Dampak Perubahan Iklim pada Penyakit Tular Vektor
Penyakit
infeksi baru terutama yang berpotensi zoonosis (penyakit yang dapat menular
dari hewan ke manusia atau sebaliknya) merupakan ancaman yang semakin besar
terhadap kesehatan dan keselamatan global. Dampak perubahan iklim terhadap
epidemiologi zoonosis dapat diketahui dari terjadinya perubahan dinamika inang,
vektor, dan patogen serta interaksinya. Banyak proyeksi iklim mengungkapkan
potensi perluasan geografis dan tingkat keparahan zoonosis yang ditularkan
melalui vektor. Proyeksi iklim dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk
mendapatkan gambaran mengebai respons sistem iklim terhadap perubahan gaya
radiatif (radiative forcing) terutama
akibat kenaikan konsentrasi GRK di atmosfir di masa depan. Indonesia sebagai
negara kepulauan di wilayah tropis merupakan negara yang rentan terhadap
perubahan iklim. Di sini akan disampaikan dampak perubahan iklim secara global
terhadap zoonosis yang ditularkan melalui vektor.
Vektor Penyakitnya
Vektor
penyakit adalah arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan dan/atau menjadi
sumber penular penyakit terhadap manusia. Arthropoda tersebut seperti nyamuk,
kutu, dan lalat. Vektor ini bersifat ektotermik, artinya untuk menghangatkan
tubuhnya dengan cara menyerap panas dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu,
suhu lingkungan berdampak lansung pada kelangsungan hidup vektor. Suhu
lingkungan memengaruhi laju reproduksi, distribusi, kelimpahan, kesesuaian
habitat, aktivitas, perkembangan dan kelangsungan hidup vektor. Suhu lingkungan
juga memengaruhi reproduksi patogen yang berada dalam vektor.
Curah
hujan yang tinggi akan menambah tempat berpotensi untuk berkembangbiaknya
vektor seperti nyamuk. Selanjutnya, vegetasi-tetumbuhan berkembang lebat
setelah hujan menjadi tempat berlindung yang cocok bagi vektor. Jadi perubahan
iklim berkaitan erat dengan perubahan ekologi yang memengaruhi kejadian dan
penyebaran penyakit tular vektor.

Vektor Nyamuk
Nyamuk
dapat membawa berbagai patogen, seperti virus, parasit protozoa, dan bakteri.
Nyamuk sebagai vektor menyebabkan amplifikasi penyakit dan penularan banyak
jenis penyakit zoonosis seperti zika, demam berdarah, dan chikungunya. Maka
dari itu kita perlu memahami tren prediksi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk
guna merespon perubahan iklim. Suhu yang baik memengaruhi peningkatan
reproduksi dan aktivitas nyamuk. Selain itu frekuensi mengisap darah tinggi dan
mencerna lebih cepat. Suhu air yang hangat menyebabkan jentik nyamuk berkembang
pesat.
Perubahan
iklim mengubah kapasitas vektor dan menularkan banyak penyakit. Hal ini dapat
mengubah dinamika penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Sebagai contoh, hasil
studi retrospektif wabah virus West Nile di Perancis Selatan pada tahun 2000
menunjukkan bahwa agresivitas vektor tergantung pada suhu dan kelembaban, juga
berhubungan dengan intensitas curah hujan dan sinar matahari. Cuaca hangat dan
kering meningkatkan reproduksi nyamuk yang menimbulkan jumlah vektor nyamuk
berlebih di perkotaan seperti Culex pipiens. Culex pipiens adalah spesies nyamuk yang biasa disebut nyamuk rumah biasa atau nyamuk rumah utara.
Kontak
vektor nyamuk dengan inang unggas yang berkumpul di sekitar sumber air,
menimbulkan peningkatan multiplikasi virus. Sebuah studi tentang proyeksi
perubahan iklim memperkirakan pada tahun 2025 kemungkinan infeksi virus West
Nile menjadi lebih besar, terutama di perbatasan wilayah penularan yang sudah
ada seperti Kroasia Timur, Kroasia Timur Laut, dan Turki Barat Laut. Diprediksi
perluasan akan terjadi pada tahun 2050 (Semenza dkk., 2016).
Nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus menularkan lebih dari 22 arbovirus ke
manusia sehingga habitat vektor ini banyak menjadi perhatian di kalangan
kesehatan masyarakat. Studi sebelumnya memproyeksikan terjadi perluasan habitat
yang cocok untuk kedua spesies Aedes ini di Amerika Utara, Australia, dan
Eropa. Namun demikian, kesesuaian iklim spesies Aedes di Eropa Selatan
diperkirakan akan menurun selama abad ke-21, kemungkinan disebabkan cuaca yang
lebih panas dan kering.
Sebuah
studi tentang demam berdarah menunjukkan bahwa batas geografis penularan demam
berdarah sangat ditentukan iklim. Dengan proyeksi populasi dan perubahan iklim
pada tahun 2085, diperkirakan sekitar 50 – 60% populasi dunia yang
diproyeksikan (5 – 6 miliar orang) akan berisiko terhadap penularan demam
berdarah, dibandingkan dengan 35% populasi (3,5 miliar orang) jika tidak
terjadi perubahan iklim (Hales dkk., 2002).
Di
bawah skenario emisi karbon paling ekstrem, terdapat penelitian yang
memperkirakan risiko penularan demam berdarah terjadi karena vektor Aedes
aegypti selama musim panas di Inggris pada tahun 2100 (Liu-Helmersson dkk.,
2016). Menurut penelitian lain, pada tahun 2100, tidak ada wilayah Inggris yang
cocok untuk amplifikasi virus dengue di dalam tubuh serangga Aedes aegypti
(Thomas dkk., 2011).
Masuknya
Aedes albopictus dan virus chikungunya ke Italia telah dicatat sebagai kejadian
yang tidak disengaja. Namun, kepadatan Aedes albopictus di Italia diakui
sebagai kontribusi utama wabah chikungunya pertama saat iklim sedang (Rezza
dkk., 2007). Transmisi dan distribusi Aedes albopictus kemudian diprediksi
dalam kondisi iklim yang menguntungkan di negara-negara beriklim sedang. Aedes
albopictus merupakan vektor utama untuk berbagai penyakit, seperti virus West
Nile, Yellow Fever, St. Louis encephalitis, Japanese encephalitis, demam
berdarah, Rift Valley Fever, dan demam chikungunya pada manusia (Mitchell,
1995).
Kombinasi
faktor iklim dan lingkungan, termasuk suhu, kelembaban, curah hujan, dan
penyinaran, diyakini berkontribusi terhadap wabah demam berdarah dan
chikungunya sebelumnya di Eropa. Faktor-faktor tersebut dapat memperparah
masuknya Aedes albopictus ke daerah baru (Mitchell, 1995). Jika terdapat
infeksi nyamuk Aedes aegypti maka peningkatan suhu rata-rata akan mengakibatkan
penularan demam berdarah musiman di Eropa Selatan (ECDC, 2019).
Malaria
merupakan penyakit parasit menular yang disebabkan oleh parasit plasmodium,
sering dilaporkan di negara tropis. Namun, hubungan antara kondisi meteorologi
(misalnya suhu dan curah hujan) dan penularan malaria di negara beriklim sedang
telah dibahas dalam beberapa penelitian, di mana mereka menggambarkan potensi
invasi malaria dan “penyakit tropis” lainnya ke Eropa Selatan, sebagai contoh
perluasan geografis risiko malaria akibat perubahan iklim.
Sebuah
studi di Portugal memperkirakan peningkatan jumlah hari per tahun yang cocok
untuk penularan malaria jika ada vektor yang terinfeksi (Casimiro dkk., 2006).
Sebuah penelitian di Inggris memperkirakan peningkatan risiko penularan malaria
lokal sebesar 8 – 14%, berdasarkan proyeksi perubahan suhu yang akan terjadi
pada tahun 2050 (ECDC, 2019).
Sebuah
studi tentang model dampak malaria menunjukkan peningkatan global jumlah orang
berisiko per bulan dari tahun 2050-an hingga 2080-an. Studi tersebut
menunjukkan bahwa iklim di masa mendatang lebih cocok untuk penularan malaria
di daerah dataran tinggi tropis, seperti di dataran tinggi Afrika Timur
(Caminade dkk., 2014). Epidemi malaria diperkirakan akan bergerak ke selatan di
Afrika sub-Sahara dan menuju dataran yang lebih tinggi (Emert dkk., 2012). Pada
akhir abad ke-21, kondisi suhu di wilayah semikering Sahel diperkirakan menjadi
tidak menguntungkan bagi vektor malaria (Caminade dkk., 2014).
Di
bawah skenario perubahan iklim sedang – tinggi, sebuah penelitian
memproyeksikan bahwa wilayah selatan Inggris Raya menjadi cocok iklimnya untuk
penularan malaria Plasmodium vivax selama dua bulan dalam setahun, dan sebagian
Inggris tenggara selama empat bulan per tahun, pada tahun 2030. (Lindsay dkk.,
2010). Pada tahun 2080, Skotlandia Selatan juga diperkirakan akan cocok secara
iklim selama dua bulan dalam setahun (Lindsay dan Thomas, 2001).
Vektor Lalat Pasir
Seperti
pada nyamuk, suhu berdampak pada laju gigitan lalat pasir. Lalat
pasir, atau yang dikenal dalam bahasa ilmiah sebagai lepidophthalmus
sinuosae, merupakan salah satu spesies serangga yang menarik karena
keunikannya dalam beradaptasi dengan habitat yang keras seperti padang pasir. Larvanya dapat
bertahan hingga 2 tahun untuk berkembang biak dan hidup di pasir lepas. Terjadi
perkembangan patogen (protozoa) di dalam vektor. Di Eropa, lalat pasir tersebar
di selatan 45°garis lintang utara dan kurang dari 800 m di atas permukaan laut.
Namun, baru-baru ini telah meluas hingga setinggi 49° garis lintang utara
(ECDC, 2019).
Suhu
di Eropa Utara diperkirakan akan menjadi lebih hangat, dan curah hujan akan
meningkat. Selain itu, suhu musim dingin diperkirakan akan meningkat di dataran
yang lebih tinggi. Perubahan iklim ini diperkirakan akan memperluas jangkauan
lalat pasir ke Eropa Barat Laut dan Eropa Tengah dan pada dataran yang lebih
tinggi di wilayah yang sudah ada (Medlock dkk., 2014).
Perubahan
iklim yang diproyeksikan di Eropa akan memberikan suhu yang menguntungkan bagi
lalat pasir, sehingga lalat itu akan dengan cepat berkembang biak di
negara-negara yang saat ini berada di batas jangkauan geografisnya, seperti
Jerman, Austria, Swiss, dan di sepanjang pantai Atlantik (Naucke dkk., 2011).
Lalat
pasir mampu menularkan leishmaniasis, yaitu infeksi parasit protozoa yang disebabkan
oleh Leishmania infantum. Saat ini, Eropa Tengah dan Utara hanya mengimpor
kasus anjing yang terinfeksi leishmaniasis. Jika perubahan iklim yang
diproyeksikan membuat transmisi cocok di garis lintang utara, daerah endemik
baru dapat dikembangkan dengan menjadi kasus impor ini sebagai sumber infeksi.
Di
sisi lain, cuaca yang terlalu panas dan kering tidak menguntungkan bagi lalat
pasir, yang akan menyebabkan hilangnya penyakit dari garis lintang selatan.
Oleh karena itu, perubahan iklim yang diproyeksikan akan terus mengubah
distribusi leishmaniasis di Eropa (ECDC, 2019). Sebuah studi di Eropa
memperkirakan perluasan wilayahnya ke utara dengan kondisi iklim yang
menguntungkan (di Eropa Tengah dan Utara) untuk sebagian besar spesies vektor,
mencapai Inggris Raya dan Skandinavia pada 2061 – 2080 (Koch dkk., 2017).
Di
Brasil, pertumbuhan 15% dalam jumlah rawat inap tahunan diperkirakan karena
leishmaniasis pada akhir abad ke-21, dengan pertumbuhan relatif lebih tinggi di
wilayah selatan (Mendes dkk., 2016). Studi lain memproyeksikan bahwa vektor
Lutzomyia whitmani kemungkinan akan berkembang secara substansial di Brasil
Tenggara, menyebabkan munculnya kembali leishmaniasis kulit pada tahun 2055.
Gonzalez dkk. (2010) memproyeksikan kemungkinan perluasan leishmaniasis ke arah
utara dari Meksiko dan Amerika Serikat Bagian Selatan, berpotensi mencapai
batas selatan Kanada. Selain itu, mereka memperkirakan jumlah individu yang
terpapar setidaknya dua kali lipat dari angka saat ini pada tahun 2080
(Gonzalez dkk., 2010).
Vektor Kutu
Seperti
pada penyakit yang ditularkan melalui vektor lainnya, peningkatan suhu
memengaruhi produksi telur, kepadatan populasi, siklus perkembangan, distribusi
kutu, dan tingkat kelangsungan hidup kutu selama musim dingin. Kutu dapat
bertahan hidup di garis lintang dan dataran yang lebih tinggi jika iklim
menjadi lebih hangat. Model kesesuaian iklim Ixodes scapularis menggambarkan
potensi perluasan populasi kutu yang signifikan ke utara hingga Kanada dengan
peningkatan 213% habitat yang cocok pada tahun 2080-an (Brownstein dkk., 2005).
Selain
itu, perubahan iklim yang diproyeksikan akan menarik vektor dari Amerika
Serikat Selatan dan menuju ke Amerika Serikat Tengah. Ixodes scapularis adalah
vektor utama Penyakit Lyme di Amerika Utara, yang disebabkan oleh Borrelia
burgdorferi yang ditularkan ke manusia selama pemberian makan darah. Studi ini
memperkirakan dampak perubahan iklim terhadap risiko Penyakit Lyme dan
munculnya penyakit menular yang ditularkan melalui kutu di Kanada.
Penyakit
Lyme adalah salah satu penyakit yang ditularkan melalui kutu yang paling umum
di Eropa, dengan sekitar 85.000 kasus setiap tahunnya. Insiden Penyakit Lyme
telah meningkat di beberapa negara Eropa, termasuk Jerman, Finlandia, Rusia,
Skotlandia, Slovenia, dan Swedia (Fulop dan Poggensee, 2008).
Peningkatan
suhu musim dingin yang diproyeksikan dapat memperluas Penyakit Lyme ke garis
lintang dan dataran yang lebih tinggi jika semua persyaratan lain (keberadaan
inang vertebrata yang sesuai) terpenuhi (ECDC, 2019). Temperatur yang terlalu
tinggi, iklim yang lebih kering, kekeringan, dan banjir yang parah akan
berdampak negatif pada distribusi kutu, mengubah aktivitas musiman dan metode
paparannya. Eropa Utara diperkirakan akan mengalami suhu yang lebih tinggi
dengan curah hujan yang meningkat, sedangkan Eropa Selatan akan menjadi lebih
kering, yang akan mengubah dinamika penyakit di kedua wilayah Eropa tersebut.
Selain
itu, perubahan iklim berdampak pada populasi dan habitat spesies inang seperti
rusa, hewan pengerat, dan burung, yang mengubah kelimpahan dan distribusi
populasi kutu. Tikus berkaki putih, inang reservoir penting untuk Penyakit
Lyme, diperkirakan berkembang ke utara di Québec karena musim dingin yang
ringan dan lebih singkat. Pada tahun 2050, habitat tikus putih diperkirakan
akan menyebar lebih jauh ke utara dengan garis lintang 3°, yang dapat mengubah
jangkauan geografis patogen dan distribusi kasus Penyakit Lyme.
Monaghan
dkk. (2015) memprediksi pergeseran temporal dari timbulnya Penyakit Lyme di
Amerika Serikat karena proyeksi perubahan iklim selama abad ke-21, di mana
musim Penyakit Lyme diproyeksikan akan dimulai 0,4 – 0,5 minggu lebih awal pada
tahun 2025 – 2040 (p<0,05) dan 0,7 – 1,9 minggu sebelumnya pada 2065 – 2080
(p<0,01). Demikian pula, Levi dkk. (2015) mengusulkan bahwa aktivitas puncak
nimfa dan larva Ixodes scapularis akan meningkat masing-masing 8 – 11 hari dan
10 – 14 hari, karena proyeksi pemanasan pada tahun 2050-an.
Menurut
penelitian di Republik Ceko, perluasan Ixodes ricinus ke dataran yang lebih
tinggi selama dua dekade terakhir dikaitkan dengan peningkatan suhu rata-rata.
Kutu Ixodes ricinus bertindak sebagai reservoir dan vektor untuk Penyakit Lyme
dan virus tick-borne encephalitis (TBE) di Eropa.
Sebuah
analisis di Swedia menunjukkan bahwa peningkatan kejadian TBE sejak pertengahan
1980-an berhubungan dengan musim dingin yang lebih hangat dan lebih pendek.
Model iklim yang terdiri dari musim panas yang lebih hangat dan lebih kering
memperkirakan TBE akan didorong ke dataran tinggi dan garis lintang yang lebih
tinggi bersama dengan 3,8% perluasan habitat secara keseluruhan untuk Ixodes
ricinus di Eropa (berpotensi di Eropa Utara dan Tengah) pada tahun 2040 – 2060
(Boeckmann dan Joyner, 2014). Risiko TBE diperkirakan akan berkurang di Eropa
Selatan. Namun, banyak ketidakpastian yang ada dalam model ini, dan faktor
sosial ekonomi lainnya. Program vaksinasi yang ditargetkan, dan surveilans TBE
dapat menurunkan kejadian dan distribusi TBE.
Vektor Lainnya
Contoh
jenis vektor lain yang menularkan zoonosis yaitu lalat hitam (misalnya,
Onchocerciasis), tungau (misalnya, Scrub typhus), serangga triatomine
(misalnya, penyakit Chagas), dan lalat tsetse (misalnya, trypanosomiasis
Afrika). Beberapa penelitian telah mencatat korelasi positif antara penyakit
yang ditularkan oleh vektor ini dan faktor iklim seperti suhu, lama penyinaran
matahari, curah hujan, dan kelembapan.
Spesies
vektor, seperti spesies Triatoma dan lalat tsetse, sering diprediksi
mencerminkan perluasan dan penyempitan wilayah layak huni saat ini sebagai
respons terhadap proyeksi perubahan iklim global. Menurut kondisi iklim di masa
mendatang, pergeseran geografis vektor atau patogen ke wilayah kecil baru telah
diprediksi: spesies Triatoma di Amerika Utara pada tahun 2050 dan Trypanosoma
brucei rhodesiense di Afrika Selatan dan Timur pada tahun 2090
(Garza dkk., 2014).
Selain
itu, juga diproyeksikan terjadinya pengurangan wilayah yang cocok untuk vektor
atau populasi vektor, misalnya, penurunan 13 – 41% lalat hutan di Liberia dan
lalat sabana di Ghana pada tahun 2040 (Nnko dkk., 2021). Musim Scrub typhus
telah didokumentasikan dengan baik di berbagai negara Asia, misalnya di Jepang
Utara, Korea, dan Cina Utara. Oleh karena itu, pergeseran temporal dan
geografis Scrub typhus dapat diantisipasi, dengan proyeksi pemanasan global dan
kejadian cuaca ekstrem yang sering terjadi di masa mendatang.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.Perubahan iklim merupakan salah satu masalah paling memprihatinkan yang
mengancam planet kita dan umat manusia di abad ke-21.
2.Perlu dilakukan prediksi ilmiah yang sangat penting bagi pembuat kebijakan
pemerintah pusat dan daerah dalam membangun kapasitas untuk: (a) menurunkan
kerentanan zoonosis akibat perubahan iklim, (b) meningkatkan kesehatan hewan dan
manusia, dan (c) mengembangkan dan memfasilitasi agenda global untuk
meminimalkan penyebab perubahan drastis.
3.Perlu dilakukan KIE (komunikasi, informasi, edukasi) pengetahuan tentang dampak perubahan iklim terhadap
kesehatan di kalangan masyarakat luas.
SUMBER:
Pudjiatmoko.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Penyakit Tular Vektor. Pangan News 10 Agustus
2023. https://pangannews.id/public/berita/1691634341/dampak-perubahan-iklim-terhadap-penyakit-tular-vektor.