Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Global Warming. Show all posts
Showing posts with label Global Warming. Show all posts

Friday, 22 March 2024

Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Peternakan


Usaha peternakan dari hulu sampai ke hilir memegang peranan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan manusia. Produk asal hewan telah menyediakan 33% protein dan 17% kalori kebutuhan manusia sedunia. Agribisnis peternakan menyumbangkan sekitar 40% PDB pertanian dunia. Sektor peternakan ini membuka lapangan kerja yang lebar bagi masyarakat di pedesaan. Terpenting, peternakan merupakan penyedia utama pangan bernilai gizi tinggi pencegah stunting, sekaligus sebagai sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk negara berkembang.

 

Sampai saat ini masih terdapat interaksi antara perubahan iklim yang sedang berlangsung dan tuntutan peningkatan produksi peternakan. Ini menjadi tantangan bagaimana meningkatkan produksi sekaligus menurunkan dampak perubahan iklim. Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan pemahaman tentang adaptasi perubahan iklim terhadap produksi peternakan.

 

Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, terutama timbulnya keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim. Sehingga dapat diperoleh: (1) potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang; (2) peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan; dan (3) konsekuensi yang muncul akibat perubahan iklim dapat diatasi.

 

Dalam lingkungan peternakan, adaptasi dapat terjadi melalui perubahan ekologi hewan dan upaya manusia. Bagi ternak, adaptasi alami dihasilkan dari berbagai mekanisme yang digunakan hewan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Sedangkan adaptasi manusia melalui tindakan dan praktik untuk membantu hewan ternak beradaptasi terhadap perubahan iklim, akhirnya produktivitas ternak meningkat. Dalam konteks peternakan, tindakan adaptasi meliputi adaptasi hewan, genetika hewan, modifikasi fisik lingkungan, pengendalian penyakit, dan sistem manajemen peternakan.

 

Adaptasi Hewan

 

Hewan dapat beradaptasi melalui respons fisiologis, biokimia, imunologi, anatomi, dan perilakunya. Gejala yang umum diamati terhadap cekaman panas yaitu penurunan nafsu makan, mencari tempat berteduh, peningkatan keringat, terengah-engah dengan mulut terbuka, peningkatan konsumsi minum, peningkatan waktu berdiri dan penurunan waktu berbaring, serta penurunan frekuensi buang air besar dan kecil.

 

Perlu dicatat bahwa hewan ternak jarang terkena cekaman tunggal. Selain cekaman panas, dapat bersama cekaman lainnya seperti kekurangan pakan dan air atau gizi buruk terjadi secara bersamaan. Dari berbagai pemicu cekaman tersebut menimbulkan efek kumulatif yang bersifat multiplikatif.

 

Hewan mungkin tidak dapat sepenuhnya beradaptasi terhadap cekaman iklim, sehingga peternak perlu membantu untuk mempertahankan produksi dan reproduksi ternaknya. Namun, kita harus ingat bahwa perubahan iklim bisa begitu besar sehingga dampaknya tidak dapat diatasi. Dalam kasus seperti ini, tindakan yang lebih ekstrim mungkin diperlukan, seperti melakukan perubahan penggunaan lahan, spesies hewan, atau pembebasan hewan. Strategi adaptasi yang diupayakan manusia meliputi genetika hewan, modifikasi fisik, pengelolaan pakan dan pengendalian hama, serta sistem manajemen peternakan.

 

Genetika hewan

 

Genetika hewan adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-ihwal tentang gen mulai dari susunan kimia gen, peranan gen dalam penentuan sifat atau performans hewan. Pemilihan bangsa hewan ternak secara tradisional telah digunakan untuk meningkatkan efisiensi produksi ternak dan memfasilitasi peningkatan produksi ternak secara besar-besaran. Namun, spesies yang saat ini dipilih karena produksinya tinggi, dalam beberapa kasus memiliki produksi panas metabolik yang lebih tinggi sehingga mudah sekali terkena stres panas.

 

Karena iklim di masa mendatang diperkirakan akan lebih panas, suhu ekstrim lebih sering terjadi, maka teknik pemuliaan dan pemilihan jenis bangsa hewan ternak menjadi tindakan adaptasi. Variasi genetik dalam respon cekaman panas pada spesies hewan ternak diamati dan diukur. Beberapa bangsa hewan ternak tidak terlalu terpengaruh oleh cekaman panas, seperti hewan yang lebih kecil dan berwarna lebih terang. Ada bangsa hewan ternak yang telah beradaptasi secara fisik dan fisiologis sehingga tahan terhadap cekaman panas.

 

Jika sifat tersebut menurun ke anaknya, maka pembiakan selektif tahan cekaman panas dapat digunakan untuk meningkatkan adaptasi hewan. Peternak dapat mengganti bangsa hewan ternak yang dipelihara, misalnya untuk peternakan sapi dengan menggunakan bangsa Bos indicus atau Bos sondaicus yang cocok dikembangbiakan di wilayah tropis.

 

Modifikasi fisik lingkungan

 

Modifikasi fisik lingkungan juga dapat dilakukan, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu dipelihara di luar ruangan dan dalam ruangan.

 

Untuk hewan yang dipelihara di luar ruangan seperti padang rumput, salah satu metode adaptasi yang hemat biaya adalah penyediaan naungan. Hal ini menurunkan paparan radiasi matahari dan mengurangi cekaman panas. Alat penyiram air juga dapat membantu menurunkan suhu tubuh. Huynh (2005) menyarankan penggunaan kombinasi metode karena menimbulkan efek interaksi. Misalnya, kombinasi penyiraman air dan kandang tertutup tanpa halaman luar menghasilkan produksi harian lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian penyiraman air saja.

 

Untuk ternak yang dipelihara di dalam ruangan kandang, pilihan modifikasi fisik kandang dapat menggunakan: (1) sistem ventilasi yang cukup; (2) desain dan bahan bangunan peredam panas; (3) penyemprotan atap kandang; (4) penggunaan kipas angin dalam kandang; (5) pendingin alas kandang (pendingin pipa bawah tanah). Pendingin udara dan pendingin alas kandang terbukti memiliki kinerja terbaik dalam menurunkan cekaman panas, namun perlu investasi awal dan biaya operasional cukup tinggi.

 

Pengendalian hama penyakit

 

Pengendalian hama penyakit belum banyak dibahas sebagai adaptasi ternak, meskipun para peneliti telah memperhatikan bahwa perubahan pola curah hujan di masa depan dapat memengaruhi penyebaran dan kuantitas beberapa hama penyakit yang ditularkan melalui vektor serangga.

Ada beberapa kekhawatiran terkait pengelolaan hama penyakit ternak. Pertama, beberapa hama penyakit berkembang menjadi resisten terhadap insektisida dan obat-obatan dalam waktu singkat, yang akan menurunkan efektivitas insektisida dan obat-obatan. Oleh karena itu, dalam praktik disarankan untuk melakukan rotasi penggunaan insektisida yang cara kerjanya berbeda.

 

Kedua, pengaturan kepadatan ternak. Sistem dengan kepadatan ternak tinggi dapat mendorong wabah hama penyakit. Khususnya unggas banyak menderita masalah hama penyakit karena dipelihara dengan sangat padat dengan tujuan memperoleh hasil produksi lebih banyak dalam waktu singkat. Maka disarankan untuk mempraktikan kepadatan optimal sesuai standar cara beternak yang baik.

 

Ketiga, residu obat pada produk asal hewan akibat penggunaan pestisida yang tidak tepat. Cara ini dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Sebagai hasil dari pertimbangan ini, diperlukan pengelolaan hama penyakit terpadu, disertai pengembangan teknologi pestisida.

 

Praktik pemberian pakan yang tepat dapat digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh di bawah cekaman panas. Kegiatannya meliputi modifikasi komposisi makanan, perubahan waktu dan/atau frekuensi makan, dan pengelolaan air. Praktik ini membantu meringankan cekaman panas dengan mencukupi asupan kandungan energi, nutrisi, elektrolit dan mineral, serta menjaga keseimbangan air. Modifikasi pemberian pakan pada sapi dan unggas telah banyak dikaji, umumnya berdampak positif untuk menjaga status kesehatan hewan ternak.

 

Sistem manajemen peternakan

 

Adaptasi sistem manajemen peternakan dapat menggunakan satu atau lebih strategi berikut:

(1) Diversifikasi spesies ternak: Peternakan multi-spesies meningkatkan kemampuan peternak untuk mengatasi perubahan iklim dan perubahan kondisi padang rumput, serta dapat meningkatkan keberlanjutan peternakan.

(2) Penyesuaian tingkat persediaan ternak: Penyesuaian tingkat persediaan ternak digunakan untuk mengurangi dampak kekeringan pada anak sapi. Tingkat persediaan ternak menurun seiring dengan peningkatan indeks suhu-kelembaban dan peningkatan curah hujan di musim panas. Maka dari itu diatur sedemikian rupa agar persediaan anak sapi tetap stabil.

(3) Integrasi sistem peternakan-kehutanan atau peternakan-tanaman pangan: Cara ini mempunyai efek sinergis positif terhadap sifat tanah dan siklus unsur hara. Integrasi tanaman pangan-ternak atau kehutanan-ternak dapat mencegah degradasi tanah, mengurangi penggunaan bahan kimia, dan meningkatkan nilai tambah usaha pertanian.

 

Kesimpulan dan saran

 

Peternak harus berperan dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui budidaya ternak yang baik menggunakan bibit unggul tahan cekaman panas dan memberikan pakan bermutu. Pemerintah perlu terus-menerus memfasilitasi adaptasi perubahan iklim dengan menerapkan teknologi tepat guna terkini. Penting menggalang komitmen semua pemangku kepentingan terkait untuk terlibat dalam kegiatan adaptasi perubahan iklim ini yang terencana dan berkesinambungan.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko. Mengenali Adaptasi Perubahan Iklim Pada Peternakan. PanganNews 1 Maret 2024. https://pangannews.id/berita/1709271831/mengenali-adaptasi-perubahan-iklim-pada-peternakan

x

Wednesday, 24 June 2020

Dampak Global Warming dan Upaya Pengendaliannya


Fakta Global
 
Meningkatnya pemanasan: Dua dasa warsa terakhir merupakan tahun-tahun terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama 50 tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata 100 tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0,74 °C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan.  Pada saat ini dilaporkan tengah terjadi kenaikan muka laut dari abad ke-19 hingga abad ke-20, dan kenaikannya pada abad ke-20 adalah sebesar 0,17 meter.  Jumlah karbondioksida (CO2) meningkat di atmosfer.  CO2 merupakan penyebab paling dominan timbulnya perubahan iklim saat ini dan konsentrasinya di atmosfer telah naik dari masa pra-industri yaitu 278 ppm menjadi 379 ppm pada 2005.
 
Indikasikan percepatan pemanasan
 
Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang kontinyu pada kecepatannya saat ini atau di atasnya akan menyebabkan pemanasan lebih lanjut dan memicu perubahan iklim global selama abad ke-21 yang dampaknya lebih besar daripada yang diamati pada abad ke-20.  Tingkat pemanasan bergantung kepada tingkat emisi GRK: Jika konsentrasi CO2 stabil pada 550 ppm – dua kali lipat dari masa pra-industri – pemanasan rata-rata diperkirakan mencapai 2,0 – 4,5 °C. Selama dua dekade ke depan diperkirakan tingkat pemanasan sebesar 0,2 °C per dekade dengan skenario tidak memasukkan pengurangan emisi GRK.  Proyeksi terjadinya pemanasan bergantung kepada beberapa faktor seperti pertumbuhan ekonomi, populasi, teknologi dan faktor lainnya.

Dampak negatif
 
Peningkatan Suhu 3 °C selama abad ini akan memberikan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati, berdampak pada kehidupan manusia seperti penyediaan makanan dan air.  Suhu yang lebih tinggi menyebabkan musim semi datang lebih awal; peningkatan limpahan dan debit air sungai yang bersumber dari gletser; dan terjadi migrasi burung-burung.  Peningkatan presipitasi lebih banyak terjadi pada daerah lintang tinggi sedangkan pengurangan presipitasi banyak terjadi di daratan-daratan subtropis.  Kenaikan muka laut akibat perluasan lautan dan lelehnya gletser abad lalu setinggi 18 – 58 cm.  Pengurangan lapisan es di Greenland berkontribusi terhadap naiknya muka laut.

Penyebab terjadinya perubahan iklim
 
“Selubung alami GRK” di atmosfer menjaga bumi cukup hangat untuk kehidupan – saat ini dalam taraf nyaman sebesar 15°C.  Emisi GRK yang disebabkan oleh kegiatan manusia telah mengakibatkan adanya penebalan selubung tersebut, sehingga banyak panas yang terperangkap dan memicu pemanasan global. Bahan bakar fosil adalah sumber emisi GRK terbesar dari aktivitas manusia. Temperatur bumi cukup stabil dalam 10.000 tahun terakhir dan bervariasi kurang dari 1 °C, sehingga peradaban manusia dapat berkembang pesat hingga saat ini dengan temperatur nyaman sebesar 15 oC. Tetapi kesuksesan perkembangan peradaban manusia menimbulkan risiko keseimbangan iklim bumi. “Selubung alami GRK” yang terbentuk secara alami di lapisan troposfer - kurang lebih 1% dari komposisi atmosfer keseluruhan – memiliki fungsi yang vital untuk iklim di bumi. Ketika energi matahari dalam bentuk gelombang tampak masuk dan menghangatkan permukaan bumi, bumi yang jauh lebih dingin daripada matahari kemudian mengemisikan energi tersebut kembali ke angkasa dalam bentuk gelombang inframerah atau thermal, radiasi. GRK akan menghalangi radiasi inframerah tersebut agar tidak kembali ke angkasa. 
 
“Efek GRK alami” ini menyebabkan temperatur bumi lebih panas 30 oC daripada temperatur bumi seharusnya, hal ini tentu saja sangat penting bagi kehidupan manusia.  Masalah yang kini dihadapi manusia adalah sejak dimulainya revolusi industri 250 tahun yang lalu, emisi GRK semakin meningkat dan menebalkan selubung GRK di atmosfer dengan laju peningkatan yang signifikan. Iklim global akan terus mengalami pemanasan dengan laju yang cepat dalam dekade yang akan datang kecuali jika ada usaha mengurangi emisi GRK ke atmosfer.

Efek gas rumah kaca yang semakin besar
 
Hal yang menyebabkan emisi GRK menjadi masalah yang besar adalah karena dalam jangka panjang, bumi harus melepaskan energi dengan laju yang sama ketika bumi menerima energi dari matahari. Selubung GRK yang lebih tebal akan membantu untuk mengurangi hilangnya energi ke angkasa, sehingga sistem iklim harus menyesuaikan diri untuk mengembalikan keseimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar. Proses ini disebut sebagai “efek GRK yang semakin besar”.  Iklim menyesuaikan diri terhadap selubung GRK yang lebih tebal dengan “pemanasan global” pada permukaan bumi dan pada atmosfer bagian bawah. Kenaikan temperatur tersebut diikuti oleh perubahan-perubahan lain, seperti tutupan awan dan pola angin. Beberapa perubahan ini dapat mendukung terjadinya pemanasan (timbal balik positif), sedangkan yang lainnya melakukan hal yang berlawanan (timbal balik negatif). Berbagai interaksi tersebut sangat menyulitkan para ahli untuk menentukan secara tepat bagaimana iklim akan berubah dalam beberapa dekade ke depan.

Perubahan Iklim di bumi
 
Pemanasan yang terjadi pada sistem iklim bumi merupakan hal yang jelas terasa, seiring dengan banyaknya bukti dari pengamatan kenaikan temperatur udara dan laut, pencairan salju dan es di berbagai tempat di dunia, dan naiknya permukaan laut global.  Tingkat pemanasan pada temperatur permukaan bumi rata-rata pada 50 tahun terakhir hampir mendekati dua kali lipat dari rata-ratanya pada 100 tahun terakhir. Selama 100 tahun terakhir, temperatur permukaan bumi rata-rata naik sekitar 0,74 °C. Jika konsentrasi GRK dominan di atmosfer, karbondioksida, meningkat dua kali lipat dari masa pra-industri, hal ini akan memacu pemanasan rata-rata mencapai 3 °C. Akhir 1990an dan awal abad 21 merupakan tahun-tahun terpanas sejak adanya data modern. Lapisan es pada Benua Arktik rata-rata telah berkurang sebanyak 2,7% per dekade. Perubahan yang telah diukur oleh para ilmuwan pada atmosfer, lautan, permukaan es dan gletser menunjukkan bahwa bumi telah mengalami pemanasan akibat dari adanya emisi GRK di masa lalu. Perubahan-perubahan tersebut merupakan bagian dari pola yang konsisten dan bukti dari adanya gelombang panas yang lebih besar, pola angin baru, kekeringan yang lebih parah di beberapa daerah, bertambahnya presipitasi di daerah lainnya, melelehnya gletser dan es di Arktik serta naiknya muka laut. Jika konsentrasi GRK dominan di atmosfer, karbondioksida, bertambah hingga dua kali lipat dibandingkan konsntrasinya pada masa pra-industri maka pemanasan rata-rata akan meningkat mencapai 2,0 – 4,5 °C. GRK lainnya turut pula berperan dalam pemanasan tersebut dan menurut beberapa skenario, kombinasi dampak dari gas-gas ini akan menjadi dua kali lipat pada paruh kedua abad ini.  Konsentrasi karbondioksida di atmosfer saat ini, menurut pengukuran pada udara yang terperangkap pada inti es, jauh lebih besar dibandingkan dengan 650.000 tahun terakhir.  Salah satu dampak terbesar pemanasan global adalah permukaan naik laut 17 cm pada abad ke-20. Abad ke-20, luasan maksimum daerah yang tertutup salju pada musim dingin/semi telah berkurang sekitar 7% pada Belahan Bumi Utara. Waktu pembekuan sungai dan danau melambat menjadi 5,8 hari per abad dan mencair lebih cepat 6,5 hari per abad.

Dampak di masa depan
 
Masyarakat kurang mampu merupakan masyarakat yang paling rentan terhadap dampak dari perubahan iklim.  Sekitar 20-30% spesies makhluk hidup akan menghadapi resiko kepunahan lebih besar.  Akan terjadi gelombang panas yang lebih kuat, pola angin baru, kekeringan yang semakin parah di beberapa daerah dan bertambahnya presipitasi di daerah lainnya.  Kenaikan temperatur telah mempercepat siklus hidrologi. Atmosfer yang lebih hangat akan menyimpan lebih banyak uap air, sehingga menjadi kurang stabil dan menghasilkan lebih banyak presipitasi, terutama dalam bentuk hujan lebat. Panas yang lebih tinggi juga mempercepat proses evaporasi. Dampak dari perubahan-perubahan tersebut dalam siklus air adalah menurunnya kuantitas dan kualitas air bersih di dunia. Sementara itu, pola angin dan jejak badai juga akan berubah. Intensitas siklon tropis akan semakin meningkat (namun tidak berpengaruh terhadap frekuensi siklon tropis), dengan kecepatan angin maksimum yang bertambah dan hujan yang semakin lebat.

Meningkatnya risiko kesehatan
 
Perubahan iklim akan mengubah distribusi nyamuk-nyamuk malaria dan penyakit-penyakit menular lainnya, sehingga mempengaruhi distribusi musiman penyakit alergi akibat serbuk sari dan meningkatkan resiko penyakit-penyakit pada saat gelombang panas. Tentu saja seharusnya akan lebih sedikit kematian yang disebabkan oleh udara dingin.

PENGGUNAAN ENERGI
 
- Energi terbarukan
 
Berdasarkan UNEP and new energy finance, investasi dalam bidang energi terbarukan, khususnya investasi pada angin, solar, dan biofuel. Hal ini mempeMaka perlu adanya kedewasaan teknologi, insentifitas kebijakan dan kesadaran investor bahwa energi terbarukan ikut andil dalam keamanan pemanfaatan energi global.
 
- Pemerintah mempromosikan pilihan energi
 
Pemerintah mendorong penggunaan teknologi dengan bahan bakar gas alam lebih daripada penggunaan bahan bakar fosil.  Pemerintah mendukung penggunaan teknologi berbasis energi terbarukan, seperti penggunaan pembangkit air, pembakaran biomassa, dan geothermal. Sumber terbarukan lainnya seperti penggunaan solar pada pendingin udara, penggunaan energi gelombang dan nanotechnology pada solar sel. Pilihan lainnya adalah penggunaan teknologi penangkap dan penyimpan karbon, teknologi ini ikut terlibat dalam penangkapan CO2 sebelum dilepaskan ke atmosfer, memindahkannya ke tempat yang lebih aman dan mengisolasinya dari atmosfer, contohnya adalah menyimpannya dalam lapisan formasi batuan.

TRANSPORTASI
 
Dengan teknologi, emisi dari injeksi langsung dari turbocharge diesel dapat dikurangi dan meningkatkan baterai pada kendaraan, untuk meningkatkan pengereman regeneratif dan meningkatkan efisiensi pada sistem penggerak kereta, dan untuk menyeimbangkan bodi sayap dan unducted turbofan pada sistem pendorong pesawat. Biofuel juga mempunyai potensi untuk menggantikan sebagian besar proporsi dari minyak bumi pada alat transportasi. Menyediakan sistem transportas publik dan mempromosikan transportasi tak bermotor juga dapat mengurangi emisi. Strategi manajemen untuk mengurangi kemacetan jalan raya dan polusi udara juga sangat efektif dalam mengurangi perjalanan dengan menggunakan kendaraan sendiri.

INDUSTRI
 
Potensi terbesar untuk mengurangi emisi industri ada pada industri baja, semen, pulp dan kertas, dan pengawasan pada gas-gas non-CO2 seperti HFC-23 dari pembentukan HCFC-22, PFCS dari proses peleburan alumunium dan semikonduktor, sulfur heksaklorida dari penggunaan switchgear listrik dan proses pembentukan magnesium, dan metana dan nitrogen oksida dari industri kimia dan makanan.

PERTANIAN
 
Penyitaan karbon di dalam tanah mempunyai nilai potensi mitigasi sebesar 89 persen di bidang pertanian. Sisanya adalah peningkatan manajemen daerah pertanian dan peternakan (misalnya meningkatkan praktek agronomi, penggunaan pupuk, waktu tanam dan manajemen limbah pertanian), mengembalikan kondisi tanah organik yang digunakan sebagai lahan produksi dan mengembalikan kondisi tanah yang rusak menjadi lahan yang produktif, peningkatkan manajemen pengairan dan persawahan, walaupun nilainya rendah tapi merupakan pengurangan karbon yang signifikan, perubahan tata guna lahan (misalnya mengganti daerah pertanian menjadi daerah padang rumput) dan agro-forestry, serta meningkatkan peternakan dan manajemen pemupukan.

KEHUTANAN
 
Saat ini hal yang menarik dari sektor ini adalah tingginya tingkat deforestasi. Dengan melakukan penanaman hutan baru, pengurangan GRK secara pasti dapat dilakukan dengan biaya yang lebih murah, sekitar 65 persen dari total mitigasi tertuju pada hutan-hutan tropis dan 50 persen dapat dilakukan dengan menghindari deforestasi. Dalam Jangka waktu yang lama, cara terbaik untuk mempertahankan atau meningkatkan kemampuan hutan dalam mengikat karbon yaitu dengan menerapkan manajemen hutan yang berkelanjutan, yang juga dapat memberikan keuntungan sosial dan lingkungan. Pendekatan yang komprehensif pada manajemen kehutanan dapat menjamin hasil hutan tahunan, serat atau energi yang sesuai dengan isu perubahan iklim, mempertahankan biodiversity dan memajukan pembangunan yang berkelanjutan.

SAMPAH
 
Pembuangan sampah memberikan andil sekitar 5 % dari total emisi GRK. Dengan teknologi, pengurangan emsisi secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan gas yang dihasilkan dari pembuangan sampah, dan juga meningkatkan penerapan dan perencanaan manajemen air sampah pada tempat pembuangan akhir. Melakukan pengontrolan terhadap sampah-sampah organik, teknologi insenerasi dan memperluas daerah sanitasi dapat menghindari terbentuknya gas-gas ini di lokasi pertama. Dengan melakukan hal ini diperkirakan 20 – 30 % proyeksi emisi dari sampah pada tahun 2030 dapat dikurangi dengan biaya yang negatif dan 30 – 50 % nya dengan biaya yang rendah.

PERAN POLITIK
 
Pemerintah, otoritas negara mempunyai peran utama dalam memotivasi sektor swasta untuk berinvestasi dalam mengembangkan inovasi teknologi dengan memfasilitasi perusahaan-perusahaan berupa rangsangan yang jelas, dapat diramalkan, jangka panjang dan sehat.

Kebijakan-kebijakan pemerintah dapat juga menjadi kontra produktif. Pemberian subsidi secara langsung dan tidak langsung pada penggunaan bahan bakar fosil dan pertanian menjadi hal yang terus berlangsung, meskipun penggunaan bahan bakar batubara mengalami penurunan pada beberapa dekade yang dilakukan oleh negara-negara industri.

Kebijakan dengan cakupan yang luas, kesuksesan pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang mempunyai cakupan luas dalam isu perubahan iklim dilihat dari standarisasi dan regulasi, pajak dan denda, ijin perdagangan, perjanjian hibah, subsidi, rangsangan pendanaan, penelitian dan pengembangan program serta instrumen informasi.

Kebijakan-kebijakan untuk memandu investasi, kebijakan-kebijakan pemerintah dan keputusan investasi di sektor swasta sangatlah diperlukan untuk mendapatkan nilai cukup yang harus di investasikan dalam pembangunan infrastruktur energi dari sekarang hingga tahun 2030, sehingga berpengaruh terhadap emisi GRK.
Menghilangkan pembatas dalam berinovasi, untuk menjadikan kebijakan-kebijakan tersebut menjadi efektif, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus dalam mengidentifikasi dan menghilangkan batasan dalam berinovasi. Hal ini dapat berupa harga pasar yang tidak sesuai seperti tingkat polusi, rangsangan yang salah sasaran, keuntungan pihak-pihak tertentu, ketidak efektifan pada agen-agen regulator dan tidak benarnya informasi.

Pendekatan Holistik, karena tidak ada satu pun sektor ataupun teknologi yang dapat memenuhi seluruh tantangan mitigasi perubahan iklim, pendekatan yang terbaik adalah memakai portofolio kebijakan yang beragam untuk seluruh sektor.

PERAN EKONOMI
 
Berdasarkan studi yang dilakukan terdapat indikasi bahwa ekonomi memberikan pengaruh besar terhadap mitigasi emisi GRK pada beberapa dekade mendatang.

Model ekonomi memberikan estimasi biaya yang rendah ketika menggunakan dasar dengan peningkatan emisi secara perlahan dan mekanisme yang fleksibel dari aturan internasional secara penuh diterapkan. Selain itu, jika adanya penambahan pendapatan dari pajak emisi atau skema emisi, biaya akan menjadi lebih rendah. Dan jika penambahan pendapatan tersebut digunakan untuk mendorong teknologi berkarbon rendah dan menghilangkan batasan mitigasi, biaya tersebut akan semakin rendah lagi.

Para pakar ekonomi menggunakan analisis cost-benefit untuk mebandingkan biaya tindakan dengan biaya tanpa tindakan (yaitu, kerusakan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim). Mereka mengkuantifikasi kerusakan oleh perubahan iklim sebagai biaya sosial dari karbon dan potongannya hingga akhir. Biaya sosial tersebut merupakan biaya-biaya yang tidak dikenali dalam ekonomi, misalnya biaya karena peningkatan kekeringan, badai dan banjir yang tidak termasuk ke dalam harga yang harus dibayarkan untuk membakar bahan bakar fosil tetapi mereka memasukkannya ke dalam biaya sosial.

Dengan membandingkan estimasi biaya sosial karbon dengan harga karbon pada level mitigasi yang berbeda memperlihatkan bahwa biaya dalam menstabilkan konsentrasi emisi GRK cenderung sebanding atau bahkan lebih rendah dari biaya tanpa tindakan.

Perlu diingat bahwa kebijakan mengenai iklim dapat membawa bermacam-macam keuntungan bagi banyak pihak yang mungkin tidak termasuk ke dalam estimasi biaya. Hal ini seperti inovasi teknologi, pembaharuan pajak, penambahan pekerja, peningkatan keamanan energi dan keuntungan dari kesehatan karena adanya pengurangan polusi. Sebagai hasilnya, kebijakan iklim menawarkan co-benefit yang besar, sehingga dapat menawarkan kebijakan pengurangan emisi GRK tanpa adanya penyesalan, dengan pertambahan keuntungan yang besar walaupun bila pengaruh manusia terhadap perubahan iklim berubah menjadi lebih kecil dari hasil proyeksi.

Sunday, 1 December 2019

2018 Emisi GRK Jepang Terendah


Emisi Gas Rumah Kaca Jepang Raih Rekor Terendah pada 2018


Penurunan Emisi Didorong Peralihan Pembangkit Listrik ke Nuklir.

Emisi gas rumah kaca Jepang pada tahun 2018 dinilai sebagai yang terendah dalam sepanjang catatan yang ada. Namun, pemerintah Jepang mengaku masih perlu mengurani nilai emisi tersebut.

Data awal yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Jepang menyebut ini dibantu oleh cuaca musim dingin yang hangat, peningkatan output penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Ini juga berkat pengurangan konsumsi daya rumah tangga.

Meski berhasil mengurangi efek emisi gas, kementerian mengaku masih harus menempuh jalan panjang untuk mencapai tujuannya yakni memotong 26 persen dari data yang dihasilkan pada 2013. Target ini dibuat bersamaan dengan perjanjian iklim Paris dan harus terpenuhi pada 2030. Kementerian menilai masih diperlukan upaya lebih untuk mengurangi emisi.

Emisi gas Jepang telah mengalami penurunan sejak lima tahun yang lalu. Penurunan emisi pada Maret tahun lalu tercatat hanya 11,8 persen dari angka yang didapat pada 2013.

Dilansir di Japan Today, dari data tersebut diketahui terjadi penurunan sebesar 3,6 persen dari tahun 2017 dengan total setara 1,24 miliar ton karbon dioksida. Nilai ini setara dengan emisi gas yang dikeluarkan Jepang pada tahun 2009 yakni 1,25 miliar ton karbon dioksida.

Pengurangan output emisi gas yang dikeluarkan pembangkit listrik menggunakan bahan bakar fosil terjadi akibat peralihan menuju PLTN. Nilainya dua kali lipat lebih rendah dari catatan tahun 2017.

Angka ini didapat meskipun tidak ada pabrik yang mulai kembali beroperasi pada 2018. Kelancaran operasional reaktor yang telah dicek keselamatannya pasca bencana nuklir 2011 pun mengambil peran dalam penurunan gas emisi rumah kaca Jepang.

Sumber:
Republika 30 November 2019

Monday, 25 November 2019

Bumi Butuh Lebih Sedikit Manusia

 

Bumi Butuh Lebih Sedikit Manusia untuk Mengatasi Krisis Iklim, Kata Para Ilmuwan

 

Lebih dari 11.000 ahli menandatangani deklarasi darurat yang memperingatkan bahwa energi, pangan, dan reproduksi harus segera berubah.

 

Empat puluh tahun lalu, ilmuwan dari 50 negara berkumpul di Jenewa untuk membahas apa yang saat itu disebut sebagai “masalah iklim CO2.” Pada waktu itu, ketergantungan pada bahan bakar fosil telah memicu krisis minyak tahun 1979, dan mereka memprediksi pemanasan global pada akhirnya akan menjadi tantangan lingkungan utama.

 

Para ilmuwan mulai bekerja, menyusun strategi untuk menghadapi masalah tersebut dan meletakkan dasar bagi Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan ilmiah terkemuka di dunia untuk perubahan iklim. Tujuan mereka adalah mengantisipasi masalah ini sebelum terlambat. Namun, setelah awal yang cepat, industri bahan bakar fosil, politik, dan prioritas terhadap pertumbuhan ekonomi di atas kesehatan planet memperlambat upaya mereka.

 

Kini, empat dekade kemudian, kelompok ilmuwan yang lebih besar membunyikan alarm yang jauh lebih mendesak. Lebih dari 11.000 ahli dari seluruh dunia menyerukan tambahan kritis terhadap strategi utama untuk menggantikan bahan bakar fosil dengan energi terbarukan: planet ini membutuhkan lebih sedikit manusia.

 

“Kami menyatakan, dengan lebih dari 11.000 tanda tangan ilmuwan dari seluruh dunia, secara jelas dan tegas bahwa planet Bumi menghadapi keadaan darurat iklim,” tulis para ilmuwan dalam peringatan tegas yang diterbitkan pada Selasa di jurnal BioScience.

 

Meskipun peringatan tentang konsekuensi perubahan iklim yang tidak terkendali telah menjadi begitu umum hingga kebal bagi konsumen berita biasa, komunike terbaru ini sangat signifikan mengingat data yang menyertainya.

 

Ketika diuraikan secara berurutan, grafik-grafik ini menggambarkan tren yang menghancurkan bagi kesehatan planet. Dari konsumsi daging, emisi gas rumah kaca, dan hilangnya es hingga kenaikan permukaan laut dan kejadian cuaca ekstrem, mereka melukiskan potret suram dari 40 tahun peluang yang terbuang.

 

Para ilmuwan secara spesifik menyerukan kepada pembuat kebijakan untuk segera mengimplementasikan perubahan sistemik pada kebijakan energi, pangan, dan ekonomi. Namun, mereka melangkah lebih jauh ke wilayah sensitif secara politik tentang pengendalian populasi. Populasi “harus distabilkan—dan, idealnya, secara bertahap dikurangi—dalam kerangka yang memastikan integritas sosial,” tulis mereka.

 

Masalah ini sangat besar, tetapi para penandatangan masih mampu menyampaikan nada optimis. Meski ada banyak peluang yang terlewat, kemajuan sedang dibuat, menurut mereka.

 

“Kami didorong oleh lonjakan kekhawatiran baru-baru ini,” kata surat tersebut. “Badan-badan pemerintah membuat deklarasi darurat iklim. Anak-anak sekolah melakukan aksi mogok. Gugatan ekosida sedang diproses di pengadilan. Gerakan masyarakat akar rumput menuntut perubahan, dan banyak negara, negara bagian, provinsi, kota, serta bisnis merespons.”

 

Namun, laporan ini muncul sehari setelah Presiden AS Donald Trump memulai prosedur resmi untuk menarik Amerika keluar dari Perjanjian Iklim Paris.

 

SUMBER

Bloomberg.com. oleh Eric Roston, 5 November 2019.



Saturday, 31 May 2008

G-8 Environment Ministers Meeting di Kobe 24-26 Mei 2008

G-8 Environment Ministers Meeting telah diselenggarakan di Kobe dari tanggal 24 sampai dengan 26 Mei 2008. Pertemuan ini diketuai oleh Dr. Ichiro Kamoshita, Minister of Environment, Jepang, dengan dihadiri oleh segenap perwakilan negara anggota G-8 dan Outreach berjumlah total 18 negara, termasuk Indonesia. Pertemuan ini dihadiri pula oleh perwakilan lembaga-lembaga regional/internasional antara lain Global Environment Facility (GEF), GLOBE, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), United Nation Environment Programme (UNEP), World Bank, Secretariat of Basel Convention dan Secretariat of UNFCCC.

Menteri Lingkungan Hidup Jepang Dr. Ichiro Kamoshita selaku pimpinan sidang pada pembukaan menyampaikan bahwa masalah lingkungan yang dihadapi oleh komunitas internasional saat ini telah mendorong setiap negara untuk lebih meningkatkan upayanya pada setiap level baik nasional, regional maupun global, serta menekankan pentingnya kerjasama internasional dalam pelaksanaannya. Masalah lingkungan juga merupakan salah satu tema utama yang akan dibahas dalam Pertemuan tingkat Kepala Negara/Pemerintahan G-8 di Toyako, Hokkaido, yang dijadwalkan pada tanggal tanggal 7-9 Juli 2008. Karenanya, hasil pertemuan tingkat menteri di Kobe ini akan menjadi bahan masukan untuk Pertemuan tingkat Kepala Negara/Pemerintahan G-8 di Toyako, Hokkaido tersebut.

Tiga tema utama yang dibahas dalam pertemuan adalah climate change , biodiversity dan Reduce, Reuse & Recycle (3Rs).

Hasil-hasil pembahasan pertemuan G-8 dan Outreach countries antara lain:

1. Climate Change
a. Pentingnya transisi ke low carbon societies guna mencapai tujuan jangka panjang menuju realisasi tujuan akhir UNFCCC. Dalam hal ini, negara-negara maju harus berada di lini depan dalam upaya mengurangi reduksi emisi global hingga separuh pada tahun 2050. Guna mencapai low carbon societies, seluruh negara perlu melakukan inovasi dalam gaya hidup, pola konsumsi dan produksi, serta infrastruktur sosial, disamping inovasi teknologi;
b. Upaya kerjasama antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, antara lain meliputi alih teknologi, dukungan finansial dan pengembangan kapasitas guna meningkatkan aktivitas mitigasi dan adaptasi di negara-negara berkembang. Dalam hal mitigasi, diakui perlunya penggunaan carbon markets dan public-private partnership (PPP), serta mekanisme pendanaan yang mendukung;
c. Dalam hal negosiasi kerangka pasca 2012, diakui pentingnya menyelesaikan proses negosiasi sejalan dengan Bali Action Plan selambat-lambatnya Desember 2009. Dalam hal penetapan mid-term target yang efektif, diperlukan komitmen dan langkah nyata oleh negara-negara maju, serta langkah nyata oleh negara-negara berkembang. Dalam hal ini, masih terdapat negara-negara yang memperlihatkan keenganannya untuk memberikan komitmennya secara jelas dan pasti, contohnya AS. Sebaliknya, negara-negara Eropa terutama Jerman memperlihatkan kesan kesiapannya;
d. Terdapat dukungan luas untuk menindaklanjuti hasil pertemuan ini yang dikenal sebagai “Kobe Initiative”, antara lain pengembangan jaringan internasional dalam low carbon societies, analisa potensi bottom-up sectoral mitigation, peningkatan co-benefit dalam kebijakan terkait, dan dukungan pengembangan kapasitas bagi negara-negara berkembang untuk penemuan-untuk dan pengumpulan data berdasarkan measurablity, reportability, and verifiability.

2. Biodiversity
a. Pentingnya langkah-langkah peningkatan biodiversity lebih lanjut, termasuk pengembangan dan implementasi Rencana Aksi dan Strategi Biodiversity Nasional guna mencapai target biodiversity 2010;
b. Perlunya pelaksanaan pendekatan ilmiah dalam aktivitas riset biodiversity, termasuk proses monitoring, penilaian (assesment), dan penyediaan informasi;
c. Dalam hal pemanfaatan biodiversity secara berkelanjutan, diakui pentingnya merealisasikan konservasi biodiversity dan pengelolaan sumber alam secara berkelanjutan di alam sekunder seperti Satoyama di Jepang, termasuk lahan pertanian dan ekosistem di sekitarnya;
d. Pentingnya menanggulangi masalah illegal logging yang dipandang membawa kerugian besar terhadap biodiversity dan emisi tinggi gas rumah kaca. Dalam kaitan ini, diakui pula perlunya tindakan efektif baik dari negara pengimpor maupun pengekspor untuk tidak memasukkan illegal logged timber dari/ke pasar internasional;
e. Penekanan perlunya peningkatan keterlibatan seluruh aktor sosial termasuk aktor sektor swasta dalam memfasilitasi konservasi dan pemanfaatan biodiversity secara berkelanjutan;
f. Penekanan bahwa climate change mempunyai dampak besar terhadap biodiversity, bahkan kehidupan manusia. Karenanya, perlu perhatian terhadap keterkaitan climate change dan biodiversity;
g. Terdapat kesepakatan atas “Kobe Call for Action for Biodiversity” termasuk Satoyama Initiative yang diusulkan Jepang, guna upaya lebih lanjut mengatasi tantangan dalam hal biodiversity.

3. 3Rs
a. Diakui perlunya peningkatan langkah-langkah 3Rs dan resource productivity guna mencapai pembangunan secara berkelanjutan di negara-negara G-8 dan yang lainnya. Selain penanganan sampah secara tepat dan proses recycle (daur ulang), prioritas utama juga diletakkan pada reduksi sampah. Salah satu upaya misalnya mengurangi penggunaan disposable plastic bags. Negara-negara G-8 dan non G-8 mengakui keterkaitan kuat antara peningkatan pengelolaan sampah secara tepat dan 3Rs, dengan upaya reduksi emisi gas rumah kaca;
b. Dalam upaya pengembangan kapasitas guna mencapai pengelolaan sampah secara tepat di negara-negara berkembang, diakui perlunya kerjasama lebih lanjut antara 3R Initiative dan Basel Convention;
c. Diakui pula pentingnya dukungan teknik dan finansial mencapai pengembangan kapasitas dalam pelaksanaan 3Rs di negara-negara berkembang;
d. Terdapat kesepakatan terhadap Kobe 3R Action Plan dan melaporkan perkembangannya di tahun 2011. Jepang telah meluncurkan “New Action Plan towards a Global Zero Waste Society”, yang diharapkan dapat mendorong kerjasama internasional lebih lanjut berdasarkan spirit Kobe 3R Action Plan.

Secara umum, pertemuan berjalan dengan lancar dan efektif. Seluruh delegasi, baik G-8 maupun Outreach countries, termasuk Indonesia, mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya terhadap ketiga isu yang dibahas, yaitu biodiversity, 3Rs dan climate change. Satu hal yang menarik terjadi di persidangan adalah terdapatnya perubahan format pertemuan atas kesepakatan bersama G-8 dan Outreach countries. Awalnya pertemuan senantiasa menggunakan format dimana negara anggota G-8 yang mendapat kesempatan memberikan pandangan mereka, diikuti dengan Outreach countries, dan lembaga-lembaga regional/internasional terkait. Namun, hal ini kemudian berubah dan kesempatan berbicara diberikan kepada partisipan siapa saja, tanpa memperhatikan urutan sebagaimana sebelumnya. Hal ini di sisi lain juga memperlihatkan kesan bahwa masalah lingkungan sudah sedemikian mendesaknya sehingga pembahasan dan proses negosiasi harus cepat dilakukan dan kesempatan menyampaikan pendapat saat ini terbuka bagi siapa saja atau negara mana saja yang memberikan perhatiannya terhadap masalah lingkungan.

Terdapatnya beberapa hal yang menjadi pending issues, utamanya persoalan sharing burden and balanced responsibility dalam upaya reduksi emisi gas rumah kaca, serta kepastian negara-negara maju untuk menetapkan mid-term target reduksi emisi masing-masing. Hal ini antara lain juga menyiratkan bahwa masih terdapat perbedaan pandangan/posisi antar negara-negara maju yang tergabung dalam G-8 dan Outreach countries, termasuk Indonesia. Dari pembahasan, terkesan bahwa di satu sisi, beberapa negara maju seperti Jerman dan Perancis, memperlihatkan kesiapannya dalam upaya pencapaian/realisasi target reduksi emisi dalam jangka panjang maupun jangka menengah. Namun di sisi lain, AS masih memperlihatkan keenganannya untuk memberikan komitmen utamanya dalam hal penentuan mid-term target reduksi emisi.

Jepang sebagai tuan rumah sekaligus pimpinan sidang nampaknya berusaha mengambil peran termasuk dengan meluncurkan Kobe Initiative. Akan tetapi posisi Jepang terlihat lebih di tengah dan “kurang” berhasil mendorong negara maju lainnya, khususnya AS, dalam hal penentuan mid-term target reduksi emisi. Sebaliknya, posisi Outreach countries yang dimotori oleh Afrika Selatan, China, Brazil dan India serta Indonesia, berusaha keras mendorong negara-negara maju agar menunjukkan komitmennya dalam upaya realisasi target reduksi emisi. Hasil pertemuan di Kobe, termasuk pending issues ini, kiranya akan disampaikan dan dibahas dalam G-8 Summit di Hokkaido, bulan Juli 2008 mendatang.