Kemiskinan bukan sekadar persoalan
kurangnya uang untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi lebih dalam lagi, ia
mencerminkan ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan,
dan kesempatan hidup yang layak. Masalah ini bersifat multidimensional
dan saling berkaitan satu sama lain. Karena itu, solusi untuk menurunkan angka
kemiskinan tidak bisa hanya berfokus pada bantuan langsung tunai atau program
jangka pendek. Diperlukan pendekatan sistemik dan berkelanjutan yang menyentuh
akar permasalahan, terutama melalui peningkatan kualitas pendidikan dan
kesejahteraan sosial sejak dini.
Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa kemiskinan sangat erat kaitannya dengan rendahnya
akses terhadap pendidikan yang bermutu. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2023 menunjukkan bahwa hampir 10 persen penduduk miskin di Indonesia
tidak menyelesaikan pendidikan dasar. Banyak anak di wilayah pedesaan atau
terpencil terpaksa berhenti sekolah karena orang tua mereka tidak mampu
membiayai kebutuhan pendidikan. Mereka pun lebih memilih membantu orang tua
bekerja, dan peluang untuk memperbaiki masa depan menjadi semakin sempit.
Tidak hanya
berhenti di satu generasi, kemiskinan juga bersifat menurun dari orang tua ke
anak. Anak-anak yang lahir dari keluarga dengan pendidikan rendah cenderung
mengalami keterbatasan dalam hal motivasi belajar, wawasan, bahkan lingkungan
yang mendukung tumbuh kembang mereka. Menurut laporan UNESCO, anak dari rumah
tangga miskin berisiko empat kali lebih besar untuk tidak menyelesaikan sekolah
dibandingkan anak dari keluarga menengah ke atas. Lingkaran ini terus berputar
tanpa akhir jika tidak segera diputus.
Salah satu
penyebab utama yang memperkuat siklus ini adalah rendahnya angka harapan lama
sekolah. Di Indonesia, rata-rata lama sekolah pada 2023 hanya mencapai 8,69
tahun. Itu berarti sebagian besar masyarakat hanya menempuh pendidikan hingga
kelas 3 SMP. Padahal, negara-negara maju mencatat angka harapan lama sekolah
hingga 13–15 tahun. Pendidikan yang singkat membuat individu kesulitan bersaing
di dunia kerja, terutama di sektor formal yang menuntut keahlian dan
keterampilan tinggi. Akibatnya, pekerjaan yang didapat pun berpenghasilan
rendah, dan kemiskinan tetap membelenggu.
Perbedaan mencolok tampak saat
membandingkan sistem pendidikan di negara maju dan berkembang. Negara seperti
Finlandia dan Jepang memiliki sistem pendidikan yang inklusif, gratis, dan
dibiayai sepenuhnya oleh negara. Kurikulum mereka berorientasi pada
pengembangan karakter dan kompetensi masa depan. Sementara itu, di negara
berkembang termasuk Indonesia, tantangan seperti kurangnya guru berkualitas,
ketimpangan fasilitas, dan kurikulum yang belum sepenuhnya adaptif masih
menjadi penghambat. Tanpa
reformasi pendidikan yang serius, ketimpangan ini akan terus melebar.
Pendidikan yang baik tidak akan
optimal tanpa ditopang oleh status gizi yang memadai. Gizi buruk pada
anak, terutama pada masa seribu hari pertama kehidupan, akan berdampak pada
kecerdasan, konsentrasi, dan kemampuan belajar. Global Nutrition Report 2022
mencatat bahwa 24,4% balita Indonesia mengalami stunting. Anak yang mengalami
stunting cenderung memiliki performa akademik yang lebih rendah dan kesulitan
menyerap pelajaran. Ketika kemampuan akademik rendah, kesempatan untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi pun semakin kecil. Ini menjadi
akar lain dari kemiskinan jangka panjang yang sulit diberantas.
Untuk memutus
rantai ini, pendidikan dasar dan menengah wajib 12 tahun harus benar-benar
ditegakkan. Anak usia 7 hingga 18 tahun harus mendapatkan pendidikan tanpa
hambatan biaya maupun geografis. Program bantuan seperti BOS dan Indonesia Pintar perlu
diperkuat dengan pengawasan yang ketat agar tepat sasaran. Selain
itu, beasiswa untuk siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu harus terus
diperluas. Tidak cukup hanya mencakup biaya kuliah, tetapi juga biaya hidup
agar mereka bisa fokus belajar tanpa tekanan ekonomi.
Langkah lainnya
adalah memperhatikan asupan gizi anak secara serius. Program makanan bergizi
gratis di sekolah bukan hanya membantu anak-anak belajar lebih baik, tetapi
juga mencegah stunting sejak dini. Pemerintah juga perlu mendorong pemberian
susu dan nutrisi tambahan untuk ibu hamil dan menyusui. Investasi pada gizi
terbukti berdampak besar pada kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Namun pendidikan dan gizi saja tidak
cukup. Pengembangan lapangan kerja juga menjadi kunci utama.
Anak-anak yang telah menyelesaikan pendidikan menengah perlu diberikan
pelatihan vokasional atau kesempatan untuk memulai usaha mandiri. Sektor riil
dan UMKM harus difasilitasi agar bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Semakin luas kesempatan kerja, semakin banyak keluarga yang bisa keluar dari
kemiskinan secara mandiri.
Menurunkan angka
kemiskinan adalah pekerjaan besar yang tidak bisa diselesaikan dalam satu
malam. Butuh komitmen jangka panjang, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat,
dunia usaha, dan lembaga internasional. Pendidikan yang inklusif, gizi yang
memadai, serta penciptaan lapangan kerja yang produktif adalah fondasi untuk
membangun masa depan tanpa kemiskinan. Inilah rahasia ampuh yang selama ini
terbukti berhasil di negara-negara maju, dan kini saatnya Indonesia mengikuti
jejak yang sama.

