Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Tenaga kerja. Show all posts
Showing posts with label Tenaga kerja. Show all posts

Tuesday, 11 May 2010

Birokrasi di Balik Tingkat Kelulusan Perawat Asing

By
IRIYAMA Akira
(Guest Professor of Cyber University, and Executive Research Advisor of International Development Center of Japan)
 
Two hundred and fifty four applicants from Indonesia and Philippines who have visited Japan under Economic Partnership Agreement (EPA) sat for Japan's nursing qualification exam. And only three have passed. Given that the pass rate of the exam of foreign applicants was only one percent whereas the overall pass rate of the Japanese applicants is above 90 percent, it is quite clear that the language used in the exam poses a huge barrier to foreign applicants. They have reportedly taken only six months of language training before coming to Japan and then have been left to improve their language skills on their own beside their daily working experience in Japanese hospitals. They are required to pass the test within three years of stay in Japan. Otherwise, they must return home. Things could not have been more wrong. 
 
With the advent of the aging society, apprehensions about shortfalls of nurses and caregivers are being voiced. It is quite uncharacteristic of the government, which is supposed to protect the lives of its citizens, to leave untouched serious capacity shortage of nursery school, while concerns of rapid aging and low birthrate are being raised. In short, the government is only good at mouthing empty slogans and rhetoric and is unwilling to make sincere efforts to put them into practice. Thus it would end up leaving the entire tasks to bureaucrats. That is what is behind the one percent pass rate of foreign nurses.
 
Most of the foreign applicants already possess nursing qualifications in their own countries. Then, it is obvious that their Japanese language skill matters. It does not take a capable government official to understand that nursing requires exquisite language skill. While it is quite doubtful whether foreigners can master even the basic spoken Japanese within a year or two, those foreign nurses are required to be familiar with medical terms and acquire communicative skills so that they can tell the nature of pains their patients suffer, whether it is sharp, dull or throbbing. It is quite clear what has to be done to rectify the situation. 
 
Meticulosity in business costs money. And seeking perfection is too demanding especially to today's Japan which is on the brink of financial collapse. However, the worst type of measures to be taken would be to resort to makeshift settlement, just as in the case of the ongoing introduction of foreign nurses to Japan. Money has been spent, but it is good for nobody. Coming under pressure of the Indonesian government, the Ministry of Foreign Affairs of Japan overrides the resistance of the Ministry of Health, Labor and Welfare of Japan and proceeds to conclude an EPA with Indonesia. The Ministry of Health, Labor and Welfare quite reluctantly undertakes the task of implementing concrete measures. True, the field has been ploughed but the seeds have been forgotten. It is a project sizably financed from the government fund but is to the satisfaction of nobody involved (except those three who passed the exam, probably). It would be far more important to bring it all down to earth than to mouth such empty slogans as "opening up the bureaucracy" or "opening up our future." That is what true leadership is supposed to be.
 
Source: The BBS "Hyakka-Somei" of CEAC on 30 March, 2010, and was posted on "CEAC Commentary" on 27 April, 2010.

Friday, 26 December 2008

Fakta dan data Trainee di Jepang

  1. Interaksi selama trainee melakukan pelatihan di Jepang kadangkala menimbulkan problematika yang memerlukan penyelesaian oleh berbagai kalangan. Dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang ada, Bank Indonesia Kantor Perwakilan Tokyo telah bekerjasama dengan Working Group for Technology Transfer (WGTT), melakukan serangkaian kegiatan untuk mengumpulkan fakta dan data di beberapa tempat di Jepang.

    Pada gambar sebelah Bapak Dubes Dr. H. Jusuf Anwar, SH. MA. dan Ibu beserta 3 anggota Darmawanita KBRI Tokyo sedang bersilaturahim dengan Trainee bidang pengolahan ikan di Kesenuma, Prefektur Miyagi.

    Dibawah ini disajikan fakta dan data yang berhasil dikumpulkan oleh WGTT yang didukung oleh BI Perwakilan Tokyo dalam bentuk ringkas dan padat:

    1. Di Jepang terdapat dua skema pelatihan bagi tenaga kerja asing yakni Industrial Training Program (ITP) dan Technical Internship Program (TIP).

    2. Gabungan skema ITP (maksimum 1 tahun) dan skema TIP (dua tahun), mereka bisa melakukan program pelatihan selama 3 tahun di Jepang.

    3. Tahun pertama sebagai kenshusei dengan uang saku sekitar 80.000 yen per bulan. Dua tahun kemudian sebagai Jishusei dengan gaji sekitar 90.000 - 100.000 yen per bulan.

    4. Terdapat 14 negara yang mengirimkan tenaga kerjanya ke Jepang, dan China menduduki urutan pertama dalam jumlah trainee yang dikirim ke Jepang.

    5. Keuntung program pelatihan di Jepang ini adalah: (i) meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan teknik tenaga kerja Indonesia; (ii) memperbaiki etos kerja tenaga kerja Indonesia sehingga lebih produktif.

    6. Terdapat 3 organisasi penyalur Trainee di Jepang yaitu (1) Association for International Manpower Development of Medium and Small Enterprises (IMM Japan); (2) Japan Indonesian Association for Economy Cooperation (JIAEC); dan (3) Japan Vocational Ability Development Association (JAVADA).

    7. Program pengiriman Trainee Indonesia yang pertama kali dilakukan pada tahun 1992.
    Sampai dengan tahun 2006 Indonesia sudah mengirimkan sekitar 75.000 orang trainee ke Jepang, lima tahun terakhir sekitar 5.200 orang per tahun.

    8. Terdapat 7 bidang pekerjaan yakni (1) Pertanian, (2) Perikanan, (3) Konstruksi, (4) Industri pengolahan makanan, (5) Industri Tekstil, (6) Industri Mesin dan Barang Logam, (7) Industri lainnya seperti furniture, percetakan, pengecatan dan pengemasan. Secara keseluruhan, jenis pekerjaan yang tersedia untuk para trainee mencakup 62 jenis pekerjaan dengan 114 sub tahapan pekerjaan tertentu (selective work).

    9. Seleksi di Indonesia terdapat dua tahapan:

    Tahap pertama:
    Seleksi di daerah yang dipusatkan di tingkat propinsi bekerjasama dengan pihak Kantor Wilayah Depnaker. Persyaratannya: (i) Usia antara 18 - 40 tahun, (ii) Pendidikan SLTA dengan telah mengikuti pembekalan minimal 480 jam di BLK, (iii) Berkelakuan baik, sehat jasmani dan rohani, (iv) Lulus seleksi wawancara dan uji kesehatan.

    Tahap ke dua:
    Mengikuti pelatihan sebelum berangkat ke Jepang. Prosesnya sebagai berikut: (i) Pelatihan diberikan kepada calon peserta trainee yang telah lulus seleksi dan diterima oleh perusahaan penyalur trainee yang terdapat di Indonesia, (ii) In housing training selama kurang lebih 4 bulan yang dilaksanakan oleh perusahaan penyalur trainee. Lokasinya diantaranya di Bekasi, Lembang, Bali.

    10. Selama proses pelatihan di Indonesia para calon peserta trainee memperoleh fasilitas akomodasi dan makan yang biayanya telah diperhitungkan dengan penghasilan mereka selama 3 tahun kedepan sebagai trainee di Jepang.

    11. Proses off the job training di Jepang sekitar 1 bulan sebelum ditempatkan di perusahaan-perusahaan (Saitama dan Chiba). Para calon trainee diberikan pelajaran lanjutan bahasa Jepang dan pengenalan kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Jepang. Pada saat ini belum menerima uang saku, hanya diberikan akomodasi.

    12. Tahun pertama sebagai trainee (kenshusei), selama 11 bulan efektif pihak perusahaan memberikan kesempatan kepada para trainee untuk memperoleh informsi tambahan terkait dengan pekerjaan misalnya tentang keselamatan dan kesehatan kerja (3 K).

    13. Penyuluhan mengenai keselamatan dan kesehat kerja pada minggu pertama bulan Juli mengingat motto 3 K " Lalai satu detik akan mengakibatkan cacat seumur hidup ".

    14. Selama tahun pertama ini para trainee menerima uang saku (allowance) diterima bersih, sektor pertanian sekitar 60.000 yen, dan sektor industri rata-rata berkisar 80.000 yen perbulan.

    15. Pihak perusahaan berkewajiban menyediakan akomodasi bagi para trainee dan pembayaran allowance umumnya sekitar tanggal 25 setiap bulannya.

    16. Jam kerja satu hari adalah 8 jam (40 jam per minggu) umumnya dimulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 17.00 sore.

    17. Pekerjaan yang mereka lakukan berbeda dengan keinginan mereka sewaktu mengisi formulir jenis pekerjaan yang diinginkan pada saat in housing training di Indonesia.

    18. Program pelatihan yang diselenggarakan perusahaan penyalur hanya terbatas pada kursus bahasa Jepang.

    19. Ketidakpastian masa depan setelah kembali ke Indonesia, tenaga kerja yang dapat ditampung di perusahaan Jepang di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas. Selain itu, gaji yang ditawarkan perusahaan Jepang yang ada di Indonesia relatif rendah (walaupun sudah sesuai dengan standar gaji Indonesia) sehingga kurang menarik.

    20. Banyak diantara para trainee yang berkeinginan berwiraswasta setelah kembali ke Indonesia, tetapi sebagian besar dari mereka menyatakan kurang memperoleh informasi tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukan untuk memulai usaha mereka dan tidak memiliki pengetahuan untuk merencanakan keuangan mereka.

    21. Sampai saat ini belum tampak lembaga keuangan yang menunjang keinginan mereka untuk berwiraswasta tersebut.

    Sumber: Merajut Masa Depan dari Negeri Sakura, WGTT.

Sunday, 9 March 2008

Gaji Wanita Lebih Rendah 33,4% dari Pria

Menurut laporan dari International Trade Union Confederation (ITUC) pada hari Kamis 6 Maret 2008, pegawai wanita memperoleh gaji rata-rata 16% lebih rendah dari pria dengan jenis pekerjaan yang sama, dengan perbedaan gaji terbesar di beberapa negara Asia dan Amerika.


Hasil kajian ITUC menunjukan pegawai wanita Jepang memperoleh gaji 33,4% lebih rendah dari pada pria, 31,5% lebih rendah di Korea Selatan, dan 32,7% lebih rendah di China.


Di Amerika Serikat upah pekerja wanita 22,4% lebih rendah dari upah pria rekan kerjanya; di Kanada perbedaan upah tersebut mencapai 27,5% dan di Paraguay 31,3%.


”Laporan tersebut menunjukkan secara rinci peningkatan diskriminasi upah antara wanita dengan pria dalam pekerjaan yang sama” kata Presiden ITUC Sharan Burrow.


Namun di beberapa negara wanita memperoleh gaji lebih tinggi dari pada pria, seperti di Bahrain wanita memperoleh gaji 40% lebih tinggi dari pada pria dan di Qatar dan Costarica 2,2% lebih tinggi.


Di Eropa rata-rata perbedaan gaji wanita dan pria 14,5% dan telah mengalami penciutan pada 10 tahun terakhir, kata ITUC.


Perbedaan upah berkisar antara 3% di pulau kecil Mediterranian Malta sampai dengan 25% di Estonia, 22% di Jerman, 20% di Finlandia, Inggris dan Austria.


Data dari WageIndicator berdasar survei gaji yang dilaporkan sendiri oleh pekerja melalui internet, dimana orang dapat membandingkan gaji yang diperoleh dengan gaji orang lain pada pekerjaan yang sama, menunjukkan sering kali wanita berpendidikan setara dengan pria atau lebih tinggi.


”Pendidikan lebih tinggi wanita tidak selalu menimbulkan perbedaan gaji menjadi lebih kecil. Akan tetapi terdapat beberapa kasus terjadi peningkatan perbedaan gaji dengan tingkat pendidikan yang diperolehnya” kata ITUC.


Perbedaan gaji cenderung menjadi lebih kecil untuk pekerja yang memiliki perserikatan kerja, tetapi perbedaan meningkat pada pekerjaan yang didominasi wanita, seperti perawat, pendidikan dan pekerjaan sosial.


(Sumber : Japan Times 8 Maret 2008)