Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Anthrax. Show all posts
Showing posts with label Anthrax. Show all posts

Wednesday, 22 December 2021

Pedoman Antraks Menurut WOAH



Berikut ini merupakan pedoman yang ditetapkan oleh OIE dalam OIE-Terrestrial Animal Health Code (TAHC) tentang  Anthrax pada Bab 8.1.


1. KETENTUAN UMUM


Bab 8.1 ini dalam OIE -Terrestrial Animal Health Code bertujuan memberikan pedoman dalam mengelola risiko kesehatan manusia dan hewan yang terkait dengan Bacillus anthracis (B. anthracis) yang terdapat pada komoditas hewan dan produknya dan lingkungan hidup kita.


Tidak ada bukti bahwa antraks ditularkan oleh hewan sebelum timbulnya gejala klinis dan patologis. Deteksi dini wabah, karantina tempat yang terkena dampak, pemusnahan hewan dan fomites yang sakit, dan penerapan prosedur sanitasi yang tepat di rumah potong hewan dan pabrik susu akan memastikan keamanan produk asal hewan yang ditujukan untuk konsumsi manusia.


Untuk tujuan Kode Kesehatan Hewan Terestrial OIE (TAHC), masa inkubasi antraks adalah 20 hari.

Sebagai catatan bahwa TAHC menerapkan standar peningkatan kesehatan dan kesejahteraan hewan di seluruh dunia dan kesehatan masyarakat dari sudut pandang veteriner. Ini mencakup standar perdagangan internasional spesimen biologi terestrial (seperti mamalia dan burung) dan barang dagangannya. Otoritas veteriner nasional menggunakannya untuk menyediakan deteksi dini patogen dan untuk mencegah transfer yang sama melalui perdagangan internasional hewan dan barang dagangan hewan, sambil menghindari "hambatan sanitasi yang tidak dapat dibenarkan untuk perdagangan".

Antraks harus diberitahukan atau disosialisasikan kepada masyarakat luas.

Ketika mengizinkan impor atau transit komoditas yang tercakup dalam bab 8.1, dengan pengecualian yang tercantum dalam Pasal 8.1.2., Otoritas Veteriner harus mensyaratkan kondisi yang ditentukan dalam bab 8.1.

Standar untuk tes diagnostik dan vaksin dijelaskan dalam Manual Terestrial.

 

2. KOMODITAS YANG AMAN

Ketika mengizinkan impor atau transit komoditas berikut, Otoritas Veteriner tidak boleh mensyaratkan kondisi terkait antraks: semen dan embrio dikumpulkan dan diproses sesuai dengan Bab 4.6., 4.7., 4.8., 4.9. dan 4.10., jika relevan.

 

3. REKOMENDASI UNTUK IMPOR RUMINANSIA, EQUID DAN BABI

Otoritas veteriner dari negara pengimpor harus mensyaratkan penyajian sertifikat veteriner internasional yang membuktikan bahwa hewan:

1. tidak menunjukkan gejala klinis antraks pada hari pengiriman;

DAN

2. disimpan selama 20 hari sebelum pengiriman di suatu tempat di mana tidak ada kasus antraks yang dinyatakan secara resmi selama periode tersebut; atau

3. divaksinasi, tidak kurang dari 20 hari dan tidak lebih dari 12 bulan sebelum pengiriman sesuai dengan Manual Terestrial.

 

4. REKOMENDASI UNTUK IMPOR DAGING SEGAR DAN PRODUK DAGING YANG DITUJUKAN UNTUK KONSUMSI MANUSIA

Otoritas veteriner negara pengimpor harus mensyaratkan adanya sertifikat veteriner internasional yang menyatakan bahwa produk tersebut berasal dari hewan yang:

1. tidak menunjukkan tanda-tanda antraks selama pemeriksaan ante- dan post-mortem; dan

2. tidak divaksinasi antraks menggunakan vaksin hidup selama 14 hari sebelum penyembelihan atau jangka waktu yang lebih lama tergantung pada rekomendasi pabrik; dan

3. berasal dari tempat-tempat yang tidak ditempatkan di bawah pembatasan pergerakan untuk pengendalian antraks dan di mana tidak ada kasus antraks selama 20 hari sebelum penyembelihan.

 

5. REKOMENDASI PEMASUKAN KULIT, KULIT DAN BULU (DARI RUMINANSIA, EQUID DAN BABI)

Otoritas veteriner dari negara pengimpor harus mensyaratkan penyerahan sertifikat veteriner internasional yang membuktikan bahwa:

1. produk yang berasal dari hewan yang:

a. tidak menunjukkan tanda-tanda antraks selama pemeriksaan ante- dan post-mortem; dan

b. berasal dari tempat-tempat yang tidak berada dalam pembatasan pergerakan untuk pengendalian antraks;

ATAU

2. rambut dari ruminansia atau equid telah diperlakukan sesuai dengan rekomendasi dalam ketentuan di atas.

 

6. REKOMENDASI UNTUK IMPOR WOL

Otoritas veteriner dari negara pengimpor harus mensyaratkan penyajian sertifikat veteriner internasional yang membuktikan bahwa produk:

1. berasal dari hewan hidup; dan

2. berasal dari hewan yang pada saat dicukur merupakan bagian dari kawanan hewan yang tidak dikenai pembatasan gerak untuk pengendalian antraks;

ATAU

3. telah diperlakukan sesuai dengan rekomendasi dalam Pasal 8.1.11.

 

7. REKOMENDASI UNTUK IMPOR SUSU DAN PRODUK SUSU YANG DITUJUKAN UNTUK KONSUMSI MANUSIA

Otoritas veteriner dari negara pengimpor harus mensyaratkan penyerahan sertifikat veteriner internasional yang membuktikan bahwa:

1. susu berasal dari hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis antraks pada saat pemerahan;

2. jika susu berasal dari kawanan atau kawanan yang pernah mengalami kasus antraks dalam 20 hari sebelumnya, segera didinginkan dan diproses menggunakan perlakuan panas setidaknya setara dengan pasteurisasi.

 

8. REKOMENDASI UNTUK IMPOR BULU (DARI BABI)

Otoritas veteriner negara pengimpor harus mensyaratkan adanya sertifikat veteriner internasional yang menyatakan bahwa produk tersebut berasal dari hewan yang:

1. tidak menunjukkan tanda-tanda antraks selama pemeriksaan ante- dan post-mortem; dan

2. berasal dari tempat-tempat yang tidak berada dalam pembatasan pergerakan untuk pengendalian antraks;

ATAU

3. telah diproses untuk memastikan pemusnahan B. anthracis dengan cara direbus selama 60 menit.

 

9. PROSEDUR UNTUK MENONAKTIFKAN SPORA B. ANTHRACIS PADA KULIT DAN PIALA (KERAJIAN) DARI HEWAN LIAR.

Dalam situasi di mana kulit dan piala dari hewan liar dapat digabungkan terkontaminasi dengan spora B. anthracis, prosedur desinfeksi berikut direkomendasikan:

1. pengasapan dengan etilen oksida 500 mg/liter, pada kelembaban relatif 20–40%, pada suhu 55°C selama 30 menit; atau

2. pengasapan dengan formaldehida 400 mg/m³ pada kelembaban relatif 30%, pada suhu >15°C selama 4 jam; atau

3. iradiasi gamma dengan dosis 40 kilogram.

 

10. PROSEDUR UNTUK MENONAKTIFKAN SPORA B. ANTHRACIS DALAM TEPUNG TULANG DAN TEPUNG DAGING DAN TULANG

Dalam situasi di mana bahan mentah yang digunakan untuk memproduksi tepung tulang atau tepung daging dan tulang mungkin terkontaminasi dengan spora B. anthracis, prosedur inaktivasi berikut harus digunakan:

1. bahan baku harus dikurangi hingga ukuran partikel maksimum 50 mm sebelum dipanaskan; dan

2. bahan baku harus terkena panas lembab pada salah satu suhu dan waktu berikut:

a. 105°C selama minimal 8 menit; atau

b. 100 ° C selama setidaknya 10 menit; atau

c. 95 ° C selama setidaknya 25 menit; atau

d. 90 ° C selama setidaknya 45 menit;

ATAU

3. bahan baku harus mengalami panas kering pada salah satu suhu dan waktu berikut:

a. 130 ° C selama setidaknya 20 menit; atau

b. 125 ° C selama setidaknya 25 menit; atau

c. 120 ° C selama setidaknya 45 menit;

ATAU

4. proses industri yang terbukti memiliki potensi yang setara.


11. PROSEDUR UNTUK MENONAKTIFKAN SPORA B. ANTHRACIS PADA WOL DAN RAMBUT

Dalam situasi di mana wol atau rambut mungkin terkontaminasi dengan spora B. anthracis, prosedur yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:

1. iradiasi gamma dengan dosis 25 kilogram; atau

2. prosedur pencucian lima langkah:

a. perendaman dalam minuman soda 0,25–0,3% selama 10 menit pada suhu 40,5°C;

b. perendaman dalam larutan sabun selama 10 menit pada suhu 40,5°C;

c. perendaman dalam larutan formaldehida 2% selama 10 menit pada suhu 40,5°C;

d. perendaman kedua dalam larutan formaldehida 2% selama 10 menit pada suhu 40,5°C;

e. bilas dengan air dingin diikuti dengan pengeringan di udara panas

 

Sumber:

OIE -Terrestrial Animal Health Code

https://www.oie.int/en/what-we-do/standards/codes-and-manuals/terrestrial-code-online-access/?id=169&L=1&htmfile=chapitre_anthrax.htm

Friday, 13 August 2021

Pengamanan Paket Dicurigai Anthrax




I. PENDAHULUAN


Kesehatan hewan sebagai bagian dari pembangunan nasional, berperan penting dalam pembangunan pertanian, kesehatan masyarakat dan lingkungan. Peran pembinaan kesehatan hewan sangat strategis dalam perbaikan iklim investasi melalui penerapan teknologi kesehatan hewan untuk penurunan biaya produksi, pengurangan resiko usaha serta membuka peluang ekspor.


1. Pembinaan Kesehatan Hewan

Pembinaan secara mikro menunjang upaya mensejahterakan peternak melalui peningkatan pendapatan sekaligus penyediaan lapangan kerja dan secara makro adalah upaya peningkatan devisa dengan menghasilkan produk unggul bersaing di pasar bebas. Tujuan pembinaan pada dasarnya untuk:

1) Mengoptimalkan tingkat produktivitas/ reproduktivitas hewan ternak serta meminimalkan morbiditas dan mortalitas;

2) Mengoptimalkan pelayanan kesehatan hewan dan mencegah penyakit zoonosis pada hewan/ternak serta menyediakan vaksin, sera dan obat hewan yang aman, terjamin mutunya dan terjangkau harganya;

3) Mencegah masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular (PHM) antar daerah/pulau dalam wilayah epublik Indonesia dan menangkal masuknya PHM eksotik dari luar negeri.

 

2. Kesiapan Teknis Kesehatan Hewan dalam Antisipasi Wabah Penyakit Hewan Maupun Teror Anthrax

Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya wabah penyakit hewan, setiap daerah sesuai dengan kewenangannya telah memiliki kemampuan melakukan pencegahan secara dini dan peramalan wabah penyakit. Hasil surveilans suatu penyakit dapat memberikan peringatan dini sebelum penyakit tersebut menyebar secara luas ataupun bebasnya suatu penyakit:

 

1) Survei sero epidemiologis terhadap beberapa PHM strategis yang akan dibebaskan bertahap per pulau, beberapa penyakit eksotik penting yang berpotensi menimbulkan penularan seperti Penyakit Mulut dan Kuku, Nipah, Avian influenza maupun surveilans terhadap penyakit endemik Anthrax. Penyakit Anthrax yang bersifat endemis ini dalam uraian selanjutnya akan disebut sebagai “Anthrax klasik/konvensional” atau “penyakit tanah” atau “Anthrax”, sedangkan Anthrax dalam kasus teror dibedakan menjadi “Anthrax Teror” (AT) atau “Anthrax hasil Rekayasa Genetik” (ARG).

 

2) Antisipasi dan penangan khusus diberikan terhadap AT/ARG secara terkoordinir lintas sektoral baik dari Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Republik Indonesia, Polri, BIK Polri, DKK Polri), Kementerian Pertahanan Keamanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Bappenas, PT Pos Indonesia, Perguruan Tinggi maupun Instansi/ Lembaga Terkait lain mengacu kepada Prosedur Tetap tentang Petunjuk Pengamanan Surat/Paket yang Dicurigai Mengandung Anthrax sebagaimana akan diuraikan pada Bab II nanti.

 

3. Perbedaan dan Persamaan Antara Anthrax Klasik dengan AT/ARG


1) Anthrax Klasik:

Penyakit disebabkan bakteri Bacillus anthracis dengan masa inkubasi berkisar 1-3 hari bahkan dapat mencapai 14 hari, menyerang semua hewan berdarah panas dan penyakit berlangsung per akut, akut maupun kronis. Penyakit Anthrax memiliki beberapa nama misalnya Radang limpa, Radang kura, Milvuur, Milzbrand, Splenc fever, Charbon, Wool Sorters Disease, Cenang hideung, Pesdar (kempes modar). Bakteri membentuk spora di bagian sentral sel bila cukup oksigen, sedangkan dalam jaringan tubuh selalu berselubung dan tidak berspora. Apabila kuman Anthrax jatuh ke tanah/mengalami kekeringan/ dilingkungan yang kurang baik lainnya akan berubah menjadi bentuk spora yang tahan hidup sampai 40 tahun lebih sehingga menjadi sumber penularan penyakit kepada manusia dan hewan ternak.

 

2) AT/ARG:

Spora anthrax dikembangkan melalui rekayasa genetik dan diyakini berkaitan dengan program pengembangan senjata biologis untuk maksud pertahanan negara tertentu. Rekayasa di laboratorium difokuskan untuk mengubah ukuran spora dari ukuran alami sebesar 1-5 mikron diperkecil menjadi lebih kecil dari 1 mikron (bentuk tabur dengan organ sasaran melalui paru-paru), mengubah rantai DNA terkait dengan virulensi agen serta resistensinya terhadap antibiotik.

 

4. Kemampuan Menginfeksi


1) Anthrax Klasik:

Apabila pengendalian penyakit didaerah endemis tidak memadai, seringkali menimbulkan wabah pada ternak dengan penyebaran penyakit yang cepat dan menimbulkan kematian. Daerah endemis adalah suatu daerah yang pernah berjangkit Anthrax dan sewaktu-waktu penyakit dapat muncul kembali. Wabah umumnya berhubungan erat dengan tanah netral atau alkalis (berkapur) yang menjadi inkubator dalam perkembangbiakan spora Anthrax jika kondisi bioklimatologinya memungkinkan. Anthrax tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu ke hewan lainnya dan penyakit dapat menginfeksi manusia tetapi tidak terlalu rentan seperti pada hewan.

 

2) AT/ARG:

Rekayasa genetik pada rantai DNA menjadikan spora ARG jauh lebih berbahaya dibanding Anthrax klasik, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(1) Analisis World Health Organization tahun 1970 menyimpulkan bahwa pelepasan ARG ke udara di atas populasi manusia 5 juta orang akan menyebabkan korban 250 ribu orang (5 %), diantaranya meninggal dunia sebanyak 100 ribu jiwa (40 %).

(2) Analisis Kongres Amerika Serikat memperkirakan 130 ribu sampai 3 juta jiwa (33 %) korban akan meninggal setelah pelepasan 100 ribu gram Anthrax ke udara di atas kota Washington (populasi 10 juta orang).

 

5. Kejadian di Indonesia


1) Anthrax Klasik:

Di Indonesia ditetapkan 14 provinsi endemis Anthrax di mana situasi kasus pada manusia hampir selalu terjadi pada 4 propinsi yaitu Jabar, Jateng, NTB dan NTT (data Kementerian Kesehatan). Dalam tahun 1991-2001 jumlah keseluruhan penderita berkisar 20-131 penderita dan terobati, korban meninggal 1-2 orang dengan angka tertinggi 6 orang pada tahun 1995 seluruhnya di NTT di mana di sisi lain pada saat yang sama kasus pada ternak berjumlah 1 ekor. Tahun 1996 di provinsi NTT jumlah kasus pada ternak meningkat menjadi 213 ekor dan disisi lain korban manusia meninggal tidak ada.

2) AT/ARG:

Dengan klasifikasi awal dirahasiakan pernah diperiksa terhadap dugaan Anthrax dalam amplop oleh Balai Besar Veteriner Denpasar beserta Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor pada Bulan November tahun 2001. Hasil pemeriksaan laboratorium ternyata negatif Anthrax.

 

II. PENGENDALIAN DAN ANTISIPASI


Dalam pemberantasan dan pengendalian Anthrax secara teknis dikaitkan dengan sifat agen penyakit dan epizootiologinya (status daerah, jenis hewan rentan, dampaknya dan cara penularan penyakit). Ada beberapa peraturan perundangan yang mendasarinya antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5619). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan PP No.78 tahun 1992 tentang Obat Hewan serta Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 61/Permentan/Pk.320/12/2015 tentangPemberantasan Penyakit Hewan dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis. Tetapi khusus untuk tindakan terhadap AT/ARG diatur dalam Protap yang dikeluarkan Direktorat Jenderal PPM & PL Departemen Kesehatan No. KS.02.3.1338 tanggal 23 November 2001 tentang Petunjuk Pengamanan Surat/Paket yang Dicurigai Mengandung Antraks.

 

1. Terhadap Anthrax klasik:


1) Bagi daerah yang bebas Anthrax tindakan pencegahan didasarkan kepada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut. Kejadian kasus Anthrax pada musim kemarau terkait dengan pakan hijauan ternak yang mengering dan sangat terbatas dimana rumput yang dimakan ternak tercabut sampai akarnya (spora anthrax pada tanah menempel di akar rumput). Pada daerah Anthrax penyakit dapat muncul secara enzootik pada saat tertentu sepanjang tahun.

 

2) Pemberantasan vektor penghisap darah, pengamatan di lapangan/di Balai Besar Veteriner (BBVet)/Balai Veteriner (Bvet)/Lab dan vaksinasi rutin dengan prioritas vaksinasi diberikan di lokasi endemis sesuai tahun peramalan wabah yang telah diramalkan sebelumnya, mencakup populasi terancam di daerah tertular dan daerah rawan lain paling lambat 1 bulan sebelum waktu wabah yang diramalkan tiba.

 

3) Sebagai kesiapan laboratorium kesehatan hewan (laboratory preparedness) dalam menguji “Anthrax klasik” pada prinsipnya seluruh dapat melakukan pemeriksaan spesimen. Ditinjau dari administrasi perwilayahan kerja Bvet/ Bbvet, maka dari 12 (dua belas) provinsi endemis Anthrax di Indonesia yaitu Sumatera Barat dan Jambi masuk wilayah kerja Bvet Bukittinggi. Jawa Barat, DKI Jakarta dan masuk wilayah kerja Bvet Subang. Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY masuk wilayah kerja BBVet Wates, Yogyakarta. Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Gorontalo masuk wilayah kerja BBVet Maros sedangkan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar, tetapi mengingat P. Bali “bebas Anthrax” maka spesimen untuk pemeriksaan Anthrax dari Nusatenggara tidak dikirim ke BBVet Denpasar tetapi dapat diperiksa di Lab Keswan pada Propinsi tertular atau spesimen tersebut dikirim ke BBVet Maros untuk pengujian spesimen asal Nusa Tenggara Timur dan BBVet Wates, Yogyakarta untuk pengujian spesimen asal Nusa Tenggara Barat.

 

2. Terhadap AT/ARG:


Tindakan antisipasi terhadap teror AT/ARG sebagai berikut:

1) Prosedur penanganan AT/ARG Prosedur penanganan AT/ARG mengacu kepada Protap yang dikeluarkan Departemen Kesehatan No.KS.02.3.1338 tanggal 23 Nopember 2001 tentang Tata Cara Pengamanan Barang Bukti Diduga Mengandung Antraks, yaitu sebagai berikut:

(1) Jangan membuka lebih lanjut amplop/bungkusan/ paket yang mengandung bahan diduga bakteri antraks.

(2) Jangan menggoyang atau mengosongkan amplop/ bungkusan/ paket yang diduga mengandung bubuk spora antraks.

(3) Hindari semaksimal mungkin bahan yang diduga mengandung kuman antraks tersebar atau tertiup angin atau terhirup.

(4) Gunakan sarung tangan dan masker hidung dan mulut, bila tangan atau badan tercemar bubuk yang diduga mengandung spora antraks, cuci tangan atau mandi dengan sabun dan air yang mengalir.

(5) Masukan amplop atau bungkusan seluruhnya ke dalam kantong plastik yang kedap udara atau dapat diikat dengan keras, lebih baik bila menggunakan kantong plastik 2 (dua) lapis atau lebih.

(6) Masukan kantong plastik ke dalam wadah kaleng/ stoples kaca berikut sarung tangan, masker dan barang-barang lain yang mungkin telah tercemar bakteri antraks dan beri label “BERBAHAYA JANGAN DIBUKA”.

(7) Letakan dos dan stoples dalam ruangan yang tidak banyak digunakan oleh orang lain atau ruangan khusus yang terkunci.

(8) Lapor ke Polisi (Kadis DOKKES Polda Metro Jaya), dengan alamat Jl. Jend. Sudirman No. 55 Jakarta, Telepon: (021) 5234018 atau Faksimili: (021) 5234197.

(9) Polisi akan datang ke tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengambil dan mengamankan barang bukti dan lokasi.

(10) Buat daftar nama orang-orang yang berada di lokasi kejadian untuk mendapatkan pengobatan pencegahan.

(11) Hasil pemeriksaan laboratorium (positif/negatif) dikirimkan kepada polisi pengirim dengan tembusan ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan.

 

2) Unit Khusus penyidikan dugaan AT/ARG


Selain penyidikan terhadap Anthrax klasik maka khusus untuk penyidikan AT/ARG atau Anthrax dalam surat/paket ditunjuk Bvet Bukittinggi, BBVet Wates, Yogyakarta, BBVet Maros dan Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET) di Bogor. Alamat Unit Khusus penyidikan dugaan AT/ARG :

(1) BVet Bukittinggi, alamat Komplek Pertanian, Jln. Landbow Kotak Pos 35 Bukittinggi, Sumatera Barat. Telp. 0752 28300/Fax. 0752 28290. Menerima spesimen asal P. Sumatera.

(2) BBVet Wates, Yogyakarta, alamat Jln. Raya YogyaWates KM. 27 Kotak Pos 18 Wates, Yogyakarta 55602. Telp. 0274 773168/Fax. 0274 773354. Menerima spesimen asal P. Jawa, P.Kalimantan, P. Bali dan Nusa Tenggara Barat.

(3) BBVet Maros, alamat Jln. Jend. Sudirman No.14, Kotak Pos 198 Makassar, Sulsel. Telp/Fax. 0411 371105. Menerima spesimen asal P. Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan pulau-pulau Kawasan Timur Indonesia.

(4) Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET), alamat Jln. RE. Martadinata No.30, Bogor Jawa Barat. Telp. 0251 21048. Menerima spesimen dari seluruh wilayah di Indonesia.

 

III. PENUTUP

Pada prinsipnya seluruh Balai Besar Veteriner dan Balai Veteriner melakukan pemeriksaan spesimen terhadap Anthrax. Khusus untuk penyidikan terhadap AT/ARG atau Anthrax dalam surat/paket telah ditunjuk pelaksana penyidik adalah BPPVR- II Bukittinggi, BPPVR-IV Yogyakarta, BPPVR- VII Maros dan Balai Penelitian Veteriner Bogor selain penyidikan terhadap Anthrax klasik. Guna kecepatan reaksi dan operasional yang tepat terhadap AT/ARG maka hendaknya BPPV Regional II, IV dan VII yang ditunjuk tersebut berkoordinasi lebih lanjut dengan POLDA dan Dinas Kesehatan setempat di wilayah kerja guna operasional setiap saat diperlukan.

 

SUMBER:

Pedoman Khusus Pengamanan Surat / Paket yang Dicurigai Mengandung Anthrax dalam Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM) Seri Penyakit Anthrax.  2016. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,  Kementerian Pertanian.

 

Wednesday, 16 December 2020

Anthrax menurut WOAH

 


 

Anthrax (Chapter 2.1.2 OIE Terrestrial Manual 2018)



SUMMARY 

Description and importance of the disease: Anthrax is primarily a disease of herbivorous animals, although all mammals, including humans, and some avian species can contract it. Mortality can be very high, especially in herbivores. 

The aetiological agent is the spore-forming, Gram-positive rod-shaped bacterium, Bacillus anthracis. The disease has world-wide distribution and is a zoonosis. The disease is mediated mainly by exotoxins. Peracute, acute, subacute and, rarely, chronic forms of the disease are reported. Ante-mortem clinical signs may be virtually absent in peracute and acute forms of the disease. 

Subacute disease may be accompanied by progressive fever, depression, inappetence, weakness, prostration and death. Acute, subacute, and chronic disease may show localised swelling and fever. In chronic disease, the only sign may be enlarged lymph glands. Identification of the agent: Bacillus anthracis is readily isolated in relatively high numbers from blood or tissues of a recently dead animal that died of anthrax, and colony morphology of B. anthracis is quite characteristic after overnight incubation on blood agar. The colony is relatively large, measuring approximately 0.3–0.5 cm in diameter. It is grey-white to white, non-haemolytic with a rough, ground-glass appearance and has a very tacky, butyrous consistency. The vegetative cells of B. anthracis are large, measuring 3–5 µm in length and approximately 1 µm in width. Ellipsoidal central spores, which do not swell the sporangium, are formed at the end of the exponential cell growth phase. The cells stain strongly Gram positive, and long chains are often seen in vitro, while paired or short chains are seen in vivo. Visualization of the encapsulated bacilli, usually in large numbers, in a blood smear stained with polychrome methylene blue (M’Fadyean reaction) is fully diagnostic. Serological tests: Antibody detection in serum from infected animals is rarely used for diagnostic purposes and is essentially a research tool. 

The predominant procedure used is the enzyme-linked immunosorbent assay. Requirements for vaccines: The most widely used livestock anthrax vaccine developed by Max Sterne in 1937 is a live, non-encapsulated, spore former held in suspension. In Russia and Eastern Bloc countries, an equivalent type of vaccine is used (strain 55). A list of producers is given in the World Health Organization anthrax guidelines. 

A. INTRODUCTION 

Anthrax, an acute bacterial disease primarily of herbivores, is transmissible to humans. The aetiological agent, Bacillus anthracis, is a Gram-positive spore-forming rod-shaped bacterium. Anthrax is known by many names around the world including charbon, woolsorters’ disease, ragpickers’ disease, malignant carbuncle, malignant pustule and Siberian ulcer. Animals become infected by ingesting spores, or possibly by being bitten by flies that have fed on an infected animal or carcass. Infected animals are usually found dead as death can occur within 24 hours. A careful postmortem examination of recently dead animals may show any number of lesions, none of which is pathognomonic or entirely consistent. To avoid environmental contamination, post-mortem examinations of carcasses of animals suspected to have died of anthrax are discouraged. Lesions most commonly seen are those of a generalised septicaemia often accompanied by an enlarged spleen having a ‘blackberry jam’ consistency and poorly clotted blood. Haemorrhage from the nose, mouth, vagina and/or anus at death may be found. Gram-positive rod-shaped B. anthracis is an obligate pathogen. Most of the other species of Bacillus are common ubiquitous environmental saprophytes, although a number, notably B. cereus, B. licheniformis and B. subtilis, are occasionally associated with food poisoning in humans and with other clinical manifestations in both humans and animals. 1. Zoonotic Risk and biosafety Requirements More than 95% of human anthrax cases take the cutaneous form and result from handling infected carcasses or hides, hair, meat or bones from such carcasses. Bacillus anthracis is not invasive and requires a lesion to infect. Protection for veterinarians and other animal handlers involves wearing gloves and other protective clothing when handling specimens from suspected anthrax carcasses and never rubbing the face or eyes. The risk of gastrointestinal anthrax may arise if individuals eat meat from animals infected with anthrax. The risk of inhaling infectious doses becomes significant in occupations involving the processing of animal byproducts for manufacturing goods (industrial anthrax). These include the tanning, woollen, animal hair, carpet, bone processing, and other such industries, where the potential for aerosolisation of substantial numbers of spores increases the risk of exposure to infectious doses. It is important that industrial workers use appropriate personal protective clothing and equipment and follow standard operating procedures that minimise the risk of transmission. Efficient air extraction equipment should be positioned over picking, combing, carding and spinning machines. Air blowing machinery should never be used for cleaning equipment due to the risk of spore dispersal. Clinical specimens and cultures of B. anthracis should be handled with appropriate biosafety and containment procedures as determined by biorisk analysis (see Chapter 1.1.4 Biosafety and biosecurity: Standard for managing biological risk in the veterinary laboratory and animal facilities). Vaccination of laboratory personnel is recommended. 

B. DIAGNOSTIC TECHNIC 

Test Method available for diagnosis of Anthrax and their purpose Method Purpose Population freedom from infection Individual animal freedom from infection prior to movement Contribute to eradication policies Confirmation of clinical cases Prevalence of infection – surveillance Immune status in individual animals or populations postvaccination.

1. IDENTIFICATION OF AGENT 

Demonstration of encapsulated B. anthracis in smears of blood or tissues from fresh anthrax-infected carcasses and growth of the organism on blood agar plates is relatively uncomplicated and within the capability of most bacteriology laboratories. Difficulty may be encountered in the case of pigs and carnivores in which the terminal bacteraemia is frequently not marked, or in animals that received antibiotics before death. Recovery of B. anthracis from old decomposed carcasses, processed specimens (bone meal, hides), or environmental samples (contaminated soil) is often difficult, requiring demanding and labour-intensive procedures. However live spores may be recovered from the turbinate bones of dead livestock and wildlife for an extended period after death (M. Hugh-Jones, personal communication). 

1.1. Culture and Identification of Bacillus Anthracis 

1.1.1. Fresh Speciment 

Bacillus anthracis grows readily on most types of nutrient agar, however, 5–7% horse or sheep blood agar is the diagnostic medium of choice. Blood is the primary clinical material to examine. Swabs of blood, other body fluids or swabs taken from incisions in tissues or organs can be spread over blood agar plates. 

After overnight incubation at 37°C, B. anthracis colonies are grey-white to white, 0.3–0.5 cm in diameter, non-haemolytic, with a ground-glass surface, and very tacky when teased with an inoculating loop. Tailing and prominent wisps of growth trailing back toward the parent colony, all in the same direction, are sometimes seen. This characteristic has been described as a ‘medusa head’ or ‘curled hair’ appearance. Confirmation of B. anthracis should be accomplished by the demonstration of a capsulated, spore-forming, Gram-positive rod in blood culture. Absence of motility is an additional test that can be done. Anthrax-specific phages were first isolated in the 1950s, and the specifically named gamma phage was first reported in 1955 (Brown & Cherry, 1955) and quickly became the standard diagnostic phage for anthrax. Gamma phage belongs to a family of closely related anthrax phages (World Health Organization [WHO], 2008). 

Two tests for confirming the identity of B. anthracis are gamma phage lysis and penicillin susceptibility. The typical procedure for these tests is to plate a lawn of suspect B. anthracis on a blood or nutrient agar plate and place a 10–15 µl drop of the phage suspension on one side of the lawn and a 10-unit penicillin disk to the other side. Allow the drop of phage suspension to soak into the agar before incubating the plate at 37°C. 

A control culture, e.g. the Sterne vaccine or the NCTC strain 10340, should be tested at the same time as the suspect culture to demonstrate the expected reaction for gamma phage lysis and penicillin susceptibility. If the suspect culture is B. anthracis, the area under the phage will be devoid of bacterial growth, because of lysis, and a clear zone will be seen around the penicillin disk indicating antibiotic susceptibility. Note that some field isolates of B. anthracis may be phage resistant or penicillin resistant. As the performance of the gamma phage lysis assay may be affected by the density of bacterial inoculum, Abshire et al. (2005) recommend streaking the suspect culture on the agar plate over several quadrants instead of using a lawn format and inoculating a drop of gamma phage on the first and second quadrants on the plate. If antibiotic or phage resistant B. anthracis is suspected then polymerase chain reaction (PCR) diagnostic methods may be applied. Phage suspensions may be obtained from central veterinary laboratories or central public health laboratories. The phage can be propagated and concentrated by the following protocol. Store phage at 2– 4°C and do not freeze phage as it will quickly become non-viable. 

1.1.1.1. Stage one 

i) Spread a blood agar (BA) plate of the Sterne vaccine strain of B. anthracis. Incubate overnight at 37°C. 

ii) Inoculate approximately 10 ml of nutrient broth (NB) with growth from the BA plate and incubate at 37°C for approximately 4 hours or until just cloudy, then refrigerate. 

iii) Spread 100 µl of the culture from step ii on three pre-dried BA plates and incubate at 37°C for 30–60 minutes. 

iv) Spread 100 µl of the phage suspension to be amplified over the same plates. Incubate at 37°C overnight. 

v) Harvest the phage-lysed growth on the BA plate in 5 ml of NB followed by a second ‘wash’ of 5 ml NB. Incubate at 37°C overnight. 

vi) Filter (0.45 µm) and count by dropping 20 µl drops (three drops per dilution) of tenfold dilutions of the filtrate in saline onto lawns of the B. anthracis culture prepared as in step iii. 

1.1.1.2. Stage Two 

This is essentially the same procedure as Stage one, only uses the filtrate from step vi to harvest the phage from the plates. 
vii) Prepare three Sterne strain lawns on BA, as in step iii. Incubate at 37°C for 30– 60 minutes. 
viii) Spread 100 µl phage from step vi. Incubate at 37°C overnight. 
ix) To 9 ml of filtrate from step vi, add 1 ml of 10× concentrated NB. 
x) Harvest the phage from step viii with 5 ml of the solution from step ix, followed by a second 5 ml wash with the rest of the solution from step vi. 
 xi) Add 10 ml of 1× NB. 
 xii) Incubate at 37°C overnight, filter and count. 

1.1.1.3. Stage Three 
xiii) Inoculate 100 ml of brain–heart infusion broth with approximately 2.5 ml of the culture from step ii. Incubate on a rotary shaker at 37°C until just turbid. xiv) Add the 20 ml of filtrate from step xii and continue incubation overnight. xv) The resultant filtrate is checked for sterility and titrated in tenfold dilutions on lawns of the vaccine strain as in step vi to determine the concentration of the phage. This should be of the order of 108–109 plaque forming units per ml. 

1.1.2. Capsule Visualization 

Virulent encapsulated B. anthracis is present in tissues and blood and other body fluids from animals that have died from anthrax. Thin smears may be prepared from blood from ear veins or other peripheral veins, exudate from orifices and, for horses and pigs, from oedematous fluid or superficial lymph nodes in the neck region. However if the animal has been dead more than 24 hours, the capsule may be difficult to detect. The bacteria should be looked for in smears of these specimens that have been dried, fixed either using heat or by dipping the smear in 95– 100% alcohol for about 1 minute and air dried and then stained with polychrome methylene blue (MacFadyean’s reaction). The capsule stains pink, whereas the bacillus cells stain dark blue. The cells are found in pairs or short chains and are often square-ended (the chains are sometimes likened to a set of railway carriages – so-called ‘box-car’ or ‘jointed bamboo-rod’ appearance). Gram and Giemsa stains do not reveal the capsule. The capsule is not present on B. anthracis grown aerobically on nutrient agar or in nutrient broths, but can be seen when the virulent bacterium is cultured for a few hours in a few millilitres of blood (defribrinated horse or sheep blood seems to work best). Alternatively, the capsule is produced when the virulent B. anthracis is cultured on nutrient agar containing 0.7% sodium bicarbonate and incubated in the presence of CO2 (20% is optimal, but a candle jar works well). The agar is prepared by weighing nutrient agar base powder required for a final volume of 100 ml but reconstituting the measured agar in only 90 ml of water. Autoclave and cool to 50°C in a water bath. Add 10 ml of a filter-sterilized (0.22–0.45 µm filter) 7% solution of sodium bicarbonate. Mix and pour into Petri dishes. The encapsulated B. anthracis will form mucoid colonies and the capsule can be visualised by making thin smears on microscope slides, fixing, and staining with polychrome methylene blue (MacFadyean’s stain). 

Polychrome methylene blue can be prepared as follows: 0.3 g of methylene blue is dissolved in 30 ml of 95% ethanol; 100 ml of 0.01% potassium hydroxide (KOH) is mixed with the methylene blue solution. Ideally, this should be allowed to stand exposed to the air, with occasional shaking, for at least 1 year to oxidize and mature. Addition of K2CO3 (to a final concentration of 1%) hastens the ‘ripening’ of the stain, but before it is regarded as diagnostically reliable, its efficacy should be established by testing it in parallel with an earlier, functional batch of stain on bona fide samples. It has been found that stains that give positive reactions with cultures of B. anthracis cultured artificially in horse blood sometimes do not give positive results in the field. In making smears for staining, only small drops of blood or tissue fluid are needed and a thin, small smear is best. After fixing (either using heat or by dipping the smear in 95–100% alcohol for about 1 minute) and drying, a small (approximately 20 µl) drop of stain is placed on the smear and spread over it with an inoculating loop. After 1 minute, the stain is washed with water, blotted, air-dried and observed initially using the ×10 objective lens under which the short chains appear like short hairs; once found, these can be observed under oil immersion (×1000) for the presence of the pink capsule surrounding the blue/black-staining bacilli. To avoid laboratory contamination, the slide and blotting paper should be autoclaved or left for some hours in a 10% sodium hypochlorite solution. 

1.1.3. Other specimens 

Identification of B. anthracis from old, decomposed specimens, processed materials, and environmental samples, including soil, is possible but these samples often have saprophytic contaminants that outgrow and obscure B. anthracis on non-selective agars. The following procedure is suggested: 

i) The sample is blended in two volumes of sterile distilled or deionised water and placed in a water bath at 62.5 ± 0.5°C for 15–30 minutes. Turnbull et al. (2007) have demonstrated that heat activation of spores can be conducted at a temperature range of 60–70°C with holding times not exceeding 15–30 minutes for best recovery. 

ii) Tenfold dilutions to 10–2 or 10–3 are then prepared. From each dilution, 10–100 µl are plated on to blood agar and optionally 250–300 µl on to PLET agar (polymyxin, lysozyme, EDTA [ethylene diamine tetra-acetic acid], thallous acetate) (Knisely, 1966; WHO, 2008). All plates are incubated at 37°C. 

iii) Blood agar plates are examined for typical colonies as previously described after overnight incubation, and the PLET plates are examined after 40–48 hours. Confirmation of the identity of suspect colonies as B. anthracis is done as described above. measured agar in only 90 ml of water. Autoclave and cool to 50°C in a water bath. Add 10 ml of a filter-sterilized (0.22–0.45 µm filter) 7% solution of sodium bicarbonate. Mix and pour into Petri dishes. The encapsulated B. anthracis will form mucoid colonies and the capsule can be visualized by making thin smears on microscope slides, fixing, and staining with polychrome methylene blue (MacFadyean’s stain). 

Polychrome methylene blue can be prepared as follows: 0.3 g of methylene blue is dissolved in 30 ml of 95% ethanol; 100 ml of 0.01% potassium hydroxide (KOH) is mixed with the methylene blue solution. Ideally, this should be allowed to stand exposed to the air, with occasional shaking, for at least 1 year to oxidize and mature. Addition of K2CO3 (to a final concentration of 1%) hastens the ‘ripening’ of the stain, but before it is regarded as diagnostically reliable, its efficacy should be established by testing it in parallel with an earlier, functional batch of stain on bona fide samples. It has been found that stains that give positive reactions with cultures of B. anthracis cultured artificially in horse blood sometimes do not give positive results in the field. In making smears for staining, only small drops of blood or tissue fluid are needed and a thin, small smear is best. After fixing (either using heat or by dipping the smear in 95–100% alcohol for about 1 minute) and drying, a small (approximately 20 µl) drop of stain is placed on the smear and spread over it with an inoculating loop. After 1 minute, the stain is washed with water, blotted, air-dried and observed initially using the ×10 objective lens under which the short chains appear like short hairs; once found, these can be observed under oil immersion (×1000) for the presence of the pink capsule surrounding the blue/black-staining bacilli. To avoid laboratory contamination, the slide and blotting paper should be autoclaved or left for some hours in a 10% sodium hypochlorite solution. PLET medium (Knisely, 1966; WHO, 2008) is prepared by using heart-infusion agar base (DIFCO) made up to the manufacturer’s instructions with the addition of 0.25–0.3 g/litre EDTA and 0.04 g/litre thallous acetate. The mixture is autoclaved and uniformly cooled to 50°C before adding the polymyxin at 30,000 units/litre and lysozyme at 300,000 units/litre. After mixing thoroughly, the agar is dispensed into Petri dishes. Reports of procedures for direct detection of B. anthracis in soils and other environmental specimens using the PCR are emerging. None of these has become routinely applicable at the present time. Animal inoculation may be considered for recovery of B. anthracis if all other methods fail. Examples of when this might occur are specimens from animals that received antibiotic therapy before death or environmental samples containing sporostatic chemicals. Due to the increasing concern to eliminate the use of animals for biological testing, this approach should be used as a last resort and only if justified. Adult mice or guinea-pigs are the animals of choice. If the samples involved are soils, the animals should be pretreated, the day before testing, with both tetanus and gas gangrene antiserum. The samples are prepared as described for culturing, including heat-shocking at 62.5°C for 15 minutes. Mice are injected subcutaneously with 0.05– 0.1 ml; guinea-pigs are inoculated intramuscularly with up to 0.4 ml (0.2 ml in each thigh muscle). Any B. anthracis present will result in death in 48–72 hours and the organism can be cultured from the blood as described above. 

1.2. Immunological detection and diagnosis 

It needs to be borne in mind that B. anthracis is antigenically very closely related to B. cereus, which is considered a ubiquitous component of the environmental microflora. The only unshared antigens that lend themselves to differentiating these two species by immunological approaches are the anthrax toxin antigens, produced during the exponential phase of growth, and the capsule of B. anthracis. This places considerable constraints on the extent to which immunological methods can be used in routine detection methodology. 

1.2.1 Ascoli Test on methodology. 

Ascoli (1911) published a procedure for the detection of thermostable anthrax antigen in animal tissue being used for by-products. This uses antiserum raised in rabbits to produce a precipitin reaction. The test lacks high specificity, in that the thermostable antigens of B. anthracis are shared by other Bacillus spp., and is dependent on the probability that only B. anthracis would proliferate throughout the animal and deposit sufficient antigen to give a positive reaction. This test appears to be used only in Eastern Europe. To perform the Ascoli test, put approximately 2 g of sample in 5 ml of saline containing 1/100 final concentration of acetic acid and boil for 5 minutes. The resultant solution is cooled and filtered through filter paper. A few drops of rabbit antiserum (see preparation below) are placed in a small test tube. The filtrate from the previous step is gently layered over the top of the antiserum. A positive test is the formation of a visible precipitin band in under 15 minutes. Positive and negative control specimen suspensions should be included. Antiserum is prepared in rabbits by the subcutaneous inoculation of Sterne anthrax vaccine on days 1 and 14. On days 28 and 35, the rabbits receive 0.5 ml of a mixture of several strains of virulent B. anthracis not exceeding 105 colony-forming units (CFU)/ml suspended in saline. Alternatively, the live virulent bacteria can be inactivated by prolonged suspension in 0.2% formalised saline, but the antigen mass needs to be increased to 108–109 CFU/ml. The suspension should be checked for inactivation of the B. anthracis before animal inoculation by culture of 0.1 ml into 100 ml of nutrient broth containing 0.1% histidine and, after incubation at 37°C for 7 days, subculture on to blood or nutrient agar. The dose regimen for the formalised suspension after initial vaccination on days 1 and 14 is increasing doses of 0.1, 0.5, 1, and 2 ml given intravenously at intervals of 4–5 days. Following either procedure, a test bleed at 10 days after the last injection should determine whether additional 2 ml doses should be administered to boost the precipitin titre. 

1.2.2. Immunofluorescence 

While some success has been achieved with immunofluorescence for capsule observation in the research situation (Ezzell & Abshire, 1996), it does not lend itself to routine diagnosis. 

1.3. Confirmation of virulence with polymerase chain reaction 

Confirmation of virulence can be carried out using the PCR. The following instructions are taken from the WHO (2008). Template DNA for PCR can be prepared from a fresh colony of B. anthracis on nutrient agar by suspension of a loop of growth in 25 µl sterile deionised (or distilled) water and heating to 95°C for 20 minutes. Following cooling to approximately 4°C, and brief centrifugation, the supernatant can be used for the PCR reaction. Examples of suitable primers (Beyer et al., 1996; Hutson et al., 1993) for confirming the presence of the pXO1 and pXO2 plasmids are given in the table below. 

Target Primer ID Sequence 5’–3’ Product size Concentration Protective antigen (PA) PA 5 3048–3029 TCC-TAA-CAC-TAA-CGA-AGT-CG 596 bp 1 mM PA 8 2452–2471 GAG-GTA-GAA-GGA-TAT-ACG-GT Capsule 1234 1411–1430 CTG-AGC-CAT-TAA-TCG-ATA-TG 846 bp 0.2 mM 1301 2257–2238 TCC-CAC-TTA-CGT-AAT-CTG-AG PCR can be carried out in 50 µl volumes using the above primers, 200 µM each of dATP, dCTP, dTTP and dGTP, 1.5 mM MgCl2 and 2.5 units of DNA polymerase, all in NH4 buffer, followed by the addition of 5 µl of template DNA. 

A 2% agarose gel has been found to work best with these small fragments. Alternatively, premixed, predispensed, dried beads available commercially can be used. These are stable at room temperature, containing all the necessary reagents, except primer and template, for performing 25 µl PCR reactions. The template can be added in a 2.5 µl volume. 

The following PCR cycle can be used: 1 × 95°C for 5 minutes; 30 × 95°C for 0.5 minute followed by 55°C for 0.5 minute followed by 72°C for 0.5 minute; 1 × 72°C for 5 minutes; cool to 4°C. It should be noted that the primers given in the table above have proved successful for confirming the presence or absence of pXO1 and/or pXO2 in pure cultures of isolates from animal (including human) specimens or environmental samples. They may be unsuitable, however, for direct detection of B. anthracis in such specimens or samples. A choice of alternatives can be found in Jackson et al. (1998) and Ramisse et al. (1996). For the rare possibility that an isolate may lack both pXO1 and pXO2, a chromosomal marker should also be run; primers for these are also described in Jackson et al. (1998) and Ramisse et al. (1996). Real-time PCR assays have been developed for enhanced speed, sensitivity and specificity of detection of pXO1, pXO2 and chromosomal genes of Bacillus anthracis and other closely related Bacillus spp. (e.g. Hadjinicolaou et al., 2009; Hoffmaster et al., 2002; Irenge et al., 2010; Qi et al., 2001; Rao et al., 2010). Selection of a particular assay will be dependent on the fitness for purpose and source of starting material (e.g. isolates, clinical specimen, environmental sample), requirement to differentiate from other Bacillus spp. or vaccine strains, demonstration of genetic diversity or confirmation of isolate identity. It is important that the laboratory conducting real-time PCR evaluate the performance of the test for their purpose and complete a validation analysis to ensure that it has been optimised and standardised for its intended use (see Chapter 1.1.6 Principles and methods of validation of diagnostic assays for infectious diseases). 

C. REQUIREMENT OF VACCINE 

1. Background 

1.1. Rationale and intended use of the product 

The most widely used vaccine for prevention of anthrax in animals was developed by Sterne (1937). He derived a rough variant of virulent B. anthracis from culture on serum agar in an elevated CO2 atmosphere. This variant, named 34F2, was incapable of forming a capsule and was subsequently found to have lost the pXO2 plasmid, which codes for capsule formation. It has become the most widely used strain world-wide for animal anthrax vaccine production. In Central and Eastern Europe, an equivalent pXO2– derivative, Strain 55, is the active ingredient of the current livestock vaccine. A list of manufacturers of anthrax vaccine for use in animals is given in Annex 5 of WHO (2008). The following information concerning preparation of the anthrax vaccine for use in animals is based on Misra (1991) and the WHO (1967). Generalised procedures are given; national regulatory authorities should be consulted in relation to Standard Operating Procedures that may pertain locally. 2. Outline of production and minimum requirements for conventiomal vaccine.

2.1. Characteristic of the seed 

2.1.1. Biological characteristic 

Anthrax vaccine production is based on the seed-lot system. A seed lot is a quantity of spores of uniform composition processed at one time and maintained for the purpose of vaccine preparation. Each seed lot is no more than three passages from the parent culture and must produce a vaccine that is efficacious and safe for use in animals. It is recommended that a large seed lot be prepared from the parent strain and preserved by lyophilisation for future production lots. The parent culture can be purchased2. 2.1.2. Quality criteria The seed lot is acceptable for anthrax vaccine if a vaccine prepared from the seed lot or a suspension harvested from a culture derived from a seed lot meets the requirements for control of final bulk with respect to freedom from bacterial contamination, safety and efficacy (immunogenicity). 

2.2. Method of Manufacture
 
2.2.1. Procedure 

i) Preparation of the master seed Seed lots are cultured on solid media formulated to promote sporulation of the organism. The solid medium formula for casein digest agar (sporulation agar)given in Misra (1991) is: 50 g tryptic digest of casein; 10 g yeast extract; 0.1 g CaCl2 .6H2O; 0.01 g FeSO4 .7H2O; 0.05 g MgSO4 .7H2O; 0.03 g MnSO4 .4H2O; 5.0 g K2HPO4 ; 1.0 g KH2PO4 ; 22 g agar; 1000 ml deionized or distilled water. The ingredients are dissolved in the water with the appropriate amount of heating; the solution is adjusted to pH 7.4, distributed into Roux bottles (120 ml per bottle) or other appropriate container, sterilized by autoclaving and cooled in the horizontal position. After the agar has solidified, excess liquid should be removed aseptically and the bottles left in an incubator (37°C) for at least 2 days to dry and to check the sterility. Volumes of 2 ml of vaccine seed should be spread across the agar in Roux bottles, which should be incubated at 37°C until at least 80% sporulation is apparent by microscopic examination of aseptically extracted loopfuls (at least 72 hours). The growth is harvested with 10 ml per bottle of sterile deionized or distilled water and checked for purity. After washing three times in sterile deionized or distilled water with final suspension, also in sterile deionized or distilled water, sterilized lyophilization stabilizer is added and the suspension is dispensed into lyophilization vials and freeze-dried. Attenuated vaccine strains can gradually lose their antigenicity over repeated subculturing conditions. Therefore, it is recommended that master seed lots be made in bulk and kept within three passages from the original seed culture. A large number of master seed stocks should be prepared. 

ii) Preparation and testing of the working seed Reconstitute a vial of seed stock and inoculate several slants (approximately 10 ml) of sporulation (casein digest) agar. Incubate at 37°C for 72 hours and store in a refrigerator. Test the slants for purity by culture on to nutrient agar plates and in nutrient broth (0.1 ml in 100 ml of nutrient broth). The latter should be subcultured on to nutrient agar after incubation at 37°C for 7 days and should be a pure culture of B. anthracis. A sample of the broth culture should also be checked for lack of motility. Volumes of seed needed for a production run should be calculated on the basis of harvesting the spores from each slant with 10 ml of sterile deionized or distilled water and using this to inoculate five Roux bottles. 

iii) Preparation of vaccine concentrate Roux bottles with casein digest agar are prepared as for the master seed in Section C.2.2.1.i above. One Roux bottle can be expected to yield about 2000 doses of vaccine. Each Roux bottle is inoculated with 2 ml of working seed suspension and incubated at 37°C with porous plugs for several days until small loopfuls of culture from randomly selected bottles show at least 90% of the organisms to be in sporulated forms when examined in wet mounts by phase contrast (phase bright spores) or following staining for spores. The growth from each bottle is then harvested with 20 ml of physiological saline. Tests for contaminants should be carried out by subculture to nutrient agar plates and inoculation of 100 ml nutrient broth with 0.1 ml of harvested spores followed by subculture to nutrient agar after 7 days at 37°C and by tests for motility. Acceptable harvests (i.e. those showing no evidence of contaminants) are pooled. 

iv. Glycerination 
Twice the volume of sterile, pure, neutral glycerol should be added to the bulk pool of vaccine concentrate. Saponin (0.1% final concentration) may also be added at this point if it is to be included as an adjuvant. Mix thoroughly (the inclusion of sterilised glass beads may be helpful). Carry out a purity test and hold for 3 weeks at ambient temperature to allow lysis of any vegetative bacteria, determine the viable spore count and store under refrigeration thereafter. 

v. Determining and dilution for use 
The number of culturable spores in the product is then calculated by spreading tenfold dilutions on nutrient agar plates. The suspension is diluted so that the final bulk contains the number of culturable spores desired. The diluent should contain the same proportions of saline, glycerol and (if being included) saponin as present in the vaccine concentrate. The vaccine should contain a minimum of 2–10 × 106 culturable spores per dose for cattle, buffaloes and horses, and not less than 1–5 × 106 culturable spores per dose for sheep, goats and pigs. VI. Filling the container Distribution of aliquots of vaccine into single and multidose containers is performed as outlined in WHO (1965). Basically, the final bulk is distributed to containers in an aseptic manner in an area not used for production, and any contamination or alteration of the product must be avoided. The vaccine may be lyophilized after distribution into appropriate dosage containers. Containers are sealed as soon as possible with a material that is not detrimental to the product and that is capable of maintaining a hermetic seal for the life of the vaccine. 

REFERECIES 

ABSHIRE T.G., BROWN J.E. & EZZELL J.W. (2005). Production and validation of the use of gamma phage for identification of Bacillus anthracis. J. Clin. Microbiol., 43, 4780–4788. 

ASCOLI A. (1911). Die Präzipitindiagnose bei Milzbrand. Centralbl. Bakt. Parasit. Infeckt., 58, 63–70. BEYER W., GLOCKNER P., OTTO J. & BOHM R. (1996). A nested PCR and DNA-amplification-fingerprinting method for detection and identification of Bacillus anthracis in soil samples from former tanneries. Salisbury Med. Bull., No. 87, Special Suppl., 47–49. 

BROWN E.R. & CHERRY W.B. (1955). Specific identification of Bacillus anthracis by means of a variant bacteriophage. J. Infect. Dis., 96, 34–39. 

EZZELL J.W. & ABSHIRE T.G. (1996). Encapsulation of Bacillus anthracis spores and spore identification. Salisbury Med. Bull., No 87, Special Suppl., 42. 

HADJINICOLAOU A.V., DEMETRIOU V.L., HEZKA J., BEYER W., HADFIELD T.L. & KOSTRIKIS L.G. (2009). Use of molecular beacons and multi-allelic real-time PCR for detection of and discrimination between virulent Bacillus anthracis and other Bacillus isolates. J. Microbiol. Methods, 78, 45–53. 

HOFFMASTER A.R., MEYER R.F., BOWEN M.P., MARSTON C.K., WEYANT R.S., THURMAN K., MESSENGER S.L., MINOR E.E., WINCHELL J.M., RASSMUSSEN M.V., NEWTON B.R., PARKER J.T., MORRILL W.E., MCKINNEY N., BARNETT G.A., SEJVAR J.J., JERNIGAN J.A., PERKINS B.A. & POPOVIC T. (2002). Evaluation and validation of a real-time polymerase chain reaction assay for rapid identification of Bacillus anthracis. Emerg. Infect. Dis., 8, 1178–1182. 

HUTSON R.A., DUGGLEBY C.J., LOWE J.R., MANCHEE R.J. & TURNBULL P.C.B. (1993). The development and assessment of DNA and oligonucleotide probes for the specific detection of Bacillus anthracis. J. Appl. Bacteriol., 75, 463–472. 

IRENGE L.M., DURANT J.-F., TOMASO H., PILO P., OLSEN J.S., RAMISSE V., MAHILLON J. & GALA J.-L. (2010). Development and validation of a real-time quantitative PCR assay for rapid identification of Bacillus anthracis in environmental samples. Appl. Microbiol. Biotechnol., 88, 1179–1192. 

JACKSON P.J., HUGH-JONES M.E., ADAIR D.M., GREEN G., HILL K.K., KUSKE C.R., GRINBERG L.M., ABRAMOVA F.A. & KEIM P. (1998). PCR analysis of tissue samples from the 1979 Sverdlovsk anthrax victims: The presence of multiple Bacillus anthracis strains in different victims. Proc. Natl Acad. Sci. USA, 95, 1224–1229. 

KNISELY R.F. (1966). Selective medium for Bacillus anthracis. J. Bacteriol., 92, 784–786. 

MISRA R.P. (1991). Manual for the Production of Anthrax and Blackleg Vaccines. Food and Agriculture Organisation of the United Nations (FAO) Animal Production and Health Paper 87, FAO, Rome, Italy. 

QI Y., PATRA G., LIANG X., WILLIAMS L.E., ROSE S., REDKAR R.J. & DELVECCHIO V.G. (2001). Utilization of the rpoB gene as a specific chromosomal marker for real-time PCR detection of Bacillus anthracis. Appl. Environ. Microbiol., 67, 3720–3727. 

RAO S.S., MOHAN K.V.K. & ATREYA C.D. (2010). Detection technologies for Bacillus anthracis: prospects and challenges. J. Microbiol. Methods, 82, 1–10. 

RAMISSE V., PATRA G., GARRIGUE H., GUESDON J.L. & MOCK M. (1996). Identification and characterization of Bacillus anthracis by multiplex PCR analysis of sequences on plasmids pXO1 and pXO2 and chromosomal DNA. FEMS Microbiol. Lett., 145, 9–16. 

STERNE M. (1937). The effect of different carbon dioxide concentrations on the growth of virulent anthrax strains. Onderstepoort J. Vet. Sci. Anim. Ind., 9, 49–67. 

TURNBULL P.C.B., FRAWLEY D.A. & BULL R.L. (2007). Heat activation/shock temperatures for Bacillus anthracis spores and the issue of spore plate counts versus true numbers of spores. J. Microbiol. Methods, 68, 353–357. 

WORLD HEALTH ORGANIZATION (1965). General Requirements for Manufacturing Establishments and Control Laboratories: Distribution of aliquots of vaccine into single and multidose containers. Requirements for Biological Substances No. 1. WHO Technical Report No. 363. WHO, Geneva, Switzerland, 16–17. 

WORLD HEALTH ORGANIZATION (1967). World Health Organization Expert Committee on Biological Standardization Requirements for Anthrax Spore Vaccine (Live – for Veterinary Use). Requirements for Biological Substances No. 13. WHO Technical Report Series No. 361. WHO, Geneva, Switzerland. 

WORLD HEALTH ORGANIZATION. (2008). Anthrax in humans and animals, Fourth Edition. WHO Press, World Health Organization, Geneva, Switzerland.

SOURCE:
Chapter 2.1.2 OIE Terrestrial Manual 2018) 

Thursday, 27 August 2020

Anthrax Referensi WOAH-WHO-FAO

 

1. PENYAKIT DAN PENTINGNYA


Penyakit alami

Antraks pada dasarnya adalah penyakit herbivora. Manusia hampir selalu tertular penyakit alami baik secara langsung atau tidak langsung dari hewan atau produk hewan.


Penyebaran yang disengaja

Bacillus anthracis selalu menjadi yang teratas dalam daftar agen potensial sehubungan dengan perang biologis dan bioterorisme. Hal ini telah digunakan dalam konteks tersebut setidaknya pada dua kesempatan, disiapkan untuk digunakan pada beberapa kesempatan lain dan menjadi agen yang disebutkan dalam banyak ancaman dan hoax.


2. ETIOLOGI DAN EKOLOGI


Etiologi

Antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis.


Siklus infeksi

Inang yang terinfeksi mengeluarkan basil vegetatif ke tanah dan lalu basil ini bersporulasi saat terpapar udara. Spora, yang dapat bertahan di dalam tanah selama beberapa dekade, menunggu untuk diambil oleh inang lain, ketika perkecambahan dan perkembangbiakan dapat kembali terjadi setelah infeksi. Lalat tampaknya memainkan peran penting dalam wabah besar di daerah endemik.

Manusia tertular antraks dari penanganan bangkai, kulit, tulang, dll. Dari hewan yang mati karena penyakit tersebut.


Faktor yang mempengaruhi

Siklus infeksi dipengaruhi oleh dua faktur yakni : (i) faktor-faktor yang mempengaruhi sporulasi dan perkembangannya, seperti pH, suhu, aktivitas air dan tingkat kation; dan (ii) faktor yang berhubungan dengan musim, seperti ketersediaan penggembalaan, kesehatan inang, populasi serangga dan aktivitas manusia.


3. ANTRAKS PADA HEWAN


Dosis infeksi pada hewan

LD50 berkisar dari <10 spora pada herbivora yang rentan hingga > 107 spora pada spesies yang lebih resisten bila diberikan secara parenteral. Namun, B. anthracis bukanlah organisme invasif dan melalui jalur inhalasi atau menelan, LD50 berada di urutan puluhan ribu, bahkan pada spesies yang dianggap rentan. Hubungan antara LD50 yang ditentukan secara eksperimental dan dosis yang ditemukan oleh hewan yang tertular penyakit secara alami masih kurang jelas.


Penyebaran penyakit pada hewan

Program nasional telah menghasilkan pengurangan antraks secara global, meskipun hal ini diimbangi dengan kegagalan generasi yang lebih baru dari dokter hewan, peternak, dll. karena kurangnya pengalaman, untuk mengenali dan melaporkan penyakit tersebut, dan tidak lakukan vaksinasi lagi. Penyakit ini masih umum di beberapa negara Mediterania, di kantong-kantong kecil di Kanada dan Amerika Serikat, negara-negara tertentu di Amerika Tengah dan Selatan dan Asia Tengah, beberapa negara Afrika sub-Sahara dan Cina barat. Kasus dan wabah sporadis terus terjadi di tempat lain.


Penularan pada hewan

• Sudah lama dipercaya bahwa hewan umumnya tertular antraks dengan menelan spora saat merumput atau di lapangan. Namun, sering muncul anomali dalam epizootiologi penyakit yang sulit dijelaskan termakannya spora.

• Lalat tampaknya memainkan peran penting dalam wabah eksplosif.

• Menghirup debu mungkin penting pada waktu tertentu.

• Penularan langsung dari hewan ke hewan diyakini terjadi pada tingkat yang tidak signifikan, tidak termasuk karnivora yang memakan korban penyakit lainnya.

• Aktivitas manusia dalam bentuk perdagangan telah lama menjadi penyebab penyebaran penyakit ini secara global.

• Umur, jenis kelamin dan kondisi hewan semuanya dapat mempengaruhi kejadian penyakit di satu tempat.

• Carrier atau infeksi laten adalah keadaan yang belum terbukti tetapi juga belum terbantah.

• Banyak anomali dan ketidaktahuan tetap ada dalam pemahaman kita tentang bagaimana hewan tertular antraks dan bagaimana penularannya.


Pelepasan yang disengaja

Ada contoh di mana dugaan atau dugaan sengaja infeksi hewan dengan antraks telah dilakukan untuk tujuan bioagresif. Ada satu contoh dalam catatan pelepasan spora antraks secara tidak sengaja dari laboratorium mikrobiologi yang mengakibatkan kematian pada ternak melawan arah angin.


Manifestasi klinis

Ini agak berbeda dari spesies ke spesies, mungkin mencerminkan perbedaan dalam kerentanan. Tanda pertama pada spesies ternak yang lebih rentan adalah satu atau dua kematian mendadak dalam kawanan atau kawanan yang terkena penyakit ringan sebelumnya. Pada spesies yang lebih resisten, tanda-tanda lokal seperti pembengkakan pada daerah mulut dan faring terlihat. Pada satwa liar, kematian mendadak adalah tanda yang tidak berubah-ubah, sering kali (tetapi tidak selalu) dengan cairan berdarah dari lubang kumlah, kembung, rigor mortis yang tidak sempurna, dan tidak adanya pembekuan darah.


Diagnosa

Untuk sebagian besar keadaan, metode diagnostik di tempat yang paling sederhana, tercepat dan terbaik adalah yang ditetapkan pada awal 1900-an - pemeriksaan apusan darah berwarna biru polikrom metilen untuk kapsulasi basil, jika memungkinkan, dengan cadangan kultur. Tes antigen spesifik antraks di tempat modern telah dirancang tetapi tetap dikembangkan secara komersial. Konfirmasi berbasis genetik dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) yang berdiri sendiri menjadi semakin diterima untuk banyak jenis spesimen dan semakin tersedia di seluruh dunia melalui kit komersial. Diagnosis retrospektif dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) pada hewan yang selamat dari infeksi bisa dilakukan, tetapi antigen spesifik untuk ini mahal dan uji ini lebih merupakan metoda untuk penelitian daripada nilai praktis sehari-hari di lapangan.


4. ANTHRAX PADA MANUSIA


Insiden manusia

Infeksi antraks manusia yang didapat secara alami umumnya terjadi akibat kontak dengan hewan yang terinfeksi, atau paparan pekerjaan terhadap produk hewan yang terinfeksi atau terkontaminasi. Insiden penyakit alami tergantung pada tingkat keterpaparan pada hewan yang terkena.

Hewan yang dilaporkan: rasio kasus manusia di suatu negara atau wilayah mencerminkan kondisi ekonomi, kualitas pengawasan, tradisi sosial, perilaku diet, dll di negara atau wilayah tersebut.

Berbeda dengan hewan, bisa terkait dengan usia atau jenis kelamin umumnya tidak terlihat pada manusia, meskipun laki-laki umumnya memiliki tingkat risiko pekerjaan yang lebih tinggi di banyak negara.


Dosis infeksi pada manusia

Buktinya adalah bahwa manusia cukup resisten terhadap antraks tetapi wabah nya bisa terjadi. Dosis infeksi sulit untuk dinilai tetapi pada individu dalam keadaan sehat dan tanpa adanya lesi tempat masuknya organisme.  ID50 umumnya mencapai ribuan atau puluhan ribu dan antraks tidak dianggap sebagai penyakit menular.


Epidemiologi dan penularan

Antraks pada manusia secara tradisional diklasifikasikan dalam dua cara:

(i) berdasarkan bagaimana pendudukan individu menyebabkan paparan membedakan antara antraks nonindustri, terjadi pada petani, tukang daging, pengrajin / penyaji, dokter hewan, dll., Dan antraks industri, yang terjadi bagi mereka yang dipekerjakan dalam pengolahan tulang, kulit, wol dan produk hewani lainnya;


(ii) mencerminkan rute di mana penyakit itu didapat. Ini membedakan antara antraks kulit, yang didapat melalui lesi kulit, antraks yang tertelan (jalur oral), tertular setelah menelan makanan yang terkontaminasi, terutama daging dari hewan yang mati karena penyakit, dan antraks yang terhirup, dari menghirup spora antraks di udara.


Anthrax non-industri, akibat penanganan bangkai yang terinfeksi, biasanya dimanifestasikan sebagai bentuk kulit; itu cenderung musiman dan sejajar dengan kejadian musiman pada hewan tempat ia tertular. Anthrax kulit yang ditularkan melalui gigitan serangga dan antraks dari saluran pencernaan dari memakan daging yang terinfeksi juga merupakan 3 bentuk penyakit non-industri. Anthrax industri juga biasanya berbentuk kulit tetapi memiliki kemungkinan yang jauh lebih tinggi daripada antraks non-industri untuk mengambil bentuk inhalasi akibat paparan debu yang mengandung spora Anthrax.


Pelepasan yang disengaja

B. anthracis selalu menjadi yang teratas dalam daftar agen potensial sehubungan dengan perang biologis dan bioterorisme. Ini mencerminkan kemampuan manusia untuk menghasilkan eksposur besar-besaran yang jauh melebihi eksposur maksimum yang dapat terjadi secara alami. Ini berarti bahwa tidak ada konflik antara, di satu sisi, pernyataan bahwa manusia cukup resisten terhadap infeksi antraks dan, di sisi lain, pemilihan spora antraks oleh seorang penyerang. Pelajaran penting telah dipetik dari peristiwa surat antraks di AS pada tahun 2001.


Manifestasi klinis

Anthrax kulit menyumbang > 95% kasus manusia di seluruh dunia. Lesi (eskar) umumnya ditemukan di daerah tubuh yang terbuka hampir selalu disertai dengan edema yang meluas agak jauh dari lesi. Masa inkubasi berkisar dari beberapa jam hingga 3 minggu, paling sering 2 hingga 6 hari. Meskipun pengobatan antibiotik akan dengan cepat membunuh bakteri yang menginfeksi, lesi yang khas akan memakan waktu beberapa hari untuk berkembang dan mungkin berminggu-minggu untuk sembuh sepenuhnya, mungkin mencerminkan kerusakan dan perbaikan yang disebabkan oleh racun. Dokter perlu meutuskan tidak memperpanjang pengobatan yang tidak perlu atau melakukan operasi sebelum waktunya.


Anthrax yang tertelan atau oral mengambil dua bentuk - oropharyngeal, di mana lesi terlokalisasi di rongga bukal atau di lidah, tonsil atau dinding faring posterior, dan gastrointestinal, di mana lesi dapat terjadi di mana saja di dalam saluran gastrointestinal, tetapi sebagian besar di ileum dan sekum.


Sakit tenggorokan, disfagia dan limfadenopati regional adalah gambaran klinis awal yang berhubungan dengan antraks orofaringeal, dengan perkembangan pembengkakan edema yang luas pada leher dan dinding dada anterior. Trakeotomi mungkin diperlukan.


Gejala antraks gastrointestinal awalnya tidak spesifik dan meliputi mual, muntah, anoreksia, diare ringan, dan demam. Ini mungkin ringan tetapi kadang-kadang parah, berkembang menjadi hematemesis, diare berdarah dan asites masif. Masa inkubasi biasanya 3–7 hari.


Pada antraks inhalasi (paru), gejala sebelum permulaan fase hiperakut akhir juga tidak spesifik, dan kecurigaan antraks bergantung pada pengetahuan tentang riwayat pasien. Gejala berupa demam atau menggigil, berkeringat, kelelahan atau tidak enak badan, batuk tidak produktif, dispnea, perubahan kondisi mental termasuk kebingungan, dan mual atau muntah. Foto rontgen dada menunjukkan infiltrat, efusi pleura, dan pelebaran mediastinum. Kemungkinan terjadi limfadenopati mediastinal.


Masa inkubasi rata-rata adalah 4 hari (kisaran 4–6 hari) tetapi bisa sampai 10 atau 11 hari. Masuknya spora ke dalam saluran pencernaan dengan perkembangan lesi dapat mempengaruhi waktu timbulnya gejala.


Meningitis (haemorrhagic leptomeningitis) adalah perkembangan klinis yang serius yang dapat mengikuti salah satu dari tiga bentuk antraks lainnya. Tanda klinisnya adalah nyeri leher dengan atau tanpa fleksi, sakit kepala, perubahan kondisi mental, muntah, dan demam derajat tinggi. Ada peradangan meninges yang intens disertai edema yang mengakibatkan tekanan cairan serebrospinal (CSF) yang meningkat tajam dan munculnya darah di CSF.


Dalam semua bentuk sepsis dapat berkembang setelah penyebaran limfohematogen dari B. anthracis dari lesi primer. Fase awal ringan dari gejala nonspesifik diikuti oleh perkembangan tiba-tiba dari toksemia dan syok disertai dispnea, sianosis, disorientasi dengan koma dan kematian, semuanya terjadi dalam jangka waktu beberapa jam.


Diagnosis Banding

Diagnosis banding antraks eschar antraks kulit mencakup berbagai kondisi infeksi dan non-infeksi: bisul (lesi dini), gigitan arakhnida, ulkus (terutama tropis); erisipelas, kelenjar, wabah, chancre sifilis, tularaemia ulseroglandular; infeksi clostridial; penyakit riketsia; orf, vaksinia dan cacar sapi, demam gigitan tikus, leishmaniasis, ecthyma gangrenosum atau herpes. Umumnya penyakit dan kondisi lain ini tidak memiliki ciri khas edema antraks. Tidak adanya nanah, tidak adanya rasa sakit dan pekerjaan pasien dapat memberikan petunjuk diagnostik lebih lanjut.


Dalam diagnosis banding antraks orofaringeal harus dipertimbangkan terhadap difteri dan tonsilitis kompleks, faringitis streptokokus, Vincent angina, Ludwig angina, abses parapharyngeal dan infeksi jaringan dalam leher.


Diagnosis banding pada antraks gastrointestinal meliputi keracunan makanan (pada stadium awal antraks usus), abdomen akut karena sebab lain, dan gastroenteritis hemoragik akibat mikroorganisme lain, terutama enteritis nekrotikans akibat Clostridium perfringens dan disentri (amuba atau bakterial).


Anthrax inhalasi mungkin bingung dengan pneumonia mikoplasma, penyakit legiuner, psittacosis, tularaemia, demam Q, pneumonia virus, histoplasmosis, coccidiomycosis, atau keganasan.


Peneguhan diagnosis

Dengan lesi antraks kulit dini, cairan vesikuler pada pasien yang tidak diobati akan menghasilkan B. anthracis pada kultur dan menunjukkan basil berkapsul dalam apusan yang diwarnai dengan tepat. Pada lesi yang lebih tua, deteksi pada apusan atau dengan kultur membutuhkan pengangkatan tepi eschar dengan pinset dan pengambilan cairan dari bawah. Cairan tersebut mungkin akan steril jika pasien telah diobati dengan antibiotik.


Dalam kasus bentuk paru atau gastrointestinal, di mana riwayat tidak menimbulkan kecurigaan antraks, diagnosis konfirmasi biasanya akan dilakukan setelah pasien meninggal atau, jika pengobatan yang benar dimulai cukup dini, setelah pemulihan. Kultur darah berguna dan biakan dari sputum pada dugaan antraks inhalasi atau dari muntahan, feses dan asites pada dugaan antraks usus harus dicoba. Juga bila perlu, biakan harus dilakukan dari efusi paru, CSF atau cairan atau jaringan tubuh lainnya. Budaya mungkin tidak selalu berhasil, tetapi akan menjadi pasti bila positif. Pada pasien yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, kultur kemungkinan tidak berhasil dan konfirmasi diagnosis akan sulit dilakukan tanpa tes yang hanya tersedia di laboratorium khusus. Kesimpulan dari analisis kejadian surat antraks Oktober-November 2001 di AS adalah bahwa usapan hidung tidak berguna sebagai sampel klinis.


Teknik yang tersedia di laboratorium khusus untuk konfirmasi retrospektif diagnosis adalah serologi, imunohistokimia, tes antigen protektif spesifik antraks dan PCR. Di Federasi Rusia, AnthraxinT banyak digunakan untuk diagnosis retrospektif.


Prognosa

Pada dasarnya semua bentuk antraks dapat diobati jika diagnosis dibuat cukup dini dan dengan terapi suportif yang sesuai. Dalam bentuk non-kutaneus, masalah dalam membuat diagnosis dini yang benar sangat sulit, hal ini terkait dengan kematian yang sangat tinggi. Setelah pemulihan, resolusi lesi kulit berukuran kecil hingga sedang umumnya lengkap dengan jaringan parut yang minimal. Dengan lesi yang lebih besar, atau lesi pada area bergerak (misalnya kelopak mata), jaringan parut dan kontraktur mungkin memerlukan koreksi bedah untuk mengembalikan fungsi normal dan defek kulit yang besar mungkin memerlukan pencangkokan kulit. Beberapa pasien yang baru pulih dari kejadian surat antraks tahun 2001 di Amerika Serikat mengeluhkan kelelahan jangka panjang dan masalah dengan ingatan jangka pendek. Tidak ada dasar organik untuk keluhan ini yang telah diidentifikasi tetapi menunjukkan bahwa pemulihan mungkin memerlukan beberapa minggu hingga bulan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan faktor terkait pasien.


5. PATOGENESIS DAN PATOLOGI


Patogenesis

Sebagian besar pemahaman kita tentang patogenesis antraks berasal dari studi patologis yang sangat baik di tahun 1940-an hingga 1960-an. Peristiwa histopatologi dan bakteriologis setelah pengambilan spora secara perkutan atau melalui penghirupan atau setelah menelan, dan perbedaan yang terlihat ketika spesies inang yang relatif rentan dan relatif tahan dibandingkan, dijelaskan dengan baik.


Fokus perhatian selama 1980-an sebagian besar pada bagaimana tiga komponen toksin, Pelindung Antigen (PA), Faktor Lethal (LF) dan Faktor Edema (EF) berinteraksi satu sama lain dan dengan sel inang, dan efek dari ini interaksi. Hubungan antara efek-efek ini dan kematian akibat antraks telah menjadi sasaran perhatian pada tahun 1990-an dan hingga saat ini, dengan pendapat terbaru adalah bahwa kematian diakibatkan oleh toksin yang bekerja melalui mekanisme non-inflamasi yang menyebabkan hipoksia. Masih banyak yang harus dipelajari tentang detail bagaimana toksin itu bekerja, dan juga tentang bagaimana racun itu menghasilkan manifestasi antraks yang tidak mematikan, seperti lesi kulit. Peran sel inflamasi dalam proses penyakit masih harus diklarifikasi.


Faktor virulensi

Dua faktor virulensi utama B. anthracis adalah kompleks toksin dan kapsul polipeptida. Fungsi kapsul dalam patogenesis penyakit adalah area yang relatif terabaikan dan sebagian besar informasi yang tersedia di dalamnya juga berasal dari sebelum tahun 1970. Secara umum, perannya telah lama dipandang sebagai pelindung bakteri dari fagositosis, tetapi rincian bagaimana hal ini terjadi dan bagaimana pengaruhnya terhadap patogenesis penyakit masih belum dijelaskan. Namun, fokus baru mulai beralih ke hal ini lagi sekarang.

Ada alasan untuk percaya bahwa ada faktor virulensi lain yang kurang menonjol, dan ini juga mendapat perhatian, meskipun biasanya dimotivasi oleh pencarian kandidat antigen vaksin.


6. BAKTERIOLOGI


Agen penyebab antraks adalah Bacillus anthracis, termasuk dalam genus Bacillus, batang Gram-positif, aerobik, endosporeforming. In vivo, atau di bawah kondisi kultur in vitro yang tepat dari bikarbonat dan / atau serum dan atmosfer karbon dioksida, ia menghasilkan kapsul polipeptida, yang merupakan fitur diagnostik yang andal. Basil berkapsul, sering berbentuk persegi ("mobil-boks") dan berbentuk rantai dua hingga beberapa, dalam noda darah atau cairan jaringan adalah diagnostik. Pada spesimen hewan yang sudah tua atau membusuk, atau produk olahan dari hewan yang telah mati karena antraks, atau dalam sampel lingkungan, pendeteksian memerlukan teknik isolasi selektif.


Konfirmasi identitas

Konfirmasi identitas dan diferensiasi dari kerabat dekat umumnya mudah dilakukan dengan teknik tradisional dan molekuler. PCR bergantung pada spesifisitas unik dari toksin dan kapsul serta gennya.


Dasar molekuler

Homolog dari gen karakter fenotipik dimiliki bersama dengan kerabat dekat tetapi banyak yang tidak diekspresikan oleh B. anthracis karena pemotongan gen regulator plcR.


Spora dan deteksi cepat

Seperti yang dinilai dari ketahanan panas, sporulasi bentuk vegetatif yang dilepaskan oleh hewan yang sekarat menjadi terdeteksi sekitar 8–10 jam tetapi mungkin tidak selesai hingga 48 jam, tergantung pada kondisi lingkungan. Setelah terpapar germinant, perkembangan spora dimulai dengan cepat, satu laporan menyatakan bahwa > 99% dapat dicapai dalam 10 menit pada suhu 30 °C. Studi lain menunjukkan 22 °C menjadi suhu optimal untuk germination spora B. anthracis, dengan 61% hingga 63% spora terbentuk dalam 90 menit, dan studi yang sama tidak menemukan korelasi antara tingkat germination dan ketahanan bawaan hewan terhadap antraks.


Banyak upaya dilakukan pada 1960-an, 1970-an, dan 1980-an untuk mengembangkan sistem deteksi spora spesifik spesies yang cepat dan berbasis antigen, tetapi reaktivitas silang dengan spesies Bacillus lingkungan umum lainnya terbukti tidak dapat diatasi. Sekarang ada klaim bahwa epitop spesifik spora antraks terdapat pada setidaknya protein exosporium yang imunodominan.


7. PERAWATAN DAN PROPHYLAXIS


Pilihan antibiotik untuk manusia

Antraks responsif terhadap terapi antibiotik asalkan diberikan pada awal perjalanan infeksi.

Penisilin telah lama menjadi antibiotik pilihan, tetapi bila ini dikontraindikasikan, terdapat berbagai pilihan alternatif dari antara antibiotik spektrum luas. Ciprofloxacin dan doksisiklin telah menerima profil tinggi sebagai alternatif pengobatan utama dalam beberapa tahun terakhir. Doxycycline memiliki kelemahan dalam hal penetrasi yang buruk ke sistem saraf pusat (SSP).


Kekhawatiran tentang resistensi penisilin mungkin dilebih-lebihkan dalam literatur terbaru. Laporan kegagalan pengobatan kasus karena resistensi penisilin nomor dua atau tiga di semua sejarah. Namun, karena telah dibuktikan bahwa resistensi penisilin dapat diinduksi setidaknya pada beberapa strain, prinsip dasarnya adalah bahwa dosis yang memadai harus diberikan ketika penisilin digunakan untuk pengobatan.


Dalam kasus parah yang mengancam jiwa, penisilin intravena atau antibiotik primer pilihan lainnya - misalnya, ciprofloxacin - dapat dikombinasikan dengan antibiotik lain, sebaiknya antibiotik yang juga memiliki penetrasi yang baik ke dalam SSP. Klaritromisin, klindamisin, vankomisin atau rifampisin disarankan sebagai antibiotik tambahan untuk antraks dan streptomisin inhalasi, atau aminoglikosida lain, untuk antraks gastrointestinal; vankomisin atau rifampisin disarankan untuk meningitis antraks.


Ciprofloxacin dan doksisiklin umumnya tidak dianggap cocok untuk anak-anak (<8 hingga 10 tahun) dan hanya boleh digunakan pada kelompok usia ini dalam situasi darurat. Penisilin (dalam kombinasi dengan rifampisin atau vankomisin pada infeksi yang mengancam jiwa) cocok untuk wanita hamil dan ibu menyusui; seperti pada anak-anak, ciprofloxacin atau doksisiklin (sekali lagi dalam kombinasi dengan rifampisin atau vankomisin) dapat dipertimbangkan dalam situasi darurat, kemungkinan beralih ke amoksisilin ketika tes sensitivitas menunjukkan bahwa ini sesuai.


Umumnya, orang dengan gangguan kekebalan dapat diberikan pengobatan yang sama seperti orang yang memiliki kemampuan imunisasi, tetapi pertimbangan khusus mungkin diperlukan untuk pasien dengan insufisiensi ginjal atau hati.


Lama pengobatan pada antraks yang terjadi secara alami

B. anthracis yang menginfeksi umumnya terbunuh dengan sangat cepat dengan terapi antibiotik tetapi efek klinis dari toksin dapat berlanjut untuk beberapa waktu setelahnya. Dokter harus menyadari hal ini dalam menentukan durasi pengobatan. Durasi yang disarankan adalah 3–7 hari untuk antraks kulit tanpa komplikasi dan, jika tidak ada pengalaman klinis dengan terapi antibiotik jangka pendek pada antraks sistemik, 10-14 hari untuk kasus antraks sistemik.


Perawatan suportif

Pada infeksi sistemik yang parah, pengobatan simtomatik di unit perawatan intensif selain terapi antibiotik mungkin bisa menyelamatkan nyawa.

Ada pendapat berbeda tentang nilai kortikosteroid.


Imunoterapi

Pengobatan antraks dengan serum hiperimun, dikembangkan pada berbagai spesies hewan, mendahului antibiotik selama beberapa dekade. Itu dianggap efektif dan masih merupakan pengobatan yang tersedia di China dan Federasi Rusia. Globulin hiperimun dari vaksin manusia dan pendekatan berbasis antibodi monoklonal untuk perlindungan pasif sekarang sedang dikaji. Konsep baru yang dipertimbangkan untuk terapi tahap akhir termasuk, misalnya, monoklonal manusia yang menargetkan interaksi komponen toksin.


Eksposur selama pelepasan yang disengaja

Jika diketahui atau dicurigai telah terjadi inhalasi sejumlah besar spora antraks, jika vaksin non-hidup tersedia, pemberian vaksin dan antibiotik secara bersamaan dapat dipertimbangkan, dengan profilaksis antibiotik dilanjutkan selama sekitar 8 minggu untuk memungkinkan pengembangan kekebalan yang diinduksi oleh vaksin yang memadai . (Ini tidak akan berlaku dalam kasus vaksin hidup manusia di China dan Federasi Rusia.)


Pengobatan pada hewan

Penisilin, bersama dengan streptomisin jika dianggap perlu, adalah pengobatan pilihan untuk hewan yang menunjukkan penyakit klinis yang diduga disebabkan oleh antraks. Beberapa negara, tidak mengizinkan pengobatan antibiotik pada ternak untuk antraks, diperlukan pemusnahan hewan yang tepat.


Profilaksis menggunakan vaksin

Pengendalian antraks dimulai dengan pengendalian penyakit pada ternak, dan vaksinasi ternak telah lama menjadi pusat program pengendalian. Vaksin antraks ternak tersedia di sebagian besar negara, terutama negara yang mengalami wabah atau kasus sporadis setiap tahun. Vaksin untuk diberikan kepada manusia hanya diproduksi di empat negara dan secara nominal hanya untuk digunakan pada orang-orang dengan pekerjaan berisiko terinfeksi Anthrax. Akibatnya, ketersediaannya sangat terbatas saat ini.


Profilaksis menggunakan antibiotik

Profilaksis antibiotik berkepanjangan hanya direkomendasikan untuk orang yang diketahui telah, atau sangat dicurigai telah, terpapar dengan dosis yang sangat besar dari spora aerosol dalam skenario pelepasan yang disengaja. Antibiotik umumnya tidak boleh diberikan sebagai profilaksis untuk situasi lain dan hanya boleh digunakan untuk pengobatan, bukan profilaksis, kecuali jika ada bahaya nyata dari pemaparan yang sangat substansial telah terjadi. Ini tidak mungkin terjadi di sebagian besar skenario paparan alami (sebagai lawan dari situasi buatan manusia).


Jika terdapat ketakutan terhadap paparan dalam situasi alamiah (misalnya konsumsi daging dari karkas antraks yang tidak dimasak dengan baik), profilaksis antibiotik dapat dipertimbangkan tetapi hanya berdurasi ± 10 hari. Dalam situasi paparan alami lainnya yang dicurigai, personel medis yang relevan harus diberitahu. Individu yang bersangkutan harus segera melapor kepada personel medis untuk perawatan jika timbul lesi bercak / jerawat / seperti bisul, terutama di area yang terpapar, atau gejala seperti flu muncul.


Jika kemungkinan paparan diantisipasi, tetapi belum terjadi (misalnya membuang bangkai ketika terdapat wabah), penggunaan metode perlindungan pribadi yang tepat adalah pendekatan yang benar, bukan profilaksis antibiotik.


8. PENGENDALIAN


Dasar pengendalian dan, dalam kasus ternak, pemberantasan antraks adalah memutus siklus infeksi. Jika sumber infeksi potensial diketahui ada, ini harus segera dihilangkan. Mengingat bahwa antraks alami pada dasarnya adalah penyakit mamalia herbivora, pengendalian sebagian besar berpusat pada pengendalian pada ternak.


Jika terjadi kasus atau wabah pada ternak, tindakan pengendalian terdiri dari pembuangan bangkai yang benar, dekontaminasi situs dan barang yang digunakan untuk menguji dan membuang bangkai, dan inisiasi pengobatan dan / atau vaksinasi hewan lain yang sesuai.


Metode pembuangan terbaik adalah insinerasi. Vaksin ternak tersedia di banyak negara. Vaksin untuk manusia, sebaliknya, tidak tersedia secara luas.


Kawasan satwa liar enzootik dengan kebijakan pengelolaan dilepas hanya melakukan tindakan pengendalian antraks dalam situasi darurat, atau ketika spesies yang terancam punah. Ini harus dilihat sedikit berbeda dalam kasus area pengelolaan yang kecil atau yang secara komersial. Kerja sama antarsektor penting dilakukan di area di mana area satwa liar berbatasan dengan area ternak, atau di mana satwa liar dan ternak berbaur.


9. SURVEILANS ANTRAKS


Surveilans yang efektif penting untuk program pencegahan dan pengendalian antraks dan mencakup mekanisme deteksi penyakit, konfirmasi diagnosis, pelaporan, pengumpulan data dan umpan balik data ke sumbernya.


Pelaporan membutuhkan mekanisme untuk memudahkan komunikasi kasus dan juga beberapa insentif untuk pelaporan atau disinsentif untuk tidak melaporkan.


Pengendalian antraks antar manusia bergantung pada integrasi program pengawasan dan pengendalian kesehatan hewan dan kesehatan manusia. Pemberitahuan silang yang dilakukan secara rutin antara sistem surveilans kesehatan hewan dan manusia harus menjadi bagian dari program pencegahan dan pengendalian penyakit zoonosis, dan kolaborasi erat antara dua sektor kesehatan sangat penting selama investigasi epidemiologi dan wabah.


Tujuan utama dari sistem surveilans antraks adalah untuk mencegah atau mengurangi kehilangan ternak dan mencegah penyakit pada manusia.

Tindakan utama untuk mencapai ini adalah:

•pendidikan bagi mereka yang akan terlibat dalam pengendalian dan semua yang memiliki atau menangani ternak, daging, kulit dan produk hewani lainnya;

•diagnosis yang benar;

•implementasi tindakan pengendalian;

•pelaporan.


Upaya ini perlu dukungan definisi kasus yang dirumuskan dengan baik (hewan dan manusia) dan dukungan kuat laboratorium yang tepat.


SUMBER:

Anthrax in human and animals, Fourth Edition. OIE-WHO-FAO. ISBN 978 92 4 154753 6

https://www.who.int/csr/resources/publications/anthrax_webs.pdf