A.
AWAL KEDATANGAN ISLAM DI JEPANG
Dalam perjalanan sejarah Negara Jepang yang
lebih banyak berhubungan dengan Konfusianisme, Budha dan Shinto, keberadaan
Islam bukanlah sesuatu yang ada di dalam kehidupan masyarakat Jepang. Selain
itu adanya kebijakan mengasingkan diri sekitar 200 tahun,
dari pertengahan abad ke 17, sehingga tidak ada kontak antara
Jepang dengan Islam. Hal inilah yang menyebabkan masuknya Islam ke Negeri
Jepang begitu lambat. Ketika membuka dirinya dari pengasingan yaitu pada masa
Meiji, orang-orang Jepang mulai mengetahui Islam dari tetangganya yaitu Cina
melalui buku-buku Cina. Selain itu, orang-orang Jepang mengetahui akan Islam
melalui buku-buku yang di tulis oleh orang Eropa, hal inilah yang menyebabkan
orang-orang Jepang belajar ke Cina.
Mengenai kapan agama Islam diperkenalkan ke
Jepang tidak diketahui dengan pasti. Salah satu penyebabnya adalah bahwa
terkecuali pada masa-masa tertentu dalam sejarah perkembangan Islam di Timur
Tengah, menyebarnya agama Islam tidak merupakan sesuatu usaha yang disengaja.
Terutama sekali semenjak zaman modern, melalui hubungan perdagangan antara
benua dan negara, penganut-penganut Islam sebagai perorangan mengadakan
hubungan yang luas dengan anggota-anggota masyarakat setempat. Mengenai Jepang,
pertemuan antara pedagang dan perorangan Jepang itu tidak terjadi di Jepang
sendiri, tetapi di negeri asing. Begitu juga bacaan mengenai Islam yang
memasuki Jepang sesudah Restorasi Meiji merupakan karya-karya orang Cina atau
buku-buku dalam bahasa Cina yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
Jejak Misterius Islam di Jepang: Mengungkap Periodesasi menurut Abu Bakar Morimoto
Persentuhan atau pertemuan antara Islam dengan
Jepang memiliki beberapa periodesasi. Periodesasi tersebut dijelaskan oleh
beberapa penulis tentang Islam di Jepang, diantaranya adalah Abu Bakar Morimoto
dalam bukunya yang berjudul ”Islam in Japan: Its Past, Present and Future”
mengatakan bahwa hubungan Islam dengan Jepang adalah suatu hal yang baru jika
dibandingkan dengan beberapa negeri di Asia, Afrika dan Eropa. Untuk
menggambarkan hubungan ini secara teratur, maka lebih baik mempelajari sejarah
Islam di Jepang kedalam beberapa periode:
1.
Periode antara Restorasi Meiji dan akhir Perang Dunia II
Dengan lahirnya era baru yaitu pada masa
Restorasi Meiji, Jepang dengan cepat mulai menerima dan menyerap berbagai ilmu
pengetahuan Barat. Melalui ilmu pengetahuan Barat ini, orang-orang Jepang juga
mulai melakukan interaksi secara bebas dengan agama-agama Barat. Tentu saja,
agama Kristen adalah suatu agama yang dinilai mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap orang-orang Jepang melalui beberapa aktifitas yang dilakukan oleh para
misionaris Kristen. Namun kemudian mereka beralih kepada Islam yaitu ketika
adanya buku-buku terjemahan tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka dengan
demikian Islam mendapat tempat dikalangan para intelektual Jepang. Hal ini
hanya sebatas ilmu pengetahuan saja dan sejarah kebudayaan.
Hubungan yang lain terjadi pada tahun 1890,
yaitu ketika Kerajaan Turki mengirimkan kapal perang angkatan laut ke Jepang
dalam misi muhibbah yang menjadi pelopor bagi hubungan antara dua negara dan
disisi lain antara orang Islam dengan Orang Jepang. Misi ini membuka jalan
untuk hubungan diplomasi antara Jepang dan Turki. Ketika pulang ke Turki awak
kapal Turki mendapat musibah di laut. Dengan mengetahui keadaan kapal Turki,
orang-orang Jepang menolong mereka dengan mengadakan penyelamatan.
Komunitas muslim pertama kali dimulai dengan
datangnya beberapa ratus orang Turki, Uzbek, Tadzik, Kirghiz, Kazak dan
pengungsi Muslim Tatar dari Asia Tengah dan Rusia yang terjadi pada waktu
Revolusi Bolshevik. Para pengungsi Muslim ini mendapat perlindungan di Jepang.
Mereka mulai kehidupan baru setelah mendapat tempat tinggal dengan tenang di
beberapa kota di Jepang seperti Tokyo, Kobe, Nagoya dan sebagainya. Mereka juga
mulai melakukan kegiatan keagamaan dengan membentuk komunitas-komunitas di
tempat mereka tinggal.
Hubungan antara Muslim ini dengan penduduk
setempat membawa kepada masuknya beberapa orang Jepang kedalam agama Islam.
Pada masa Perang Dunia II, para militer Jepang melakukan hubungan langsung
dengan orang-orang Islam di negara jajahannya seperti Cina dan Asia Tenggara.
Hubungan militer ini menghasilkan berdirinya beberapa pusat penelitian dan
organisasi tentang Islam dan Dunia Muslim di Jepang. Tujuan dari lahirnya
beberpa pusat penelitian dan organisasi ini bukanlah untuk menyebar luaskan
agama Islam, tetapi hanya membekali para militer dalam pengetahuan tentang
Islam.
2.
Setelah Perang Dunia II
Dibawah undang-undang baru Jepang, diumumkan
secara resmi setelah perang, kebebasan beragama dari orang-orang Jepang telah
dijamin. Maka, seluruh pemerintah dan semua kantor pemerintahan serta berbagai
institusi telah merdeka dari berbagai macam hak istimewa terhadap agama utama
(Shinto). Diwaktu yang sama, semua orang diberi kebebasan untuk percaya,
melakukan ibadah atau menyebarkan agamanya sebagai pilihan. Berbagai organisasi
keagamaan mulai bermunculan.
Pada waktu yang sama juga, setelah peperangan
berakhir, tumbuhlah kemerdekaan negaranegara Muslim di Asia dan Afrika, serta
diplomasi, ekonomi dan pertukaran kebudayaan mulai tumbuh secara perlahan
antara negaranegara Muslim di Asia dan Afrika dengan Jepang. Pertukaran ini
juga membawa gelombang pejabat pemerintahan Muslim, para sarjana, orangorang
bisnis, pelajar dan lain sebagainya pergi ke Jepang. Dan sebaliknya,
orang-orang Jepang pergi ke negara-negara Muslim.
Selain itu, banyak orang Jepang mulai
menunjukkan rasa keingintahuan mereka terhadap bahasa Arab dan ajaran-ajaran
Islam. Para pemuda Jepang mulai pergi ke Arab dan negara-negara Muslim untuk
belajar bahasa Arab dan Islam, beberapa dari mereka mengajarkan kembali semua
yang telah mereka dapat di Jepang setelah mereka kembali. Di Jepang, duta besar
dari negara-negara Muslim seperti Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Pakistan, Libya,
Iran, Malaysia, Indonesia dan sebagainya secara aktif mereka memberi
pertolongan dan bantuan terhadap seluruh kegiatan keislaman. Hajj Umar Mita
adalah salah seorang sarjana Muslim Jepang yang mempublikasikan al Qur’an yang
telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang, dalam melakukan penerjemahan tersebut
ia disponsori oleh Rabithah al-alam al-islami.
Setelah peperangan berakhir, Jepang banyak
mendapatkan kerusakan dalam bidang industri. Untuk memperbaiki perindustriannya
Jepang membutuhkan minyak yang 99,8% didapatkan dari Negara-negara Muslim di
Timur Tengah dan Asia. Karena membutuhkan minyak maka Jepang harus berinteraksi
dengan Negara-negara tersebut.
Pada saat ‘Arab Boom’ (1973), media masa
Jepang melakukan pemberitaan besar-besaran mengenai Muslim Word secara umum dan
Arab World secara khusus, setelah menyadari pentingnya Negara-negara Arab bagi
ekonomi Jepang. Melalui pemberitaan tersebut banyak orang Jepang mengenal Islam
melalui tampilan ibadah haji di Mekah serta mendengar suara azan dan bacaan al
Qur’an. Selain itu, banyak juga usaha yang sungguh-sungguh untuk mempelajari
Islam dan banyak yang memeluk Islam.
Periodesasi
pertemuan Jepang dengan Islam menurut Arifin Bey
Arifin Bey dalam bukunya yang berjudul
“Peranan Jepang dalam Pasca Amerika” mengatakan bahwa pertemuan Jepang dengan
agama Islam terbagi menjadi beberapa periodesasi50 yaitu:
1.
Periode Pertama : Kunjungan Kapal Perang Kesultanaan Turki ke Jepang pada 1889.
Dua puluh tiga tahun setelah Restorasi Meiji
atau bertepatan pada tahun 1889, pemerintahan Sultan di Turki mengirimkan suatu
misi muhibah ke Jepang di bawah pimpinan Laksamana Osman. Dia tiba di Jepang
permulaan bulan Juni, tahun berikutnya dengan kapal perang Erthugrul (phonetik)
yang dinahkodai oleh Kolonel Laut Ali dan 607 orang anggota angkatan laut
Turki. Misi ini memperoleh sambutan yang hangat sekali, baik oleh pemerintah
maupun angkatan laut Jepang serta rakyat.
Setelah tiba tiga bulan berada di Jepang,
mereka mulai pelayaran pulang dengan meninggalkan pelabuhan Yokohama. Waktunya
ialah 14 September 1890, yaitu di tengah-tengah musim angin taufan di belahan
utara bumi ini. Pada tanggal 16 September malam, pada waktu kapal tersebut di
sebelah selatan Semenanjung Kii, dilanda oleh angin taufan sehingga mengalami
malapetaka. 540 orang di antara anggota misi, termasuk laksamana dan nahkoda
kapalnya tidak tertolong, walaupun pemerintah Jepang setempat telah melakukan
apa pun yang dapat mereka usahakan untuk menyelamatkan para tamu-tamu mereka.
Khususnya, pemerintah pusat Jepang telah mengirimkan dua kapal perangnya untuk
memberikan pertolongan. Kunjungan misi Turki ini merupakan pengalaman Jepang
pertama-tama untuk mengikat tali persahabatan dengan suatu negara Islam.
Pada waktu musibah itu terjadi, seorang pemuda
Jepang yang bernama Yamada Torajiro, baru berumur 24 tahun. Sebagai seorang
pemuda masa Meiji, dia rajin belajar dan banyak mengetahui tentang dunia luar.
Di samping bahasa Cina, dia juga telah mempelajari beberapa bahasa Eropa,
seperti Inggris, Jerman dan Perancis.
Musibah kapal perang Turki itu menggerakkan
hatinya untuk mengumpulkan dana bantuan untuk meringankan penderitaan keluarga
para anggota misi tersebut. Setelah terkumpul sejumlah dana, dia pergi
menghadap Menteri Luar Negeri pada waktu itu, Aoki Shuzo dengan permintaan agar
pemerintah Jepang sudi menyampaikan dana sumbangan itu kepada pemerintah Turki.
Menteri Luar Negeri Aoki Shuzo menyarankan
sebaiknya dia sendiri pergi ke Turki untuk menyerahkan dana tersebut. Kebetulan
saja, pemerintah Jepang hendak mengirimkan 300 orang anggota angkatan laut ke
Perancis, dengan tugas untuk membawa kembali ke Jepang suatu kapal perang baru
yang dipesan oleh Tokyo dari negara Eropa tersebut, Yamada memperoleh izin
untuk ikut serta rombongan tersebut sampai Port Said. Dari sana dia melanjutkan
perjalanan darat ke Turki. Kebetulan dia tiba di Istanbul pada waktu bulan
Ramadhan, dan pada suatu upacara khidmat, dia menyerahkan dana bantuan itu
kepada Menteri Angkatan Laut Turki.
Sebagai penghargaan atas jasanya, Yamada dianugerahi bintang oleh Sultan Turki
sedangkan Menteri Angkatan Laut negara tersebut meminta agar dia bersedia
tinggal di Turki untuk mengajarkan bahasa Jepang kepada tujuh perwira angkatan
perang mereka, baik darat maupun laut. Salah seorang dari perwira yang
memperoleh pelajaran dari Yamada adalah Kemal Attaturk yang kemudian menjadi Bapak
Turki Modern.
Pada tahun 1931, Yamada kembali mengunjungi
Turki, kali ini atas undangan Presiden negara tersebut, Kemal Attaturk. Sambil
mengajarkan bahasa Jepang, dia juga tertarik pada kebudayaan Islam dan pada
waktu itulah dia memeluk agama Islam dan menyandang nama Abdul Halim. Setelah perjanjian mengajar selama
dua tahun berakhir, Yamada kembali ke Jepang, tetapi satu tahun kemudian dia
pergi kembali ke Turki dalam usaha untuk memantapkan hubungan perdagangan dan
kebudayaan. Melalui tiga kunjungan ke Turki, Yamada telah tinggal di negara
tersebut selama 20 tahun. Dia meninggal di Jepang pada tahun 1957 pada usia 91
tahun.
2.
Periode Kedua : Perang Jepang-Rusia dan Kedatangan sekitar 71.947 Tawanan Perang Rusia di Jepang.
Pada tahun 1904-1905, Jepang terlibat dalam
suatu peperangan dengan Rusia. Pada waktu itu, angkatan perang Jepang telah
berhasil menawan puluhan ribu anggota tentara Rusia. Diantara mereka yang
berjumlah 71.947 orang yang dikirimkan ke Jepang dan ditempatkan di beberapa
camp, sekitar 28.000 orang ditempatkan di suatu camp di dekat kota Osaka.
Di antara mereka ini diduga hampir seribu
orang adalah orang Tartar yang memeluk agama Islam. Pemerintah Jepang dalam
usaha memelihara suatu citra internasional yang baik, mendirikan rumah-rumah
ibadat bagi para tawanan, sesuai dengan agama mereka masing-masing. Terdapat
gereja Kristen Timur, gereja Katolik, gereja Protestan, rumah ibadat agama
Yahudi dan masjid.
Melalui kehidupan orang-orang Rusia dari
berbagi agama inilah, masyarakat Jepang mengadakan kontak dengan agama-agama
yang sebagian besar mereka kenal melalui bacaan belaka. Terutama sekali
mengenai Islam, ini adalah kesempatan pertama mengenal ajaran itu dari dekat
secara langsung.
3.
Periode Ketiga : Kedatangan pelarian kaum Tartar Muslim
dari Rusia pada Masa Revolusi Bolshevik.
Pada waktu Revolusi Bolshevik, sejumlah bangsa
Tartar yang beragama Islam melarikan diri ke Jepang, berapa jumlah banyaknya
mereka yang melarikan diri tidak dapat diketahi dengan pasti, namun mereka
inilah yang kemudian berjasa mendirikan masjid, baik di Kobe maupun Tokyo,
dengan bantuan penduduk golongan-golongan lainnya, seperti India dan pemerintah
Jepang.
Revolusi Bolshevik selama Perang Dunia I,
muncul komunitas Muslim dengan kedatangan ratusan pengungsi Muslim dari Turki,
Uzbekistan, Tadjikistan, Kirghistan, Kazakhtan serta para pengungsi lain yang
berasal dari Asia Tengah serta Rusia. Orang-orang Muslim tersebut diberi hak
suaka tinggal oleh pemerintah Jepang di beberapa kota utama di Jepang dan
kemudian membentuk komunitas Muslim yang kecil. Sejumlah orang Jepang memeluk
Islam setelah berinteraksi dengan komunitas Muslim tersebut.
Dengan adanya komunitas Muslim yang kecil ini,
beberapa masjid berhasil dibangun. Masjid Kobe yang dibangun pada tahun 1935
serta masjid Tokyo yang dibangun pada tahun 1938 merupakan masjidmasjid
terpenting di Jepang. Satu hal yang perlu ditekankan disini bahwa sedikit
Muslim Jepang yang dilibatkan dalam pembangunan masjid tersebut serta tidak ada
satu pun Muslim Jepang yang menjadi imam di tiap masjid tersebut.
4.
Periode Keempat : Perang Korea dengan Partisipasi Pasukan dari Turki.
Pada waktu peperangan di Korea, Turki mengirimkan
pasukannya ke Korea dan mereka yang menderita luka-luka atau memperoleh waktu
rekreasi dikirim ke Jepang. Melalui mereka, masyarakat Jepang lebih memperluas
lagi perkenalan dengan penganut agama Islam.
5.
Periode Kelima : Meningkatnya Jumlah Orang Jepang yang Memeluk Islam.
Meningkatnya orang Jepang semdiri memeluk
agama Islam dan berdirinya Perkumpulan Kebudayaan Islam yang sekarang diketuai
oleh Abu Bakar Morimoto dan Kongres Islam Jepang yang diketuai oleh Dr. Shawqi
Futaki.
Pada tahun 1932, 17 orang cendikiawan Jepang
yang mempelajari agama Islam mufakat untuk mendirikan “Lembaga Studi Islam”
sebagai usaha untuk memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat luas di
Jepang. Sebagai alat penerangan, badan tersebut menerbitkan suatu majalah, baik
dalam bahasa Jepang maupun Inggris, masing-masing dengan nama Islam Bunka no
Hirobi dan Islamic Culture Forum. Majalah dalam bahasa Inggris ditujukan untuk
merapatkan hubungan dengan badan-badan Islam di luar negeri, sedangkan majalah
dalam bahasa Jepang ditujukan kepada masyarakat di dalam negeri.
Periodesasi
pertemuan Jepang dengan Islam menurut Dr. Jamhari Makruf
Dalam bukunya yang berjudul “The Indonesian Moslem Perspective on Japan”,
yang diterbitkan oleh The Japan Fondation, Dr. Jamhari Makruf menjelaskan bahwa
beberapa interaksi antara Jepang dan Dunia Islam dapat dibagi menjadi dua periode.
1.
Periode Pertama : Masa Kolonialisme dengan Penerapan Kebijakan Nanshin
Jepang
Jepang ingin menaklukkan wilayah selatan, yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu Jepang mengambil beberapa
langkah untuk mengambil simpati dari orang-orang Islam.
Invasi Jepang terhadap Cina dan negara-negara
di kawasan Asia Tenggara selama Perang Dunia II menyebabkan orang-orang Jepang
dapat berinteraksi dengan orang-orang Muslim. Orang-orang Jepang yang memeluk
Islam karena interaksinya dengan orang-orang Muslim di negara-negara yang
mereka invasi menjadi komunitas yang mapan pada tahun 1953 dengan terbentuknya
organisasi Muslim Jepang yang pertama kali yakni Japan Muslim Association yang
dipimpin oleh Umar Mita. Dia adalah seorang pemimpin yang dedikasi dan tipikal
Muslim generasi tua, yang belajar Islam dalam wilayah yang berada di bawah kekuasaan
Jepang (wilayah invasi).
Dia bekerja di perusahaan Perkereta apian
Manshu di Cina, yang sebenarnya turut mengontrol wilayah yang diinvasi Jepang
yang berada di sebuah propinsi yang terletak di timur laut Cina. Dia masuk
Islam karena seringnya melakukan interaksi dengan Muslim Peking-Cina. Di
kisahkan pula saat tentara Jepang pergi ke Malaysia, sang pilot meginstruksikan
anak buahnya untuk mengucapkan kalimat tauhid “Laa Ilaaha illallaahu”. Dan
ketika mereka ditembak jatuh oleh tentara musuh di wilayah Malaysia, mereka
melontarkan kalimat tauhid agar di beri perlakuan yang baik oleh penduduk
setempat. Dan memang mereka diberi perlakuan yang layak. Para tentara yang
menetap di Malaysia ini akhirnya tetap menjaga kalimat tauhid. Mereka disebut
generasi tua seperti halnya Umar Mita.
2.
Periode Kedua: Masa “Economic Boom” Jepang pada 1970-an.
Setelah Jepang memperoleh kemampuan teknologi
yang tinggi, Jepang menjadi raksasa ekonomi baru. Pertumbuhan ekonomi Jepang
pada tahun tersebut merupakan suatu hal yang luar biasa. Walaupun demikian,
ketika negara-negara yang memproduksi minyak mulai melakukan embargo minyak
mereka terhadap Jepang dan Amerika, ekonomi Jepang mengalami derita berat. Hal
tersebut menyebabkan timbulnya minat akan mempelajari Islam dan Timur Tengah di
Jepang, dengan tujuan Jepang dapat mendekati negara-negara tersebut yang
menghasilkan minyak.
Orang
Jepang yang pertama kali memeluk Islam
Adapun orang yang pertama kali masuk Islam adalah
seorang pemuda yang bernama Yoshi Imaizuma, ia adalah seorang insinyur mesin
lulusan Universitas Nihon di Tokyo. Ia memeluk agama Islam pada waktu berusia
24 tahun, tepatnya pada tahun 1926. Setelah memeluk agama Islam ia memakai nama
Sadiq Yoshio Imaizuma.52 Ia memeluk agama Islam atas bimbingan Imam Abdurrashid
Ibrahim Bey, seorang pejuang Turkestan yang datang pertama kali ke Jepang pada
tahun 1908 untuk meminta bantuan guna mendukung perjuangan kemerdekaan bagi
daerah-daerah Islam yang diduduki Soviet Rusia.
Namun sebelum Imaizuma ada tiga orang yang
telah memeluk agama Islam Mereka itu adalah:
1.
Mitsutaro Takaoka
Mitsutaro Takaoka telah masuk Islam pada tahun
1909. Ia mengganti namanya menjadi Omar Yamaoka setelah menunaikan ibadah haji
ke Mekkah.
2.
Bunpachiro Ariga
Ketika Bunpachiro Ariga pergi berdagang ke
India, ia berinteraksi dengan warga setempat yang beragama Islam, setelah
beberapa lama berinteraksi kemudian ia memeluk Islam dan menggantikan namanya
menjadi Ahmad Ariga.
3.
Torajiro Yamada
Torajiro Yamada telah mengunjungi negara Turki
beberapa kali. Pertama kali ia mengunjungi negara tersebut dengan maksud
menyerahkan dana bantuan yang diberikan oleh Menteri Luar Negeri Jepang kepada
Menteri Angkatan Laut Turki. Untuk kedua kalinya ia pergi ke Turki atas
undangan Kemal Attaturk, pada waktu kunjungan kali ini ia memeluk agama Islam
dan menggantikan namanya menjadi Abdul Khalil. Dan untuk terakhir kalinya ia
pergi ke Turki untuk memperkuat hubungan antara kedua negara tersebut.
B.
PERKEMBANGAN ISLAM DI JEPANG
Perkembangan agama Islam di Jepang bukanlah
suatu hal yang mudah, karena masyarakat Jepang sangat terikat dengan kebiasaan
dan adat istiadat yang berdasarkan agama Shinto. Selain itu, dakwah Islam juga
hanya dilakukan secara sambil berlalu, tanpa dana dan tanpa organisasi.
Walaupun demikian, lambat laun pemeluk agama Islam mulai bertambah. Hal ini
disebabkan dengan hubungan Jepang dengan negara lain yang bertambah luas
sesudah Perang Dunia II, termasuk dengan negara-negara Islam. Bertambah banyak
orang Islam dari berbagai negara yang bertempat tinggal di Jepang. Hal ini yang
ikut mempengaruhi perkembangan dan kemajuan agama Islam di Jepang. Terbukti dengan
banyaknya organisasi Islam yang bermunculan.
Perkembangan agama Islam di Jepang yang
tergolong lambat merupakan akibat dari lingkungan eksternal. Atmosfer agama
tradisional Jepang dan kecenderungan pembangunan negara Jepang yang terlalu
materialistik.
Selain itu juga terdapat perbedaan orientasi
antara generasi Muslim Jepang yang lama dengan yang baru. Bagi generasi Muslim
Jepang yang lama, Islam disamakan dengan agama yang ada di Malaysia, Indonesia
atau Cina dan yang lainnya.
Namun bagi generasi Muslim Jepang yang baru,
negara-negara Asia Tenggara dan Timur ini tidak terlalu menarik, karena
orientasi mereka adalah Barat, dan mereka lebih dipengaruhi oleh Islam seperti yang
ada di negara-negara Arab.
Muslim Jepang generasi lama sudah pernah hidup
berdampingan dengan Muslim non-Jepang dan hal ini merupakan sebuah contoh yang
bagus akan adanya semangat persaudaraan. Namun di sisi lain terdapat efek
samping yang tidak dapat dinafikan lagi yaitu Islam menjadi sesuatu yang asing
bagi orang Jepang pada umumnya. Inilah yang dihadapi oleh Muslim Jepang
generasi baru.
Kehadiran Islam dan apa yang diajarkannya
memberikan pencerahan baru bagi mereka yang merasakan beban hidup sedemikian
beratnya. Namun di kalangan orang Jepang masih terdapat pemikiran salah tentang
Islam, mereka menganggap bahwa Islam adalah agama aneh yang hidup di negara
yang belum berkembang. Pemikiran ini muncul seiring dengan arus Westernisasi
yang mengusung agama Kristen. Hal ini diperburuk dengan banyaknya penyebaran
informasi yang salah kaprah. Namun seiring waktu, perkembangan informasi dan
pertambahan jumlah pemeluk Islam terus meningkat.
Banyak orang Jepang percaya bahwa Islam akan
lebih diterima di Jepang. Meski belum ada angka
pasti, namun diperkirakan Islam akan berkembang di Jepang. Hal ini terutama
mengacu kepada banyaknya perkawinan campur antara Muslim dan non-Muslim asal
Jepang. Selain itu terdapat juga penambahan angka yang cukup signifikan
dengan banyaknya mahasiswa Jepang yang memilih belajar di Universitas yang
berada di negara-negara Arab.
Banyak juga mahasiswa di Universitas yang
berada di Jepang membentuk suatu komunitas diskusi formal skala kecil untuk
membicarakan persoalan agama. Ini sangat berguna sekali, terutama mengingat
masih sedikitnya komunitas Muslim yang bergerak untuk memfasilitasi dan
memberikan pemahaman lebih baik tentang kepercayaan Islam.
Dan juga terdapat komunitas Muslim yang
memberikan kontribusi besar dalam memelihara solidaritas di kalangan Muslim
Jepang. Pusat pengembangan Islam di Jepang juga merupakan salah satu
fasilitator terbaik bagi komunitas Muslim. Melalui dialog, seminar dan
konferensi, tempat ini membantu para Muslim mempromosikan pemahaman akan Islam
yang lebih baik di Jepang.
Islam berkembang di Jepang melalui dua cara
yaitu dengan perkawinan (warga asing yang beragama Islam di Jepang dan
khususnya lelaki telah mengawini wanita setempat dan mendorong wanita-wanita
tersebut memeluk Islam) dan dakwah (warga asing yang beragama Islam yang sudah
menetap di Jepang telah melakukan berbagai aktifitas dakwah dalam usaha untuk
menyebarkan ajaran Islam di Jepang).
Dalam hal perkawinan menurut R. Siddiqi
(Direktur Islamic Center Jepang) mengatakan bahwa “wanita tertarik kepada Islam
karena mereka menginginkan kebebasan. Islam memberi mereka kemerdekaan sebab
mereka tidak akan menjadi budak lelaki manapun.
Islam melawan agresi moral yang menyerang
wanita. Kesucian dan kehormatan wanita dilindungi. Islam melarang hubungan
haram. Semua ini menarik perhatian para wanita Jepang.” Dan tercatat dalam
laporan Islamic Center Jepang bahwa tiap tahun terdapat 40 pernikahan antara
orang Islam yang berasal dari luar Jepang dengan wanita Jepang.
Dalam hal dakwah menurut Prof. Hassan Ko
Nakata bahwa satu-satunya jalan terbaik untuk
menyebarkan Islam di Jepang adalah melalui pengaruh personal dari pelaku dakwah
yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang Islam dengan
kepribadian yang baik serta memahami budaya Jepang.
Dakwah ini sering dilakukan oleh para pelajar
dan pekerja di berbagai bidang dengan membentuk suatu komunitas. Dengan
komunitas tersebut mereka berusaha memperbaiki pemahaman ajaran Islam dan
mengukuhkan persaudaraan antara orang-orang Islam. Mereka melakukan dakwah di
kota-kota besar seperti Hiroshima, Kyoto, Nagoya, Osaka dan Tokyo.
B.1.
Dalam Bidang Dakwah
Perkembangan Islam dan komunitas Muslim di
Jepang dipelopori oleh orang-orang Islam dari Turki, India dan Arab59. Dalam
melakukan kegiatan dakwahnya mereka mendirikan masjid. Dakwah Islam yang
dilakukan oleh umat Islam Jepang bukan hanya dengan membangun sarana ibadah
seperti masjid namun untuk mengenalkan dan mengembangkan Islam di Jepang mereka
mendirikan berbagai organisasi Islam di Jepang. Organisasi Islam ini tumbuh
satu persatu yang diawali oleh Japan Muslim Association.
Para pelajar beserta para pekerja merupakan
suatu komunitas terbesar yang melakukan dakwah Islam di Jepang. Dalam melakukan
dakwahnya mereka memusatkan perhatian di kota-kota besar seperti Hiroshima,
Kyoto, Nagoya, Osaka dan Tokyo. Perkumpulan pelajar Muslim di Jepang membentuk
organisasi periodik kampus, mereka bersama-sama berusaha meningkatkan pemahaman
mereka dalam mengajarkan Islam dan memperkuat hubungan persaudaraan diantara
Muslim.
Kegiatan dakwah di Jepang sangat diperlukan
untuk perbaikan pengetahuan keislaman dan kondisi kehidupan komunitas Muslim.
Suatu hal yang akan membebankan komunitas
Muslim jika sikap ketidakacuhan dan ketidakpedulian dari penduduk Muslim di
Jepang mengenai isu-isu keislaman dari para pengikutnya, resiko dari komunitas
tersebut akan tumbuh besar melalui hebatnya penyimpangan akan ajaran Islam.
Kemungkinan ini akan terjadi dengan
terpengaruhnya umat Islam dengan ikut serta secara kolektif dalam perayaan
agama yang ada di Jepang dan mengunjungi kuil. Masalah ini akan sangat terasa
pada anak-anak Muslim yang tidak memiliki sekolah taman kanak-kanak Muslim atau
mereka yang masuk sekolah-sekolah umum yang dengan mudah menjadi target
penularan dan perkembangan budaya non-Islam dalam kehidupan sosial.
Oleh karena itu terdapat beberapa usaha untuk
membangun dan mengubah rumah-rumah atau gedung-gedung menjadi masjid dengan
tujuan untuk mengajarkan anak-anak tentang keislaman. Selain itu, untuk
menghilangkan kesalahpahaman tentang pengajaran Islam dari berita-berita yang
dihasilkan dari media Barat, umat Islam menyediakan Al Qur’an yang telah
diterjemahkan kedalam bahasa Jepang serta buku-buku tentang ajaran-ajaran Islam
yang diperjualbelikan di berbagai toko di Jepang, walaupun harga yang relatif
mahal.
B.2.
Dalam Bidang Arsitektur Islam : Masjid
Masjid di Jepang tidaklah hanya sebagai tempat
beribadat tetapi juga berperan sebagai tempat untuk mengumpulkan dan menukarkan
informasi. Walaupun dana-dana diperlukan untuk pembelian lokasi dan bangunan
yang kemudian dijadikan masjid, pada umumnya dana-dana tersebut datang dari
donator yang berasal dari Orang Islam lokal, beberapa masjid juga menerima
donasi dari individu dan organisasi luar negeri.
Walaupun beberapa masjid mempunyai kesukuan
dan cenderung sektarian, masjid-masjid di Jepang sebagian besar bersifat
plural. Sebab Orang Islam adalah suatu minoritas kecil di Jepang, dengan tidak
ada kelompok kesukuan yang dominan dan terbatasnya masjid, di masjid-masjid
Jepang terdapat berbagai bangsa, berbagai bahasa, berbagai mazhab dan berbagai
sekte.
Walaupun ada suatu kehadiran yang kuat dari
orang Pakistan di berbagai mesjid, etnik lain tidaklah dilarang masuk seperti
etnik dari Bangladesh, Sri Langka, Indonesia dan orang-orang Jepang yang masuk
Islam juga aktip di berbagai masjid, berkomunikasi dalam bahasa seperti bahasa
Jepang, bahasa Inggris, bahasa Urdu, bahasa Hindi, bahasa Bengali, bahasa
Indonesia dan bahasa Arab.
Khotbahkhotbah disampaikan dalam bahasa
pribumi para imam (para pemimpin di setiap melakukan sholat) dan diterjemahkan
oleh para sukarelawan sebagaimana diperlukan. Website-website sering berbahasa
Jepang atau terjemahan bahasa Inggris dari semua khotbah yang penting. Penduduk
Muslim di Jepang telah tumbuh pesat, Orang Islam dengan latar belakang bahasa
yang berbeda terus meningkatkan komunikasi di Jepang. Bahasa Inggris adalah
bahasa yang dipakai oleh pengurus Masjid Nagoya, hal ini yang menarik perhatian
para pelajar Orang Islam yaitu banyaknya orang dari kebangsaan yang berbeda
dari berbagai tempat.
Masjid menjadi satu-satunya tempat di Jepang
yang eksklusif untuk Orang Islam, ruang masjid digunakan untuk banyak tujuan,
termasuk mengakomodasi kantor-kantor, perpustakaan-perpustakaan, unit-unit
komputer, dapur-dapur, ruang-ruang untuk bersantai dan bahkan ruang-ruang untuk
relaksasi. Beberapa masjid menyediakan pemondokan bermalam untuk pengunjung
akhir pekan. Maka, orang-orang di Jepang menggunakan masjid tidak hanya untuk
para jama’ah yang ingin bersholat dan perkumpulan-perkumpulan agama tetapi juga
untuk acara-acara pernikahan, pemakaman, studi agama dan perkumpulanperkumpulan
sosial dan bisnis.
Pada berbagai kesempatan, makanan yang halal
disediakan di dapur masjid. Selama bulan bulan puasa, sebagai contoh, banyak
keluarga-keluarga Muslim mengunjungi masjid untuk merayakan iftar atau berbuka
puasa, dengan berbagi makan malam.
Sebab biaya tanah dan konstruksi sering di
luar jangkauan para imigran Muslim, bangunan-bangunan, pabrik-pabrik atau
tempat kediaman sering diperbaharui dan diubah bentuk untuk digunakan sebagai
mesjid. Karena ruang sholat jama’ah yang besar, dinding sering dipindahkan dan
suatu mihrab (suatu relung yang dilengkungkan pada dinding yang diindikasikan
ke arah Mekkah) dibuat dengan mimbar yang ditempatkan di samping mihrab.
Ditambah dengan kolam untuk berwudhu. Beberapa mesjid menyediakan suatu lantai
atau memisahkan ruang yang disekat untuk jama’ah wanita. Anggaran untuk
pemeliharaan dan administrasi mesjid di Jepang sebagian besar mengandalkan pada
dana dari Orang Islam lokal.
Di tahun 1992, ketika banyak yang
memperpanjang visa di Jepang dari warga Iran, Banglades dan Pakistan hanya satu
mesjid yang hidup. Kekurangan masjid, walaupun hal itu tidak dapat diterima
bagi Orang Islam yang taat, telah dimaklumi oleh Orang Islam yang bertujuan
untuk tinggal di Jepang untuk hanya waktu yang pendek atau singkat.
Masjid-masjid bertambah setelah terjadi peningkatan pada orang-orang yang
memperpanjang visa.
Para pekerja yang menikahi wanita-wanita
Jepang atau mengembangkan bisnis memilih untuk tinggal dan menaikkan keluarga-keluarganya
di negeri itu. Sebagai penduduk Jepang jangka panjang baru, Orang Islam ini
merespon akan ketiadaan tempat untuk beribadah dengan pembukaan mesjid baru. Di
tahun 2007, ada sedikitnya 38 mesjid yang terletak di berbagai bagian dari
Jepang.
Para imigran Muslim membuka lebih dulu masjid
baru di Ichinowari, daerah administrasi Saitama, di tahun 1992 dengan uang yang
sebagian besar didermakan oleh Orang Islam yang bertempat tinggal di Jepang. Di
tahun 1995, suatu mesjid setengah jadi telah dibangun di suatu kawasan industri
di Isesaki.
Para imigran Orang Muslim di tahun berikutnya
membeli dan memperbaharui sebuah gedung di Sakaimachi untuk dijadikan masjid.
Tiga masjid ini terletak di jalur kereta api Tobu-Isesaki, di sepanjang pabrik
dan bisnis, tempat Imigran Muslim tengah bekerja pada waktu itu.
Setelah masjid-masjid dibuka, masjid-masjid
lain ikut dibuka di beberapa kota dan daerah. Di Kanto, mesjid-masjid terletak
di Hyuga, Gyutoku dan Shirai (daerah administrasi Chiba); Toda, Yashio dan Tokorozawa
(daerah administrasi Saitama); Ebina dan Yokohama (daerah administrasi
Kanagawa); Tatebayashi (daerah administrasi Gunma), dan Koyama dan Ashikaga
(daerah administrasi Tochigi); seperti halnya di Asakusa, Otsuka, Ohanajawa,
Hachioji dan tempat lain di Tokyo. Di daerah Hokuriku, mesjid telah dibuka di
daerah administrasi Niigata dan Toyama.
Empat masjid telah dibangun di daerah
administrasi Aichi. Masjid terakhir telah dibuka di daerah administrasi
Shizuoka, Ibaragi, Gifu, Nagona, Osaka, Kyoto, Hyogo, Hiroshima, Ehime, Kagawa
dan Fukuoka secara berturutturut. Masjid-masjid ini telah dibuat melalui
prakarsa para imigran; masjidmasjid telah dipugar atau dibuka dengan bantuan
dari luar.
Di tahun 2000 Masjid Tokyo yang roboh telah
dibangun kembali atas gagasan Menteri Agama Turki, suatu cabang jabatan dalam
pemerintahan Turki. Di pusat Tokyo, Masjid Hiroo telah dibangun pada tahun 2001
sebagai bagian dari Institut Islam Tokyo, yang telah ditemukan pada 1982
sebagai cabang dari Universitas Muhammad Imam Saud. Walaupun cukup luas untuk
mengakomodasi sejumlah besar jama’ah, masjid ini tidaklah perlu dihormati oleh
Muslim Jepang sepeti halnya "Masjid Jamii" (masjid-masjid pejabat
yang digunakan untuk sholat Jumat).
Walaupun mereka adalah populasi Muslim terbesar
ketiga di Jepang, Para syiah Iran jarang menghadiri masjid-masjid tersebut,
sebagian karena kebanyakan dari mereka adalah Muslim Sunni tetapi juga karena
tempat para Syiah Iran lebih sedikit keikutsertaannya dalam sholat Jumat.
Banyak Muslim Iran menganggap hari tersebut
adalah hari yang penting untuk menandai hari Ashura, yaitu memperingati
kematian Husayn pada tahun 680 M. Kelompok Iran yang taat sudah membuka tempat
beribadat mereka sendiri (yang biasa disebut dengan Hoseyniye) yang terletak di
pusat Tokyo. Di samping orang-orang Iran, terdapat juga Muslim Syiah dari
Pakistan, Afghanistan, India dan negara-negara Arab yang berkumpul di Hoseyniye
pada akhir pekan dan hari-hari perayaan agama.
Meskipun orang-orang Indonesia membuat
kelompok Muslim Jepang yang paling besar, orang-orang Pakistan adalah kelompok
yang paling aktif mengenai pembukaan dan operasi masjid-masjid di Jepang dan
menghidupkan aktifitas agama di antara Masyarakat Muslim. Orang-orang Pakistan
sudah biasanya melaksanakan ibadat agama mereka dengan kesungguhan hati setelah
berimigrasi ke Jepang. Michael Penn juga menguraikan di dalam eseinya, di tahun
1980 para karyawan Muslim di pabrik-pabrik dan pada proyek konstruksi yang
ditemukan menyelesaikan sholat sehari-hari pada jadwal yang pasti dan berkumpul
untuk sholat berjamaah pada hari Jumat pada waktu siang hari. Banyak orang
Islam, terutama orang-orang Pakistan, bekerja keras untuk keamanan dari
kelonggaran para manajer untuk sholat pada waktu kerja dan Mushala (tempat
untuk sholat berjamaah).
Sebagai tambahan, Persentase dari Muslim asing
dengan isteri Jepang adalah yang paling tinggi diantara orang-orang Pakistan,
yang oleh karena itu lebih mampu melaksanakan bisnis mereka. Ketenaga kerjaan
telah mengusahakan banyak orang Pakistan suatu tingkat yang lebih besar dari
kemakmuran dan kebebasan ekonomi, yang pada gilirannya telah membantu keuangan
konstruksi dan operasi masjid.
Akhirnya, orang-orang Pakistan membuat suatu
organisasi untuk membangun masjid. Sebagai contoh, Lingkaran Islam Jepang (The Islamic Circle of Japan), yang
dibentuk pada tahun 1992, tidak hanya beroperasi di masjid Asuka, masjid
Gyotoku dan masjid Tatebayashi tetapi juga telah membeli tanah untuk membangun
masjid lain di daerah administrasi Ibaraki. Organisasi yang didirikan pada
tahun 1994 dan yang dipimpin oleh orang-orang Pakistan yaitu Japan Islamic
Trust mendirikan masjid Otsuka Tokyo dan
merencanakan untuk membuka mesjid tambahan di kota tersebut.
Meskipun mereka berperan penting dalam
pengembangan masjid-masjid baru di Jepang, orang-orang Pakistan bukanlah
satu-satunya kelompok yang aktif. Sebagai contoh, orang-orang Bangladesh
berperan dalam memimpin masjid Sakaimachi di daerah administrasi Gunma. Masjid
Shinokubo di Tokyo dirawat oleh orang-orang Myanmar. Banyak orang-orang
Indonesia yang tinggal di Tokyo lebih suka menggunakan Balai
Indonesia (suatu sekolah yang berhubungan dengan kedutaan Indonesia di Tokyo) untuk
sholat. Jama’ah yang bukan orang Turki di masjid Tokyo melebihi minoritas
muslim Turki, sebagaimana yang sudah tersebut di atas, masjid dimiliki oleh
pemerintah Turki.
Sampai saat ini pemerintah Jepang secara resmi
telah mengakui lembaga-lembaga agama seperti masjid-masjid (seperti masjid
Kobe, masjid Tokyo dan masjid Nagoya) dan asosiasi Islam (seperti Japan Muslim Assotiation, Islamic Center Japan dan Japan Islamic Trust). Tanpa status ini,
masjid-mesjid harus mendaftarkan sebagai milik perorangan dan membayar pajak
lebih tinggi. Meskipun demikian, masjid-masjid juga berharap untuk memperoleh
status lembaga agama. Kedutaan Besar dari beberapa negara Islam telah menyokong
beberapa fasilitas untuk sholat, tetapi hanya Kedutaan Besar Turki dan Saudi
Arabia yang telah mendirikan masjid mereka sendiri.
B.3.
Dalam Bidang Kemasyarakatan
Dalam berbagai hal, Islam merupakan suatu
agama masyarakat. Komunitas Muslim di Jepang adalah komunitas yang terisolasi
dan kecil, bagaimanapun juga tantangan masyarakatnya akan menjadi hebat. Salah
satu tantangan yang terbesar bagi orang-orang Islam di Jepang adalah menemukan
makanan halal. Ketika mereka berada di rumah, mereka dapat menyiapkan makanan
mereka sendiri dan meyakinkan diri mereka bahwa semua semua makan adalah halal,
sedangkan mencari makan di luar rumah adalah suatu tantangan untuk orang Islam
yang taat di Jepang, sebab orang Jepang hanya mempunyai sedikit kesadaran akan
kehidupan orang Islam yang berkenaan dengan aturan makanan.
Orang Islam di Jepang terus berjuang dalam
memelihara ketaatannya melaksanakan ajaran Islam, seperti larangan yang
berkenaan dengan aturan makanan, berpuasa sebulan penuh, sholat lima waktu
dalam sehari. Perolehan makanan yang dihalalkan dalam agama merupakan suatu
tantangan. Orang Islam dilarang memakan daging babi dan hanya memakan daging
yang telah disiapkan sesuai dengan hukum Islam (halal). Dengan seksama
orang-orang Islam yang taat tidak dapat memakan daging yang dijual di toko-toko
orang Jepang (nonMuslim).
Bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan
Jepang, pada akhir tahun 1990 para usahawan Muslim mulai menjual daging-daging
halal yang segar. Pada tahun 1998-1999 survei menunjukkan di Jepang terdapat 80
toko makanan halal, kira-kira 80% adalah berasal dari para imigran Asia
Selatan, dengan orang-orang Pakistan yang memiliki 47 toko makanan halal dan
orang-orang Banglades yang beroperasi 15 toko makanan halal.
Tantangan yang lain adalah dalam memenuhi
perintah ajaran Islam untuk melakukan sholat lima waktu sehari-hari. Orang
Islam yang mengambil suatu sikap yang lebih santai dalam melakukan sholat,
lebih mudah dalam beradaptasi dengan masyarakat Jepang dari pada mereka yang
mengambil suatu pendekatan yang lebih keras.
Sebagai contoh, suatu tindakan seorang
pemimpin masyarakat Muslim di Jepang barat, ia menyatakan bahwa ketika di suatu
tempat publik pada waktu ia ingin melakukan sholat, ia telah diberitahu oleh
beberapa pemilik bisnis untuk meninggalkan tempat itu jika ia ingin melakukan
sholat. "Sebagian orang, tentu saja, memperhatikan aku sepertinya aku
adalah orang gila ketika aku melakukan sholatku." ia menambahkan.
Dengan cara yang sama, seorang Muslim Mesir
yang bertempat tinggal di suatu area pedesaan Jepang mengeluh bahwa ia tidak
punya tempat untuk melakukan sholat kecuali di rumah dengan keluarganya. Kisah
lain adalah seorang Muslim yang berada di suatu daerah Japan International Agent Cooperation (JICA), seorang Muslim telah
dihalangi dalam melakukan sholat di asrama JICA, sebab peraturan lokal
memberikan larangan dalam penggunaan fasilitas oleh pendatang (warga asing),
orang Muslim tersebut memandang suatu kebijakan tersebut adalah suatu perhatian
yang kurang terhadap orang yang ingin melakukan kegiatan agamanya.
Permasalahan yang banyak dapat menjadi sebuah
kesukaran dalam melakukan sholat di tempat kerja. Sebagai suatu kehormatan,
banyak dari pemilik perusahaan Jepang mengijinkan karyawannya untuk melakukan
sholat tetapi menurut hukum tidak diwajibkan untuk melakukannya.
Kasus diskriminasi pun terjadi, suatu contoh
yang paling termashur telah dilaporkan didalam surat kabar “DailyYomiuri”.
Seorang wanita Indonesia di usianya yang keduapuluh bekerja di bagian timur
Jepang sebagai pengikut magang menjahitan di pabrik terpaksa membuat suatu perjanjian
tidak menggunakan fasilitas perusahaan untuk melakukan sholat maupun untuk
berpuasa pada bulan Ramadhan.
Pemilik perusahaan juga melarangnya dari
pemilikan suatu telepon, mempunyai tamu, mengirim atau menerima surat. Surat
kabar “DailyYomiuri” mengutip aktifis hak azasi manusia Jepang sebagai
spekulasi bahwa "beberapa larangan mungkin dilakukan dengan dua tujuan
yaitu untuk menimbulkan efisiensi pekerja dan untuk mencegah pengikut magang
atau pekerja dari melarikan diri."
Kasus-kasus yang sama ekstrimnya seperti ini
mungkin sungguh jarang, namun fakta bahwa orang Islam mempunyai sedikit
perlindungan tentang undangundang dari diskriminasi di tempat kerja merupakan
suatu perhatian yang nyata. Walaupun kebanyakan orang Jepang cukup memiliki
perhatian untuk memberikan ruang pribadi bagi orang Islam, orang Islam hanya
mempunyai sedikit kesulitan ketika menghadapi diskriminasi dalam melaksanakan
praktek ibadah.
Tantangan bagi wanita Jepang yang memeluk
Islam adalah keluarganya. Seringkali, keluarga seperti ‘membuang’ anaknya yang
menjadi Islam. Mereka pun dikucilkan dari pergaulan teman-temannya. Memeluk
Islam sangat dibutuhkan perubahan yang mendasar dalam setiap aspek kehidupan
mereka. Mereka yang memeluk Islam pada umumnya karena pernikahan. Selain itu,
mereka menganggap bahwa Islam telah meletakkan posisi wanita pada posisi yang
sangat mulia karena mereka dilindungi dan dihormati.
Memakai hijab menimbulkan banyak permasalahan
serupa untuk wanitawanita orang Islam. Tidak setiap wanita-wanita orang Islam
memakai suatu kerudung atau suatu burkah; mereka tidak mungkin menghadapi lebih
sedikit masalah sosial di Jepang. Wanita-wanita orang Islam itulah yang
menerima praktek Islam yang lebih konservatif, bagaimanapun juga mereka
menghadapi kecurigaan dan keraguan atau tatapan yang sinis dari masyarakat
umum. Wanitawanita orang Islam Jepang, pada khususnya, akan menghadapi kritik
dari keluarga dan para teman. Secara umum, orang Jepang menghubungkan hijab
dengan tekanan wanita-wanita dan enggan untuk melihat kerudung.
Walaupun pemakaian jilbab merupakan suatu
tantangan yang dihadapi oleh wanita orang Islam di Jepang, namun jilbab di
Jepang memiliki tren tersendiri. Jilbab yang sering dipakai oleh wanita
muslimah Jepang adalah jilbab sorong payet Jepang, jenis jilbab ini adalah
jilbab yang siap pakai dengan berbagai variasi motif dan ukuran. Misalnya
jilbab dengan motif payet yang sederhana dengan model bunga tulip. Ada juga
jilbab payet Jepang dan payet biasa, untuk jilbab yang menggunakan payet Jepang
memiliki manik-manik yang tidak akan luntur. Sedangkan payet biasa memiliki
manik yang bisa luntur.
Wanita Muslimah mempunyai suatu kehadiran
terbatas di masjid Jepang. Secara relatif, sedikit masjid mempunyai suatu ruang
untuk wanita Muslimah atau suatu ruang yang disekat. Mayoritas Wanita Muslimah
di Jepang memeluk Islam ketika perkawinan. Beberapa suami orang Islam menyukai
isteri-isteri mereka yang telah memeluk Islam untuk tidak mengambil andil dalam
beraktivitas di masjid.
Banyak para suami yang datang dari masyarakat
patriarkal meminta isteriisteri mereka untuk mengikuti model "Isteri
Muslimah yang ideal" sebagai bukti ketaatan. Lagi pula, kultur patriarkal,
masih dominan diantara wanita-wanita Jepang yang konservatif, mungkin mendukung
atau menguatkan kultur masjid yang di dominasi oleh para pria.
Sebagai konsekwensi, banyak Isteri Jepang
(Muslimah) dengan para suami dari subcontinent memakai suatu celana longgar
khas Asia Selatan dan kemeja panjang, biasa disebut “sharwar kamiz”, dan
menutup rambut mereka seluruhnya. Gaya hidup orang Islam dan pakaian
kadang-kadang dapat melepaskan wanita-wanita Muslimah dari masyarakat Jepang di
mana mereka tinggal.
Praktek Islam yang umum seperti menjauhkan
diri dari alkohol dapat juga menyebabkan berbagai kesulitan. Bermabukan tidak
hanya umum di Jepang tetapi dalam beberapa konteks sosial hampir diperlukan.
Lebih lagi bila dibandingkan dengan Negara-negara Barat, alkohol menjadi suatu
peranan sosial yang penting di Jepang dengan membiarkan rekan kerja untuk
santai bersama-sama dan berbagi pemikiran yang tidaklah selalu di tempat kerja.
Di berbagai perusahaan Jepang, para pengawas
mengharapkan karyawan untuk menghadiri acara minum-minum (mabok) beberapa jam,
dengan acara tersebut ikatan-ikatan sosial dapat dengan lebih mudah ditempa.
Orang Islam atau orang lain yang menolak untuk berpartisipasi dalam acara
tersebut (tidak minum), maka dengan mudah mengalami suatu ketiadaan kepercayaan
dan keakraban dengan rekan kerjanya bahkan bisa menjadi suatu kerugian serius
dalam beberapa jenis bisnis.
Pengalaman sepasang orang Islam yang taat
membuka suatu rumah makan Mesir di Jepang bagian barat menggambarkan berbagai
kesulitan yang dihadapi oleh orang Islam yang taat. Sepasang orang Islam itu
tidak akan melayani atau mengijinkan alkohol pada rumah makan mereka.
Pada satu kesempatan seorang pelanggan marah
ketika menasehati sepasang orang Islam yang tidak memberikan alkohol dengan
alasan yang tidak jelas, ia berpendapat bahwa hal tersebut tidak dapat diterima
karena memaksakan kepercayaan mereka pada orang lain. Rumah makan tersebut
akhirnya ditutup, walaupun demikian, sepasang orang Islam itu mencoba usaha
baru dengan membuat katering makanan orang Mesir pada suatu universitas utama
di Jepang.
Penting untuk menegaskan bahwa meskipun
beberapa tantangan orang-orang Islam ini terletak di Jepang, namun tidak ada
permusuhan diantara orang Islam dan non-Muslim. Meskipun demikian secara luas,
pandangan negatif terhadap Islam tidaklah sangat mendalam.
Orang Jepang cepat meninjau kembali kesan
mereka atas pengalaman pribadi dan memberi suatu kesempatan untuk saling
berhubungan dengan orang-orang Islam. Berbagai permasalahan atau tantangan yang
dihadapi orang Islam hampir seluruhnya dari ketidak-tahuan dan kekakuan dalam
berbagai hal dari masyarakat Jepang.
Kebanyakan orang Islam, cepat memahami fakta
ini, biasanya memperlihatkan suatu ketiadaan dari kebencian terhadap orang
Jepang. Ketika diwawancarai, banyak orang Islam (warga asing) yang menguraikan
peristiwa diskriminasi tetapi kemudian membuat permohonan kepada warga pribumi
(orang Jepang). Dengan menjelaskan bahwa orang Jepang tidak memahami tentang
Islam.
Walaupun begitu banyak tantangan yang dihadapi
oleh orang Islam di Jepang, data diatas menunjukkan bahwa populasi Muslim di
Jepang meningkat dari tahun ke tahun. Populasi Muslim pendatang di Jepang
tumbuh pada suatu tingkat yang jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan
keseluruhan masyarakat asing. Secara rinci dapat dibaca dari tabel diatas bahwa
pada tahun 1984 hanya 0,6% orang Islam di Jepang tetapi duapuluh tahun kemudian
yaitu pada tahun 2004 bahwa persentase telah meningkat menjadi 3,0%.
Jumlah Muslim pendatang diperkirakan 80%
sampai 90% dari keseluruhan populasi Muslim di Jepang. Jumlah yang paling besar
dari populasi ini adalah dari Indonesia, yang diikuti oleh Pakistani,
Bangladesh dan Iran. Imigran Muslim di Jepang dapat dibagi menjadi lima
kategori berdasar pada kategori yang sah dari tempat kediaman mereka di Jepang,
kategori tersebut adalah pengunjung temporer, pejabat, diplomatik, pekerja,
pelajar dan penduduk jangka panjang.
C.
HUBUNGAN JEPANG DENGAN DUNIA ISLAM
Pembahasan tentang Jepang dan Dunia Islam akan
memperkenalkan riset baru yang dilaksanakan dalam berbagai aspek dari hubungan
sebelum perang dunia kedua. Pembahasan ini mengenai hubungan sejarah antara
Jepang dan negara-negara dengan populasi Muslim seperti Kerajaan Turki dan
Timur Tengah serta yang lainnya.
Hubungan antara Jepang dan Dunia Arab meluas
sepanjang akhir abad 19. Rasa persahabatan Jepang di negara-negara Arab bangkit
sebagai hasil kemenangan Jepang di peperangan antara Rusia dan Jepang pada
tahun 1904- 1905 dengan suatu perasaan nasionalisme sebagai anggota Dunia
Timur. Keikutsertaan Perang Dunia II, hubungan Jepang dengan negara-negara Arab
berkembang secara berangsur-angsur bersama dengan kesembuhan ekonomi Jepang.
Peperangan Timur Tengah yang keempat dan krisis
minyak di tahun 1970, Perang Iran-Iraq di tahun 1980 dan perang Teluk di tahun
1990 adalah faktor di belakang bertumbuhnya minat Jepang akan Timur Tengah, dan
hubungan antara Jepang dan negara-negara Arab semakin kuat, terutama sekali
dalam hubungan diplomatik dan ekonomi.
Hubungan
Jepang dengan Turki
Kontak langsung antara Jepang dan Kerajaan
Turki dimulai setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868 yaitu ketika para
pemimpin muda yang baru merobohkan rejim Tokugawa dan membuat perubahan
radikal. Sebagai bagian dari visi radikal yang baru untuk memodernisasi Jepang
sedemikian rupa sehingga akan menjadi suatu kekuatan seperti halnya Barat,
pemerintah Meiji yang baru mengirim misi Iwakura pada tahun 1871 - 1873 untuk
menyelidiki dunia dan dengan penuh harapan merundingkan untuk meninjau kembali
perjanjian yang telah ditandatangani Shogun Tokugawa pada tahun 1858.
Selama kunjungan Pangeran Iwakura ke Eropa di
tahun 1871, sekretaris misi Fukuchi Genichiro mengunjungi Istanbul untuk
belajar kondisi-kondisi Kerajaan Turki. Setelah kunjungan awal sekretaris, para
pelancong Jepang, para diplomat dan para penyelidik mulai bergerak dengan bebas
ke kerajaan dunia Balkan dan Timur tengah.
Dari perspektif Jepang, hubungan dengan Orang
Turki di mulai saat pertemuan Jepang dengan dunia Islam, seperti halnya
multikultural lingkungan pergaulan Mediterania Ketimuran. Sejumlah diplomat,
seperti Nakai Hiroshi yang menulis Manyu kiko di tahun 1877, Yoshida Masaharu
yang mengunjungi Turki di tahun 1880 dan laporan penyelidik militer seperti
Furukawa Nobuyasi dan Kolonel yang terkenal Fukushima Yasumasa yang mengunjungi
Istanbul selama 1892 - 1893 sebagai bagian dari suatu perjalanan besar sampai
Siberia, mencerminkan minat Jepang akan Turki.
Sebagai hasilnya, era Meiji menunjukkan banyak
artikel dan ilustrasi tentang dunia Turki. Bahkan penulis yang populer tentang
novel-novel politis di masa Meiji, Shiba Shiro (1852- 1922), seorang pelaku
utama (pemuda) yang menghadirkan revolusioner muda Asia bertemu dengan para
intelektual Turki di Istanbul.
Terdapat sedikit keraguan bahwa hubungan
Jepang dengan Turki adalah hubungan dua belah pihak yang paling dalam dan yang
paling kuat. Walaupun minyak telah membuat Teluk Persia lebih penting untuk
Jepang secara strategis, masih ada suatu kedangkalan tertentu dalam hubungan
itu, yang kaitannya dengan kepercayaan. Mesir dengan piramida dan spinxnya,
memelihara suatu pegangan pada imajinasi Jepang, seperti yang dikerjakan oleh
semua orang di seluruh bumi. Bagaimanapun, untuk Jepang, Turki adalah sesuatu
yang lebih spesial.
Turki dan Persia mendominasi daerah Asia Barat
di akhir abad ke 19 dan awal abad 20. Orang-orang Arab masih tunduk kepada
orang-orang Turki, orangorang Britania, Perancis dan setelah tahun 1911 kepada
orang-orang Italia. Para pelancong Jepang melintasi Britania - Mesir dalam
perjalanan ke Eropa sebelum Terusan Suez yang diselesaikan pada tahun 1869.
Pada tahun 1870 dan 1880, Jepang berkeinginan untuk mulai mengunjungi Istanbul
setiap tahun, dan di sana Jepang menyatakan untuk menetapkan langsung hubungan
diplomatik juga.
Bagaimanapun juga, Bencana Ertugrul
benar-benar memperkuat persahabatan itu. Di musim panas (1890), suatu kapal tua
Turki yang dikenal dengan nama Ertugrul tiba di teluk Tokyo dalam suatu misi
diplomatik. Sultan Turki telah mengirim suatu medali untuk menghormati Kaisar
Meiji sebagai penukar dari penerimaannya dari mengunjungi Pangeran Akihito
Komatsu di tahun 1887.
Pemimpin Misi Turki ini, Laksamana Muda Osman
Pasha, senang terhadap pemimpin Tokyo dengan tatakramanya yang lembut. Ketika
kapal mulai kembali ke Turki, kapal itu telah disapu oleh suatu taufan. Ratusan
orang meninggal dunia dan hanya 69 orang yang selamat. Sebagai tanda
persahabatan, para orang yang selamat telah dilayani dengan royal dan
mengirimnya kembali ke Istanbul dengan dua fregat Jepang, yaitu Hiei dan
Kongo.mp
Di tahun 1890, tanda persahabatan antara
Kaisar Meiji dan Sultan Turki, dan warganegara pribadi seperti Shotaro Noda dan
Torajiro Yamada mencoba untuk memelihara persahabatan yang nasional tetap hidup
dan penting. Walaupun Jepang dan Turki telah ditetapkan untuk menjadi sisi yang
berlawanan dari dua Perang Dunia pada awal abad 20, tidak pernah ada kebencian
antara mereka, tetapi hanya kalkulasi dari kepentingan nasional dan persekutuan
Eropa.
Beberapa perencana Britania ingin Jepang untuk
mengirimkan pasukan ke Mesopotamia (Iraq) untuk melawan Jerman dan Pasukan
Turki di tahun 1917, tetapi proyek telah musnah dalam kaitannya dengan
perhatian akan keinginan Jepang tentang pembagian wilayah setelah perang.
Perihal Perang Dunia yang kedua, Jepang tidak ikut andil sampai tahun 1945, dan
peran militer tidak begitu serius.
Sepanjang tahun 1920 dan 1930, dan kemudian
mulai lagi di tahun 1950 sampai hari ini, Jepang dan Turki merawat hubungan
kuat. Perdagangan bilateral tidak pernah rumit dalam kaitannya dengan batasan
ekonomi dan geografis, lain halnya dalam lingkaran diplomatik tetapi persahabatan
yang dalam telah diakui.
Banyak orang Wisatawan Jepang pergi ke Turki
dan Jepang menjaga suatu pandangan yang positif antar kebanyakan Orang Turki.
Hal itu telah dicatat juga bahwa bahasa Jepang dan bahasa Turki mungkin sangat
jauh berhubungan, dan itu disebabkan karena sejak dahulu Jepang dan Orang Turki
adalah sama-sama orang yang tinggal di suatu tempat dekat Mongolia masa kini.
Jepang menyediakan bantuan ekonomi kepada
Turki. Salah satu dari jembatan di atas Bosphorus telah dibangun dengan bantuan
Jepang. Proyekproyek infrastruktur lainnya telah dibangun juga, dan beberapa
hubungan kotakota besar dirawat juga dengan baik. Perdana Menteri Koizumi
Junichiro mengunjungi Turki di awal Januari tahun 2006, dalam kunjungannya itu
ia menegaskan lagi sejarah persahabatan yang sudah berjalan lama antara kedua
negara.
Persahabatan antara Jepang dan Turki adalah
sesuatu hal yang dapat diterima. Hubungan dari dua belah pihak mungkin membawa
sejumlah besar pengembangan positif untuk kedua negara. Pada waktu yang sama,
ada hal lain yang hampir tidak pernah dicatat bahwa tidak semua efek
persahabatan adalah hal positif dan bersifat membangun.
Hubungan
Jepang dengan Timur Tengah
Kebijakan asing Jepang terhadap Timur Tengah
menunjukkan suatu yang lambat tetapi kenaikan dalam kebijakan asing Jepang
bertukar beberapa tahun ini, dengan pergeseran politik yang paling penting,
yang mengikuti Operasi Badai Padang pasir pada tahun 1991. Walaupun perubahan
kebijakan pada umumnya dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa atau
keadaan-keadaan baru, pendekatan baru Jepang terhadap Timur Tengah harus
dihormati sebagai lanjutan beberapa fakta di dalam kerangka politik internal
dan eksternal yang baru.
Ketergantungan Jepang yang dilanjutkan pada
Timur Tengah untuk masukan minyaknya dan saling ketergantungan antara pasarnya
dan hubungan mereka dari Timur Tengah, dikombinasikan dengan keadaan-keadaan
internal tertentu (perubahan-perubahan politik Jepang) dan eksternal
(perubahan–perubahan sistem struktural) menuju suatu 'pendekatan baru' dalam
kebijakan asing Jepang. Pendekatan baru terhadap Timur Tengah dinyatakan
sebagian besar di dalam keikutsertaan Jepang dalam proses perdamaian.
Suatu kebijakan untuk mempromosikan stabilitas
regional dengan jelas tidak sama halnya dengan kebijakan berbagi kebaikan
dengan semua, atau kebanyakan yang (menyangkut) negara daerah itu. Terdapat
banyak konflik antara negara-negara Timur Tengah, terlepas dari konflik
Arab-Israel.
Sebagai contoh, beberapa peninjau percaya
bahwa ancaman itu sekarang muncul ketika tantangan yang terbesar di Timur
Tengah adalah perkembangbiakan senjata pembinasaan massa, dan ini adalah suatu
area di mana Amerika Serikat, Jepang dan kekuatan-kekuatan lain di luar mereka
berdua harus bekerja sama dan mengambil suatu prakarsa yang jauh lebih aktif.
Yang lainnya menunjukkan bahwa berbagai
permasalahan yang mengancam stabilitas Timur Tengah dan dengan perluasan aliran
minyak adalah sesuatu yang terus meningkatkan permasalahan dari ketidakstabilan
internal dibanding dengan konflik-konflik antar negara bagian, dan ini perlu
merencanakan suatu kebijakan jangka panjang yang berpusat di sekitar demokratisasi
dan pengembangan (area di mana Jepang dapat membuat suatu kontribusi besar).
Jepang dan negara-negara Arab sudah membangun
kuat hubungan dalam bidang energi atau yang terkait dengannya. Sebagai contoh,
Jepang mengimpor 90% akan minyak mentahnya, yang bertindak sebagai suatu kunci
sumber energi utama, dari Timur Tengah. Sebagai tambahan, Jepang adalah suatu
mitra berdagang yang penting untuk banyak negara-negara Arab, serta ekonomi
luas dan hubungan perdagangan telah dikembangkan dalam banyak bidang selain
dari energi.
Jepang dan negara-negara Arab sedang
memperkuat persahabatan yang diharapkan untuk menunjuk berbagai isu yang
dihadapi negara-negara Timur Tengah dan untuk mencapai stabilitas di daerah
itu. Sebagai contoh, kooperasi dalam sektor medis oleh Jepang dan Mesir sebagai
bagian dari program kooperasi untuk mendukung rekonstruksi di Iraq (kooperasi
tiga pihak) dan konsep "Koridor untuk Damai Dan Kemakmuran", yang
mempromosikan pengembangan Lembah Jordan untuk hubungan keberadaan dan kemakmuran
masa depan antara Israel dan Palestina, sedang dengan aktif dipromosikan.
Di tahun terakhir, hubungan antara Jepang dan
negara-negara Arab tidak terbatas pada bidang ekonomi dan sudah berkembang ke
dalam hubungan multi lapisan. Banyaknya kunjungan wisatawan antara Jepang dan
negara-negara Arab yang sedang meningkat dengan cepat dan banyak program
pertukaran budaya mengarah kepada berkembangnya kepercayaan melalui kultur dan
seni yang telah diterapkan. Banyak negara-negara Arab baru-baru ini menyatakan
minat kuat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi Jepang seperti halnya sistem
bidang pendidikannya.
Hubungan
Jepang dengan Indonesia
Hubungan Indonesia dengan Jepang diawali
dengan kolonialisme. Propaganda Jepang untuk menjadi “Pelindung Asia” dalam
berbagai hal memiliki dua makna yang berlainan. Di satu sisi, propaganda Jepang
tersebut membantu Indonesia yang sedang dijajah Belanda untuk melawan
kolonialisme. Tetapi disisi lain, propaganda tersebut memberikan akses yang
mudah untuk melaksanakan kolonialisme yang baru di Indonesia.
Untuk memantapkan posisinya, Jepang
memanfaatkan isu agama, dalam hal ini Islam yaitu dengan maksud mendapatkan
dukungan di Indonesia. Jepang kemudian mendekati kyai yang mempunyai pengaruh
sangat luas dan mendalam di daerah-daerah pedesaan. Selama pendudukan Belanda,
kyai tidak mendapatkan perhatian bahkan menjadi musuh utama Belanda, maka
Jepang mengangkat kyai sebagai basis dukungan masa.
Kajian keislaman yang dilakukan oleh Jepang di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia merupakan suatu tindakan untuk mengumpulkan
informasi. Walaupun demikian, hal tersebut memiliki makna tersendiri bagi
Indonesia, karena dengan tindakan Jepang tersebut lahirlah Masyumi, Shumubu dan
Shumuka (cikal bakal kementrian agama) dan Hizbullah. Masyumi menjadi cikal
bakal dari partai modern umat Islam di Indonesia. Shumubu dan Shumuka menjadi
kementrian agama dan berubah menjadi Departemen Agama. Hizbullah akhirnya melebur
ke TNI.
Hubungan Jepang dengan Indonesia memang
diawali dengan kolonialisme namun kemudian diadakan perjanjian damai yang
menuntut kedua negara dan warga negaranya selalu berada dalam keadaan aman
secara nyata dan kekal serta hubungan baik untuk selamanya. Kedua negara
mengharapkan kerja sama ekonomi yang lebih erat selaras dengan semangat perjanjian
Asia Afrika di Bandung pada tanggal 18 - 24 April 1955.
Pemerintah Jepang telah melakukan berbagai
upaya untuk membangun saling pengertian dan kerja sama melalui bantuan bagi
kegiatan-kegiatan keislaman. Antara lain melakukan kunjungan ke sejumlah pondok
pesantren dan mengundang para cendikiawan Islam serta calon-calon pemimpin
Muslim masa depan untuk kunjungan kerja ke Jepang. Juga upaya-upaya penguatan
sains dan teknologi di pesantren-pesantren daerah.
Dalam bidang politik, pemerintah Jepang juga melakukan
pendekatan kepada partai politik - partai politik Islam, khususnya PKS (Partai
Keadilan Sejahtera) sebagai partai Islam yang fenomenal. Sebagai timbal balik,
PKS menempatkan kadernya di Pusat Informasi dan Pelayanan PKS (PIP PKS) di
Jepang. PIP PKS Jepang ini sebagai wadah kader
dan simpatisan PKS yang memberikan informasi kiprah PKS kepada konstituen di
luar negeri, melakukan komunikasi sosial dan diplomasi politik dengan
masyarakat Jepang, Partai Politik (ParPol) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dan lembaga-lembaga resmi di Jepang.
SUMBER REFERENSI
Zulhilmy. Dinamika
Perkembangan Islam di Jepang Abad ke 20. 2008. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta