Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label pertanian berkelanjutan. Show all posts
Showing posts with label pertanian berkelanjutan. Show all posts

Saturday, 25 October 2025

Rahasia Sukses Ekspor Jahe Indonesia: Dari Kebun Lokal ke Pasar Dunia—Ternyata Ini Kuncinya!

 



1. LATAR BELAKANG

 

Jahe (Zingiber officinale Roscoe) merupakan salah satu tanaman rempah unggulan Indonesia yang memiliki segudang manfaat bagi kesehatan. Kandungan senyawa aktif seperti gingerol, shogaol, dan zingeron menjadikan jahe berkhasiat sebagai antiinflamasi, antioksidan, serta penguat daya tahan tubuh. Popularitas jahe meningkat pesat di pasar global, terutama setelah pandemi COVID-19, ketika masyarakat dunia semakin sadar pentingnya bahan alami untuk menjaga imunitas.

 

Sebagai negara tropis dengan keanekaragaman hayati melimpah, Indonesia memiliki potensi besar dalam produksi jahe. Sentra-sentra produksi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, dan Sulawesi telah lama dikenal menghasilkan jahe berkualitas tinggi dengan aroma kuat dan cita rasa khas. Didukung oleh kondisi agroklimat yang sesuai dan ketersediaan lahan yang luas, produksi jahe nasional menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun.

 

Kemajuan teknologi pertanian juga turut mendorong peningkatan produktivitas. Penerapan sistem irigasi tetes, pupuk organik, serta penggunaan mesin pengering modern telah memperpanjang umur simpan dan menjaga kualitas pascapanen. Inovasi pengolahan menjadi bubuk jahe, minyak atsiri, dan minuman herbal instan membuka peluang ekspor dengan nilai tambah lebih tinggi. Peningkatan ekspor ini tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku usaha, tetapi juga berdampak langsung pada kesejahteraan petani dan peningkatan devisa negara.

 

2. TANTANGAN EKSPOR JAHE

 

Potensi besar tersebut masih dihadapkan pada berbagai tantangan di lapangan.


Pertama, persyaratan mutu dan keamanan pangan internasional sering kali menjadi kendala. Negara-negara seperti Uni Eropa dan Jepang menerapkan standar ketat, termasuk batas residu pestisida (Maximum Residue Limit/MRL). Produk yang tidak memenuhi syarat dapat ditolak atau bahkan dimusnahkan di pelabuhan tujuan. 

 

Kedua, perbedaan regulasi fitosanitari antarnegara menuntut eksportir untuk memahami dan menyiapkan dokumen teknis secara rinci. Sertifikat fitosanitari, hasil uji laboratorium, hingga label dalam bahasa lokal merupakan dokumen penting yang harus lengkap dan sesuai. Ketidaktepatan dokumen atau keterlambatan pra-notifikasi dapat menyebabkan penundaan pengiriman serta biaya tambahan yang besar.

 

Selain itu, rantai pasok dan logistik juga masih menjadi titik lemah. Jahe segar bersifat mudah rusak, sehingga membutuhkan sistem pendingin dan kemasan ventilasi yang baik. Keterbatasan fasilitas cold chain serta tingginya biaya transportasi membuat pengiriman jarak jauh menjadi tantangan tersendiri. Di sisi lain, sebagian besar petani masih menjual hasil panen dalam bentuk segar tanpa pengolahan, sehingga nilai tambah yang diperoleh masih relatif rendah.

 

3. PELUANG EKSPOR JAHE

 

Meskipun menghadapi berbagai kendala, peluang pasar ekspor jahe Indonesia masih sangat terbuka lebar. Berdasarkan data WITS/UN Comtrade tahun 2023, beberapa negara tujuan utama ekspor jahe Indonesia.

Ini data negara importir beserta nilai impornya:

  • Pakistan, dengan nilai impor sekitar US$8,19 juta (13,88 juta kg),
  • Malaysia sekitar US$1,40 juta (4,93 juta kg),
  • Bangladesh diperkirakan US$15,3 juta menurut data agregator perdagangan,
  • Uni Eropa (termasuk Jerman) sebesar US$886 ribu, dan

  • Singapura sekitar US$503 ribu.


Permintaan tinggi ini menunjukkan bahwa jahe Indonesia diminati karena memiliki aroma kuat dan rasa pedas yang khas, sesuai selera pasar Asia Selatan dan Timur Tengah. Selain jahe segar, permintaan terhadap produk olahan bernilai tambah seperti jahe kering, bubuk, dan minyak atsiri juga meningkat pesat.

 

Khusus untuk pasar Uni Eropa dan Jepang, peluang ekspor terbuka lebar bagi produk jahe organik dan bersertifikat. Konsumen di negara maju cenderung menghargai produk yang berkelanjutan dan memiliki sistem traceability yang jelas. Oleh karena itu, Indonesia berpeluang memperkuat branding “Indonesian Ginger for Health and Sustainability” untuk memperluas pangsa pasar global.

 

4. SOLUSI BAGI PEMANGKU KEPENTINGAN, PETANI, DAN PEDAGANG

 

Untuk memaksimalkan potensi ekspor, dibutuhkan kolaborasi kuat antara pemerintah, petani, eksportir, dan lembaga pendukung. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan meliputi:

1.     Pemenuhan Persyaratan Ekspor Secara Lengkap.

Eksportir harus memastikan seluruh dokumen utama siap, seperti Phytosanitary Certificate, Certificate of Origin, hasil uji residu pestisida, dan label kemasan sesuai negara tujuan. Misalnya, Uni Eropa mewajibkan pra-notifikasi melalui sistem TRACES, sementara Jepang memerlukan deklarasi tambahan pada sertifikat fitosanitari.

 

2.     Peningkatan Kapasitas Petani dan Standarisasi Mutu.

Pelatihan Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Handling Practices (GHP) perlu diperluas agar mutu jahe sesuai standar ekspor. Pembentukan koperasi petani juga penting untuk memperkuat posisi tawar, memperbesar volume penjualan, dan menjaga konsistensi pasokan.

 

3.     Pengembangan Produk Olahan dan Diversifikasi Pasar.

Pengolahan jahe menjadi bubuk, ekstrak, atau minuman siap saji dapat meningkatkan nilai tambah hingga lima kali lipat. Pemerintah dan pelaku usaha dapat memanfaatkan pameran internasional dan platform digital untuk memperluas pasar ekspor produk olahan.

 

4.     Peningkatan Fasilitas Logistik dan Akses Pembiayaan.

Diperlukan dukungan infrastruktur logistik seperti cold storage, gudang berpendingin, serta kemudahan akses pembiayaan ekspor berbunga rendah. Lembaga seperti LPEI (Eximbank) dapat membantu pembiayaan bagi pelaku UKM hortikultura.

 

5.     Pemanfaatan Perjanjian Dagang dan Diplomasi Ekspor.

Indonesia telah menjalin perjanjian dagang dengan beberapa negara, seperti Malaysia dan Pakistan, yang memberi fasilitas tarif preferensial. Pemerintah dapat memperkuat diplomasi ekonomi untuk membuka akses pasar baru di Timur Tengah, Eropa Timur, dan Amerika Serikat.

 

5. KESIMPULAN

 

Jahe Indonesia memiliki keunggulan komparatif dari sisi kualitas, aroma, dan ketersediaan bahan baku. Namun, agar dapat bersaing di pasar global, dibutuhkan peningkatan mutu, kepatuhan terhadap standar internasional, serta penguatan rantai pasok dari hulu ke hilir.

 

Melalui sinergi antara petani, eksportir, pemerintah, dan lembaga pendukung, ekspor jahe Indonesia dapat meningkat signifikan. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga memperkuat devisa negara dan mengangkat citra Indonesia sebagai produsen rempah berkualitas dunia.

 

DAFTAR SUMBER DATA


• World Integrated Trade Solution (WITS/UN Comtrade, 2023)

• Tridge Market Report (2024)

• OEC – The Observatory of Economic Complexity (2023)

• Kementerian Pertanian RI / Badan Karantina Pertanian

• DOA Malaysia, Plant Protection Pakistan, APHIS-USA, MAFF Japan

• CBI (Centre for the Promotion of Imports from Developing Countries)


#EksporJahe 

#JaheIndonesia 

#PasarGlobal 

#RempahNusantara 

#ProdukHortikultura

Tuesday, 30 September 2025

Krisis Iklim Ancam Perut Bangsa! Begini Kondisi Ketahanan Pangan Indonesia Saat Ini

 



Ulasan Krisis Iklim dan Ketahanan Pangan Nasional


ABSTRAK


Krisis iklim telah menjadi ancaman nyata terhadap fondasi ketahanan pangan Indonesia. Sebagai negara kepulauan tropis yang kaya sumber daya alam, Indonesia menghadapi dampak langsung dari perubahan suhu global, pergeseran pola hujan, kekeringan, banjir, hingga naiknya permukaan laut. Dampak ini tidak hanya mengganggu produksi pertanian, perikanan, dan peternakan, tetapi juga mengguncang seluruh rantai pasok pangan—dari ketersediaan, keterjangkauan, pemanfaatan, hingga stabilitas.

 

Data global menegaskan posisi Indonesia masih rentan: peringkat ke-63 dalam Global Food Security Index dan ke-77 dalam Global Hunger Index menunjukkan bahwa ketahanan pangan nasional belum sepenuhnya kokoh. Perubahan iklim memperparah tantangan ini melalui penurunan produktivitas padi dan jagung, rusaknya tambak pesisir akibat abrasi dan intrusi air asin, serta meningkatnya stres panas dan penyakit pada ternak.

 

Krisis ini bersifat majemuk: gagal panen di darat beriringan dengan penurunan hasil laut dan melemahnya pasokan protein hewani. Di sisi lain, masyarakat produsen pangan—petani, nelayan, dan peternak kecil—masih berjuang di tengah keterbatasan modal, teknologi, dan infrastruktur distribusi yang belum efisien.

 

Menghadapi situasi tersebut, Indonesia perlu melakukan transformasi sistem pangan secara menyeluruh, berbasis ilmu pengetahuan, inovasi adaptif, dan kearifan lokal. Ketahanan pangan tidak lagi dapat diartikan sebatas ketersediaan bahan pangan, tetapi harus mencakup aspek gizi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa langkah adaptasi dan mitigasi yang terpadu lintas sektor, krisis iklim berpotensi mengguncang stabilitas ekonomi dan sosial bangsa di masa depan.


 A. TITIK KRITIS PERSIMPANGAN IKLIM DAN PANGAN DI INDONESIA 


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di jantung iklim tropis. Letak geografis ini memberikan kekayaan hayati yang luar biasa, tetapi sekaligus membuat Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Stabilitas bangsa tidak bisa dilepaskan dari ketahanan pangan, dan saat ini sistem pangan kita menghadapi tekanan yang semakin berat. Fenomena seperti naiknya permukaan laut, cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, serta pergeseran pola hujan dan monsun, bukan lagi sekadar ramalan ilmiah. Semua itu kini sudah menjadi kenyataan sehari-hari yang dirasakan jutaan petani, nelayan, dan peternak di berbagai daerah.

 

Perubahan iklim membawa konsekuensi serius: ia mengubah dasar biofisik yang menopang produksi pangan. Jika tidak diantisipasi, hal ini bisa menghambat pembangunan nasional, memperlebar kesenjangan sosial, dan bahkan menimbulkan instabilitas ekonomi. Karena itu, cara lama memahami ketahanan pangan hanya sebatas ketersediaan bahan makanan tidak lagi memadai. Saat ini, konsep ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security) menjadi rujukan utama, baik di tingkat global melalui FAO, maupun di tingkat nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012.

 

Konsep modern ini menekankan empat pilar penting, yang kini semuanya sedang terancam oleh krisis iklim:


1.Ketersediaan (Availability) – yakni cukupnya pasokan pangan, baik dari produksi dalam negeri, cadangan nasional, maupun impor. Krisis iklim berpotensi menurunkan produktivitas pertanian, perikanan, dan peternakan, sehingga mengurangi ketersediaan pangan.

 

2.Keterjangkauan (Access) – yaitu kemampuan masyarakat untuk mendapatkan pangan, baik secara fisik maupun ekonomi. Bencana alam bisa merusak infrastruktur distribusi, sementara gagal panen dapat membuat harga pangan melambung, sehingga menyulitkan masyarakat miskin dan rentan.

 

3.Pemanfaatan (Utilization/Quality & Safety) – mencakup konsumsi pangan yang aman, bergizi, dan seimbang. Perubahan iklim dapat menurunkan kualitas gizi hasil pertanian, meningkatkan risiko penyakit bawaan makanan dan air, serta mendorong masyarakat beralih ke makanan olahan yang kurang sehat.

 

4.Stabilitas (Stability/Resilience) – yaitu kemampuan sistem pangan untuk tetap menyediakan akses terhadap pangan di tengah berbagai guncangan, baik musiman maupun bencana besar.

 

Keempat pilar inilah yang menjadi titik kritis. Krisis iklim tidak hanya menguji daya tahan sistem pangan, tetapi juga menuntut kemampuan untuk pulih setelah terguncang. Karena itu, respon parsial atau kebijakan reaktif tidak lagi cukup. Diperlukan transformasi sistem pangan secara menyeluruh—mulai dari cara mengembangkan benih, mengelola air dan lahan, mendistribusikan hasil panen, hingga membentuk pola konsumsi yang lebih sehat dan berkelanjutan.

 

Transformasi ini harus berbasis ilmu pengetahuan, berpijak pada kearifan lokal, serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, Indonesia dapat membangun sistem pangan yang lebih tangguh, inklusif, dan berdaya saing, sehingga ketahanan pangan tetap terjaga di tengah tantangan krisis iklim yang semakin nyata.

 

B. POTRET KETAHANAN PANGAN INDONESIA KONTEMPORER

 

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia berhasil mencatat berbagai kemajuan di bidang pangan. Namun, di balik pencapaian tersebut, sistem pangan nasional masih menyimpan kerentanan yang cukup besar, bahkan tanpa memperhitungkan tekanan tambahan dari krisis iklim. Evaluasi berbasis indeks global memberi gambaran objektif mengenai posisi Indonesia di dunia sekaligus menyoroti kelemahan struktural yang perlu segera diatasi.

 

Salah satu rujukan utama adalah Global Food Security Index (GFSI). Pada tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ke-63 dari 113 negara. Posisi ini masih tertinggal dibanding negara tetangga di Asia Tenggara seperti Singapura (28), Malaysia (41), dan Vietnam (46). Angka ini menandakan adanya tantangan serius, terutama pada pilar Natural Resources and Resilience atau “Sumber Daya Alam dan Ketahanan.” Pilar ini mengukur kemampuan sebuah negara menghadapi guncangan iklim dan degradasi lingkungan. Skor rendah Indonesia pada aspek ini menjadi peringatan dini bahwa fondasi sistem pangan kita belum cukup kuat menghadapi tekanan iklim yang semakin intens.

 

Indeks lainnya, Global Hunger Index (GHI) 2024, menempatkan Indonesia di peringkat ke-77 dari 127 negara dengan skor 16,9—kategori “moderat.” Meski tidak termasuk dalam kategori “mengkhawatirkan,” skor ini menutupi masalah yang lebih mendasar. Salah satunya adalah prevalensi stunting (tengkes) pada anak balita yang masih sangat tinggi, yaitu 26,8%. Kondisi ini mencerminkan masalah gizi kronis yang belum terselesaikan dan dapat mengurangi kualitas sumber daya manusia di masa depan.

 

Jika ditelaah melalui empat pilar ketahanan pangan, gambaran yang muncul adalah kompleksitas sekaligus paradoks.

1. Ketersediaan. Fokus kebijakan pangan nasional selama ini banyak diarahkan pada swasembada beras. Meski capaian itu kerap diraih, Indonesia tetap bergantung pada impor komoditas penting seperti gandum, kedelai, gula, dan daging sapi. Ketergantungan ini menjadikan sistem pangan kita rentan terhadap fluktuasi harga global maupun gangguan rantai pasok akibat konflik geopolitik atau kebijakan proteksionis negara lain. Selain itu, produksi beras yang meningkat sering kali tidak cukup untuk menyeimbangi pertumbuhan penduduk dan konsumsi nasional.

 

2.  Keterjangkauan. Akses terhadap pangan masih menjadi masalah besar, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah dan masyarakat di wilayah terpencil. Ketimpangan infrastruktur menyebabkan perbedaan harga yang tajam antarwilayah. Provinsi-provinsi di Indonesia timur konsisten menghadapi tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi dibanding wilayah lain.

 

3.  Pemanfaatan. Di sinilah muncul paradoks utama. Secara makro, ketersediaan kalori—terutama dari beras—memadai. Namun di tingkat individu, kualitas gizi masih jauh dari ideal. Indonesia kini menghadapi double burden of malnutrition: stunting dan wasting berdampingan dengan meningkatnya obesitas. Bahkan, jika ditambah defisiensi mikronutrien, kondisi ini disebut triple burden. Studi kasus di Bandung Barat menunjukkan meski asupan energi dan protein cukup, lemahnya akses sanitasi, air bersih, dan layanan kesehatan membuat status ketahanan pangan daerah tersebut tetap dikategorikan “rawan.” Ini membuktikan bahwa peningkatan produksi saja tidak otomatis menyelesaikan masalah gizi. Perubahan iklim memperparah situasi dengan memperbesar risiko penyakit dan membatasi akses terhadap pangan bergizi beragam.

 

4.  Stabilitas. Resiliensi sistem pangan nasional masih tergolong lemah. Ketergantungan pada faktor eksternal membuatnya sangat rentan terhadap guncangan, baik pandemi, konflik global, maupun kejadian iklim ekstrem seperti El Niño dan La Niña. Dampaknya terlihat jelas: lonjakan harga, gangguan distribusi, hingga penurunan produksi yang signifikan. Semua ini berujung pada ketidakpastian pasokan pangan di tingkat rumah tangga.

 

Potret ini menegaskan bahwa ketahanan pangan Indonesia bukan hanya soal jumlah produksi, melainkan soal daya tahan sistem pangan secara keseluruhan. Tanpa pembenahan struktural, krisis iklim akan memperburuk masalah yang sudah ada dan mengancam masa depan ketahanan pangan nasional.

 

C. PROYEKSI ILMIAH PERUBAHAN IKLIM DI KEPULAUAN INDONESIA

 

Berbagai data dari lembaga kredibel seperti IPCC, BMKG, dan BRIN memberikan gambaran yang konsisten: iklim Indonesia akan berubah drastis dalam beberapa dekade mendatang. Pemanasan global sudah menjadi kenyataan, dan dampaknya di Indonesia semakin terasa. Suhu rata-rata global pada dekade 2011–2020 tercatat meningkat sekitar 1,09°C dibandingkan era pra-industri (1850–1900). Proyeksi menunjukkan bahwa suhu di Indonesia akan terus naik, antara 0,5–1°C pada 2050, dan bisa mencapai 1–3°C pada 2100. Jika emisi gas rumah kaca tidak terkendali (skenario RCP 8.5), kenaikan bisa menembus 3°C pada akhir abad ini.

 

Kajian BRIN bahkan memperkirakan bahwa daerah sentra pangan utama seperti Jawa, Sumatra, dan Kalimantan akan mengalami suhu harian ekstrem antara 28–30°C pada periode 2021–2050. Suhu setinggi ini melampaui batas optimal banyak tanaman pangan, sehingga hasil panen berpotensi turun signifikan.

 

Perubahan Pola Hujan dan Cuaca Ekstrem

 

Perubahan iklim tidak hanya berarti suhu lebih panas, tetapi juga siklus hidrologi yang makin ekstrem. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai “cambuk hidrologis” (hydrological whiplash): pergantian cepat antara kekeringan panjang dan hujan deras yang merusak.

 

  • El Niño (kekeringan). Fenomena ini, yang selama ini sudah kerap melanda Indonesia, diproyeksikan akan lebih sering terjadi dengan intensitas lebih kuat. Dampaknya serius bagi lahan pertanian tadah hujan yang mendominasi wilayah di luar Jawa. Kekeringan memperpanjang musim kemarau, menunda awal tanam, mengurangi ketersediaan air irigasi, hingga berujung pada gagal panen. Sejarah mencatat El Niño 1997 sebagai salah satu pemicu krisis pangan nasional.

 

  • La Niña (banjir). Sebaliknya, La Niña membawa curah hujan berlebih yang memicu banjir di banyak daerah. Tanaman, terutama padi sawah, terendam dan rusak, sementara infrastruktur pertanian ikut terdampak. Kondisi lembap berkepanjangan juga mempercepat ledakan hama dan penyakit tanaman, seperti wereng batang coklat atau hawar daun bakteri, yang makin menekan hasil panen.

 

Kombinasi kekeringan dan banjir ini membuat perencanaan pertanian semakin sulit. Kekeringan panjang menguras cadangan air, lalu hujan deras berikutnya menimbulkan banjir dan erosi. Proyeksi menunjukkan curah hujan ekstrem di Indonesia bisa meningkat 15–26% pada periode 100 tahun mendatang, sehingga risiko banjir di sentra pangan kian besar.

 

Kenaikan Permukaan Laut

 

Sebagai negara maritim dengan 65% penduduk tinggal di pesisir, Indonesia juga menghadapi ancaman serius dari naiknya permukaan laut. Proyeksi menunjukkan kenaikan 25–40 cm pada 2050, dan hingga 95 cm pada 2100 di bawah skenario emisi tinggi. Dampaknya bukan hanya hilangnya daratan akibat genangan, tetapi juga intrusi air asin ke lahan pertanian dan sumber air tawar. Intrusi ini membuat sawah pesisir tidak lagi produktif dan menurunkan ketersediaan air bersih.

 

Selain itu, kenaikan permukaan laut memperparah abrasi pantai. Ribuan hektare tambak udang dan ikan, yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat pesisir sekaligus penopang ketersediaan protein nasional, berisiko hilang.

 

Ringkasan Proyeksi

 

Secara umum, semua wilayah Indonesia akan mengalami kenaikan suhu antara 1–2°C pada pertengahan abad dan bisa mencapai lebih dari 3°C pada akhir abad, terutama di bawah skenario emisi tinggi. Pola curah hujan akan semakin tidak menentu: beberapa wilayah seperti Nusa Tenggara diproyeksikan makin kering, sementara Kalimantan dan Papua justru lebih basah dengan curah hujan ekstrem.


Gambaran ini menegaskan bahwa perubahan iklim bukan ancaman abstrak, melainkan risiko nyata yang akan menentukan masa depan sistem pangan Indonesia. Tanpa strategi adaptasi yang kuat, krisis iklim dapat mengguncang fondasi ketahanan pangan nasional.

 

D. TEKANAN PADA PRODUKSI TANAMAN PANGAN STRATEGIS

 

Padi dan jagung adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional. Keduanya menyumbang sebagian besar kebutuhan karbohidrat masyarakat Indonesia. Namun, kedua komoditas ini juga yang paling rentan terhadap guncangan iklim. Perubahan suhu, kekeringan ekstrem, hingga banjir besar memberi dampak langsung pada produktivitas, bahkan bisa berujung pada kegagalan panen massal.

 

Dampak Kenaikan Suhu

 

Setiap tanaman memiliki “zona nyaman” suhu optimal untuk tumbuh dan bereproduksi. Bagi padi, rentang itu berada di kisaran 20–33°C. Saat suhu rata-rata melonjak melampaui ambang tersebut, tanaman akan mengalami stres panas. Penelitian menunjukkan bahwa kenaikan suhu 1°C selama musim tanam dapat menurunkan hasil panen padi hingga 10%. Suhu tinggi juga mempercepat penguapan air (evapotranspirasi), membuat tanaman membutuhkan lebih banyak pasokan air meskipun curah hujan normal. Lebih jauh lagi, fase pematangan biji berlangsung terlalu cepat, sehingga pengisian gabah tidak sempurna. Hasilnya: kualitas dan bobot panen menurun drastis.

 

Dampak serupa juga terjadi pada jagung. Kenaikan suhu 2°C diperkirakan dapat memangkas produksi hingga 20%. Pada skala petani kecil, kerugian ini sangat memukul, karena pendapatan mereka sangat bergantung pada hasil panen musiman.

 

Dampak Kekeringan (El Niño)

 

Fenomena El Niño sudah lama menjadi momok bagi petani Indonesia. Kekeringan parah yang menyertainya menghantam sawah tadah hujan dan lahan kering yang bergantung penuh pada curah hujan musiman. Data historis mencatat bahwa setiap kali El Niño kuat terjadi, produksi padi nasional bisa turun 4–6%.

Contoh nyata terjadi di Kota Serang pada tahun 2023. El Niño menyebabkan kekeringan hebat sehingga produksi padi anjlok ke titik terendah dalam empat tahun terakhir. Secara nasional, El Niño ekstrem berpotensi memangkas produksi beras hingga 450 ribu ton dan menyebabkan puluhan ribu hektare sawah puso (gagal panen total).

 

Dampak Banjir (La Niña)

 

Jika El Niño membawa kekeringan, La Niña justru memicu banjir besar. Curah hujan ekstrem membuat sawah tergenang berhari-hari, menyebabkan akar padi membusuk dan tanaman mati. Penelitian di sentra padi Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan bahwa banjir bisa menurunkan hasil panen hingga 2,5–3 ton per hektare. Dari sisi ekonomi, kerugian petani akibat banjir diperkirakan mencapai Rp6,5–7 juta per hektare.

 

Memang, di beberapa daerah La Niña dapat memperluas areal tanam karena ketersediaan air berlimpah. Namun, keuntungan itu seringkali tidak sebanding dengan kerugian akibat banjir dan meledaknya hama serta penyakit yang menyertainya.

 

Eskalasi Serangan Hama dan Penyakit (OPT)

 

Perubahan iklim tidak hanya mengubah ketersediaan air dan suhu, tetapi juga menciptakan kondisi ideal bagi ledakan organisme pengganggu tanaman (OPT). Suhu hangat mempercepat siklus hidup hama, sehingga dalam satu musim tanam bisa muncul lebih banyak generasi serangga. Kelembapan tinggi akibat La Niña mendukung penyebaran penyakit tanaman.

 

Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens) dan hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae), dua hama utama padi, cenderung meledak saat kondisi hangat dan lembap. Sementara itu, kekeringan akibat El Niño membuat tanaman melemah dan lebih rentan terhadap hama sekunder. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memproyeksikan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan kerugian produksi sebesar 15,2% akibat hama dan 12,6% akibat penyakit. Ini jelas ancaman serius bagi stabilitas produksi pangan nasional.

 

E. ANCAMAN TERHADAP SISTEM PANGAN BERBASIS KELAUTAN DAN PESISIR

 

Sebagai negara bahari, Indonesia menggantungkan sebagian besar ketahanan pangan dan gizinya pada sektor kelautan dan perikanan. Laut bukan hanya penyedia ikan dan hasil budidaya, tetapi juga sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat pesisir. Namun, krisis iklim menimbulkan ancaman eksistensial yang perlahan tapi pasti menggerus fondasi sistem pangan berbasis laut ini.

 

Kenaikan Permukaan Laut dan Abrasi

 

Naiknya muka laut menjadi ancaman nyata bagi tambak dan lahan produktif pesisir. Abrasi yang diperparah oleh badai dan gelombang ekstrem mengikis garis pantai, menghancurkan infrastruktur, dan menelan lahan pertanian serta tambak.

Sebuah studi di Kecamatan Bancar, Tuban, mencatat bahwa dalam 35 tahun terakhir garis pantai mundur sejauh 174 meter, meluluhlantakkan lahan pertanian dan tambak produktif. Bank Dunia juga memperingatkan bahwa banyak tambak udang dan ikan di sepanjang pesisir Indonesia terancam tergenang permanen. Artinya, bukan hanya kerugian ekonomi sesaat, melainkan hilangnya kapasitas produksi pangan secara permanen.

 

Pengasaman Laut: Ancaman yang Senyap

 

Laut menyerap sepertiga emisi karbon dioksida (CO₂) yang dihasilkan manusia. Akibatnya, pH laut menurun, memicu fenomena pengasaman laut. Proses ini mengurangi ketersediaan ion karbonat—“bahan baku” penting bagi biota laut pembentuk cangkang dan kerangka kalsium karbonat, termasuk terumbu karang, kerang, dan krustasea.

 

Penelitian di perairan Indonesia menemukan bahwa 67% biota yang diuji mengalami hambatan pertumbuhan akibat penurunan pH. Dampaknya sangat luas: budidaya kerang dan kepiting terancam, rantai makanan laut terganggu, hingga ekosistem perairan menjadi tidak stabil.

 

Pemutihan Karang: Runtuhnya Kota di Bawah Laut

 

Selain pengasaman, pemanasan laut menimbulkan ancaman lain: pemutihan karang (coral bleaching). Kenaikan suhu hanya 1–2°C di atas rata-rata sudah cukup membuat karang stres. Alga simbiotik yang memberi warna dan energi bagi karang keluar dari jaringan, meninggalkan karang dalam kondisi putih dan lemah. Jika suhu tinggi bertahan lama, karang akan mati.

 

Indonesia sudah mengalami beberapa kali kejadian pemutihan karang massal, misalnya di Aceh (2010) dan Gili Matra (2016). Dampaknya sangat terasa: studi di Gili Matra mencatat penurunan kelimpahan ikan karang dari 28.733 individu per hektare pada 2012 menjadi hanya 11.431 individu per hektare pada 2016. Terumbu karang yang rusak berarti “kota bawah laut” runtuh, dan stok ikan ikut lenyap. Bagi nelayan, ini sama artinya dengan hilangnya sumber pendapatan utama.

 

Kerentanan Komunitas Pesisir

 

Yang paling terpukul dari semua dampak ini adalah masyarakat pesisir. Nelayan skala kecil dan pembudidaya ikan sangat bergantung pada ekosistem laut yang sehat, namun mereka justru memiliki kapasitas adaptasi paling rendah.

 

Mereka tidak bisa begitu saja memindahkan tambak yang terkikis abrasi, atau membeli kapal besar untuk melaut lebih jauh ketika ikan di dekat pantai semakin langka. Bagi mereka, degradasi ekosistem berarti kehilangan nafkah, meningkatnya kerawanan pangan, dan makin dalamnya jurang kemiskinan.

 

Krisis iklim di laut dan pesisir tidak hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keadilan sosial. Ketahanan pangan nasional hanya bisa terjaga jika kelompok paling rentan—masyarakat pesisir—diberi dukungan adaptasi yang memadai, dari perlindungan ekosistem hingga akses teknologi dan pasar yang lebih adil.

 

F. KERENTANAN SEKTOR PETERNAKAN NASIONAL

 

Sektor peternakan merupakan tulang punggung penyedia protein hewani sekaligus penggerak ekonomi pedesaan di Indonesia. Namun, sektor ini juga sangat rentan terhadap dampak krisis iklim. Gangguan muncul baik secara langsung, melalui stres fisiologis pada ternak, maupun tidak langsung, melalui berkurangnya ketersediaan pakan dan meningkatnya penyakit.

 

Stres Panas pada Ternak

 

Salah satu ancaman terbesar bagi peternakan adalah stres panas (heat stress). Tingkat kenyamanan ternak biasanya diukur menggunakan Temperature Humidity Index (THI), dan nilai di atas 72 sudah cukup untuk memicu stres panas.

  • Sapi Perah: Sentra-sentra produksi susu di Indonesia sering mengalami nilai THI yang melampaui ambang batas nyaman. Dampaknya sangat serius, mulai dari penurunan nafsu makan, berkurangnya produksi susu hingga 35–40%, penurunan kualitas susu (kadar lemak dan protein), hingga gangguan reproduksi seperti turunnya angka konsepsi dan interval beranak yang lebih panjang.

 

  • Unggas: Ayam pedaging dan petelur juga sangat sensitif terhadap suhu tinggi. Stres panas pada unggas dapat mengurangi konsumsi pakan, memperlambat pertumbuhan, menurunkan produksi telur, serta meningkatkan angka kematian—terutama pada sistem pemeliharaan intensif.

 

Gangguan Ketersediaan Pakan

 

Dampak perubahan iklim tidak hanya dirasakan tubuh ternak, tetapi juga rantai pakan yang menopang sistem peternakan.

  • Kekeringan berkepanjangan mengurangi produktivitas padang rumput dan lahan pakan, sehingga peternak kesulitan menyediakan hijauan. Kondisi ini sering memaksa mereka mengurangi populasi ternak atau membeli pakan tambahan dengan harga tinggi.

 

  • Curah hujan berlebih dan banjir merusak tanaman pakan, menurunkan kualitas jerami dan silase akibat pertumbuhan jamur, serta membuat hijauan terlalu basah. Pada ruminansia, hal ini dapat menimbulkan gangguan pencernaan seperti kembung.

 

Pola cuaca yang semakin sulit diprediksi membuat produksi dan konservasi pakan tidak menentu, menambah tekanan pada peternak.

 

Peningkatan Risiko Penyakit

 

Perubahan iklim juga mengubah pola penyakit pada hewan ternak. Suhu yang lebih hangat dan kelembapan tinggi menjadi kondisi ideal bagi parasit dan vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, dan caplak.

 

  • Selama musim hujan, kandang yang lembap meningkatkan risiko penyakit kuku dan mulut, infeksi cacing, serta penyakit yang ditularkan nyamuk seperti Bovine Ephemeral Fever (demam tiga hari).
  • Stres lingkungan juga menekan sistem kekebalan tubuh ternak, sehingga lebih rentan terhadap infeksi.

 

Risiko Sistemik: Krisis Pangan Majemuk

 

Ancaman iklim terhadap peternakan tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dengan sektor pangan lainnya. Kekeringan akibat El Niño, misalnya, tidak hanya menyebabkan gagal panen padi dan jagung—dua sumber utama pangan manusia—tetapi juga mengurangi ketersediaan hijauan serta bahan baku pakan seperti dedak padi dan tumpi jagung. Pada saat yang sama, pemanasan laut menyebabkan pemutihan karang dan menurunkan stok ikan.

 

Akibatnya, Indonesia berpotensi menghadapi krisis pangan majemuk: beras berkurang, produksi susu dan daging menurun, dan pasokan ikan melemah. Jika kebijakan hanya berfokus pada satu komoditas, misalnya dengan mengamankan cadangan beras, langkah itu jelas tidak cukup. Krisis iklim menuntut pendekatan terpadu lintas sektor yang mampu melindungi seluruh sumber protein dan energi pangan sekaligus.

 

Contoh dari Malang: Sapi Perah

 

Kabupaten Malang, khususnya kecamatan seperti Pujon dan Ngantang, dikenal sebagai sentra sapi perah di Jawa Timur. Data BPS Kabupaten Malang menunjukkan populasi sapi perah sekitar 85.820 ekor di Agustus 2023, tersebar di beberapa kecamatan seperti Pujon, Ngantang, dan Jabung. Produksi susu di Malang pun meningkat: dari sekitar 137,56 ribu ton pada 2022, menjadi 143,58 ribu ton pada 2023, dan diperkirakan mencapai 149,91 ribu ton pada 2024.

 

Meskipun demikian, peternak sapi perah di Malang juga mulai merasakan dampak dari stres panas. Salah satu adaptasi yang dilakukan adalah membangun kandang dengan sistem close house agar suhu dan kelembapan lebih terjaga, meskipun investasi awal lebih tinggi. Di lereng Gunung Kawi, pada peternakan Holstein berskala perusahaan seperti Greenfields, misalnya, penggunaan kipas angin, ventilasi yang baik, dan atap yang dirancang untuk mengurangi panas langsung digunakan agar sapi tetap nyaman.

 

Stres panas ini bukan hanya soal kenyamanan: sapi yang mengalami stres menampilkan perilaku berbeda, seperti lebih lama berbaring, nafsu makan menurun, dan produktivitas turun. Dalam kasus tertentu, produktivitas susu sapi perah turun hingga beberapa liter per ekor per hari dibanding kondisi ideal.

 

Contoh dari Blitar: Ayam Petelur

 

Kabupaten Blitar adalah salah satu sentra peternakan ayam petelur terbesar di Jawa Timur dan Indonesia. Pada tahun 2020, populasi ayam ras petelur di Blitar mencapai lebih dari 20 juta ekor, dengan produksi telur sekitar 1.150-1.200 ton/hari.

 

Walau jumlahnya besar, peternak di Blitar menghadapi tantangan iklim, terutama terkait kenaikan suhu dan fluktuasi kelembapan yang memicu stres pada ayam. Sebagai contoh, penelitian di Desa Gunung Gede, Blitar, menunjukkan bahwa frekuensi pernapasan ayam petelur dan suhu rektal meningkat seiring berat badan ayam pada kondisi lingkungan yang lebih panas—indikator stres panas.

 

Selain itu, harga pakan ayam menjadi sangat volatil terutama ketika jagung sebagai bahan baku utama terpengaruh oleh kekeringan (misalnya saat fenomena El Niño). Pemerintah kabupaten Blitar pun memberikan subsidi pakan kepada peternak ayam dan telur sebagai langkah mitigasi agar harga produk tidak melonjak terlalu drastis.

 

Tekanan Peternakan

 

Dengan contoh-contoh tersebut di atas dapat memperjelas bahwa kerentanan peternakan bukan sekadar teori, tetapi sudah menjadi kenyataan di lapangan:

  • Di Malang, peternak sapi perah harus beradaptasi dengan cuaca yang kian panas melalui sistem kandang tertutup, ventilasi dan perangkat pendingin, agar sapi tetap produktif. Meskipun ada peningkatan produksi susu, stres panas menggerus potensi penuh yang seharusnya bisa dicapai.
  • Di Blitar, dengan skala produksi telur ayam yang sangat besar, fluktuasi kondisi iklim dan gejolak harga pakan langsung berdampak pada profitabilitas peternak. Penyesuaian operasional dan dukungan subsidi menjadi penyelamat sementara.

 

Dengan memasukkan contoh lokal seperti ini, kita bisa melihat bahwa kerentanan sektor peternakan bukanlah sesuatu yang akan terjadi di masa depan saja, tetapi sudah berlangsung sekarang, terutama di daerah-daerah sentra produksi. Ini menguatkan argumen bahwa kebijakan adaptasi perlu segera ditingkatkan, skala lokal diperhatikan, dan intervensi diarahkan agar peternak kecil pun bisa bertahan menghadapi krisis iklim.

 

G. TANTANGAN STRUKTURAL YANG MEMPERBURUK DAMPAK IKLIM

 

Dampak krisis iklim tidak berdiri sendiri. Ia berinteraksi dengan serangkaian kelemahan struktural yang telah lama membelenggu sistem pangan dan ekonomi pedesaan Indonesia. Alih-alih hanya menjadi ancaman lingkungan, krisis iklim justru memperbesar rapuhnya fondasi sektor pangan yang selama ini bergantung pada produsen kecil, rantai pasok yang tidak efisien, serta sumber daya alam yang semakin terdegradasi.

 

Kerentanan Produsen Skala Kecil

 

Tulang punggung produksi pangan Indonesia adalah jutaan petani, nelayan, dan peternak skala kecil. Ironisnya, mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap guncangan iklim. Sebagian besar beroperasi di lahan sempit dengan margin keuntungan tipis, serta memiliki akses yang sangat terbatas terhadap modal, teknologi, informasi iklim yang akurat, maupun skema asuransi. Keterbatasan ini secara drastis menurunkan kapasitas adaptif mereka.

 

Ketika gagal panen akibat kekeringan atau banjir melanda, banyak produsen skala kecil terjerat utang, kehilangan modal kerja, dan kesulitan memulai usaha pada musim berikutnya. Posisi tawar mereka dalam rantai pasok juga lemah. Mereka menanggung sebagian besar risiko produksi, sementara keuntungan terbesar justru dinikmati oleh pedagang perantara.

 

Inefisiensi Rantai Pasok dan Logistik

 

Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam logistik dan distribusi pangan. Infrastruktur yang tidak memadai—mulai dari jalan rusak, pelabuhan terbatas, hingga minimnya fasilitas penyimpanan berpendingin (cold storage)—menyebabkan biaya distribusi mahal, kerugian pascapanen tinggi, dan kualitas produk menurun.

 

Rantai pasok yang rapuh ini sangat rentan terhadap gangguan iklim. Banjir yang merusak jalan, badai yang menghentikan pelayaran antarpulau, atau gelombang tinggi yang menunda distribusi dapat dengan mudah memutus jalur pangan. Akibatnya, di satu wilayah dapat terjadi kelangkaan dan lonjakan harga, sementara di wilayah lain justru surplus produk yang terbuang percuma. Situasi ini melahirkan volatilitas harga ekstrem sekaligus ketidakmerataan akses pangan antarwilayah.

 

Degradasi Sumber Daya Alam

 

Krisis iklim juga bertindak sebagai threat multiplier—pengganda ancaman—yang memperburuk kondisi sumber daya alam yang sudah tertekan akibat praktik pertanian dan pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan. Selama beberapa dekade, degradasi tanah, deforestasi, dan krisis air semakin meluas di berbagai daerah.

 

Tanah yang miskin bahan organik kehilangan kapasitas menahan air, membuatnya lebih rentan terhadap kekeringan. Daerah aliran sungai (DAS) yang gundul karena deforestasi kehilangan fungsi tata airnya: banjir bandang lebih sering terjadi saat musim hujan, sementara kekeringan semakin parah di musim kemarau. Akibatnya, daya dukung lingkungan untuk produksi pangan melemah, dan resiliensi alaminya terhadap guncangan iklim kian terkikis.

 

Tantangan Regenerasi Pelaku Sektor Pangan

 

Di luar faktor lingkungan dan ekonomi, sektor pangan Indonesia juga menghadapi tantangan demografis. Semakin tingginya risiko, rendahnya profitabilitas, dan beratnya kerja fisik membuat profesi sebagai petani, peternak, atau nelayan tidak lagi menarik bagi generasi muda.

 

Fenomena “penuaan petani” terlihat jelas di banyak wilayah: rata-rata usia petani terus meningkat, sementara minat generasi muda untuk terjun ke sektor pangan sangat rendah. Jika tren ini berlanjut, Indonesia berisiko menghadapi krisis sumber daya manusia di sektor pangan—kehilangan kapasitas produksi sekaligus hilangnya pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi.

 

Kerentanan Produsen Skala Kecil

 

Tulang punggung produksi pangan Indonesia adalah jutaan petani, nelayan, dan peternak skala kecil. Ironisnya, mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap guncangan iklim. Sebagian besar beroperasi di lahan sempit dengan margin keuntungan tipis, serta memiliki akses yang sangat terbatas terhadap modal, teknologi, informasi iklim yang akurat, maupun skema asuransi. Keterbatasan ini secara drastis menurunkan kapasitas adaptif mereka.

 

Ketika gagal panen akibat kekeringan atau banjir melanda, banyak produsen skala kecil terjerat utang, kehilangan modal kerja, dan kesulitan memulai usaha pada musim berikutnya. Posisi tawar mereka dalam rantai pasok juga lemah. Mereka menanggung sebagian besar risiko produksi, sementara keuntungan terbesar justru dinikmati oleh pedagang perantara.

 

Inefisiensi Rantai Pasok dan Logistik

 

Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam logistik dan distribusi pangan. Infrastruktur yang tidak memadai—mulai dari jalan rusak, pelabuhan terbatas, hingga minimnya fasilitas penyimpanan berpendingin (cold storage)—menyebabkan biaya distribusi mahal, kerugian pascapanen tinggi, dan kualitas produk menurun.

 

Rantai pasok yang rapuh ini sangat rentan terhadap gangguan iklim. Contohnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), banjir bandang pada tahun 2021 memutus akses jalan ke beberapa wilayah sentra pangan. Akibatnya, pasokan beras dan bahan pangan lain terhenti, harga melonjak hingga dua kali lipat di pasar lokal, sementara di wilayah lain surplus pangan justru membusuk karena tak bisa dikirim. Situasi seperti ini menunjukkan betapa mudahnya jalur distribusi pangan terputus dan menimbulkan krisis akses pangan lokal.

 

Degradasi Sumber Daya Alam

 

Krisis iklim juga bertindak sebagai threat multiplier—pengganda ancaman—yang memperburuk kondisi sumber daya alam yang sudah tertekan akibat praktik pertanian dan pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan. Selama beberapa dekade, degradasi tanah, deforestasi, dan krisis air semakin meluas di berbagai daerah.

 

Tanah yang miskin bahan organik kehilangan kapasitas menahan air, membuatnya lebih rentan terhadap kekeringan. Daerah aliran sungai (DAS) yang gundul karena deforestasi kehilangan fungsi tata airnya: banjir bandang lebih sering terjadi saat musim hujan, sementara kekeringan semakin parah di musim kemarau. Contoh nyata terlihat di wilayah Hulu DAS Citarum, Jawa Barat, di mana deforestasi memperparah banjir saat musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, sehingga berdampak langsung pada produktivitas pertanian di wilayah hilir.

 

Tantangan Regenerasi Pelaku Sektor Pangan

 

Di luar faktor lingkungan dan ekonomi, sektor pangan Indonesia juga menghadapi tantangan demografis. Semakin tingginya risiko, rendahnya profitabilitas, dan beratnya kerja fisik membuat profesi sebagai petani, peternak, atau nelayan tidak lagi menarik bagi generasi muda.

 

Fenomena “penuaan petani” terlihat jelas di Jawa Tengah. Data BPS tahun 2018 menunjukkan rata-rata usia petani di provinsi ini telah mencapai 52 tahun, dengan mayoritas generasi muda memilih beralih ke sektor industri atau jasa. Akibatnya, jumlah tenaga kerja di pertanian terus berkurang, sementara regenerasi pelaku pangan berjalan sangat lambat. Jika tren ini berlanjut, Indonesia berisiko menghadapi krisis sumber daya manusia di sektor pangan—kehilangan kapasitas produksi sekaligus hilangnya pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi.

 

H. PELUANG TRANSFORMASI MENUJU SISTEM PANGAN BERKETAHANAN IKLIM


Di tengah tantangan berat, krisis iklim juga dapat menjadi katalisator untuk transformasi besar dalam sistem pangan nasional. Alih-alih hanya dilihat sebagai ancaman, krisis ini membuka peluang untuk membangun sistem pangan baru yang lebih tangguh, produktif, berkelanjutan, dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.


Potensi Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture/CSA)


CSA adalah pendekatan terpadu dengan tiga tujuan utama:

1.     meningkatkan produktivitas dan pendapatan pertanian secara berkelanjutan,

2.     memperkuat adaptasi dan ketahanan terhadap perubahan iklim, dan

3.     mengurangi emisi gas rumah kaca jika memungkinkan.


CSA bukan sekadar satu teknologi, melainkan kerangka untuk memilih praktik yang sesuai dengan konteks biofisik dan sosial-ekonomi lokal. Di Indonesia, beberapa praktik CSA telah menunjukkan hasil yang signifikan:


  • System of Rice Intensification (SRI) dan Jajar Legowo: Teknik tanam bibit muda dengan jarak lebih lebar serta irigasi berselang terbukti meningkatkan hasil padi 49–78%, sambil mengurangi penggunaan air hingga 42% dan menekan emisi metana. Praktik ini sudah diterapkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan hasil nyata pada peningkatan produksi sekaligus efisiensi penggunaan air.

 

  • Integrasi Tanaman–Ternak: Misalnya sapi digembalakan di perkebunan kelapa sawit. Hewan memakan gulma sehingga kebutuhan herbisida berkurang, sementara kotorannya menjadi pupuk organik. Studi menunjukkan hasil tandan buah segar sawit bisa meningkat hingga 17%.

 

  • Agroforestri: Kombinasi pohon dengan tanaman pangan memperkuat ekosistem. Pohon memberi naungan, menurunkan suhu mikro, mengurangi erosi, serta meningkatkan keanekaragaman hayati. Di Nusa Tenggara Timur, pola agroforestri berbasis sorgum dan pohon lamtoro terbukti membantu petani menghadapi musim kering panjang.

 

CSA menandai pergeseran dari pertanian berbasis input kimia menuju pertanian berbasis pengetahuan dan ekologi.

 

Peluang Diversifikasi Pangan Lokal

 

Ketergantungan yang tinggi pada beras adalah salah satu kerentanan terbesar sistem pangan Indonesia. Padahal, negeri ini kaya akan sumber pangan lokal yang lebih tahan iklim dan bergizi tinggi:

 

  • Sorgum: Tahan kekeringan, dapat tumbuh di lahan marjinal, sekaligus berfungsi sebagai pangan, pakan, dan bioetanol. Di Sumba Timur, sorgum kini kembali dikembangkan sebagai alternatif beras dan jagung.

 

  • Ubi Kayu (Singkong): Tahan kering, menghasilkan kalori tinggi, dan produk olahannya (seperti tepung Mocaf) dapat menggantikan terigu impor.

 

  • Sagu: Tanaman khas Papua dan Maluku ini sangat produktif di lahan basah, dan menjadi sumber karbohidrat utama yang adaptif terhadap perubahan iklim.

 

Diversifikasi pangan lokal tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga membuka peluang ekonomi daerah, meningkatkan status gizi, dan mengurangi ketergantungan impor gandum yang rawan gejolak harga global.


Agenda diversifikasi pangan lokal ini kini mendapat dukungan kuat dari BRIN dan Bapanas, tidak hanya untuk meningkatkan ketahanan pangan lokal tetapi juga membuka peluang ekonomi daerah.

 

Peran Teknologi dan Inovasi

 

Teknologi modern, jika digunakan secara tepat, dapat mempercepat adaptasi iklim:

  • Pertanian Presisi: Penggunaan sensor IoT, drone, citra satelit, dan GPS memungkinkan petani mengatur input (air, pupuk, pestisida) secara lebih efisien. Praktik ini dapat mengurangi biaya 20–25%, meningkatkan keuntungan hingga 50%, sekaligus menekan dampak lingkungan.

 

  • Sistem Peringatan Dini Iklim: BMKG telah mengembangkan Kalender Tanam Terpadu (KATAM) yang dipadukan dengan Sekolah Lapang Iklim. Petani dapat menyesuaikan jadwal tanam dan varietas sesuai prakiraan, mengurangi kerugian akibat anomali iklim hingga 80%.

 

  • Platform Digital Rantai Pasok: Teknologi blockchain dan aplikasi pemasaran daring memungkinkan produk petani ditelusuri asal-usulnya, harga lebih transparan, dan distribusi lebih efisien.

 

Meski menjanjikan, penerapan teknologi masih terbentur hambatan: biaya investasi tinggi, kesenjangan literasi digital, serta keterbatasan infrastruktur internet di desa. Karena itu, kunci keberhasilan terletak pada pendekatan campuran—menggabungkan teknologi canggih (prediksi iklim satelit) dengan mekanisme tradisional berbasis komunitas (penyuluh pertanian, koperasi).

 

Potensi Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture - CSA)


CSA adalah sebuah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk secara simultan mencapai tiga tujuan:


(1) meningkatkan produktivitas dan pendapatan pertanian secara berkelanjutan;
(2) meningkatkan adaptasi dan membangun ketahanan terhadap perubahan iklim; dan
(3) mengurangi emisi gas rumah kaca jika memungkinkan.


Ini bukan tentang satu set teknologi tunggal, melainkan sebuah pendekatan untuk mengidentifikasi praktik dan teknologi yang paling sesuai dengan konteks biofisik dan sosial-ekonomi lokal. Di Indonesia, beberapa praktik CSA telah terbukti sangat efektif:


  • System of Rice Intensification (SRI) dan Jajar Legowo: Kombinasi teknik penanaman bibit muda, jarak tanam yang lebih lebar, dan irigasi berselang (tidak terus-menerus digenangi) terbukti mampu meningkatkan hasil panen padi hingga 49–78%, sambil mengurangi penggunaan air 42% dan menekan emisi metana. Contoh kasus: Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Penerapan metode SRI oleh kelompok tani sejak 2010 berhasil meningkatkan produktivitas padi rata-rata dari 5 ton/ha menjadi 8 ton/ha, sekaligus menurunkan biaya produksi karena penghematan pupuk dan air.
  • Sistem Integrasi Tanaman-Ternak: Mengintegrasikan sapi ke dalam perkebunan kelapa sawit menciptakan sistem siklus tertutup. Sapi memakan gulma, mengurangi kebutuhan herbisida, sementara kotorannya menjadi pupuk organik. Studi menunjukkan praktik ini dapat meningkatkan hasil tandan buah segar kelapa sawit hingga 17%.
  • Agroforestri: Menanam tanaman pangan di antara pepohonan meningkatkan ketahanan iklim, mengurangi erosi tanah, menjaga kelembapan, serta memperkaya keanekaragaman hayati.

CSA pada dasarnya adalah pergeseran dari pertanian intensif input (pupuk dan pestisida kimia) ke pertanian intensif pengetahuan dan pengelolaan ekosistem.

 

Peran Teknologi dan Inovasi

 

Teknologi modern dapat mempercepat adaptasi iklim jika diterapkan dengan tepat, seperti pertanian presisi berbasis IoT, sistem peringatan dini iklim dari BMKG, hingga platform digital rantai pasok berbasis blockchain. Namun, tantangan seperti biaya, literasi digital, dan infrastruktur pedesaan perlu diatasi dengan model “campuran” yang menggabungkan teknologi canggih dengan pendekatan berbasis komunitas, seperti penyuluh pertanian dan koperasi.

 

I.  REKOMENDASI KEBIJAKAN UNTUK RESILIENSI PANGAN NASIONAL

 

Krisis iklim bukan hanya soal suhu yang terus meningkat, tetapi juga tantangan besar bagi ketahanan pangan Indonesia. Perubahan pola cuaca, kekeringan, banjir, hingga naiknya salinitas air laut langsung memengaruhi tanah, air, benih, dan petani yang menjadi ujung tombak produksi pangan. Karena itu, kita membutuhkan kebijakan yang tidak sekadar reaktif, tetapi benar-benar terintegrasi dengan rencana pembangunan nasional, seperti RPJMN dan RAN-API. Berikut beberapa rekomendasi strategis untuk memperkuat resiliensi pangan nasional.

 

Penguatan Fondasi Produksi yang Adaptif

 

Langkah pertama adalah memastikan fondasi produksi pangan—tanah, air, dan benih—mampu bertahan di tengah tekanan iklim. Benih menjadi kunci utama. Varietas unggul yang selama ini dikembangkan lebih fokus pada produktivitas dalam kondisi normal, bukan pada ketahanan menghadapi cekaman ekstrem. Karena itu, riset pemuliaan varietas tahan kekeringan, genangan, dan salinitas harus dipercepat, sekaligus dipadukan dengan biofortifikasi untuk memperkaya kandungan gizi tanaman pangan pokok. Dengan begitu, benih tidak hanya produktif, tetapi juga mampu membantu mengatasi masalah stunting.

 

Selain benih, air adalah faktor penentu. Saat ini hampir setengah jaringan irigasi di Indonesia dalam kondisi rusak. Rehabilitasi menjadi kebutuhan mendesak, namun tidak cukup hanya memperbaiki saluran. Kita perlu membangun sistem pengelolaan air cerdas berbasis sensor, irigasi hemat air, dan pemantauan berbasis teknologi. Dengan infrastruktur modern, air hujan bisa disimpan untuk musim kemarau, sekaligus mengurangi risiko banjir saat curah hujan ekstrem datang.

 

Untuk melindungi petani dari ketidakpastian iklim, sistem asuransi pertanian juga harus diperbarui. Skema berbasis indeks iklim, yang klaimnya dipicu otomatis oleh data cuaca dari BMKG, jauh lebih cepat dan objektif dibanding survei lapangan. Dengan subsidi premi dari pemerintah, petani kecil bisa mengakses perlindungan finansial ini, sehingga lebih berani berinvestasi pada benih dan pupuk unggul tanpa takut bangkrut ketika panen gagal.

 

Transformasi Rantai Pasok dan Pemberdayaan Pelaku

 

Produksi pangan yang kuat akan percuma tanpa rantai pasok yang efisien. Karena itu, pembangunan infrastruktur logistik cerdas iklim menjadi prioritas. Lumbung pangan modern, gudang berpendingin yang tahan bencana, dan sistem distribusi berbasis energi terbarukan akan mengurangi kerugian pascapanen serta menjaga harga tetap stabil. Modernisasi pelabuhan dan armada logistik juga akan memperlancar distribusi antar pulau, sehingga akses pangan lebih merata.

 

Selain infrastruktur, kelembagaan petani dan nelayan perlu diperkuat. Kelompok tani tradisional harus ditransformasi menjadi koperasi berbadan hukum agar memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Dengan dukungan pemerintah, koperasi bisa menjadi pintu masuk petani kecil ke pasar modern, industri pengolahan, bahkan ekspor. Skala ekonomi yang tercipta juga akan mempermudah mereka mendapatkan pembiayaan dan teknologi baru.

 

Tidak kalah penting, pengetahuan tentang iklim harus menjangkau petani di lapangan. Program Sekolah Lapang Iklim (SLI) perlu diperluas dengan kurikulum yang selalu diperbarui sesuai data prakiraan BMKG. Melalui model “train the trainer”, penyuluh, tokoh masyarakat, dan petani maju dapat mempercepat penyebaran praktik pertanian cerdas iklim, sehingga petani tidak lagi menebak-nebak kapan harus menanam, melainkan mengambil keputusan berbasis sains.

 

Peningkatan Tata Kelola dan Kerangka Regulasi

 

Resiliensi pangan juga membutuhkan dukungan dari sisi tata kelola. Adaptasi iklim harus menjadi arus utama dalam perencanaan pembangunan, baik nasional maupun daerah. Artinya, penilaian risiko iklim harus masuk dalam RPJMN, RPJMD, hingga tata ruang wilayah. Tanpa itu, ada risiko pembangunan justru menimbulkan kerentanan baru di masa depan.

 

Di tingkat kelembagaan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) perlu diperkuat mandatnya untuk mendorong diversifikasi pangan. Selama ini kebijakan terlalu berfokus pada beras, padahal Indonesia memiliki potensi sorgum, singkong, dan jagung sebagai pangan alternatif. Dengan kewenangan lebih besar, Bapanas bisa mengoordinasikan riset, kampanye publik, hingga pengelolaan cadangan pangan pemerintah yang lebih beragam.

 

Terakhir, urusan pendanaan tidak boleh dilupakan. Transformasi pangan berkelanjutan memerlukan investasi jauh lebih besar daripada yang bisa ditanggung APBN. Karena itu, sistem penandaan anggaran iklim perlu diperkuat, dan pemerintah harus berani menerbitkan instrumen pembiayaan inovatif seperti obligasi hijau atau sukuk hijau. Dengan skema pembiayaan campuran, investasi swasta pun bisa diarahkan untuk memperkuat infrastruktur dan teknologi pangan yang ramah iklim.

 

J.  KESIMPULAN: MENUJU KEDAULATAN PANGAN DI ERA KRISIS IKLIM

 

Krisis iklim kini nyata dan hadir dalam kehidupan sehari-hari. Kenaikan suhu, curah hujan yang semakin sulit diprediksi, hingga naiknya permukaan laut telah terbukti menurunkan produktivitas pertanian, merusak ekosistem laut, dan menambah beban para petani serta nelayan kecil. Ancaman ini diperparah oleh persoalan lama yang belum terselesaikan, seperti rantai pasok pangan yang tidak efisien dan kerusakan sumber daya alam. Jika tidak segera diantisipasi, kombinasi masalah ini dapat mengguncang fondasi ketahanan pangan Indonesia.

 

Namun, di balik ancaman besar tersebut, tersimpan peluang emas. Krisis iklim bisa menjadi titik balik untuk melakukan transformasi mendasar pada sistem pangan nasional. Kita tidak bisa lagi berorientasi pada masa lalu yang sudah tidak relevan, melainkan harus berani membangun sistem pangan baru yang lebih produktif, efisien, berkeadilan, dan ramah lingkungan. Yang lebih penting, sistem ini harus tangguh menghadapi berbagai guncangan iklim di masa depan.

 

Langkah menuju resiliensi pangan menuntut pendekatan menyeluruh dan lintas sektor. Tidak cukup hanya dengan intervensi parsial. Pertanian, kelautan, pekerjaan umum, lingkungan hidup, keuangan, hingga perencanaan pembangunan harus bergerak bersama dalam satu kerangka kebijakan yang saling mendukung. Sinergi ini menjadi kunci agar setiap kebijakan tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan memperkuat satu sama lain.

 

Rekomendasi yang disampaikan dalam kajian ini—mulai dari pengembangan benih unggul yang tahan iklim, modernisasi infrastruktur air dan logistik, hingga reformasi tata kelola pangan—dirancang sebagai satu paket kebijakan yang terintegrasi. Implementasinya tidak boleh ditunda. Setiap keterlambatan hanya akan menambah beban ekonomi dan sosial di kemudian hari dengan skala kerugian yang jauh lebih besar.

 

Berinvestasi pada resiliensi iklim hari ini sejatinya adalah bentuk asuransi terbaik bagi masa depan bangsa. Dengan langkah berani dan visioner, Indonesia dapat mewujudkan kedaulatan pangan yang kokoh di abad ke-21. Perjuangan membangun ketahanan pangan tidak bisa dipisahkan dari upaya memperkuat ketahanan iklim—keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama yang akan menentukan kesejahteraan dan keamanan bangsa di masa depan.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko. Krisis Iklim dan Ketahanan Pangan Nasional. WEBINAR NASIONAL. [A Collaboration between CSDS MITI - IMPASSEL IPB University]. “Krisis Iklim: Siapa yang Siap Jadi Pahlawan Hijau?” Bogor 28 September 2025.


#KetahananPangan 

#KeamananPangan 

#KrisisIklimGlobal 

#AdaptasiIklim 

#PanganBerkelanjutan