Ilustrasi Peta Jalan Usulan Si Begawan.
Menjelang
peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, mari kita merenung
sejenak bersama Si Begawan, tokoh imajiner yang dalam perjalanan kereta bandara
ke Jakarta membaca berita tentang target ambisius: Indonesia Emas 2045.
Di layar ponselnya terpampang janji megah: GDP per kapita USD 30.000, pertumbuhan
ekonomi rata-rata 5,7% per tahun, dan status sebagai negara maju.
Tapi alih-alih bangga, Begawan justru tersenyum getir. Ia baru kembali dari
perjalanan panjang: dari Vietnam yang produktif, Korea yang inovatif, Tiongkok
yang terstruktur, dan diskusi mendalam di Harvard. Ia tahu: antara target dan
kenyataan, terbentang jurang yang dalam.
Target 5,7%: Antara Harapan dan Aritmatika
Mari kita jujur—target pertumbuhan ekonomi 5,7% selama dua dekade
bukanlah perkara mudah. Saat ini, GDP per kapita Indonesia baru sekitar USD
4.700 (data World Bank, 2023). Artinya, butuh lompatan ekonomi yang
konsisten selama 20 tahun, lebih tinggi dari rerata Vietnam (5,5%) dan hampir
setara dengan pertumbuhan Tiongkok selama masa keemasannya (2000–2020).
Yang
membuatnya makin berat adalah kenyataan bahwa negara-negara yang berhasil
tumbuh cepat bukan hanya bekerja keras, mereka melakukan transformasi
struktural. Korea Selatan melompat dari tekstil
ke semikonduktor. Tiongkok naik kelas dari pertanian ke manufaktur dan kini ke
teknologi tinggi. Vietnam perlahan meninggalkan dominasi pertanian dan masuk ke
peta global elektronik.
"Sedangkan kita?" tanya Begawan sambil menatap hamparan sawit
yang tak berubah dari 30 tahun lalu. "Masih berharap dari tambang dan
ladang."
Kompleksitas
Ekonomi: Kunci yang Terlupakan
Satu hal yang
membedakan negara maju dari negara berkembang adalah kompleksitas ekonominya.
Menurut Economic Complexity Index (ECI) yang dikembangkan oleh Prof.
Ricardo Hausmann dari Harvard, Indonesia hanya mencetak ECI -0,41 (2022).
Bandingkan dengan Korea (1,83), Tiongkok (1,16), atau bahkan Vietnam yang kini
sudah mendekati angka positif dan terus naik.
Negara dengan
kompleksitas rendah cenderung terjebak dalam stagnasi. Middle-income trap
mengintai ketika kita terlalu lama mengandalkan sektor berupah murah atau
ekspor bahan mentah. Tanpa diversifikasi ke produk bernilai tambah tinggi,
pertumbuhan akan melambat seiring waktu.
Waktu Semakin
Mepet
Dua puluh
tahun memang terdengar lama. Tapi dalam transformasi ekonomi, itu adalah waktu
yang sempit. Korea butuh lebih dari 30 tahun untuk menjadi negara maju.
Tiongkok sudah berproses lebih dari 40 tahun dan belum sepenuhnya sampai.
Vietnam pun baru dalam tahap lepas landas.
Indonesia tak
punya kemewahan waktu. Bonus demografi kita akan mencapai puncak pada
2030-an dan mulai menurun setelah itu. Jika kita gagal
memanfaatkannya, kita bisa kehilangan momentum emas yang tidak akan datang dua
kali.
Jalan Terjal
Menuju Diversifikasi
Transformasi
struktural bukan hanya soal niat, tetapi soal kemampuan. Untuk masuk ke
industri semikonduktor, kita butuh SDM teknis yang unggul, riset yang kokoh,
ekosistem industri yang lengkap. Untuk jadi pemain digital global, kita butuh talenta
IT kelas dunia, regulasi pro-pertumbuhan, dan investasi
besar-besaran di infrastruktur digital.
Sayangnya,
Indonesia belum sampai ke sana. Bahkan untuk mengembangkan hilirisasi sawit
secara optimal saja kita masih terseok-seok, apalagi melompat ke sektor yang
lebih kompleks.
Vietnam:
Cermin dan Cambuk
Vietnam bisa
menjadi cermin sekaligus cambuk. Negara yang pada 1990-an dianggap jauh
tertinggal kini mulai mengancam posisi Indonesia dalam beberapa indikator.
Mereka mengekspor elektronik bernilai miliaran dolar, menarik investasi dari
raksasa seperti Samsung dan Intel, serta berhasil menjaga pertumbuhan di atas
6% selama 15 tahun terakhir.
Keunggulan
Vietnam? Pemerintahan yang lebih disiplin, birokrasi yang stabil, dan fokus
kebijakan yang tidak dikacaukan oleh drama elektoral lima tahunan.
Skenario Menuju Indonesia Emas: Antara Mungkin dan Mustahil
Jika ingin mengejar target Indonesia Emas 2045, kita butuh peta jalan
konkret, bukan sekadar jargon politik. Begawan membayangkan transformasi dibagi ke
dalam tiga fase besar:
Fase 1
(2025–2030): Membangun Dasar
1.Revolusi
pendidikan: fokus pada sains, teknologi, dan inovasi
2.Penegakan meritokrasi dan pemberantasan
korupsi
3.Reformasi birokrasi dan pengurangan
pengaruh oligarki
Fase 2
(2030–2035): Transformasi Struktural
1.Hilirisasi industri mineral strategis
2.Ekspansi
ekonomi digital dan jasa ekspor
3.Modernisasi
pertanian menjadi berbasis teknologi dan pasar
Fase 3 (2035–2045): Inovasi dan Kepemimpinan Global
1.Ekspor
teknologi, IP, dan jasa inovatif
2.Kepemimpinan regional dalam teknologi
hijau
3.Ekonomi berbasis pengetahuan yang
terintegrasi global
Politik:
Penentu atau Penghalang?
Masalahnya,
transformasi ekonomi butuh stabilitas dan konsistensi. Tapi politik
Indonesia masih didominasi siklus pendek dan populisme. Setiap ganti
menteri, program pun ikut berganti. Visi jangka panjang sering dikorbankan demi
popularitas jangka pendek.
Vietnam dan Tiongkok berhasil karena konsistensi kebijakan. Singapura
sukses karena tata kelola jangka panjang. Indonesia? Masih berkutat dalam tarik-menarik
kepentingan elektoral.
Path
Dependency: Warisan yang Mengikat
Indonesia
sudah terlalu lama nyaman sebagai ekonomi berbasis sumber daya alam. Sistem
pendidikan, birokrasi, bahkan budaya bisnisnya terbentuk untuk mengekstraksi,
bukan mencipta. Mengubah jalur ini membutuhkan guncangan besar, seperti
yang dilakukan Korea lewat industrialisasi berat atau Tiongkok dengan pembukaan
ekonomi.
Tapi
pertanyaannya: apakah sistem demokrasi kita cukup kuat untuk menghadapi
guncangan semacam itu tanpa chaos sosial?
Pelajaran dari Brasil dan Argentina
Potensi besar bukan jaminan keberhasilan. Brasil dan Argentina adalah contoh nyata.
Kaya SDA, besar secara demografis, tetapi gagal menjadi negara maju karena
tidak membangun institusi yang tahan uji waktu. Mereka terjebak dalam
kebijakan jangka pendek, populisme fiskal, dan ketidakpastian hukum.
Indonesia bisa saja bernasib sama jika tidak segera mengubah haluan.
Kesempatan
yang Menyempit
Saat kereta
Begawan tiba di Stasiun Gambir, ia sadar satu hal: waktu kita tinggal
sedikit. Dunia sedang berubah cepat: digitalisasi, energi hijau, geopolitik
global. Yang tidak ikut bertransformasi akan tertinggal permanen.
Generasi 30–40 tahun saat ini adalah generasi terakhir yang punya energi,
pengetahuan, dan posisi untuk memimpin transformasi. Jika mereka gagal,
generasi berikutnya akan mewarisi sistem yang sudah terlalu berat untuk diubah.
Epilog:
Indonesia, Waktunya Memilih
Target Indonesia Emas 2045 bukan sekadar mimpi manis. Ia adalah ujian
kolektif: apakah kita siap membayar harga transformasi? Ataukah kita akan terus menikmati kenyamanan semu sambil perlahan
tertinggal dari negara lain?
Prof. Hausmann sudah menunjukkan peta jalan. Korea dan Tiongkok sudah
membuktikan keberhasilannya. Vietnam sudah mulai menyusul.
Sekarang giliran kita. Apakah Indonesia siap meninggalkan zona nyaman dan
menempuh jalan sulit menuju kemajuan?
"Republik ini tidak butuh pemimpin yang sempurna," tulis Begawan
di catatan terakhirnya. "Yang dibutuhkan adalah warga yang berhenti
pura-pura lupa bahwa kemajuan memerlukan pengorbanan."
Indonesia Emas 2045 bukan janji politisi. Ini adalah keputusan bangsa sekarang.