Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Hantavirus. Show all posts
Showing posts with label Hantavirus. Show all posts

Monday, 3 February 2025

Antisipasi Keberadaan Hantavirus di Indonesia

 

 

Antisipasi Keberadaan Hantavirus Menghadapi Ancaman dari Hewan Pengerat

 

PENDAHULUAN

 

Infeksi Hantavirus adalah penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan pengerat, seperti tikus, ke manusia. Penyakit ini semakin menjadi perhatian, terutama di negara berkembang, karena dampaknya yang serius terhadap kesehatan. Gejala awal infeksi Hantavirus meliputi demam, bintik perdarahan pada wajah, sakit kepala, serta penurunan tekanan darah. Dalam perkembangannya, pasien bisa mengalami penurunan frekuensi buang air kecil (oliguria), yang berlanjut menjadi sering buang air kecil (diuretik). Tanpa penanganan yang tepat, kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan ginjal dan paru-paru, dengan angka kematian mencapai 12%.

 

Penyakit ini pertama kali diketahui setelah munculnya kasus infeksi Hantavirus pada lebih dari 3.000 tentara Amerika di Korea antara tahun 1951 hingga 1954. Penyebaran penyakit ini meluas ke Amerika Serikat, menyebabkan banyak kematian akibat gagal jantung. Sejak itu, Hantavirus menarik perhatian global, dan penelitian lebih lanjut berhasil mengisolasi virus ini pada tahun 1976. Dari situlah berbagai strain Hantavirus lainnya ditemukan. Sekarang, diketahui ada sekitar 22 galur Hantavirus yang bersifat patogen bagi manusia, yang terbagi dalam dua tipe penyakit utama: Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) dan Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS).

 

Tipe HFRS lebih banyak ditemukan di Asia dan Eropa, sedangkan HPS, yang sering menyebabkan kematian akibat gagal fungsi jantung dan gangguan suplai darah, lebih umum ditemukan di Amerika. Berdasarkan pola penyebarannya, HPS mendominasi di Amerika, sementara HFRS lebih sering ditemukan di Asia dan Eropa.

 

Hewan pengerat, terutama tikus, berfungsi sebagai vektor utama penyebaran Hantavirus. Di banyak daerah, terutama di negara berkembang, tikus sering ditemukan di sekitar rumah atau lahan pertanian. Infeksi Hantavirus biasanya terjadi saat kondisi banjir, ketika tikus keluar dari sarangnya dan membuang urin atau feses yang mengandung virus. Virus ini kemudian bisa tersebar melalui kontak langsung atau lingkungan yang terkontaminasi.

 

VIRUS DAN KARAKTER GENETIK

 

Hantavirus disebabkan oleh virus yang termasuk dalam genus Hantavirus, famili Bunyaviridae. Virus ini memiliki RNA beruntai tunggal dengan tiga segmen yang membentuk partikel virus berbentuk sferikal. Virus Hantavirus cukup rentan terhadap pelarut lemak dan dapat diinaktivasi oleh pemanasan atau sinar ultraviolet.

 

Melalui penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa Hantavirus memiliki berbagai serotipe yang tersebar di seluruh dunia, seperti di China, Seoul, dan Indonesia. Misalnya, strain Hantavirus yang ditemukan pada tikus Rattus di Indonesia memiliki perbedaan genetik dengan strain yang ditemukan pada tikus Bandicota indica di Thailand. Hingga kini, sekitar 22 spesies Hantavirus telah diidentifikasi, di antaranya adalah virus Hantaan, Dobrava-Belgrade, Seoul, Sin Nombre, Monongahela, dan Andes. Beberapa serotipe Hantavirus ini dapat menyebabkan infeksi parah, seperti virus Hantaan (HTNV) dari China dan virus Seoul (SEOV), yang menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi.

 

Penemuan strain baru, seperti virus Kenkeme yang terdeteksi di Rusia, menunjukkan adanya keragaman dalam jenis Hantavirus. Hal ini memperkaya pemahaman kita tentang virus Hantavirus, yang selama ini dikenal hanya disebarkan oleh tikus, namun kini juga melibatkan jenis hewan lain.

 

PROSES PENULARAN

 

Berbeda dengan banyak virus dari keluarga Bunyaviridae yang ditularkan melalui vektor serangga, Hantavirus menular melalui kontak dengan hewan pengerat dan ekskresinya, seperti urin, feses, atau air liur. Penularan juga dapat terjadi melalui aerosol yang berasal dari debu atau benda-benda yang terkontaminasi oleh ekskresi hewan yang terinfeksi. Selain itu, ektoparasit seperti kutu atau caplak juga dapat berperan sebagai perantara penularan Hantavirus antar hewan atau dari hewan ke manusia.

 

Kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau dengan lingkungan yang terkontaminasi menjadi salah satu cara utama penularan. Penularan melalui aerosol sangat berbahaya karena bisa menginfeksi manusia atau hewan peliharaan yang terpapar debu atau partikel yang terkontaminasi virus.

 

Meskipun Hantavirus bisa menular melalui udara, penularan antar manusia masih belum pernah tercatat, sehingga sumber utama infeksi tetap berasal dari hewan pengerat yang terinfeksi. Karena itu, pencegahan infeksi harus difokuskan pada menghindari kontak dengan tikus dan ekskresinya, serta menjaga kebersihan lingkungan untuk mengurangi risiko penularan.

 

Hantavirus: Ancaman dari Hewan ke Manusia

 

Hantavirus adalah virus yang dapat menginfeksi berbagai jenis rodensia, termasuk tikus. Virus ini menjadi perhatian serius di banyak negara karena dapat menyebabkan dua penyakit berat pada manusia: Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS) dan Hantavirus Pulmonary Syndrome (HPS). Gejala-gejalanya sangat bervariasi, dari demam tinggi, sakit kepala, hingga gangguan pernapasan yang bisa berujung pada kematian jika tidak ditangani dengan tepat.

 

Peran Hewan dalam Penyebaran Hantavirus

 

Rodensia, seperti tikus, vole, dan beberapa jenis shrew, berperan penting sebagai reservoir Hantavirus. Meskipun mereka bisa mengandung virus tanpa menunjukkan gejala penyakit, mereka menjadi sumber penularan yang besar bagi manusia. Virus ini dapat menyebar melalui kontak dengan ekskresi hewan tersebut, seperti urin, saliva, atau feses, yang mengandung virus. Bahkan, melalui debu yang terkontaminasi oleh kotoran hewan, virus ini bisa terhirup oleh manusia, menyebabkan infeksi.

 

Dalam beberapa kasus, meskipun jarang, virus ini juga ditemukan pada hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, yang menambah keragaman potensi sumber penularan. Fenomena ini semakin kompleks dengan penemuan Hantavirus pada hewan liar lainnya, seperti kelelawar dan orangutan, yang menunjukkan bahwa virus ini lebih luas penyebarannya daripada yang diperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan mengendalikan hubungan antara manusia, hewan, dan lingkungan dalam upaya pencegahan.

 

Gejala Klinis Hantavirus pada Manusia

 

Gejala infeksi Hantavirus pada manusia sangat bervariasi. Pada HFRS, misalnya, gejala awal termasuk demam tinggi, sakit kepala, serta nyeri pada mata dan bintik perdarahan. Kondisi ini berkembang menjadi hipotensi (penurunan tekanan darah), yang dapat menyebabkan shock dan gangguan pernapasan. Tahap kritis dalam HFRS adalah fase oliguria, di mana produksi urin menurun drastis. Tanpa perawatan medis yang tepat, kondisi ini dapat berujung pada kegagalan organ dan kematian.

 

Sementara itu, HPS, meskipun lebih jarang terjadi, berkembang dengan sangat cepat dan sering menyebabkan masalah serius pada jantung dan paru-paru. Gejalanya dimulai dengan demam dan kelelahan, yang kemudian disertai gangguan pernapasan yang cepat dan bisa berakibat fatal jika tidak segera ditangani.

 

Pencegahan dan Kesadaran Masyarakat

 

Dengan meningkatnya pemahaman tentang bagaimana Hantavirus menyebar, pencegahan menjadi hal yang sangat penting. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah pengendalian populasi rodensia, terutama di daerah yang sering terjadinya banjir atau di sekitar permukiman manusia. Masyarakat juga harus diberi edukasi tentang cara menghindari kontak langsung dengan tikus atau kotorannya, serta pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.

 

Selain itu, penelitian lebih lanjut tentang cara penyebaran virus ini dan identifikasi spesies baru yang terinfeksi sangat diperlukan untuk memperkuat upaya pencegahan. Pengembangan vaksin atau terapi juga menjadi langkah penting dalam mengurangi dampak penyakit ini. Kerjasama antara pemerintah, lembaga penelitian, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menanggulangi Hantavirus secara efektif.

 

Dengan penanganan yang tepat, kita dapat meminimalkan risiko penyebaran Hantavirus dan melindungi kesehatan masyarakat dari ancaman virus yang berbahaya ini.

 

Penyebaran dan Dampak Hantavirus: Tantangan Global dan Lokal

 

Hantavirus adalah virus yang menyebabkan gangguan ginjal serius pada manusia, yang dikenal sebagai Hemorrhagic Fever with Renal Syndrome (HFRS). Virus ini pertama kali teridentifikasi pada abad ke-20 dan sejak itu telah ditemukan di berbagai belahan dunia, terutama di Asia, Eropa, dan Amerika. Meskipun tingkat kematian akibat infeksi ini tergolong rendah, Hantavirus tetap menjadi ancaman kesehatan yang serius.

 

Infeksi Hantavirus umumnya ditemukan di negara-negara dengan sanitasi buruk dan populasi tikus yang tinggi. Di beberapa wilayah seperti Tiongkok, Korea, Rusia, Jepang, dan Eropa, infeksi Hantavirus telah dilaporkan secara reguler, dengan berbagai strain yang menyebabkan penyakit dengan gejala dan tingkat keparahan yang bervariasi. Misalnya, di Eropa, virus Puumala dikenal sebagai penyebab Nephropathia Epidemica, sementara di wilayah lain, virus Dobrava dan Saaremaa ditemukan pada manusia dan hewan. Penemuan strain baru yang berasal dari tikus Sorex roboratus di Eurasia dan Amerika Utara menunjukkan bahwa Hantavirus memiliki jangkauan yang sangat luas.

 

Situasi Hantavirus di Indonesia

 

Di Indonesia, meskipun data tentang Hantavirus terbatas, ada laporan mengenai infeksi virus Seoul pada manusia. Seringkali, gejala infeksi Hantavirus sangat mirip dengan infeksi virus Dengue, sehingga sulit dibedakan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Penelitian juga menemukan antibodi terhadap Hantavirus pada berbagai spesies tikus, terutama di daerah pelabuhan dan perkotaan, yang menunjukkan potensi ancaman penyakit ini. Salah satu penemuan penting di Indonesia adalah strain Hantavirus baru yang ditemukan pada tikus Rattus tanezumi di Kota Serang, Banten, yang dikenal dengan nama Hanta strain Serang (SERV). Keberadaan antibodi di sejumlah daerah ini menunjukkan bahwa Hantavirus dapat menjadi ancaman kesehatan yang perlu diperhatikan.

 

Penularan Hantavirus pada manusia lebih banyak terjadi di daerah dengan sanitasi yang buruk dan populasi tikus yang berkembang pesat. Pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan lingkungan yang banyak dihuni tikus, seperti pekerja hutan dan petani, meningkatkan risiko terkena infeksi. Mengingat peningkatan interaksi manusia dengan rodensia, situasi ini bisa semakin memburuk di masa depan jika tidak ada langkah-langkah pencegahan yang efektif.

 

Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Penyebaran Hantavirus

 

Perubahan iklim yang semakin cepat dapat memperburuk penyebaran penyakit yang ditularkan melalui vektor atau reservoir, termasuk Hantavirus. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, dan perubahan habitat dapat mempengaruhi populasi rodensia yang menjadi reservoir utama virus ini. Misalnya, deforestasi dan perubahan lahan menjadi pemukiman dapat menyebabkan populasi rodensia meningkat, yang secara langsung meningkatkan peluang penularan Hantavirus ke manusia.

 

Perubahan suhu dan ekosistem juga memengaruhi perilaku dan persebaran rodensia. Dalam beberapa kasus, perubahan lingkungan mendorong rodensia untuk bermigrasi mencari tempat yang lebih aman atau lebih banyak sumber makanan, yang meningkatkan interaksi antar rodensia. Hal ini berisiko menyebabkan peningkatan infeksi baik pada hewan maupun manusia. Peningkatan populasi rodensia dan vektor penyakit lainnya membuka peluang lebih besar untuk terjadinya wabah. Oleh karena itu, perubahan iklim dapat menjadi faktor yang memperburuk penyebaran Hantavirus dan memperbesar potensi penularannya ke manusia.

 

Diagnosis dan Pengendalian Penyakit Hantavirus

 

Infeksi Hantavirus dapat menimbulkan dampak serius bagi kesehatan manusia, bahkan berpotensi fatal jika tidak ditangani dengan tepat. Oleh karena itu, diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting untuk mengatasi masalah kesehatan yang ditimbulkan. Hantavirus, yang masuk dalam kategori virus dengan risiko tinggi, dapat menyebabkan penyakit parah pada manusia dan hewan, serta menyebar dengan cepat jika tidak ada pencegahan yang efektif.

 

Pada dasarnya, diagnosis infeksi Hantavirus pada manusia mengandalkan kombinasi antara gejala klinis, epidemiologi, dan hasil pemeriksaan laboratorium. Meskipun infeksi ini sering kali menimbulkan gejala yang tidak spesifik atau mirip dengan penyakit lain, pemeriksaan lebih lanjut menjadi kunci untuk memastikan penyebabnya. Gejala yang timbul bergantung pada jenis strain virus yang menginfeksi dan tingkat keparahannya.

 

Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk mendeteksi Hantavirus antara lain tes hematologi, serologi, dan virologi. Tes hematologi dapat membantu mengidentifikasi adanya infeksi virus, meskipun tidak spesifik untuk Hantavirus. Sementara itu, tes serologi dan virologi seperti PCR atau analisis sekuen genom bisa digunakan untuk mengonfirmasi keberadaan virus dan menentukan jenis strain yang menginfeksi. Selain itu, teknik seperti uji ELISA juga bisa digunakan untuk mendeteksi antibodi pada pasien.

 

Namun, diagnosis Hantavirus sering kali menjadi tantangan karena gejalanya yang mirip dengan infeksi penyakit lain, seperti leptospirosis, dengue, atau demam berdarah. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang yang cermat sangat diperlukan untuk membedakan Hantavirus dari penyakit serupa lainnya.

 

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Hantavirus

 

Infeksi Hantavirus lebih sering ditemukan di daerah dengan sanitasi buruk dan populasi tikus yang tinggi. Oleh karena itu, perbaikan sistem perumahan dan sanitasi lingkungan merupakan langkah pencegahan yang sangat penting. Mengurangi kontak dengan rodensia (tikus) dengan cara memasang kawat kasa di rumah, memasang perangkap tikus, dan menjaga kebersihan tempat sampah adalah beberapa cara yang dapat membantu mencegah penularan Hantavirus. Edukasi masyarakat tentang pentingnya mengendalikan populasi tikus juga sangat diperlukan.

 

Selain itu, vaksinasi Hantavirus telah menunjukkan efektivitas dalam mencegah infeksi pada manusia. Beberapa negara, seperti Tiongkok, telah berhasil mengurangi jumlah kasus infeksi berkat program vaksinasi yang baik. Pengembangan vaksin rekombinan yang mencakup berbagai strain Hantavirus terus dilakukan, memberikan harapan untuk pencegahan lebih lanjut.

 

Antisipasi Infeksi Hantavirus di Indonesia

 

Meski Hantavirus telah ditemukan di Indonesia, baik pada rodensia maupun manusia, perhatian pemerintah terhadap penyakit ini masih terbatas dibandingkan dengan zoonosis lainnya seperti Avian Influenza atau Rabies. Indonesia memiliki berbagai spesies hewan liar yang dapat menjadi reservoir Hantavirus, seperti tikus dan kelelawar, sehingga potensi penyebaran penyakit ini tetap ada. Meningkatnya interaksi manusia dengan hewan-hewan tersebut, terutama di daerah dengan sanitasi buruk, dapat memperburuk situasi.

 

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera mengantisipasi potensi penyebaran Hantavirus. Penelitian lebih mendalam mengenai spesies reservoir dan vektor virus ini di Indonesia perlu dilakukan. Data yang lebih lengkap akan membantu upaya pengendalian penyakit ini.

 

Peran Kebijakan dalam Pengendalian Hantavirus

 

Komisi Nasional Zoonosis (Komnas Zoonosis) memiliki peran penting dalam pengendalian penyebaran penyakit zoonosis, termasuk Hantavirus, di Indonesia. Pemerintah, lembaga riset, universitas, dan organisasi profesi harus bekerja sama untuk merumuskan kebijakan yang efektif dalam mengatasi ancaman penyakit ini. Komnas Zoonosis harus memimpin upaya pengendalian dan antisipasi wabah zoonosis di Indonesia.

 

Lembaga riset seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian juga perlu mendalami aspek vektor dan reservoir Hantavirus, untuk memperoleh data yang dibutuhkan guna pengendalian yang lebih komprehensif. Dengan dukungan fasilitas yang memadai, riset yang lebih mendalam akan membantu dalam pengendalian Hantavirus dan penyakit zoonosis lainnya di Indonesia.

 

KESIMPULAN

 

Infeksi Hantavirus merupakan penyakit serius yang dapat berakibat fatal bagi manusia. Penyebaran virus ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, sehingga pengendalian infeksi memerlukan pendekatan yang menyeluruh. Salah satu langkah utama adalah memperbaiki kondisi lingkungan di sekitar perumahan, serta mengendalikan populasi tikus, yang menjadi vektor utama penyebaran penyakit ini.

 

Walaupun informasi mengenai infeksi Hantavirus di Indonesia masih terbatas, penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk memahami bagaimana virus ini menyebar di populasi hewan dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Untuk itu, pemerintah, bersama lembaga riset, perlu segera merancang langkah-langkah preventif untuk mencegah penyebaran penyakit ini lebih lanjut. Peningkatan kesadaran masyarakat dan kesiapsiagaan sistem kesehatan di tingkat lokal juga merupakan kunci dalam mengatasi ancaman dari penyakit ini.

 

SUMBER:

Indrawati Sendow, NLPI Dharmayanti, M Saepullah dan RMA Adjid. 2020. Infeksi Hantavirus: Penyakit Zoonosis yang Perlu Diantisipasi Keberadaannya di Indonesia. WARTAZOA Vol. 26 No. 1 Th. 2016 Hlm. 017-026

Sunday, 14 June 2020

Penyebaran dan Pencegahan Hantavirus

Medsos heboh sejak meninggalnya seorang pria di Provinsi Yunnan, Tiongkok  akibat Hantavirus pada Selasa (24/3/2020).

Hantavirus dapat menular melalui hewan pengerat (rodensia) kepada manusia. Akan tetapi, sampai saat ini belum ditemukan kasus bahwa virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia.

Penyakit yang disebabkan oleh rodensia ini dicemaskan dapat mewabah seperti Covid-19.

Menurut informasi situs resmi Pusat Penanganan dan Pencegahan Penyakit AS atau "Centers for Disease Control and Prevention" (CDC), pada saat ini terdapat empat bangsa tikus pengerat yang dapat menularkan hantavirus di Amerika Serikat.

1. Tikus kapas ( Sigmodon hispidus )

Bangsa tikus ini terdapat di Amerika bagian selatan kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Selatan.  Sigmodon hispidus memiliki tubuh lebih besar daripada tikus rusa.

Sigmodon hispidus berukuran tubuh berkisar 12,5-18 cm dan panjang ekor sekitar 7,5-10 cm.

Selain itu, Sigmodon hispidus memiliki bulu lebih panjang dan kasar dan bewarna keabu-abuan, atau hitam keabu-abuan.

Jenis virus yang ada dalam tikus kapas adalah virus Black Creek Canal (BCCV).

Habitat tikus kapas biasa mendiami tempat semak belukar dan berumput tinggi.

2. Tikus rusa ( Peromyscus maniculatus )

Tikus rusa atau Peromyscus maniculatus adalah tikus yang memiliki ciri mata dan telinga besar, ukuran badannya sekitar 5-7,5 cm dengan panjang ekor berkisar 5-7,5 cm.

Tikus rusa umumnya berwarna abu-abu hingga cokelat kemerahan dan ekornya ada sisi putih yang tampak jelas.

Jenis hantavirus yang dibawa oleh tikus rusa yaitu Sin Nombre (SNV).

Adapun habitat tikus rusa ditemukan di seluruh Amerika Utara, dan beberapa muncul di daerah gurun.

3. Tikus beras ( Oryzomys palustrisv)

Jenis tikus lain yang membawa hantavirus yaitu tikus beras atau Oryzomys palustris.

Tikus ini berpostur tubuh lebih kecil daripada tikus kapas. Panjang kepala 7,5-15 cm dan panjang ekor 10-18 cm.

Tikus beras memiliki ekor yang sangat panjang daripada tiga jenis tikus pembawa hantavirus lainnya.

Tikus beras memiliki bulu pendek, lembut, dan warna kecokelatan,i kakinya berwarna keputih-putihan.

Adapun galur hantavirus yang ada pada tikus beras adalah Bayou (BAYV).

Umumnya, tikus beras lebih suka berada di daerah rawa dan tempat becek. Daerah-daerah ini banyak ditemukan di AS Tenggara dan Amerika Tengah.

Tikus rusa umumnya memiliki warna abu-abu hingga cokelat kemerahan dan ekornya memiliki sisi putih yang tampak jelas.

Jenis hantavirus yang dibawa oleh tikus rusa yakni Sin Nombre (SNV).

Habitat tikus rusa terdapat di seluruh Amerika Utara, dan beberapa muncul di daerah gurun.

4. Tikus putih (  Peromyscus leucopus )
Jenis tikus lain yang menjadi sumber atau pembawa hantavirus yaitu tikus putih atau Peromyscus leucopus.

Adapun tikus putih berciri serupa dengan tikus rusa, yaitu kepala dan tubuhnya memiliki panjang sekitar 10 cm. Normalnya, tikus putih berekor sepanjang 5-10 cm.

Bulu-bulu dari tikus putih berwarna pucat dan ada beberapa berwarna cokelat kemerahan. Pada bagian kaki, tikus putih kakinya berwarna putih. Jenis virus yang dibawa oleh tikus putih adalah virus New York (NYV).

Tikus putih banyak ditemukan di seluruh Inggris Baru bagian selatan dan Atlantik tengah dan negara bagian selatan, negara bagian barat tengah dan barat, Meksiko.

Tikus putih juga menyukai daerah berhutan dan semak-semak, meskipun terkadang mereka akan berada lebih banyak tempat tanah yang terbuka.

Penularan dari manusia ke manusia

CDC menyatakan, hantavirus di AS tidak dapat ditularkan dari manusia ke manusia.

Namun, penularan hantavirus dari manusia ke manusia yang langka pernah dilaporkan di Chili dan Argentina. Hal ini terjadi pada orang yang melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi virus Andes.

Orang kerap terinfeksi hantavirus ketika mereka berada di daerah pedesaan, hutan, dan ladang pertanian, di mana banyak hewan pengerat yang hidup di sana.

Pencegahan virus

Kita tidak perlu panik dan cemas terkait penyebaran hantavirus apabila telah memahami bagaimana cara pencegahan yang efektif agar terhindar dari penyakit ini. Cara efektif untuk mencegah hantavirus adalah dengan vaksinasi.

Terdapat beberapa negara yang telah mengembangkan vaksin multivalent rekombinan yang terdiri dari beberapa galur/serotype yang dapat mencegah infeksi hantavirus.

Vaksin diproduksi dari virus yang dipropagasi pada jaringan ginjal garbil dan hamster. Di China dan Korea Selatan, vaksinasi hantavirus dapat menurunkan kasus infeksi pada manusia secara drastis.

Saturday, 28 March 2020

Mengenal Sejarah Infeksi Hantavirus



RINGKASAN
Hantavirus adalah agen patogen yang berasal dari hewan pengerat keluarga Bunyaviridae. Virus ini ditemukan di seluruh Eropa, Asia dan Amerika, dipelihara oleh inang berbagai spesies hewan pengerat, yang menyebabkan infeksi kronis dan tidak jelas. Manusia terinfeksi melalui kontak dengan urin, saliva atau feses dari hewan pengerat yang terinfeksi, terutama melalui rute aerosol. Pada manusia, penyakit klinis terjadi dalam bentuk dua sindrom utama: demam berdarah dengan sindrom ginjal atau haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) atau sindrom paru hantavirus atau hantavirus pulmonary syndrome (HPS). Demam berdarah dengan sindrom ginjal terutama terjadi di Eropa dan Asia dan HPS hanya pernah dilaporkan di Amerika. Penularan hantavirus dari orang ke orang, meskipun jarang, digambarkan selama berjangkitnya HPS di Argentina selatan. Sebagian besar epidemi HFRS dan HPS terjadi di daerah dengan populasi besar hewan pengerat yang memiliki prevalensi infeksi yang relatif tinggi.

PENGANTAR DAN SEJARAH
Genus Hantavirus memiliki karakteristik khusus dalam keluarga Bunyaviridae, karena tidak seperti empat lain yang menyusunnya, hampir semuanya anggota adalah virus yang dibawa oleh hewan pengerat. Penyakit manusia yang disebabkan oleh hantavirus adalah bermanifestasi dalam dua sindrom utama: fever with renal syndrome (FHSR), lazim di Eurasia, dan hantavirus pulmonary syndrome (SPH), yang merupakan penyakit di Amerika (Gbr. 1). Penyakit-penyakit ini tetap praktis tidak dikenal dalam pengobatan barat sampai awal 1950-an meskipun diketahui bahwa penyakit ini dikenal luas oleh para ilmuwan Soviet, Cina dan Jepang sejak lama, seperti terdapat daftar panjang nama yang mereka kenal (demam Songo, demam hemoragik Korea, nephrosonephritis hemoragik, penyakit Chumakov, demam berdarah epidemik, dll.). Telah terjadi kasus di China penyakit yang seperti FHSR berasal dari 960 AD. (62)  Dokter Rusia mengidentifikasi penyakit ini pada tahun 1913 di Siberia Timur, dan dalam beberapa dekade berikutnya wabah tahunan ditemukan di wilayah lembah Sungai Amur dan pasukan yang ditempatkan di wilayah Manchuria. (12, 48) Selama konflik Korea, lebih dari 3.000 kasus FHSR terjadi di antaranya Pasukan PBB pada tahun 1953, Gajdusek memperhatikan kesamaan antara sindrom demam hemoragik dengan gangguan ginjal berat dan penyakit paling ringan diakui di Semenanjung Scandinavica, nephropathy epidemy (NE); atas dasar dari kesamaan klinis dan epidemiologis yang diusulkan etiologi umum. (30)  Meskipun uji pertama dari etiologi virus penyebab penyakit menular FHSR diperoleh awal tahun 1940-an oleh para peneliti baik dari Uni Soviet dan Jepang (31), ternyata sampai tahun 1970-an agen etiologi menunjukkan hubungannya dengan tikus lapangan bergaris (Apodemus agrarius); maka dari itu hantavirus diberi nama Hantaan (HTN). (29, 64, 65)  Di Swedia, Zetterbolm dan Myhrman telah mendeskripsikan gambaran klinis yang kompleks, ditandai dengan demam, nyeri sakit perut, sakit pinggang dan gangguan ginjal. Selama Perang Dunia II, lebih dari 1.000 kasus serupa sehingga mereka menyatakan epidemi pada pasukan Finlandia dan Jerman yang ditempatkan di Lapland. (10, 19, 76)  Pada tahun 1945, nama NE diusulkan untuk penyakit ini. Agen etiologi dari NE adalah disebut Puumalavirus (PUU) dan berhubungan dengan hewan pengerat dari spesies Clethrionomys glareolus (shore vole) (19, 87, 117).  Studi selanjutnya mengidentifikasi virus lain terkait secara serologis pada tikus liar dan laboratorium di Asia, Eropa dan Amerika. (18, 111)  Virus dengan sifat imunologis yang serupa, selain virus HTN diisolasi juga virus dari tikus di daerah perkotaan.  Virus ini, yang terbukti bersifat patogen bagi manusia, mewakili serotipe baru, yang dikenal sebagai Seoul (SEO) (71). Hingga tahun 1993, hantavirus patogen pada manusia diakui termasuk yang telah disebutkan HTN dan PUU dan Virus Dobrava (DOB) dan SEO.  Mereka semua saling mengenali sebagai penyebab FHSR. (6, 97)  Di Amerika, meski sudah mendapat cukup informasi kasus infeksi hewan pengerat dengan hantavirus, (59, 60, 61) penyakit klinis pada manusia tidak diakui sampai 1990-an dari virus SEO (Rattus norvegicus) diperkenalkan dari Eropa ke belahan bumi barat dengan kapal barang. Selain itu, hantavirus juga telah diidentifikasi tidak terkait dengan penyakit manusia, yang disebut virus Prospect Hill, dalam tikus arvicoline, tikus padang rumput (Microtus pennsylvanicus). (66)  Pada musim semi tahun 1993 ada perkembangan pesat pengetahuan tentang virus ini.  Virus ini diidentifikasi penyabab wabah penyakit pernapasan parah yang awalnya terbatas pada komunitas Indian Navajo yang tinggal di negara bagian barat daya Amerika Serikat, di wilayah yang dikenal sebagai Four Corners, di Union of States of Utah, Colorado, New Mexico dan Arizona. Penyakit baru ini saat ini dikenal sebagai SPH (24). Agen kausal, yang akhirnya bernama Sin Nombre virus (SN), mewakili garis keturunan yang berbeda dari genus Hantavirus, prototipe baru hantavirus (86). Peristiwa selanjutnya menunjukkan bahwa SPH adalah bentuk klinis presentasi infeksi manusia karena hantavirus di Amerika dan yang terkait dengan virus baru. (27, 68, 92, 95, 106) 

PENTINGNYA HEWAN DAN UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT

Meskipun tidak ada penelitian yang dilakukan untuk mengukur dampak ekonomi dan sosial dari infeksi manusia karena hantavirus, di banyak negara FHSR dan SPH merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan.  Hantavirus sampai sekarang berhubungan dengan penyakit manusia termasuk HTN, Saarema dan SEO di Asia, PUU dan DOB di Eropa; SN, Bayou, Kanal Black Creek, New York 1, di Amerika Utara; Choclo di Amerika Tengah; Araraquara, Juquitiba, Castelo dos Sonhos, Central Plata, Andes (DAN), Laguna Negra, Oran, Bermejo, Lechiguanas dan HU 39694 di Amerika Selatan (27, 55, 68, 72, 85, 86, 95, 102, 106, 109, 115, 118) (Gbr. 1, Tabel I). 

Fatalitas kasus untuk FHSR bervariasi antara 10% dan 15% untuk infeksi virus HTN dan DOB, dan antara 0,1% dan 0,2% untuk NE yang terkait dengan virus PUU (63, 89).  Insiden tahunan bervariasi berdasarkan wilayah dan juga menurut tahun: di Republik Rakyat Tiongkok, antara 150.000 dan 210.000 kasus per tahun; Rusia dan Korea mereka melaporkan antara ratusan dan ribuan kasus setiap tahun; di utara di Eropa ada antara 100 dan 1.000 kasus per tahun. Prevalensi infeksi juga bervariasi, dengan 5% di Finlandia, dan daerah di mana mereka dapat mencapai 21%; angka setinggi 40%; di Perancis, Jerman, Belanda dan Belgia seroprevalensi untuk infeksi virus PUU mereka bervariasi antara 1% dan 2%. (2, 20, 34, 67, 89, 120)  Di Balkan, situasinya tampaknya lebih kompleks, dengan tarif antara 2,5% dan 4%. (40, 43, 74, 78)  Di Amerika, kasus SPH telah didokumentasikan di Amerika Serikat, Kanada, Panama, Brasil, Paraguay, Bolivia, Chili, Uruguay, dan Argentina. (43,92)  Telah ada pengakuan terhadap penyakit ini sehubungan dengan wabah penyakit tersebut yang menimbulkan kematian mencapai 70%. Kematian penyakit bervariasi menurut wilayahnya dan wabahnya antara 10% dan 50%. (25, 27, 42, 92, 96, 109)  Dianggap bahwa di negara-negara di mana belum menyatakan penyakit itu, tidak dikenali, begitu juga anda dapat mengharapkan perpanjangan wilayah yang tertular.  Prevalensi infeksi juga bervariasi berdasarkan wilayah, dengan tingkat antara 0,5% dan 2% di Amerika Serikat, Kanada dan beberapa daerah di Argentina, dengan angka sama setinggi 40%, yang dijelaskan dalam populasi asli Chaco Paraguay. (28, 41, 99, 106, 110, 112, 114, 115)  Virus di Argentina selatan menunjukkan bahwa dampaknya terhadap kesehatan masyarakat mungkin  lebih besar. (26, 113)  

Penyakit klinis berlangsung antara satu dan dua minggu dan diikuti oleh pemulihan hingga dua atau tiga bulan yang menonaktifkan orang sakit. Pertimbangan ini mencerminkan dampak sosial dan kerugian ekonomi yang dicatat.  Meskipun infeksi telah terdeteksi pada beberapa spesies domestik (anjing, kucing, ayam, babi) dan lainnya binatang buas, tikus adalah reservoir alami hantavirus.(3, 7, 16, 52, 75, 90, 91, 116)

VIRUS HANTAVIRUS

Hantavirus adalah virus berbentuk bulat dengan diameter 80 hingga 110 nm, yang memiliki amplop lipid. Mereka milik Keluarga Bunyaviridae, yang dibagi menjadi lima genera:  Bunyavirus, Hantaviruses, Nairoviruses, Phleboviruses, dan Tospoviruses.  Semua virus dalam keluarga ini, kecuali untuk hantavirus adalah arbovirus yang tersisa di alam, umumnya dalam siklus transmisi hutan. Sebaliknya, virus dari genus Hantavirus (kecuali untuk virus Totthapalayan) disimpan dalam lingkungan alam melalui infeksi hewan pengerat kronis. (103, 104, 105)

Karakteristik biokimia hantavirus adalah khas dari Bunyaviridae. Mereka memiliki tiga protein struktur utama: protein nukleokapsid (N) dan dua glikoprotein amplop (G1 dan G2) (Gbr. 2).  Profil elektroforesis protein ini menyajikan perbedaan dengan tipe dalam keluarga Bunyaviridae (105).  Genom virus terdiri dari tiga segmen asam negatif polaritas ribonukleat (RNA): besar (besar: L), sedang (sedang: M), kecil (kecil: S). Itu Segmen L (6.500 hingga 7.000 nukleotida) mengkode RNA viral polimerase; segmen M (3.700 nukleotida) mengkodekan prekursor ke glikoprotein, yaitu kemudian diolah menjadi glikoprotein Amplop virus G1 dan G2; dan segmen S (1.600 - 2.060 nukleotida) mengkode protein N dari nukleokapsid. (106)  Genom RNA telanjang tidak menular. Tidak ada protein struktural yang terdeteksi untuk hantavirus. Salah satu data molekuler pertama yang memungkinkan hantaviruses dibedakan dari virus lain dari keluarga Bunyaviridae adalah urutan nukleotida di wilayah dengan  keluarga adalah dasar bagi proposal untuk mendirikan Genus Hantavirus dalam keluarga Bunyaviridae. (103, 104, 105)  Keragaman genetik virus Hipotesis ilmiah yang paling diterima menganggap bahwa virus ini berasal dari nenek moyang yang sama, dan yang telah datang berkembang bersama dengan spesies hewan pengerat itu menginfeksi. Masing-masing hantavirus saat ini diakui sebagai spesies virus ditemukan sebagian besar terkait dengan satu spesies (atau beberapa spesies, berkorelasi ketat) dari hewan pengerat spesifik, di mana (atau yang) menimbulkan infeksi persisten.

Fakta bahwa tikus merupakan inang eksklusif di mana hantavirus berevolusi menimbulkan konsekuensi penting:
a) karakteristik khas dari hantavirus yang berbeda dibentuk sebagai adaptasi ke media yang berbeda genetika hewan pengerat inangnya;
b) distribusi hantavirus tergambar berbeda karena kompleksnya sejarah peristiwa co-spesiasi dan migrasi hewan pengerat. Ini membentuk dasar untuk sirkulasi hantavirus berbeda di berbagai benua dan koeksistensi mereka di wilayah yang sama geografis dan untuk pengelompokan geografis varian genetik;
c) sebagai aturan umum, manusia adalah inang terakhir, oleh karena itu epidemi tidak berkontribusi pada proses evolusi hantavirus.

Secara filogenetis hantavirus yang diinangi oleh murine rodents (tikus dan tikus Dunia Lama) mereka membentuk kelompok yang terpisah dari dua kelompok lainnya, yang terdiri dari hantavirus dengan inang tikus arvicolinos (tikus lapangan dan tikus tanah tersebar ke seluruh belahan bumi utara) dan hantavirus dengan inang tikus sigmodontine (tikus dan tikus Dunia Baru) (Tabel I). Pola filogenetik dari hubungan antara hantavirus dan hewan pengerat inangnya mengidikasikan bahwa keberadaan hantavirus dapat dikaitkan dengan tikus leluhur dari keluarga Muridae sebelum pembagian ke dalam Murinae, Arvicolinae dan Sigmodontinae, sekitar 30 juta tahun yang lalu.  Variasi geografis yang signifikan antara hantavirus dengan inang satu spesies atau spesies terkait erat, dan kompleksitas tipe genetiknya, masihkah mungkin untuk menentukan apakah beberapa garis keturunannya yang sekarang merupakan spesies virus yang asli, atau apakah mereka harus dianggap sebagai varian virus yang sama. (100, 106)

EPIDEMIOLOGI

Reservoir dan siklus transmisi

Infeksi kronis dari inang hewan pengerat tertentu dan eliminasi virus yang terus-menerus dalam urin, feses, dan saliva host adalah kunci bertahannya hantavirus dalam populasi reservoir. (16, 17)  Transmisi horisontal antara hewan dewasa dianggap sebagai jalur pengabadian utama virus di alam dan pertemuan agresif antara tikus jantan dewasa dalam periode perkawinan memberikan peluang untuk transmisi. Dalam hal ini, data penelitian longitudinal dalam populasi reservoir telah menunjukkan korelasi positif antara usia dan prevalensi antibodi terhadap hantavirus, dengan yang lebih tinggi prevalensi pada tikus jantan dewasa, terutama tikus yang memiliki luka atau lesi kulit. Pola ini telah diamati untuk hantavirus yang berbeda, seperti SN, Kanal Black Creek, Lechiguanas, El Moro Canyon, PUU dan SEO pada host masing-masing. (15, 33, 79)  Variasi tahunan dan musiman dalam kepadatan populasi adalah karakteristik dari banyak spesies tikus. Para arvicolino dari belahan bumi utara hadir siklus tahunan setiap tiga atau empat tahun, dengan beberapa keteraturan. Fluktuasi siklus dalam peran tikus dari Belahan Bumi Selatan atau wilayah neotropis tampaknya tidak memiliki pola teratur dan direkam peningkatan dramatisnya secara berkala ("ratadas"). Kejadian biasanya dikaitkan dengan perubahan iklim yang menghasilkan kondisi yang menguntungkan untuk makanan dan reproduksi. Di Argentina selatan dan Chili, tikus-tikus ini telah dikaitkan dengan berbunganya tebu colihue, Fenomena yang terjadi kira-kira setiap 40 tahun ke depan yang bisa bertahan antara lima dan tujuh tahun, menyediakan makanan berlimpah untuk hewan pengerat granivora, seperti Oligoryzomys longicaudatus. (82)  Prevalensi infeksi juga bervariasi untuk sementara waktu dan secara spasial dalam populasi reservoir,  infeksi biasanya fokal. Studi longitudinal dilakukan di Swedia telah menunjukkan bahwa prevalensi infeksi di lembah tepi sungai (C. glareolus) lebih tinggi dan terkait dengan kepadatan tikus di musim semi dan musim gugur sebelumnya. (89)  Anggapan ini mungkin merupakan pola umum untuk virus yang ditularkan melalui mekanisme horizontal: populasi musim semi terdiri dari individu dewasa lelaki tua yang lahir pada musim-musim sebelumnya dan mereka telah bertahan selama musim dingin populasi musim gugur terdiri dari proporsi yang lebih tinggi remaja tahun itu, yang belum terpapar atau miliki baru-baru ini tanpa antibodi. Kepadatan juga dapat dikaitkan dengan fakta bahwa kondisi padatnya populasi menyebabkan lebih tinggi peluang untuk kontak yang agresif. Variasi secara geografis infeksi juga telah dirujuk untuk R. norvegicus dan virus SEO. Selanjutnya kejadiannya penyakit manusia juga telah dikaitkan dengan kepadatan tikus di Rusia dan Skandinavia. (97)  Ada berbagai macam mamalia di mana ditemukan antibodi terhadap hantavirus. (16, 101)  Ini termasuk kucing rumah, di mana kasus infeksi telah dilaporkan di Eropa dan Amerika Serikat, dan Coyote. (90, 91)  Ada anggapan bahwa infeksi pada mamalia yang bukan merupakan reservoir untuk virus (dengan pengecualian tunggal dari manusia) biasanya tidak menimbulkan penyakit dan bahwa kucing tidak menimbulkan risiko epidemiologis.

INFEKSI PADA MANUSIA

Infeksi pada manusia timbul sebagai akibat dari paparan tikus yang terinfeksi dan diduga terjadi terutama melalui aerosol dari tinja terinfeksi. Setidaknya dua kasus FHSR telah dikaitkan dengan gigitan tikus. Transmisi antar manusia tidak diakui sampai tahun 1996, ketika didokumentasikan di wabah Argentina selatan karena virus DAN. Tidak dilaporkan untuk hantavirus lainnya dan dipertimbangkan jarang. (26, 112, 113, 114)

FAKTOR RISIKO

FHSR secara klasik dianggap penyakit pedesaan yang terkait dengan kegiatan pertanian dan dengan peperangan. (53, 69, 116)  Kasus dapat diamati sepanjang tahun, dengan tipe sporadis 90%. Timbulnya kejadian bervariasi secara geografis dan dapat terjadi pada musim panas dan gugur atau seperti di Korea mungkin ada kurva semusim dengan puncak di musim semi dan gugur. Penyakit musiman mungkin terkait dengan faktor ekologi lokal. Di Skandinavia, NE adalah lebih sering di musim panas, ketika banyak orang mengunjungi rumah-rumah yang telah ditutup selama musim dingin. (53)  
Di Republik Rakyat Tiongkok, pekerja pedesaan yang memanen padi adalah mereka yang lebih sering mendatangkan penyakit. (116)  

Dalam sebuah penelitian di RRC menemukan bahwa kepemilikan kucing adalah faktor risiko mengakuisisi FHSR. Tidak ada bukti bahwa kucing bisa memiliki infeksi kronis dan menghilangkan virus selama infeksi, jadi temuan ini tampaknya terkait dengan kemungkinan bahwa kucing tersebut membawa hewan pengerat, kutu peridomiciles. (69)  Faktor-faktor risiko dipertimbangkan kegiatan pertanian, membersihkan rumah dan peridomiciles dan struktur yang dipenuhi tikus mereka tidak berpenghuni selama beberapa waktu.

Di Amerika Selatan, SPH dianggap sebagai penyakit pedesaan, terkait dengan kegiatan pertanian. Distribusi geografis Distribusi geografis penyakit adalah terkait dengan distribusi virus, yang pada gilirannya berkaitan dengan distribusi spesies yang bertindak sebagai reservoir (Tabel I, Gbr. 1). Penyakit yang disebabkan oleh virus yang terkait dengan tikus dan tikus Dunia Lama (subfamili Murinae).  Tikus (terutama terjadi di Asia) merupakan tempat virus HTN berada, dan yang paling penting menyebabkan FHSR parah. Di Balkan, virus DOB adalah agen yang juga menyebabkan Bass FHSR. Virus SEO tersebar di seluruh dunia dalam kaitannya dengan reservoirnya R. Norvegicus terkait penyebaran FHSR di Korea, Rusia, dan Republik Rakyat Cina. Tidak ada penjelasan yang jelas untuk yang jarang melakukan diagnosis FHSR di daerah lain di dunia. Mereka melaporkan wabah penyakit yang terkait dengan koloni tikus laboratorium yang terinfeksi virus SEO di Belgia, Inggris, Jepang, Republik Rakyat Tiongkok dan Korea. (23, 44, 71) Subfamili Arvicolinae terdapat di belahan Bumi Utara, tetapi hanya spesies arvicolinos di Eropa telah dikaitkan dengan penyakit manusia. Virus PUU adalah terkait dengan NE, bentuk FHSR yang relatif ringan di Skandinavia, Eropa Barat dan Rusia.

Perbedaan epidemiologis dan klinis diamati di antara hantavirus baru.  Beberapa perbedaan telah diamati antara yang klasik SPH terkait dengan virus SN di wilayah lain dari Amerika dan khususnya kasus yang terkait dengan hantavirus. Perbedaan-perbedaan ini termasuk kemungkinan penularan antar manusia, penyakit pada anak-anak, adanya tingkat seroprevalensi tinggi di beberapa daerah Amerika Selatan dan spektrum klinis penyakit (Tabel II). (9, 11, 21, 26, 27, 45, 46, 49, 57, 72, 73, 93,
95, 96, 98, 109, 112, 113)

HAEMORRHAGIC FEVER WITH RENAL SYNDROME (HFRS)

Haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) disebabkan oleh Virus hantaan.  Penyakit yang disebabkan oleh virus ini umumnya parah, dengan perkembangan karakteristik dalam lima fase: demam, hipotensi, oliguria, diuretik, dan sembuh (70)

Masa inkubasi diperkirakan antara 2 dan 3 minggu, dengan variasi dari 7 hingga  42 hari.  Haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) berhubungan dengan Virus Seoul (SEO).  Virus SEO menyebabkan FHSR mirip dengan yang dijelaskan untuk virus HTN, tetapi kurang serius dan mematikan, meskipun dengan keterlibatan hati yang lebih besar. (23, 48, 71, 94)  Haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) mempunyai hubungan dengan virus puumala.  Infeksi ini jauh lebih serius daripada disebabkan oleh virus HTN. (1, 22, 50, 83, 84, 88)  Penyakit ini sangat sering memperlihatkan adanya miopia, glaukoma dan aspek penglihatan kabur, dan sangat sugestif untuk diagnosis. (51)

SINDROM PARU HANTAVIRUS
Deskripsi klasik entitas baru ini disebabkan oleh beberapa hantavirus berasal dari studi infeksi pada manusia oleh Sin Nombre virus (SN). (13, 24, 27, 47, 54, 80)  Virus ini adalah agen yang bertanggung jawab atas sebagian besar SPH di Amerika Serikat. Penyakit ini ditandai dengan masa inkubasi satu hingga lima minggu. Gambaran klinis pada awalnya dibagi menjadi empat fase (Demam, kardiopulmoner, diuretik, dan pemulihan), berbeda dengan lima fase yang dijelaskan secara klasik untuk FHSR.

PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Baik FHSR dan SPH memiliki kesamaan dalam patogenesis. Pada kedua penyakit, antibodi tersebut hadir dari tahap awal dan ditemukan Limfosit T diaktifkan dalam darah perifer.  Lesi histologis yang langka untuk menjelaskan gangguan fungsional organ dan menunjukan hantavirus menginduksi gangguan fungsi endotel, tanpa kematian sel yang jelas. Pada SPH, edema paru memainkan peran penting dalam fatalnya penyakit ini dan gangguan endotel vaskular tampaknya menjadi pusat patogenesis. Dasar dari gangguan ini diduga pada dasarnya konsekuensi dari respons kekebalan terhadap virus ini. Terdapat infiltrat limfoid dalam paru-paru dengan campuran limfosit T, khususnya mereka yang mengekspresikan kelompok CD8, dan diferensiasi makrofag. Data tersedia mendukung hipotesis bahwa kekebalan sel T yang dimediasi sel yang diaktifkan dapat menghasilkan cedera paru-paru yang diamati pada SPH. (103)  Pada otopsi pasien dengan demam berdarah terkait dengan virus HTN, kelainan telah dijelaskan vaskular umum, termasuk kemacetan vaskular, ekstravasasi eritrosit dan edema perivaskular.  Ciri khas yang ditemukan terdiri dari perdarahan dari atrium kanan, dari daerah anterior kelenjar hipofisis dan medula ginjal. (63, 70, 76, 97) Pada infeksi virus SN, manifestasinya histopatologis paling sering diamati pada paru-paru dan limpa. Di paru-paru, temuan dasarnya adalah pneumonitis interstitial dengan infiltrat sel sel mononuklear, kemacetan dan edema interstitial dan intraalveolar. (27, 57, 77, 119)

PERAWATAN

Pengobatan pasien dengan FHSR bertumpu pada langkah-langkah dukungan yang memadai, dengan dukungan perawatan intensif dalam kasus yang paling serius. Penggunaan ribavirin secara signifikan mengurangi fatalitas kasus ketika diberikan di awal perjalanan penyakit. (35, 39, 76, 107)  Tidak ada pengobatan khusus yang efektif untuk infeksi hantavirus dunia baru, jadi langkah-langkah terapi juga secara fundamental dukungan. Efikasi ribavirin pada SPH tidak jelas. Salah satu masalah yang membatasi kemungkinan Anda terapi dalam SPH adalah kesulitan untuk memulai pengobatan dini pada periode prodromal (14).

DIAGNOSIS VIROLOGI
Diagnosis virologi umumnya dibuat oleh serologi, mengingat bahwa hampir semua kasus dikonfirmasi memiliki tingkat terdeteksi immunoglobulin (Ig) M pada sampel pertama atau kedua setelah dirawat di rumah sakit. Teknik yang paling umum yang digunakan adalah metode imunoenzimatik.

LAINNYA
Uji serologis yang digunakan termasuk imunofluoresensi dan aglutinasi partikel.  Uji ini juga dapat digunakan untuk mencari Serokonversi antibodi IgG.
Real time polimerase reaction (RT-PCR) juga merupakan metode diagnostik sangat bermanfaat. Peragaan keberadaan antigen di suatu wilayah, sampel jaringan dengan pengujian imunohistokimia adalah metode konfirmasi lain dari diagnosis infeksi hantavirus. (91)

PENCEGAHAN DAN KONTROL
Mengurangi kontak antara manusia dan tikus adalah kunci pencegahan. Pedoman telah dikembangkan untuk pencegahan yang terdiri dari langkah-langkah untuk mengurangi risiko pribadi dan rekomendasi mengisolasi pasien di rumah sakit. (92)  Penurunan risiko pribadi didasarkan pada prinsip pengendalian hewan pengerat dan infeksi (Tabel III); dan sertakan tindakan pencegahan di rumah; tindakan di daerah yang terkena dampak; tindakan untuk menghindari akses hewan pengerat ke rumah; memberantas tikus di dalam rumah; membersihkan tempat yang terkontaminasi oleh tikus; tindakan pencegahan khusus di rumah orang terinfeksi hantavirus; atau pencegahan di gedung dengan infestasi berat tikus; tindakan pencegahan untuk pekerja yang secara teratur terpapar dengan tikus; tindakan pencegahan untuk kelompok pekerjaan lain yang mungkin berhubungan dengan tikus; dan tindakan pencegahan untuk berkemah dan pejalan kaki di daerah yang terkena dampak.

Di sisi lain, juga pedoman telah dikembangkan untuk pengobatan pasien dengan perhatian pada kemungkinan penularan tidak manusiawi. Beberapa pekerjaan diprogramkan sehubungan dengan stabilitas hantavirus di lingkungan.  Virus memiliki amplop lipid dan sensitif terhadap desinfektan dan deterjen yang umum, ditunjukkan sensitivitas terhadap 70% etanol, eter, dan kloroform. Dalam larutan virus sangat labil pada pH asam (< 5.0), tetapi infektivitas stabil pada pH antara 7,0 dan 9,0.  Bisa terdeteksi sejumlah kecil virus setelah beberapa hari pada suhu 4°C - 22°C. Menjadi pertimbangan kotoran yang mengalami dehidrasi pada suhu kamar mungkin masih mengandung virus yang dapat menginfeksi setelah satu atau dua hari. (97)

VAKSIN HANTAVIRUS

Pengembangan vaksin terhadap hantavirus telah memiliki kemajuan penting dengan penemuan model eksperimental untuk infeksi hantavirus baru. (38) Salah satu masalah yang harus dipecahkan adalah fakta bahwa asal penyakit diduga itu adalah imunopatologis. Netralisasi in vitro dari hantavirus efisien, dan transfer pasif Antibodi dapat mencegah infeksi pada model eksperimental. Pada tikus, limfosit TCD8 + adalah juga mampu memberi kekebalan. Dalam model eksperimental, berbagai jenis kandidat imunogen untuk vaksin telah melindungi dari infeksi. Ini termasuk kandidat vaksin virus yang tidak aktif, mengekspresikan protein hantavirus dan gen yang mereka gunakan Vaccinia sebagai vektor. Kedekatan hubungan genetika menunjukkan bahwa perlindungan mungkin ada persilangan antara hantavirus lama dan hantavirus baru, mungkin pada level seluler, tetapi belum ada karya-karya yang diterbitkan yang mengkonfirmasi aspek ini. (37)  Di Asia, tempat virus HTN dan SEO tampak mewakili masalah kesehatan terbesar, bisa jadi mungkin melindungi terhadap kedua virus dengan satu vaksin, seperti dapat disimpulkan dari penelitian yang telah menunjukkan keberadaannya dari persilangan dalam respon humoral dan seluler, dan memperhitungkan pertimbangan bahwa model mouse telah mengkonfirmasi perlindungan silang.
Upaya pengembangan vaksin di Asia telah dilakukan terkonsentrasi terutama pada vaksin virus tidak aktif. Memperoleh beberapa kandidat, yang berada pada tahap akhir dari mereka uji klinis. Vaksin ini tampaknya efektif melawan
Virus HTN dan SEO, dengan sedikit efek buruk. Itu ketersediaan hasil studi pada orang dewasa yang lebih tua dalam populasi manusia akan menuju peran vaksin ini dalam pencegahan FHSR.

INFEKSI HANTAVIRUS APAKAH MERUPAKAN PENYAKIT INFEKSI BARU

Konsep munculnya penyakit menular baru

Beberapa kondisi klinis umum yang terjadi pada manusia telah meningkat dalam dua puluh tahun terakhir atau terancam peningkatan dalam waktu dekat, termasuk ancaman penyakit yang disebabkan oleh agen baru, munculnya kembali patogen yang insidennya telah menurun sebelumnya, berkembangnya organisme yang resistensi terhadap antimikroba atau penyakit mapan agen penyebab yang baru saja ditemukan. Dalam arti luas, munculnya penyakit mungkin disebabkan oleh pengenalan agen baru, pengakuan penyakit yang sudah ada sebelumnya yang belum terdeteksi, atau untuk perubahan lingkungan yang menyediakan "jembatan" epidemiologis. (58)  Dalam diskusi tentang kemunculan “penyakit menular baru”, diskusi besar telah difokuskan untuk kepentingan relatif evolusi "de novo", terjadi teransfer agen yang sebelumnya sudah ada ke pupulasi inang baru, suatu proses yang dikenal sebagai "perdagangan mikroba". Sering diasumsikan bahwa suatu penyakit menular baru adalah konsekuensi dari perubahan genetika dari agen mikroba. Meskipun berlaku untuk beberapa keadaan, dalam sebagian besar kasus darurat disebabkan oleh perubahan pada lingkungan hewan atau pada ekologi manusia maka bisa terjadi penularan penyakit menular infeksius dari kewan ke manusia atau sebaliknya yang dikenal sebagai zoonosis.

Melalui sejarah, tikus telah sangat penting sebagai reservoir alami banyak penyakit menular, yang umumnya muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas manusia seperti pertanian atau perang yang telah menghasilkan perubahan dalam lingkungan, meningkatkan kemungkinan kontak antara manusia dan hewan yang terinfeksi. (81)  Studi filogenetik hantavirus menunjukkan bahwa kita berurusan dengan mikroorganisme itu menjadi terkait dengan tikus di sekitar 30 juta tahun yang lalu, mengikuti proses yang sama evolusi yang terjadi pada inang alami seperti semua organisme hidup dapat berubah genetik. (100, 106)  Namun, bukan kejadian ini yang dapat menjelaskan munculnya penyakit. Di antara penyakit yang muncul, yang disebabkan oleh Hantavirus merupakan paradigma yang benar. Secara historis, seperti dalam contoh lain, penyakit telah dikenali lebih dulu dan sudah cukup lama sampai agen diidentifikasi.

Harus juga diakui bahwa dalam keadaan darurat SPH di Amerika yang memiliki kemampuam pengembangan teknik baru memiliki peran utama diagnostik untuk identifikasi mikroba, khususnya biologi molekuler. Ini fakta membuka pertanyaan apakah keadaan darurat infeksi Hantavirus ini merupakan peningkatan kejadian penyakit, atau merupakan refleksi pengakuan penyakit yang lebih baik dan kemampuan konfirmasi laboratorium yang lebih baik.  Identifikasi retrospektif kasus SPH yang telah terjadi di Amerika sebelum 1993 akibat dukungan poin kedua.

Sejarah FHSR, tempat pengenalan penyakit serupa oleh dokter Rusia, Cina dan Jepang didahului dari beberapa abad dengan pengetahuan tentang gambaran sindrom penyakit saat ini dan penemuan virus HTN. (76)  Jadi kita berurusan dengan mikroorganisme yang lebih purba dari spesies manusia dan penyakit tersebut sudah ada sejak zaman dulu. Namun, ada juga tanda-tanda kejadiannya meningkat di beberapa daerah atau anda akan memperoleh kesempatan untuk memperolehnya dalam waktu dekat. Yang terakhir Wabah FHSR disebabkan oleh virus DOB di Rusia Barat telah dikaitkan dengan reproduksi besar-besaran A. agrarius, dengan perkembangan epizootics (108); di Kroasia wabah FHSR yang merupakan terbesar hingga saat ini(56); di Finlandia pemantauan bersama fluktuasi populasi hewan pengerat, dinamika infeksi hantavirus dan epidemiologi penyakit manusia telah menunjukan bahwa puncak populasinya meluas ke selatan pada lubang-lubang tepi sungai yang tidak terjadi sebelumnya dan menghasilkan kasus NE yang angka semusimnya belum pernah terjadi pada waktu-waktu sebelumnya, (36)  studi tentang jangka panjang di wilayah tengah Rusia telah menunjukkan peningkatan kejadian FHSR. (5)  Wabah Hantavirus baru mengindikasikan beberapa mekanisme darurat dalam epidemi terakhir, khususnya perubahan iklim yang menghasilkan kondisi yang menguntungkan kesediaan pakan dan reproduksi tikus.  Wabah SPH tahun 1993 di Amerika Serikat didahului oleh adanya El Nino-selatan, yang menghasilkan musim dingin luar biasa hangat dengan curah hujan berlimpah. (97)

DAFTAR PUSTAKA

1. Alexeyev O.A., Morozov V.G., Efremov A.G. & Settergren B. (1994). – A case of haemorrhagic fever with renal syndrome complicated by spleen haemorrhage. Scand. J. infect. Dis., 26, 491.

2. Alm C., Juto O., Stegmayr B., Settergren B., Wadell G., Tarnuik A. & Elgh F. (1997). – Prevalence of serum antibodies to hantaviruses in northern Sweden as measured by recombinant nucleocapsid proteins. Scand. J. infect. Dis., 29 (4), 349-354.

3. Alm C., Wallin K., Elgh F., Juto P., Lundkuist A., Merza M. & Tarnuik A. (1998). – Serologic evidence of hantavirus infection in wild living mouse in northern Sweden. In Proc. 4th International Conference on HFRS and hantaviruses, 5- 7 de marzo, Atlanta, Georgia. United States Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control, Atlanta, 113.

4. Anderson R.M. & May R.M. (1991). – Infectious diseases of humans: dynamics and control. Oxford University Press, Oxford, 766 págs.

5. Apekina N., Myasnikov Y., Bobylkova T., Ruchkina N., Dzagurova T., Iiyichova I., Gritsenko E., Novohatka A., Dorofeev E., Kozlova T., Bernshtein A., Demina V. & Tkachenko E. (2004). – Long term studies in Puumala and Dobrava natural foci of hemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) in Central Region of European Russia. In VIth International Conference on hemorrhagic fever with renal syndrome, hantavirus pulmonary syndrome and hantaviruses, 23-25 de junio, Seúl. The National Academy of Sciences, Seúl, 111.

6. Avsic-Zupanct T., Xiao S.Y., Stojanovic R., Giglic A., van der Groen G. & LeDuc J.W. (1992). – Characterization of Dobrava virus: a hantavirus from Slovenia, Yugoslavia. J. med. Virol., 38, 132-137.

7. Bennett M., Lloyd G., Jones N., Brown A., Trees A.J., McCracken C., Smyth N.R., Gaskell C.J. & Gaskell R.M. (1990). – Prevalence of antibody to hantavirus in some cat populations in Britain. Vet. Rec., 127 (2), 548-549.

Sumber:
D.A.M. Enria and S.C. Levis.  2004. Emerging viral zoonoses: hantavirus infections. OIE.