
Ketika mendengar
kata diplomat, bayangan kita mungkin langsung melayang ke perundingan
tingkat tinggi, gedung-gedung megah di ibu kota negara, atau pertemuan penting
di forum internasional. Namun realitas di lapangan tak selalu semewah itu. Di
balik tugas mulianya, banyak diplomat Indonesia justru masih harus menghadapi
permintaan-permintaan tak masuk akal, bahkan terkesan melecehkan profesi. Dari
menjinjing tas belanjaan hingga mengantar jemput keluarga pejabat yang
melancong ke luar negeri, pekerjaan tambahan ini jelas bukan bagian dari tugas
resmi mereka.
Padahal,
Konvensi Wina 1961 dan regulasi resmi dari Kementerian Luar Negeri RI sudah
tegas menyebutkan apa saja tugas seorang diplomat. Fokusnya adalah mewakili
negara, melindungi WNI di luar negeri, mempromosikan kepentingan nasional,
hingga menjalin kerja sama bilateral dan multilateral. Tak satu pun pasal
menyebut bahwa diplomat harus menjadi asisten pribadi pejabat dan kerabatnya.
Namun, praktik di lapangan tak selalu berjalan seideal aturan tertulis.
Banyak diplomat
Indonesia, terutama yang bertugas di luar negeri, mengaku harus melayani urusan
pribadi para pejabat, lengkap dengan permintaan yang kadang menyulitkan. Di
tengah keterbatasan jumlah staf dan beban kerja yang berat, permintaan semacam
ini menjadi beban tambahan yang tidak semestinya mereka tanggung. Terlebih lagi, kondisi geopolitik
global yang makin kompleks, dari perang dagang hingga konflik bersenjata—membuat
peran dan tanggung jawab diplomat semakin berat dan strategis.
Pada Juni 2025,
misalnya, Kemenlu RI mengoordinasikan evakuasi WNI dari Iran akibat ketegangan
militer antara Israel dan Amerika Serikat. Di balik layar, diplomat Indonesia
berjibaku menyusun logistik, negosiasi dengan otoritas setempat, hingga
memastikan keselamatan WNI. Semua itu dilakukan di tengah tekanan tinggi dan
risiko besar. Sementara di waktu yang hampir bersamaan, muncul surat dari salah
satu lembaga pemerintah yang meminta perwakilan diplomatik RI di luar negeri
untuk mengurusi kepergian keluarga pejabat. Kontras yang menyedihkan.
Fenomena ini pun
ramai diperbincangkan warganet. Bukan karena kasusnya baru, tetapi karena rasa
lelah dan jengah yang selama ini terpendam mulai mengemuka. Banyak diplomat
muda bersuara, meski masih secara anonim, tentang pengalaman melayani
“rombongan keluarga besar” dari tanah air. “Kami paham tugas kami melayani WNI,
tapi kadang permintaannya sungguh di luar batas,” ungkap salah satu diplomat
muda sambil tersenyum getir.
Meski begitu,
para diplomat tetap berpegang pada semangat pengabdian. Mereka berusaha
melayani siapa pun warga negara Indonesia yang membutuhkan bantuan di luar
negeri—baik pekerja migran, mahasiswa, hingga istri pejabat. Namun, jelas ada
batasan antara pelayanan publik dan penyalahgunaan jabatan oleh segelintir
orang yang merasa lebih berhak.
Sebagai profesi, diplomat memiliki
tanggung jawab strategis dan mulia. Dalam kelas-kelas pelatihan diplomat,
mereka dibekali kemampuan menyelesaikan konflik, menjalin hubungan
internasional, serta menjaga nama baik bangsa. Benjamin Franklin pernah
berkata, diplomat sejati adalah orang yang bijaksana, tenang, dan sabar, bahkan
dalam menghadapi situasi paling sulit sekalipun.
Di Indonesia,
pengertian diplomat dijelaskan secara formal dalam Peraturan Menteri Luar
Negeri RI No. 6 Tahun 2024, yakni PNS yang bertugas melaksanakan kegiatan
diplomasi dalam pelaksanaan politik luar negeri. Tugas utamanya terangkum dalam lima kata kunci: representing,
promoting, protecting, negotiating, dan reporting.
Nazaruddin Nasution, mantan Duta
Besar RI untuk Kamboja, menegaskan bahwa tugas seorang diplomat sangat serius
dan tak bisa dipandang remeh. Saat menjabat sebagai Kuasa Usaha ad interim di
KBRI Washington DC, ia menjadi penghubung langsung antara Presiden Bill Clinton
dan Presiden Soeharto di masa krisis 1998. Dalam situasi
itu, diplomat memegang peran kunci yang bisa menentukan arah sejarah bangsa.
Selain negosiasi
dan perwakilan, pelindungan terhadap WNI menjadi salah satu pilar penting
diplomasi. Nazaruddin mengenang perannya dalam peristiwa pembajakan pesawat
Garuda di Bangkok pada 1981. Saat itu, diplomat Indonesia bekerja sama dengan
berbagai pihak untuk menyelamatkan 48 penumpang, termasuk WNI. Dalam kondisi
genting, diplomasi yang tenang dan efektif menjadi satu-satunya jalan untuk
menghindari korban jiwa.
Kini, tantangan
diplomasi tak hanya datang dari situasi konflik, tetapi juga dari ketimpangan
persepsi tentang tugas diplomat itu sendiri. Ketika diplomat Indonesia harus
fokus menyelamatkan WNI dari wilayah konflik seperti Myanmar, Afghanistan, atau
Irak, masih ada yang memaksa mereka untuk melayani kebutuhan tur pelesiran
keluarga pejabat. Ini jelas bertolak belakang dengan esensi profesi diplomasi
yang seharusnya dihormati dan dijaga martabatnya.
Di kawasan yang
lebih stabil seperti Eropa, Amerika, atau Asia-Pasifik, tugas diplomatik lebih
banyak berkutat pada promosi kerja sama, fasilitasi bisnis, hingga perlindungan
hak-hak warga negara. Namun tetap saja, kadang muncul intervensi dari pihak-pihak
yang memanfaatkan posisi mereka untuk kepentingan pribadi.
Sudah saatnya
kita sebagai bangsa merevisi cara pandang terhadap tugas diplomat. Mereka bukan
pesuruh atau petugas serba bisa. Mereka adalah penjaga muka bangsa, perwakilan
negara, pelindung warganya di luar negeri, dan penjuru penting diplomasi
global. Jika bangsa ini ingin dihormati di mata dunia, hormatilah dulu para
diplomatnya.
REFERENSI
Mahdi Muhammad, Kris Mada dan Nur Adji. 11 Juli 2025. Diplomat,
Pelajarannya Berunding, Tugasnya Malah Menjinjing. https://www.kompas.id/artikel/tugas-diplomatik-dari-tugas-resmi-hingga-yang-tak-resmi

