusia dan dari Apa yang Tak Diketahui

 

Manusia sendiri adalah bukti nyata sistem berpasangan. Dari Adam diciptakan Hawa, lalu dari keduanya lahirlah umat manusia. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim tentang penciptaan Adam dari tanah, yang kemudian menjadi asal kehidupan dan keturunan manusia.

 

Namun, ayat ini juga menyebut “dari apa yang tidak mereka ketahui.” Artinya, masih banyak rahasia ciptaan Allah yang belum dijangkau oleh pengetahuan manusia. Ayat ini seolah membuka pintu bagi kemajuan ilmu pengetahuan — bahwa setiap temuan baru sesungguhnya hanyalah memperkuat kebenaran wahyu Allah.

 

Sains Modern: Menemukan Kebenaran yang Allah wahyukan

 

Ilmu pengetahuan modern justru memperkuat makna ayat ini. Dalam dunia fisika, setiap partikel memiliki pasangan — elektron dengan positron, proton dengan antiproton. Dalam biologi, DNA manusia tersusun dari pasangan basa nitrogen yang saling melengkapi untuk membentuk kehidupan. Bahkan dalam teori kuantum, dikenal konsep dualisme gelombang-partikel, di mana setiap entitas memiliki sifat ganda.

 

Semua ini membuktikan bahwa Al-Qur’an lebih dahulu mengisyaratkan hukum pasangan dalam alam semesta, jauh sebelum sains modern memahaminya.

 

Renungan: Hanya Allah yang Tunggal

 

Ibnu Katsir menafsirkan bahwa segala sesuatu di alam ini memiliki pasangan, sementara hanya Allah SWT yang Maha Tunggal, tiada sekutu dan tiada tandingan bagi-Nya. Keberpasangan makhluk justru menjadi bukti keesaan Sang Pencipta yaitu Allah Swt. Ketika manusia menyadari bahwa semua selain Allah saling membutuhkan dan saling melengkapi, maka ia akan memahami betapa sempurnanya Allah Yang Maha Berdiri Sendiri.

“Subhānallāh! Maha Suci Allah atas segala ciptaan-Nya yang sempurna.”

 

Keseimbangan Hidup sebagai Cerminan Iman

 

Surat Yasin ayat 36 tidak hanya mengajarkan ilmu tentang ciptaan, tetapi juga hikmah kehidupan. Kita diajak untuk hidup seimbang — antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, kerja dan ibadah. Sebab keseimbangan adalah sunnatullah yang tertanam di setiap ciptaan-Nya.


Maka, mari kita jadikan ayat ini sebagai bahan tadabbur: bahwa alam semesta, diri kita, dan bahkan ilmu pengetahuan modern, semuanya mengajak kita untuk mengenal dan mengagungkan Allah Swt“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman)

Saturday, 11 October 2025

Membersihkan Jiwa dari Kesombongan yang Halus

 

 

Belajar Tawadhu dari Para Sahabat dan Kehidupan Modern

 

“Kesombongan yang halus sering bersembunyi di balik amal yang tampak ikhlas. Membersihkannya adalah kunci agar hati tetap hidup dan amal tetap murni.”

Renungan Islami tentang cara membersihkan hati dari kesombongan halus, disertai teladan para sahabat, dalil Al-Qur’an dan hadits, serta penerapan di kehidupan modern.

 

Kesombongan yang Tak Terlihat, Tapi Berbahaya

 

Kesombongan tidak selalu muncul dalam bentuk yang mencolok. Ia tidak selalu tampak dari ucapan yang tinggi hati atau sikap yang merendahkan orang lain. Kadang, kesombongan justru bersembunyi di balik kebaikan—dalam hati yang merasa lebih beriman, lebih ikhlas, atau lebih paham daripada sesama.

 

Kesombongan jenis ini sering tak disadari karena halus dan samar, namun dampaknya besar: ia bisa menghapus nilai keikhlasan. Rasulullah bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji zarrah.”(HR. Muslim)

Hadis ini memperingatkan bahwa sekecil apa pun rasa ingin diakui atau merasa paling benar, bisa menjadi penghalang bagi masuknya rahmat Allah.

 

Teladan Kerendahan Hati dari Para Sahabat

 

Para sahabat Nabi memberikan contoh nyata bagaimana seorang mukmin menjaga hatinya dari kesombongan. Umar bin Khattab r.a., seorang khalifah yang disegani, dikenal sangat tawadhu’. Ia sering memanggul sendiri karung gandum untuk rakyat miskin. Ketika ditegur, beliau menjawab, “Aku takut jika di hari kiamat nanti Allah bertanya tentang rakyatku, dan aku tidak punya jawaban.”

 

Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., sahabat yang dijamin surga, juga pernah berkata, “Aku berharap menjadi sehelai rambut di kepala seorang mukmin.” Begitu dalam rasa rendah hatinya, karena ia sadar kemuliaan sejati hanya milik Allah.

 

Allah pun menegaskan dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong, dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]:18)

 

Kesombongan Halus di Zaman Modern


Kesombongan di masa kini sering muncul dalam bentuk yang lebih lembut, namun tetap berbahaya.

Ada yang merasa lebih baik karena lebih sering hadir di majelis ilmu, lebih aktif berdakwah, atau lebih disiplin beribadah. Ada pula yang merasa lebih “ikhlas” dari yang lain, hingga menilai rendah sesama yang belum sejalan.

Di dunia kerja, kesombongan bisa muncul dari rasa bangga atas jabatan tinggi. Seseorang lupa bahwa keberhasilan tim tidak lepas dari peran-peran orang lain yang mungkin jarang terlihat.

 

Di media sosial, kesombongan bisa menyusup di balik unggahan dakwah atau kebaikan, ketika niat mulai bergeser demi pujian dan pengakuan.

Padahal Allah berfirman: “Dan kamu tidak berkehendak (melakukan sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir [81]:29)

 

Kesadaran ini menumbuhkan kerendahan hati sejati. Saat berhasil, seorang mukmin berkata, “Alhamdulillah, Allah yang memampukan aku.” Saat gagal, ia tetap tenang karena yakin, “Inilah ketetapan terbaik dari-Nya.”

 

Rendah Hati, Tanda Kekuatan Jiwa


Rendah hati bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan jiwa yang sesungguhnya. Rasulullah bersabda:

“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

Orang yang tawadhu’ tidak sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Ia sibuk memperbaiki dirinya dan bersyukur atas karunia yang Allah beri. Saat melihat kebaikan orang lain, ia gembira karena tahu itu juga tanda kebesaran Allah. Saat melihat kekurangan orang lain, ia berdoa agar Allah menutupi aibnya sendiri.

 

Maka, ketika muncul rasa “lebih baik” dari seseorang, ingatlah: bisa jadi ia lebih mulia di sisi Allah karena amal yang tidak kita lihat. Jiwa yang bersih bukan berarti rendah diri, tapi tahu siapa yang paling tinggi—yaitu Allah semata.

 

Renungan Penutup

 

Membersihkan jiwa dari kesombongan adalah perjalanan seumur hidup. Ia dimulai dari kejujuran hati untuk mengakui bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan. Semakin kita mengenal kebesaran Allah, semakin kecil diri ini terasa, dan semakin luas pula kasih kita kepada sesama.

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa [4]:36)

Semoga Allah menjadikan hati kita lembut, lapang, dan bersih dari kesombongan yang halus, agar setiap amal diterima dan setiap langkah diridhai-Nya. Wallahu a‘lam.

Saturday, 4 October 2025

Inilah Rahasia Bahagia Sesuai Takdir Allah



”Allah Menciptakanmu Sempurna Sesuai kehendak-Nya. Hargai Dirimu, Syukuri Hidupmu.”

 

Seringkali hati kita terasa gelisah ketika melihat orang lain tampak lebih berhasil, lebih sejahtera, atau lebih bahagia daripada diri kita. Seakan hidup ini tidak adil, dan kita merasa tertinggal jauh di belakang. Padahal, hakikatnya setiap manusia memiliki jalan hidup dan takdir yang berbeda. Membandingkan diri dengan orang lain hanya akan melahirkan rasa iri yang merusak ketenangan hati.

 

Islam mengajarkan kita untuk tidak terjebak pada bayangan kebahagiaan orang lain. Sebab, apa yang tampak indah di luar belum tentu bebas dari ujian di dalamnya. Ada yang diuji dengan kekayaan, ada yang diuji dengan kesempitan hidup, ada pula yang diuji dengan kesehatan atau keluarganya. Kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang sedang mereka hadapi. Maka, alangkah bijaknya jika kita berhenti mengukur hidup dengan kacamata orang lain, dan mulai mensyukuri nikmat yang Allah titipkan kepada kita.

 

Ketika hati dipenuhi rasa syukur, hidup menjadi lebih ringan. Tidak ada lagi beban iri, tidak ada lagi rasa rendah diri. Sebab kita yakin, setiap rezeki telah diatur dengan penuh keadilan oleh Allah. Kebahagiaan sejati bukanlah pada banyaknya harta, tingginya jabatan, atau gemerlap dunia, melainkan pada hati yang ridha dan ikhlas menerima takdir Allah. Inilah makna sejati dari sabda Rasulullah bahwa “Kekayaan itu bukanlah karena banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati.”

 

Al-Qur’an pun menegaskan betapa unik dan berharganya penciptaan setiap manusia. Dalam surah Al-Infithar ayat 7–8, Allah berfirman:

"Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun (tubuh)-mu."

 

Ayat ini mengingatkan kita bahwa Allah menciptakan manusia melalui berbagai tahap hingga menjadi bentuk yang sempurna dan seimbang. Tidak ada satu pun manusia yang benar-benar sama dengan yang lain. Setiap perbedaan rupa, perjalanan, bahkan ujian hidup adalah bagian dari kehendak Allah Swt yang penuh hikmah.

 

Pesan penting dari ayat ini adalah bukti kekuasaan Allah Swt dalam menciptakan keragaman. Kita diajak untuk bersyukur atas anugerah penciptaan yang sempurna, bukan untuk mendurhakai-Nya. Kita pun diperintahkan untuk menghargai perbedaan antar sesama manusia, karena itu semua adalah bagian dari rencana Allah Swt yang agung.

 

Maka, janganlah habiskan waktu untuk membandingkan diri dengan orang lain. Sebaliknya, gunakanlah energi untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan meningkatkan ketakwaan. Bersyukurlah atas nikmat yang ada, karena dengan syukur hati akan tenang, hidup akan lapang, dan jalan menuju ridha Allah akan terbuka luas.

 

Kesimpulan

 

Hidup ini bukan tentang siapa yang lebih cepat, lebih kaya, atau lebih bahagia di mata manusia. Hidup adalah perjalanan unik yang Allah Swt rancang khusus bagi setiap hamba-Nya, lengkap dengan ujian, nikmat, dan hikmah yang tersimpan di dalamnya. Membandingkan diri hanya akan melemahkan iman dan merusak hati, sementara syukur dan ridha akan menenangkan jiwa serta mendekatkan kita kepada Allah.

 

Maka, mari kita jadikan setiap langkah hidup sebagai jalan untuk memperkuat iman, memperbanyak syukur, dan meningkatkan ketakwaan. Jangan sibuk mengukur nikmat orang lain, tapi sibuklah memperbaiki diri agar lebih dekat dengan Allah Swt. Karena sejatinya, kebahagiaan tertinggi bukanlah yang terlihat di dunia, melainkan ketika Allah ridha dan menyiapkan surga bagi hamba yang sabar dan bersyukur.

Friday, 26 September 2025

Manusia, Debu Bintang, dan Tanda Kebesaran Allah

 



Ilmu pengetahuan modern mengungkap bahwa tubuh manusia tersusun dari sekitar 7 oktilion atom. Hidrogen dalam tubuh kita berasal dari awal penciptaan alam semesta (Big Bang), sedangkan unsur penting lain—seperti karbon, oksigen, nitrogen, hingga besi—terbentuk di dalam bintang dan tersebar melalui supernova miliaran tahun lalu. Artinya, Allah telah menyiapkan unsur kehidupan jauh sebelum penciptaan manusia.

 

Al-Qur’an menegaskan: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (berasal) dari tanah.” (QS. Al-Mu’minun: 12).

Tanah yang dimaksud bukan sekadar debu bumi, tetapi seluruh unsur kosmik yang telah Allah takdirkan ada dalam jagat raya. Rasulullah SAW juga bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam tanah yang diambil dari seluruh bumi...” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).

 

Ilmu sains menyebut manusia sebagai “stardust”, sedangkan Islam sejak lama menjelaskan bahwa kita berasal dari tanah—unsur alam semesta itu sendiri. Maka, fakta ilmiah ini justru menjadi tanda kebesaran Allah, sebagaimana firman-Nya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar...” (QS. Fussilat: 53).

 

Kesadaran ini seharusnya menumbuhkan rasa syukur dan kerendahan hati. Kita bukan sekadar makhluk biologis, tetapi bagian dari kisah besar penciptaan Allah. Maka, sebagaimana kita tercipta dari debu bintang, hendaknya umat Islam menjadikan ilmu ini sebagai pengingat untuk semakin meningkatkan iman dan takwa melalui ibadah yang khusyuk dan amal saleh yang nyata, sebagai bekal menghadap Allah Swt di negeri akhirat kelak.

Monday, 22 September 2025

Kesabaran Ayah Mengubah Autisme Jadi Prestasi


 

Mendampingi anak yang didiagnosis autisme adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh tantangan, ujian, dan air mata. Namun di balik kesulitan itu, tersimpan juga harapan dan hikmah yang luar biasa. Seorang ayah di Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, membuktikan bahwa dengan cinta, ketekunan, dan kesabaran, segala keterbatasan bisa berubah menjadi kekuatan.

 

Dialah Hariyanto (64), seorang ayah yang tak pernah menyerah pada keadaan. Anak keduanya, Lutfan Haidi (27), dulu divonis memiliki IQ rendah, bahkan dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Namun, berkat pendampingan penuh kasih sayang dari sang ayah, kini Lutfan tumbuh menjadi individu mandiri dan berhasil meniti karier di dunia kerja. Sebuah bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan pintu menuju keajaiban Allah bagi hamba-hamba-Nya yang sabar. Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

 

Perjuangan Sehari-hari Sang Ayah

 

Hari-hari Hariyanto dulu bukanlah hal yang mudah. Ketika anak lain bisa dengan cepat memahami pelajaran sekolah, Lutfan membutuhkan waktu berkali-kali lipat lebih lama. Hariyanto dengan sabar mendampingi anaknya belajar membaca huruf demi huruf, angka demi angka, meskipun harus diulang-ulang tanpa henti. Saat emosi anaknya meledak karena merasa frustasi, ia merangkul dan menenangkan, bukan memarahinya.

 

Di rumah, ia melatih Lutfan untuk mandiri dengan cara sederhana: membiasakan membereskan tempat tidur, membantu menyapu halaman, hingga menyiapkan kebutuhan pribadinya. Tugas-tugas kecil itu melatih disiplin sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri. Hariyanto percaya, kemandirian harus dimulai dari hal-hal yang tampak sepele.

 

Tak hanya itu, ia juga berusaha mengarahkan anaknya menemukan bakat dan minat. Melihat Lutfan memiliki ketelitian dalam bekerja manual, ia terus mendukungnya hingga sang anak mampu bekerja dengan baik di dunia nyata. Perjalanan ini panjang, penuh peluh dan doa, namun akhirnya berbuah manis.

 

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa diuji dengan sesuatu dari anak-anaknya, lalu ia bersabar, maka anak itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini seolah menjadi peneguh hati bagi Hariyanto. Ia yakin setiap tetes kesabarannya tidak akan sia-sia di hadapan Allah.

 

Hikmah bagi Orang Tua

 

Perjuangan ini memberi pesan penting bagi para orang tua yang memiliki anak dengan kondisi serupa. Jangan pernah merasa kalah sebelum berjuang. Ingatlah firman Allah: “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” (QS. Yusuf: 87)

 

Setiap anak adalah amanah dan titipan Allah. Mungkin mereka hadir dengan cara yang berbeda, dengan tantangan yang unik, tetapi selalu ada hikmah besar di baliknya. Ketekunan, doa, dan cinta tanpa syarat dari orang tua mampu menumbuhkan kekuatan luar biasa pada anak-anak tersebut.

 

Hariyanto telah menunjukkan bahwa dengan iman, kesabaran, dan kasih sayang, anak dengan autisme pun bisa meraih kesuksesan.  Kini, anak yang dulu didiagnosis autisme dan IQ rendah bekerja sebagai content moderator di perusahaan raksasa teknologi, bernama ByteDance, induk perusahaan TikTok.

 

Pesan buat orang tua

 

Bagi setiap orang tua, janganlah memandang anak dengan autisme atau keterbatasan lain sebagai beban, melainkan sebagai jalan menuju surga. Kesabaran dalam mendidik, keikhlasan dalam merawat, dan ketulusan dalam mencintai mereka adalah amal jariyah yang nilainya tak ternilai di sisi Allah. Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, lalu ia bersabar, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya sebagaimana daun berguguran dari pohonnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Maka, mari kita hadapi setiap ujian dengan hati yang lapang. Jadikan perjuangan bersama anak-anak istimewa ini sebagai ladang pahala yang mengalir tanpa henti. Sebab bisa jadi, merekalah tiket kita menuju ridha Allah dan surga-Nya yang abadi.

 

SUMBER:

Kisah Inspiratif dari MAS24: Perjuangan Seorang Ayah Dampingi Anak dengan Autisme hingga Sukses di Dunia Kerja. Tugu Jatim. https://tugujatim.id/kisah-inspiratif-dari-mas24-perjuangan-seorang-ayah-dampingi-anak-dengan-autisme-hingga-sukses-di-dunia-kerja/


Saturday, 20 September 2025

Al-Hamid: Mengapa Pujian Hanya Milik Allah



Saudara sekalian, salah satu dari Asmaul Husna adalah Al-Hamid, yang artinya Maha Terpuji. Allah disebut Al-Hamid karena Dialah satu-satunya yang sempurna secara mutlak, tanpa kekurangan sedikit pun, baik pada zat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya, maupun ciptaan-Nya. Kesempurnaan itulah yang membuat Allah layak dipuji dalam segala hal.

 

Berbeda dengan manusia, kita tidak sempurna. Kita punya banyak keterbatasan dan kekurangan. Karena itulah manusia disebut fakir, lemah, dan selalu bergantung kepada Allah. Bahkan manusia yang paling mulia sekalipun tetap tidak bisa menyamai kesempurnaan Allah. Namun, di antara manusia, kesempurnaan sifat paling banyak terkumpul pada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliaulah manusia terpuji yang akidahnya, akhlaknya, tutur katanya, dan perbuatannya sempurna.

 

Para sahabat Nabi memiliki sifat-sifat yang menonjol, meski tidak semuanya terkumpul dalam diri masing-masing. Umar bin Khattab, misalnya, dikenal dengan ketegasannya, sementara sahabat lain unggul dalam kelembutan. Tetapi seluruh sifat mulia itu terkumpul hanya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

 

Makna Al-Hamid

 

Secara bahasa, Al-Hamid berarti Yang Maha Terpuji. Allah terpuji dalam zat-Nya, sifat-Nya, dan segala perbuatan-Nya. Segala pujian yang ada di dunia pada hakikatnya kembali kepada Allah. Jika ada seseorang dipuji karena kelebihannya, sesungguhnya yang dipuji adalah Allah yang telah menganugerahkan kelebihan itu. Bahkan ketika orang memuji ciptaan, keindahan alam, atau kebaikan sesama, semuanya tetap bersumber dari Allah.

 

Karena itu, Saudara sekalian, kita tidak boleh mengaitkan keburukan kepada Allah. Segala yang datang dari-Nya adalah baik dan terpuji, meskipun terkadang kita tidak menyukainya. Kalau kita mengalami ujian atau penderitaan, itu bukan bukti bahwa Allah tidak adil, melainkan bagian dari kasih sayang dan hikmah-Nya.

 

Pujian Bukan Milik Kita

 

Pujian yang kita terima sebenarnya bukan milik kita. Kelebihan yang ada pada diri kita hanyalah titipan Allah. Betapa mudahnya Allah mencabut pujian itu. Seseorang yang dipuji karena suaranya bisa tiba-tiba kehilangan suara. Seorang yang dipuji karena kepandaiannya bisa hilang ingatannya hanya karena sedikit gangguan pada otak. Bahkan satu organ saja, seperti ginjal atau jantung, bila bermasalah, sudah cukup membuat manusia tak berdaya.

 

Lebih banyak mana antara kelebihan dan kekurangan kita? Tentu lebih banyak kekurangannya. Namun Allah menutupi aib dan kelemahan kita, lalu menampakkan satu-dua kelebihan sehingga orang lain bisa menghargai kita. Maka sesungguhnya yang dipuji itu bukan kita, melainkan Allah yang menutupi kekurangan kita.

 

Nikmat Allah Tak Terhitung

 

Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 53: “Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” Semua nikmat yang kita nikmati, baik besar maupun kecil, semuanya bersumber dari Allah. Bahkan nikmat yang paling sederhana seperti bisa bernapas, minum air, atau melihat dengan mata, adalah anugerah yang tak ternilai.

 

Nikmat Allah begitu banyak sampai tak mungkin dihitung. Dalam surat An-Nahl ayat 18 disebutkan: “Jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.” Aneh sekali jika nikmat Allah tak terhitung, tetapi manusia masih sering merasa sulit untuk bahagia. Ini karena kita lebih sering mengingat kesulitan daripada mensyukuri nikmat.

 

Syukur dan Alhamdulillah

 

Saudara sekalian, ada perbedaan antara syukur dan hamd (pujian). Syukur diucapkan ketika kita menerima nikmat. Misalnya, ketika seseorang memberi sesuatu, kita berkata, syukran. Namun Alhamdulillah diucapkan bukan hanya ketika menerima nikmat, tetapi juga ketika mendapat musibah. Karena kita yakin semua perbuatan Allah baik, meski kadang tidak sesuai dengan keinginan kita.

 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan, ketika mendapat nikmat yang diharapkan, beliau membaca: “Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush-shalihat.” Dan ketika mendapat musibah, beliau tetap mengucapkan: “Alhamdulillahi ‘ala kulli hal.”

 

Tingkatan Orang dalam Mengucap Alhamdulillah

 

Ada tiga tingkatan manusia dalam memuji Allah dengan ucapan Alhamdulillah:

1.     Orang awam, yang memuji Allah ketika mendapat nikmat jasmani, seperti harta, makanan, atau kesehatan.

2.     Orang khawas (istimewa), yang memuji Allah karena nikmat rohani, seperti bisa shalat, membaca Al-Qur’an, atau menunaikan haji.

3.     Orang khawasul-khawas (istimewa di atas istimewa), yang memuji Allah bukan karena nikmat, tetapi semata-mata karena Allah memang layak dipuji. Inilah derajat tertinggi dalam memuji Allah.

 

Pembelajaran akhir

 

Saudara sekalian yang dimuliakan Allah, Al-Hamid berarti Allah-lah satu-satunya yang Maha Terpuji. Semua nikmat berasal dari-Nya, semua kebaikan bersumber dari-Nya, dan semua pujian kembali kepada-Nya. Maka jadilah hamba yang terpuji dengan meluruskan akidah, memperbaiki akhlak, menjaga tutur kata, serta tidak menyandarkan keburukan kepada Allah.

 

Ingatlah empat hal penting tentang nikmat:

1.     Nikmat Allah tidak bisa dihitung.

2.     Nikmat Allah tidak bisa dideskripsikan secara penuh.

3.     Nikmat sampai kepada kita bukan karena kita baik, tetapi karena Allah Maha Baik.

4.     Kita sering kurang mensyukurinya.

 

Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang bersyukur, sabar, dan selalu mengucapkan Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin dalam setiap keadaan.

Friday, 19 September 2025

Rahasia Kaya: Bukan Gaji, Tapi Mindset

 

 

Pernahkah kamu melihat ada orang yang gajinya biasa saja, tapi hidupnya tenang, tagihan lancar, dan masih bisa liburan? Sementara ada juga yang penghasilannya dua kali lipat lebih besar, tapi selalu pusing setiap akhir bulan. Logikanya, makin besar pemasukan harusnya makin aman. Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Di sinilah pelajarannya: bukan soal seberapa banyak uang yang dimiliki, melainkan bagaimana cara kita memperlakukan uang.


Allah ﷻ sudah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

Sesungguhnya orang-orang yang memboroskan (harta), mereka itu adalah saudara-saudara setan. Dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 27)

Ayat ini menegaskan, sebesar apa pun gaji yang kita dapatkan, kalau cara mengelolanya salah, maka akan habis begitu saja.

 

Bagi kebanyakan orang, uang ibarat air dalam ember bocor: baru masuk lewat gaji, langsung habis untuk bayar listrik, sewa, cicilan, jajan, dan kebutuhan lainnya. Belum separuh bulan, saldo sudah menipis. Sebaliknya, orang yang berhasil membangun kekayaan memperlakukan uang seperti tanaman. Mereka bukan hanya memikirkan kebutuhan hari ini, tapi juga bagaimana uang itu bisa tumbuh dan kembali dalam jumlah lebih besar.

 

Rasulullah bersabda:

Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara, (salah satunya) tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi, no. 2417)

Hadits ini menunjukkan pentingnya kesadaran terhadap arus masuk dan keluar harta, bukan sekadar banyaknya penghasilan.

 

Contoh sederhana, ketika mendapat bonus, hadiah atau gaji ke 14, kebanyakan orang langsung berpikir: “Enaknya beli apa ya?” Sedangkan orang kaya berpikir: “Bagaimana caranya uang ini bisa menghasilkan uang lagi buat saya?” Itu bukan berarti mereka pelit atau tidak menikmati hidup. Mereka sadar, uang sebaiknya diberdayakan, bukan sekadar dihabiskan.

 

Kebiasaan ini pernah diteladankan oleh Sahabat Rasulullah , Utsman bin ‘Affan radhiyallahu‘anhu. Beliau adalah seorang pedagang sukses yang hartanya melimpah. Namun, Utsman tidak sekadar menimbun kekayaan. Ia menggunakan hartanya untuk kebaikan, seperti membeli sumur Raumah untuk kaum Muslimin dan membiayai persiapan pasukan dalam perang Tabuk. Hartanya bertambah berkah justru karena diperlakukan dengan bijak dan penuh kebermanfaatan.

 

Yang menarik, banyak orang kaya dulunya hidup biasa saja. Mereka bukan pewaris harta atau anak konglomerat. Mereka membangun kekayaan dari nol dengan disiplin, keputusan kecil yang konsisten, dan pola pikir yang benar. Prinsip mereka sederhana: kalau belum bisa mengelola uang sedikit, jangan harap bisa mengelola uang besar.

 

Salah satu kebiasaan penting mereka adalah sadar ke mana uang mengalir. Bukan berarti pelit, tapi mereka selalu mempertimbangkan konsekuensi setiap pengeluaran. Misalnya, membeli rokok Rp30.000 setiap hari mungkin terlihat sepele. Namun kalau dikalikan sebulan, jumlahnya Rp900.000. Uang itu bisa dialihkan untuk tabungan atau investasi.


Rasulullah bersabda:

Barangsiapa merasa cukup dengan yang halal, Allah akan mencukupkannya. Barangsiapa menjaga diri dari meminta-minta, Allah akan menjaganya. Dan barangsiapa bersabar, Allah akan memberinya kesabaran. Tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mengajarkan pengendalian diri dan kesabaran dalam membelanjakan harta—inti dari mindset keuangan yang sehat.

 

Selain itu, orang kaya pandai menunda kesenangan. Mereka tidak buru-buru beli mobil dengan cara berutang. Mereka lebih memilih menumbuhkan uang lewat investasi. Jika hasilnya sudah cukup, barulah mereka membeli mobil dengan tenang tanpa cicilan.

 

Pada akhirnya, semua berawal dari langkah kecil. Mulailah dengan mencatat pengeluaran, membedakan kebutuhan dan keinginan, serta menunda satu kesenangan kecil untuk dialihkan ke tabungan. Tanyakan pada diri sendiri sebelum membeli sesuatu: “Apakah ini benar-benar saya butuhkan, atau hanya ingin terlihat keren?”

 

Kesimpulan

Menjadi kaya bukan soal besarnya gaji, tetapi bagaimana cara kamu memperlakukan uang. Al-Qur’an dan Hadits telah mengajarkan untuk menjauhi pemborosan, hidup sederhana, dan memastikan harta digunakan pada jalan yang bermanfaat. Teladan sahabat seperti Utsman bin ‘Affan menunjukkan bahwa kekayaan sejati datang dari cara mengelola harta dengan bijak dan penuh keberkahan.

 

Mulailah dari langkah kecil: catat pengeluaran, bedakan kebutuhan dan keinginan, serta biasakan menunda kesenangan kecil untuk ditabung atau diinvestasikan. Itulah kunci perubahan. Jika kamu mempraktikkannya secara konsisten, insya Allah rezeki yang sedikit bisa menjadi berkah, dan rezeki yang banyak bisa menjadi jalan menuju kebebasan finansial sekaligus keberkahan hidup.

Sunday, 14 September 2025

Kunci Utama Hidup Sukses Dunia Akhirat




Setiap manusia mendambakan hidup yang sukses. Ada yang mengejarnya dengan harta, jabatan, atau kedudukan. Namun, Islam mengajarkan bahwa kesuksesan sejati tidak berhenti di dunia, melainkan berlanjut hingga akhirat. Hidup yang benar-benar sukses adalah hidup yang selamat dengan iman di dunia dan mulia dengan ridha Allah di akhirat. Allah menegaskan: “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia akan mendapatkan kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab [33]: 71). Karena itu, seorang muslim harus memiliki pedoman hidup yang jelas, agar setiap langkahnya bernilai ibadah dan menjadi bekal untuk perjalanan panjang setelah kematian.

 

Awal Renungan


Setiap manusia mendambakan kesuksesan. Namun, hakikat sukses dalam pandangan Islam bukan sekadar memiliki harta, jabatan, atau kedudukan, tetapi bagaimana seseorang selamat di dunia dengan keimanan dan amal sholeh, serta mulia di akhirat dengan ridha Allah. Allah berfirman:

"Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia akan mendapatkan kemenangan yang besar." (QS. Al-Ahzab [33]: 71)

Ayat ini menunjukkan bahwa kesuksesan sejati hanya bisa diraih dengan ketaatan. Oleh karena itu, seorang muslim memerlukan pedoman hidup yang jelas agar setiap langkahnya bernilai ibadah. Rasulullah bersabda:

“Orang yang cerdas adalah yang mampu menundukkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati, sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya lalu berangan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)



A. Selalu Mengingat Dua Hal


1. Ingat Allah


Hidup seorang mukmin tidak akan tenang tanpa mengingat Allah. Dzikir, doa, dan tadabbur menjadi penyejuk hati. Allah ﷻ berfirman:

"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang." (QS. Ar-Ra’d [13]: 28)

Mengenal Allah melalui Asmaul Husna menjadi kunci penguatan iman. Dari 99 nama Allah, ada 20 nama yang banyak digunakan para ulama untuk menggambarkan sifat utama Allah seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Adl (Maha Adil), Al-Hakim (Maha Bijaksana), Al-Qadir (Maha Kuasa), dan lain-lain. Dengan mengenal sifat-sifat-Nya, seorang mukmin lebih tunduk, sabar, dan tawakal.

Kisah sahabat Umar bin Khattab ra. menggambarkan hal ini. Beliau selalu bergetar hatinya saat mendengar ayat-ayat Allah. Bahkan, ketika membaca ayat tentang azab, Umar jatuh pingsan karena rasa takutnya yang mendalam kepada Allah. Inilah bukti hati yang hidup karena senantiasa mengingat Allah.


2. Ingat Kematian


Kematian adalah kepastian. Rasulullah bersabda:

“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan (kematian).” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i)

Mengingat kematian membuat seorang muslim selalu berhati-hati, tidak menunda amal, dan selalu memperbanyak kebaikan.

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Wahai anak Adam, engkau hanyalah kumpulan hari. Jika satu hari berlalu, maka berkuranglah sebagian dari dirimu.”

Kisah sahabat Utsman bin Affan ra. juga menjadi teladan. Beliau menangis tersedu-sedu setiap kali berada di kuburan. Ketika ditanya mengapa beliau lebih menangis di kuburan daripada ketika mengingat surga dan neraka, beliau menjawab: “Karena kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat di kubur, maka setelahnya akan lebih mudah. Tetapi jika ia binasa di kubur, maka setelahnya akan lebih berat baginya.”



B. Selalu Melakukan Dua Hal


1. Melupakan Kebaikan Diri


Islam mengajarkan kita untuk tidak sombong atau merasa bangga dengan amal yang telah kita lakukan. 

Allah berfirman:

"Mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, (sambil berkata), 'Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya karena mengharap wajah Allah; kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula (ucapan) terima kasih." (QS. Al-Insan [76]: 8–9)

Rasulullah juga bersabda:

“Tiga perkara yang membinasakan: kekikiran yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang merasa dirinya paling benar (ujub).” (HR. Thabrani)

Kisah sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. menjadi teladan. Beliau adalah orang yang sangat dermawan, membebaskan budak, memberi infak tanpa pamrih, namun tetap rendah hati seolah-olah belum berbuat apa-apa.


2. Melupakan Keburukan Orang Lain


Seorang muslim dituntut untuk mudah memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Allah berfirman:

"Dan balasan kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Tetapi jika seseorang memaafkan dan memperbaiki (hubungan), maka pahalanya ada di sisi Allah." (QS. Asy-Syura [42]: 40)

Rasulullah adalah teladan terbaik dalam hal pemaaf. Ketika penduduk Thaif menolak dakwah dengan melempari beliau hingga berdarah, Rasulullah tidak mendoakan keburukan, tetapi justru berdoa: “Ya Allah, berilah hidayah kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Imam Syafi’i rahimahullah juga pernah dihina oleh seseorang. Namun beliau hanya tersenyum seraya berkata: “Jika benar yang engkau katakan, semoga Allah mengampuniku. Jika salah, semoga Allah mengampunimu.”



Simpulan Hikmah


Kesuksesan sejati dalam Islam bukan diukur dari banyaknya harta atau tinggi jabatan, melainkan dari hati yang selalu ingat Allah, sadar akan kematian, ikhlas melupakan kebaikan diri, dan lapang dada melupakan keburukan orang lain.

Marilah kita mulai mengamalkan empat prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari, agar hidup kita penuh keberkahan dan berakhir dengan husnul khatimah.

Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk istiqamah hingga akhir hayat.

“Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umur kami di ujungnya, sebaik-baik amal kami di penutupnya, dan sebaik-baik hari kami adalah hari ketika kami berjumpa dengan-Mu.”