Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Penyakit Hewan. Show all posts
Showing posts with label Penyakit Hewan. Show all posts

Friday, 20 July 2018

Pengendalian Inclusion Body Hepatitis


PENGENDALIAN INCLUSION BODY HEPATITIS (IBH)
Drh. Pudjiatmoko, Ph.D., Medik Veteriner Madya, Direktorat Kesehatan Hewan
Inclusion Body Hepatitis (IBH) merupakan penyakit akut, menyerang ayam muda, yang ditandai dengan adanya anemia, sayap terkulai, jengger dan pial pucat dan biasanya kematian berlangsung mendadak tanpa menunjukkan gejala klinis yang jelas, sering terjadi pada ayam umur kurang 6 minggu, angka kematian biasanya lebih dari 7%.  Kejadian penyakit sering diikuti oleh infeksi penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus (Pudjiatmoko et. al. 2012).
A. PENGENALAN PENYAKIT
1. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Aviadenovirus, familia Adenoviridae. IBH disebabkan paling sedikit 3 serotipe dari DNA Adenovirus.  Diperkirakan terdapat 12 serotipe Aviadenovirus (AAV) yang dideteksi dari ayam, kalkun, angsa dan entok, namun virus yang paling sering ditemukan pada kasus IBH masuk ke serotipe 4 dan 8 (Pedro Villegas, 2017 dan Fraser CM, et al. 1991).  Virus IBH berkembang biak pada inti sel dari hewan yang terserang dan pada umumnya menimbulkan intranuklear inklusion bodi yang meluas.  Virus terbagi dalam 3 grup antigen, yang masing-masing dapat dideteksi melalui uji Agar Gel Presipitation Test (AGPT) dan Neutralisation Test (NT).  Virus AAV tersusun oleh asam dioksinukleat (DNA), protein dan lemak.  Kapsidnya tersusun atas 252 capsomer, berbentuk kuboid dan mempunyai tipe simetri ikosahedral yang bergaris tengah 69 - 76 nm. Kapsid ini tidak mempunyai selubung. Virus stabil pada suhu 56°C selama 3 jam, tahan dalam keadaan asam dan tahan terhadap ether dan chloroform. Tetapi Virus ini tidak tahan terhadap disinfektan yang mengandung formaldehid dan Iodin.
2. Spesies Rentan
Spesies yang rentan adalah ayam umur 3 - 7 minggu tetapi telah dilaporkan juga baik pada ayam masih berumur seminggu maupun ayam yang sudah tua berumur 20 minggu (Morad R dan Zahra MSH, 2015).  Spesies lain yang pernah dilaporkan terserang IBH yaitu kalkun, burung puyuh, angsa dan itik.  Matos, M. et al. (2016) melaporkan hasil eksperimentalnya bahwa ayam SPF broiler lebih rentan dibanding dengan ayam SPF layer, yang ditunjukan kecepatan replikasi virus pada organ target, hati dan pankreas.
3. Pengaruh Lingkungan
Beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi penyakit ini adalah umur, ayam muda lebih sensitif dibanding ayam dewasa, kemudian adanya maternal antibodi dan komplikasi dengan infeksi virus lain seperti Infectious Bursal Disease Virus (IBD) dan Chicken Anemia Virus (CAV).  AAV tahan terhadap pengaruh lingkungan, tetapi dapat menyebar dengan cepat secara mekanik.  Hasil penelitian Gomis S et al (2006) menunjukkan tidak terdapat hubungan IBH dengan infeksi IBDV dan CAV, tetapi mendukung hipotesis bahwa Infeksi AAV saja pada ayam pedaging tidak mempengaruhi imunosupresif.
4. Cara Penularan
Penularan penyakit terjadi secara horisontal dan vertikal. Secara horisontal bisa melalui kotoran (feses), makanan, air atau minuman dan lingkungan yang tercemar virus atau langsung dari hewan sakit kepada hewan sehat. Penularan secara vertikal telah terjadi pada anak ayam yang berasal dari peternakan pembibit yang terinfeksi dengan serotipe AAV 4 dan 8 (Pedro Villegas et al., 2017).  Transmisi horizontal juga bisa terjadi karena anak ayam yang masih kecil kontak dengan ayam yang terinfeksi lainnya. Karena sifat virusnya tahan terhadap lingkungan maka kemungkinan virus dapat menyebar secara perlahan lahan dari satu kandang ke kandang lainnya.  Infeksi yang tidak menunjukkan gejala klinis diduga dapat menjadi agen penyebar penyakit terutama pada ayam yang terganggu sistem kekebalannya.
5. Distribusi penyakit
Penyakit ini telah menyebar keseluruh dunia, kejadian penyakit pernah dilaporkan di Kanada, Amerika, Inggris, Itali, Irak, Iran dan Australia. Virus ini akhirnya dapat diisolasi dari beberapa peternakan ayam di India. Penyakit ini pernah ada hampir di semua daerah di Indonesia, dan pernah didiagnosa secara histopatologi dari ayam ras petelur.
B.  GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSA
1. Gejala Klinis
Hampir semua infeksi Adenovirus tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas. Jengger kelihatan pucat, pial dan kulit muka juga pucat, depresi, lemah dan kemungkinan diikuti dengan penyakit lainnya. Gangguan pernafasan sering terjadi pada anak ayam dan pada ayam dewasa kadang terjadi penurunan produksi telur. Hepatitis dapat terjadi pada 4 hari pasca infeksi, sumsum tulang, hati dan beberapa organ lainnya terlihat pucat. Morbiditas lebih rendah daripada mortalitas, hewan yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas tetapi hanya beberapa jam kemudian mati. Angka kematian (mortalitas) meningkat selama 3-5 hari, bertahan selama beberapa hari kemudian menurun.  Kematian mendadak biasanya terlihat pada ayam berumur kurang dari 6 minggu. Kematian biasanya berkisar antara 2% - 40%, terutama saat ayam berusia kurang dari 3 minggu. Namun, dalam beberapa wabah, angka kematiannya bisa mencapai 80%. Tingkat kematian juga bervariasi tergantung pada patogenisitas virus dan infeksi dengan agen virus atau bakteri lainnya. Bisa muncul tanda yang terkait dengan penyakit yang disebabkan oleh patogen lain (misalnya bakteri, jamur, atau virus) biasanya terjadi jika ayam terkena imunosupresi.
2. Perubahan Patologi
Perubahan patologi-anatomis yang terlihat antara lain : hati membengkak berwarna kuning kecoklatan, terdapat bercak perdarahan, ptechiae dan echymotic dibawah membran dan dalam parenchyma, serta konsistensinya lembek. Ginjal tampak pucat dan bengkak serta perdarahan. Limpa dan bursa Fabrisius mengecil. Otot dada dan kaki terlihat ikhterus dan perdarahan. Usus dan alat visceral juga terlihat kemerahan. Beberapa ayam terlihat adanya aplasia dari sumsum tulang dan terjadi anemia.  Hasil studi Morad R dan Zahra MSH (2015) semua kasus Inclusion Body Hepatitis (IBH) menunjukkan perubahan patologi-anatomis hati membesar, berwarna kuning, pucat dan lunak disertai beberapa perdarahan ptechiae.  Pada kantung perikardial jantung terdapat transudat berwarna kekuning-kuningan.  Pada pemeriksaan histopatologis, edema miokard di jantung ditemukan degenerasi, nekrosis, dan infiltrasi sel mononuklear ringan.  Di hati ditemukan Inclusion Body intranuklear basofilik.
3. Diagnosa
Isolasi dilakukan dengan menggunakan biakan sel chicken embryo fibroblast (CEF), atau telur ayam berembrio umur 5-7 hari yang disuntikkan lewat kuning telur. Identifikasi dapat dilakukan dengan fluerescent antibody technique (FAT) baik langsung maupun tidak langsung atau secara serologi dengan metode virus neutralisation test (VNT), agar gel presipitation test (AGPT), atau enzyme linked immunosobent assay (ELISA). Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik terhadap adanya peningkatan degenerasi dan nekrosis pada hati dan intra nuklear inclusion bodi dalam sel parenkim.  Untuk mengklasifikasikan AAV yang diisolasi dari kasus klinis digunakan uji serologi, analisis enzim restriksi, dan Polymerase Chain Reaction (PCR).  Analisis filogenetik urutan gen hekson parsial merupakan metode yang tepat dan cepat untuk diferensiasi dan genotip AAV (Morad R. dan Zahra MSH., 2015).
Spesimen jaringan untuk pemeriksaan penyakit ini adalah hati dan bursa Fabricius yang dikirimkan dalam bahan pengawet Hank’s atau Glyserin 50% dalam keadaan dingin dan steril.  Untuk pemeriksaan serologis dapat dikirimkan serum ayam yang terinfeksi dalam keadaan dingin. Pemeriksaan histopatologis, organ yang dikirimkan disimpan dalam bahan pengawet buffer formalin 10%.
C. PENGENDALIAN
Pengobatan dilakukan seperti pada penyakit yang disebabkan virus lainnya, antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri. Sulfonamide akan menjadi kontra indikasi jika unggas menunjukkan adanya penyakit hematologi atau menunjukkan adanya immunosupresi.
Pencegahan infeksi paling baik dilakukan dengan praktek manajemen yang optimal, meliputi sanitasi dan desinfeksi yang ketat dan program pencegahan penyakit imunosupressif yang optimal. Untuk mencegah penularan secara vertikal dan mencegah penyakit pada anak ayam dilakukan vaksinasi AAV pada ayam pembibit sekitar 3 - 4 minggu sebelum bertelur.  Anak ayam yang memiliki antibodi maternal tinggi biasanya tahan terhadap infeksi awal.  Alvarado IR et al., (2007) melaporkan anak ayam dari grandparent yang divaksinasi pada umur 30 - 50 minggu bisa memperoleh kekebalan bawaan dari induk.  Hasil penelitian Toro H et. al. (2002) menyimpulkan bahwa anak ayam yang berasal dari induk yang divaksinasi AAV + CAV menghasilkan perlindungan lebih baik dari pada anak ayam yang berasal dari induk yang divaksinasi hanya dengan AAV saja.
D. DAFTAR PUSTAKA
1.     Alvarado IRVillegas PEl-Attrache JJensen ERosales GPerozo FPurvis LB.  2007. Genetic characterization, pathogenicity, and protection studies with an avian adenovirus isolate associated with inclusion body hepatitis.  Avian Disease. 51(1):27-32.
2.     Fraser CM, et al. 1991. The Merck Veterinary Manual, Merck & Co, Inc. Rahway, NY, USA, seventh edition 1550. Sander J 2002.
3.     Gomis S, Goodhope AR, Ojkic AD, Willson P.  2006. Inclusion body hepatitis as a primary disease in broilers in Saskatchewan, Canada. Avian Disease. 50(4):550-5.
4.     Matos, M., Grafl, B., Liebhart, D., and Hess, M. 2016. The outcome of experimentally induced inclusion body hepatitis (IBH) by fowl aviadenoviruses (FAdVs) is crucially influenced by the genetic background.  The Veterinary Research.
5.     Morad Rahimi and Zahra Minoosh Siavosh Haghighi. 2015. Adenovirus-like inclusion body hepatitis in a flock of broiler chickens in Kermanshah province, Iran.  Vet Res Forum. 6(1): 95–98.
6.     Pedro Villegas.  2017.  Overview of Inclusion Body Hepatitis/Hydropericardium Syndrome in Poultry in Merck Veterinary Manual. Merck & Co Inc. NJ USA.
7.     Pudjiatmoko, Muhammad Syibli, Sigit Nurtanto, Nilma Lubis, Syafrison, Siti Yulianti, Dhony Kartika N, Chornelly Kusuma Yohana, Erlyna Setiyaningsih, Nurhidayah, Dian Efendi, Esti Saudah, Ida Tiahjati, Gunarti, Suwarno, Abadi Sutisna, Suhardono, Sri Wijayanti, Budiantono, Umi Purwanti, Dadang Polrianto, Apriyani Lestariningsih, Sety Purnomo Edi.  2012. Inclusion body hepatitis (IBH) in Manual Penyakit Unggas, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
8.     Rima Morshed et al. 2017.  Fowl Adenoviruses D and E Cause.  Inclusion Body Hepatitis Outbreaks in Broiler and Broiler Breeder Pullet Flocks.  Avian diseases.
9.     Toro HGonzález CCerda LMorales MADooner PSalamero M.  2002.  Prevention of inclusion body hepatitis/hydropericardium syndrome in progeny chickens by vaccination of breeders with fowl adenovirus and chicken anemia virus.  Avian Disease. 46(3):547-54.
Sumber Warta Keswan : Edisi April 2018

Sunday, 25 November 2012

Trypanosomiasis (Surra)




Etiologis

Etilogik : Trypanosoma evansi
Lokasi : darah, limpa, dan cairan serebrospinal

Penularan

Penular mekanik murni oleh vektor, puncaknya pada siang hari, secara congenital lewat induk atau plasma, mukosa kelamin, mukosa usus, dan luka terbuka. Di tubuh lalat hidup bertahan selama kurang lebih 6-12 jam.

Patogenesis

Vektor utama adalah lalat dan nyamuk (Stomoxys calcitrans, Lyperosia, Glossina dan Tabanus). Trypanosoma evansi diketahui hanya berbentuk tunggal (monomorfik) berbeda dengan spesies lain yang berbentuk ganda (pleomorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat dilakukan pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe (Subronto, 2006).

Penyakit Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik melalui gigitan vektor setelah ia menghisap darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing. Setelah memasuki peredaran darah, trypanosoma segera memperbanyak diri secara biner. Dalam waktu pendek penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah merah yang dimakan makrofag cukup banyak anjing penderita segera mengalami anemia normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak lesu, malas bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun dan mungkin juga terjadi oedem di bawah kulit maupun serosa (Subronto, 2006).

Jenis Trypanosoma yang dalam siklus hidupnya hanya terdapat satu stadium, contoh T. Equiperdum dan T. Evansi, disebut monomorf, dan perlipatgandaannya berlangsung dengan pembelahan biner. Trypanosoma yang dalam hidupnya terdapat 2 atau lebih stadium, disebut polimorf, contoh: T. Gambiense, T. Rhodesiense, T. Brucei, dan sebagainya.

Dalam tubuh vertebrata, stadium terakhirnya adalah Trypanosoma. Jika bersama darah stadium tadi ditelan oleh serangga, dalam saluran pencernaan parasit itu mengalami perubahanbentuk melalui satu atau lebih stadium, yaitu stadium Leishmania, Leptomonas, atau chritidia. Tiga macam stadium itu tidak infektif bagi vertbrata. Stadium yang infektif adalah tripanosoma metasiklik. Parasit bentuk infektif ini dikeluarkan bersama tinja serangga, dan penularan terjadi bila tinja yang mengandung tripanosoma metasiklik itu kontak langsung dengan kulit vertebrata inang. Masuknya parasit bentuk infektif ke dalam tubuh inang dipermudah oleh luka karena gigitan serangga atau karena luka goresan atau garukan (Mukayat, 1987).
Gejala Klinis
  • Suhu badan naik, demam bersalng-seling, anemi, muka pucat
  • Nafsu makan berkurang, sapi menjadi kurus dan berat badan menurun
  • Penderita tak mampu bekerja karena letih
  • Bulu rontok, kelihatan kotor, kering seperti sisik
  • Terjadi gerakan berputar-putar tanpa arah, bila parasit ini menyerang otak atau syaraf (Girisonta, 1995).
Differential Diagnosa
T. congolense; Di daerah Afrika sub sahara, penyebab nagana (sleeping sickness), lebih patogen daripada brucei, pada sapi, kerbau dan hewan liar, didapat di dalam darah, bentuk dalam darah: kecil (8 – 12 μ), membrana undulan jarang terlihat tidak ada flagela bebas, ditularkan oleh lalat tse-tse, mekanis oleh lalat penggigit.
T. vivax; Kadang-kadang bersama dengan T. Brucei dan T. Congolense, patogenitas lebih ringan pada sapi, di daerah Afrika sub-sahara, panjangnya: 20 – 27 μ, posterior membulat satu flagellum bebas, membrana undulans tidak jelas, kinetoplas besar di terminal.
T. brucei; Berparasit pada semua mamalia, ruminansia liar di Afrika, bersifat fatal, penyebab penyakit nagana, ruminan liar sebagai reservoir, T. gambiense dan T. Rhodesiense → penyakit tidur di Afrika pada manusia.
T. gambiense pada sapi; Bentuk lebih langsing, buntak, berparasit dalam darah, limfe dan cairan cerebrospinal, ukuran ± 29 μ – 42 μ, posterior meruncing, kinetoplas 4 μ dari ujung, flagella bebas dan panjang, penularan: lalat tse-tse (genus Glossina), berbiak dalam darah atau limfe, pembelahan ganda memanjang, lokasi di lalat: di usus bagian tengah → 10 hari trypomastigot → proventrikulus → oesophagus → faring → kelenjar ludah → epimastigot → tripometasiklik pendek → diinfeksikan ke hospes saat menghisap darah, penularan lalat tse-tse, lalat kuda dan Tabanidae → vektor mekanis.
T. equinum; Terdapat di Amerika Selatan, menyebabkan mal de caderas pada kuda (sapi, anjing, domba, kambing), mirip dengan penyakit surra, beda dengan T. evansi (tidak ada kinetoplas), mungkin penjelmaan dari T. Evansi, morfologi: → 35 μm, vektor: Tabanidae (Stomoxys), pada kuda berjalan secara kronis, kehilangan tenaga → kelumpuhan.
T. equiperdum; Ada di seluruh dunia, pada kuda, sapi, keledai → penyakit dourine, ditemukan pada darah dan limfe, menyerupai evansi, tetapi menyebabkan penyakit kelamin, ditularkan melalui coitus (kawin). Morfologi: 16 – 35 μm, monomorf, kinetoplas sub-terminal, plasma bergranula. Berjalan klinis pada 3 stadium: organ genital – kulit – saraf pusat (CNS) setelah 1 – 4 minggu inkubasi → stadium primer (genitas ) → oedem, keradangan di penis, praeputium dan organ genital lain → beberapa jam → ulcer. Pada betina → vaginitis → disertai demam. Stadium sekunder → urtikaria → reaksi dermatologis → hemoragi kulit. Stadium tertier → gangguan sistem saraf pusat → paralisa → refleks extremitas menurun → gangguan beberapa nervus mata/muka. Pada dourine, menciri pada sekresi cairan genital, infeksi kulit,preparat apus darah → parasitemia kuat saja. Diagnosa immunologis: CBR.
T. theileri; Berparasit dalam darah sapi di seluruh dunia, biasanya tidak patogen, bentuk relatif besar, 35 – 70 μm (120 μm pernah dilaporkan), ditularkan oleh Tabanus dan haematopota, ujung posterior panjang dan runcing, membarana undulan jelas flagela bebas, dalam darah: tripomastigot – epimastigot, ditularkan melalui tinja lalat, pada beberapa kasus produksi susu mengalami penurunan dan aborsi.

T. rangeli; Parasit pada darah anjing, kucing, kera di Amerika selatan dan tengah, Non-patogen, harus dibedakan dengan T. Cruzi, ukuran 26 – 36 μm, kinetoplas kecil, reproduksi binary fission, ditularkan oleh kutu pencium dengan pencemaran tinja.

Trypanosoma cruzi (chagas disease); Berparasit pada manusia di Amerika Selatan dan tengah, pada hewan liar, armadillo, kus – kus → reservoir (termasuk tikus), 5 juta orang terinfeksi di Brazil 2 juta di venezuella/Columbia, penyakit serius dan mematikan pada manusia (37 juta di seluruh dunia terinfeksi) bentuk tripomastigot di darah, tetapi tidak membiak masuk ke dalam retikuloendotelial dan otot melintang → amastigot → berbiak predileksi di urat daging jantung, tripomastigot: 16 – 20 μm, posterior runcing, flagela bebas, membrana undulan sempit, vektor: kutu pencium hemiptera, gambaran penyakit: kerusakan organ dalam, sistem syaraf pusat. Otot jantung → rusak, berbahaya pada anak kecil.

Diagnosis
Penentuan diagnosis didasarkan pada ditemukannya parasit dalam pemeriksan darah natif atau dengan pengecatan HE atau dengan trypan-blue (Subronto, 2006).
Pada stadium akut atau awal dari penyakit ini tripanosoma dapat ditemukan di dalam aliran darah perifer. Usapan darah tebal lebih baik dipakai daripada usapan darah tipis pada pemeriksaaan ini. Protozoa ini lebih banyak ditemukan di dalam kelenjar limfa. Mereka juga dapat ditemukan di dalam usapan cairan yang diperoleh dari tusukan kelenjar limfa yang segar atau yang telah diwarnai. Pada stadium lebih lanjut dapat ditemui pada cairan serebrospinal (Levine., N.D. 1995).

Prognosa
Sebagian besar hewan yang terkena penyakit tripanosomiasis ini mengalami kematian. Penyakit ini lebih menahun pada sapi dan banyak yang menjadi sembuh. Pada kuda, bagal, dan keledai sangat rentan, serta domba, kambing, dan onta juga sangat rentan, tanda-tandanya sangat mirip dengan kuda (Levine., N.D. 1995).

Penanganan
Tindakan-tindakan preventive terhadap tripanosomiasis meliputi tndakan-tindakan yang ditujukan kepada hospes-hospes pengelolaan ternak, melenyapkan hospes reservoir, menghindakan kontaminasi mekanis yang tidak disengaja, pengelolaan penggunaan tanah, dan pengendalian biologik.
Survey terus-menerusdan pengobatan atau penyembelihan semua hewan yang terserang dan pengobatan secara missal secara periodic semua hewan. Meenyapkan tempat perindukan secara besar-besaran karena lalat berkembang biak di bawah semak-semak sepanjang sungai atau di lokasi-lokasi lain yang bersemak. Pelepasan jantan-jantan steril untuk mengendalikan dan penyemprotan tanah dengan DDT (Levine., N.D. 1995).
Untuk menyembuhkan infeksi T. evansi pada kuda dan anjing WHO menganjurkan pemakaian kuinapiramin (antrycide), diberikan secara subkutan sebagai sulfat yang dilarutkan dalam konsentrasi 10% dalam air dingin; dosisnya 5 mg/kg berat badan (Levine., N.D. 1995).
Suramin larutan 10%, dosis 10 mg/kg berat badan, disuntikkan IV, diminazene aceturat, dosis 3,5 mg/kg, disuntikkan IM, dan isometamedium, dosis 0,25 – 0,5 mg/kg disuntikkan IM (Subronto., 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Girisonta., 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.

Levine., N.D. 1995. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Mukayat., D Brotowidjoyo. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: PT Melton Putra

Subronto., 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing & Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Thursday, 30 August 2012

Simulasi Pengendalian Wabah Penyakit Hewan


Indonesia telah memiliki mekanisme dan pengalaman dalam pengendalian bencana seperti saat terjadi bencana banjir, letusan gunung berapi dan tsunami. Kejadian penyakit luar biasa atau wabah penyakit dapat dinyatakan sebagai bencana nasional sehingga pendanaan dan mekanisme pemulihannya dapat dilakukan secara nasional. Berbeda dengan bencana alam yang biasanya terjadi secara lokal, wabah penyakit dapat terjadi dalam satu propinsi, lintas propinsi dan lintas pulau. Respon cepat sangat diperlukan agar pemulihan dapat berlangsung cepat.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam acara simulasi pengendalian wabah PMK yang berlangsung di Pontianak tanggal 10-12 Juli 2012 mengharapkan agar dalam penanggulangan penyakit yang berpotensi mewabah dan bisa menyebar cepat lintas teritorial seperti avian influenza, rabies dan juga PMK agar diupayakan semaksimal mungkin melibatkan masyarakat. Peran masyarakat sangat penting karena keterbatasan petugas yang tersedia.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam kesempatan tersebut juga mengingatkan agar jajaran peternakan tidak mudah lupa akan keberhasilan yang pernah diraih Indonesia dan dalam pengendalian wabah nasional yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar dan pernah mengancam keberadaan plasma nutfah ternak Indonesia, yaitu wabah PMK. Hingga saat ini Indonesia diakui oleh OIE apa yang dilakukan oleh Indonesia dalam membebaskan diri dan mempertahankan diri dari masuknya PMK telah mencapai posisi tertinggi level 5. Namun begitu diharapkan juga agar tidak mudah lupa dan lengah terhadap ancaman ke Indonesia karena mengalirnya produk dari luar negeri karena adanya perbedaan harga. Ancaman penyakit merupakan juga ancaman terhadap ketahanan pangan dan ancaman perekonomian negara.

Acara simulasi pengendalian wabah penyakit yang berlangsung di Pontianak diikuti oleh UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Kabupaten/Kota/Propinsi atau Dinas yang melaksanakan fungsi pembangunan peternakan, Badan Penanggulanganencana Nasional, Kepolisian dengan narasumber dari akademisi, Pusat Veterinaria Farma dan OIE Sub Regional Asia Tenggara dan Kementerian Pertanian dan Kehutanan Australia (DAFF). Simulasi berlangsung secara kelompok dengan men-diskusikan berbagai tahap pengendalian mulai tahap investigasi saat pertama kali terjadi kasus yang dicurigai, tahapan kesiagaan hingga tahap operasional kecil saat wabah hanya berkisar di tingkat kabupaten hingga operasional besar mencakup lintas propinsi. Hasil diskusi dari kelompok yang dibahas dalam forum diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam menyempurnakan Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan KIAT VETINDO yang sudah dimiliki Indonesia dalam pengendalian wabah sehingga mudah diaplikasikan.

Pada akhir pengarahannya, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan juga berharap agar KIAT VETINDO, yang merupakan petunjuk dalam pengendalian wabah disosialisasikan dan disederhanakan dalam bahasa yang praktis dan sangat mudah dipahami oleh masyarakat sehingga masyarakat dengan mudah nantinya dapat berperan aktif dalam pengendalian wabah. Masyarakat memiliki potensi besar dalam pengendalian wabah maupun bencana nasional. (Sulaxono Hadi, BPPV Regional V Banjarbaru).

Sumber:http://ditjennak.deptan.go.id/bppv5/berita-133-simulasi-pengendalian-wabah-penyakit.html

Tuesday, 10 July 2012

Surra


1.  Etilogik
Trypanosomiasis yang umum disebut Surra.  Surra disebabkan oleh parasit darah yaitu Trypanosoma evansi. Tempat predileksi parasit ini adalah darah, limpa, dan cairan serebrospinal.
2.  Penularan  

Penyakit ini ditularkan secara mekanik murni oleh vektor, secara congenital lewat induk atau plasma, mukosa kelamin, mukosa usus, dan bisa melalui luka terbuka. Di dalam tubuh lalat parasit hidup bertahan selama kurang lebih 6-12 jam.

3. Patogenesis

Vektor utama adalah lalat dan nyamuk Stomoxys calcitrans, Lyperosia, Glossina dan Tabanus. Trypanosoma evansi diketahui hanya berbentuk tunggal (monomorfik) berbeda dengan spesies lain yang berbentuk ganda (pleomorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat tertangkap saat dilakukan pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam kelenjar limfe.

Penyakit Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik melalui gigitan vektor ketika menghisap darah penderita, baik pada hewan ternak maupun anjing. Setelah memasuki peredaran darah, trypanosoma segera memperbanyak diri dengan pembelahan secara biner.

Dalam waktu singkat penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya meningkat. Sel darah merah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah merah yang dimakan makrofag cukup banyak anjing penderita segera mengalami anemia normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak lesu, malas bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun dan mungkin juga terjadi oedem di bawah kulit maupun serosa.

Jenis Trypanosoma yang dalam siklus hidupnya hanya terdapat satu stadium, contoh T. Equiperdum dan T. Evansi, disebut monomorf, dan memperbanyak diri dengan cara pembelahan biner. Trypanosoma yang dalam hidupnya terdapat 2 atau lebih stadium, disebut polimorf, sebagai contohnya T. Gambiense, T. Rhodesiense, dan T. Brucei.

Di dalam tubuh vertebrata, stadium terakhirnya adalah Trypanosoma. Jika bersama darah stadium tadi ditelan oleh serangga, dalam saluran pencernaan parasit itu mengalami perubahan bentuk melalui satu stadium atau lebih, yaitu stadium Leishmania, Leptomonas, atau Chritidia. Tiga macam stadium itu tidak infektif bagi vertebrata. Stadium yang infektif adalah tripanosoma metasiklik. Parasit bentuk infektif ini dikeluarkan bersama tinja serangga, dan penularan terjadi bila tinja yang mengandung tripanosoma metasiklik itu kontak langsung dengan kulit inang vertebrata. Masuknya parasit bentuk infektif ke dalam tubuh inang dipermudah oleh luka karena gigitan serangga atau karena luka goresan atau garukan.

4. Gejala Klinis
Suhu badan naik, demam bersalang-seling,
nemia, muka pucat
Nafsu makan berkurang,
Sapi menjadi kurus, berat badan menurun
Penderita tak mampu bekerja karena letih
Bulu rontok, kelihatan kotor, kering seperti sisik
Gerakan berputar-putar tanpa arah (bila parasit menyerang otak atau syaraf)
5. Differential Diagnosa
T. equiperdum
Parasit ini terdapat di seluruh dunia, menyerang pada kuda, sapi, keledai yang menimbulkan penyakit Dourine.  Parasit ini ditemukan pada darah dan limfe, menyerupai T. evansi, tetapi parasit ini menyebabkan penyakit kelamin yang ditularkan melalui coitus (kawin).
Pada Jantan menimbulkan peradangan pada penis, praeputium dan organ genital lain akhirnya bisa menjadi ulcer.
Pada betina menyebabkan vaginitis disertai demam. Pada stadium sekunder timbul urtikaria, reaksi dermatologis dan hemoragi kulit. Pada stadium tertier timbul gangguan sistem saraf pusat, paralisa, refleks extremitas menurun dan gangguan beberapa nervus mata/muka. Pada Dourine menciri pada sekresi cairan genital, infeksi kulit.
Diagnosa immunologis dilakukan dengan CBR.
6. Diagnosa
Penentuan diagnosa didasarkan pada ditemukannya parasit dalam pemeriksan darah natif atau dengan pengecatan HE atau dengan trypan-blue. Pada stadium akut atau awal dari penyakit ini, tripanosoma dapat ditemukan di dalam aliran darah perifer. Usapan darah tebal lebih baik dipakai daripada usapan darah tipis pada pemeriksaaan ini. Protozoa ini lebih banyak ditemukan di dalam kelenjar limfa. Parasit ini juga dapat ditemukan di dalam usapan cairan yang diperoleh dari tusukan kelenjar limfa yang segar atau yang telah diwarnai. Pada stadium lebih lanjut dapat ditemui pada cairan serebrospinal.

7. Prognosa
Sebagian besar hewan yang terkena penyakit tripanosomiasis ini mengalami kematian. Penyakit ini lebih menahun pada sapi dan banyak yang menjadi sembuh. Pada kuda, bagal, dan keledai sangat rentan, begitu juga domba, kambing, dan onta sangat rentan yang tanda-tandanya sangat mirip dengan kuda.

8.  Penanganan
Tindakan preventif terhadap tripanosomiasis ditujukan penyelamatan ternak dengan cara mengendalikan reservoir , menghindarkan kontaminasi mekanis yang tidak disengaja, pengelolaan tanah, dan pengendalian biologik.
Dilakukan surveilans yang berkelanjutan; pengobatan secara masal dan berkala pada semua hewan; atau penyembelihan semua hewan yang terserang.
Menghilangkan tempat berkembangbiak lalat secara besar-besaran karena lalat berkembang biak di bawah semak-semak sepanjang sungai atau di lokasi-lokasi lain yang bersemak.
Pelepasan lalat jantan steril untuk mengendalikan populasi lalat dan penyemprotan tanah dengan insektisida.
Untuk menyembuhkan infeksi T. evansi pada kuda dan anjing dianjurkan penggunaan kuinapiramin diberikan secara subkutan; Suramin diberukan secara Intra Vena; Diminazene aceturat, dan Isometamedium diberikan secara intra muskuler.