Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Kesehatan Reproduksi. Show all posts
Showing posts with label Kesehatan Reproduksi. Show all posts

Monday, 17 November 2025

Kalsifikasi Prostat: Tanda Bahaya Tersembunyi pada Pria 50+ yang Sering Diabaikan!

 



Kalsifikasi Prostat: Gambaran Klinis, Etiologi, dan Implikasi Radiologis

 

Kalsifikasi prostat merupakan temuan yang sering dijumpai pada laki-laki usia lanjut, terutama setelah usia 50 tahun. Kondisi ini umumnya berbentuk deposit tunggal, namun lebih sering ditemukan sebagai kelompok kecil yang tersebar pada jaringan prostat. Seiring bertambahnya usia, jumlah serta ukuran kalsifikasi meningkat secara progresif, sehingga prevalensinya pada populasi lanjut usia menjadi lebih signifikan (Harrison et al., 2018).

Secara epidemiologis, kalsifikasi prostat jarang dilaporkan pada anak-anak dan relatif tidak umum pada individu berusia di bawah 40 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa prevalensinya sangat bervariasi, berkisar antara 7–70%, tergantung populasi, teknik pencitraan, dan metode diagnostik yang digunakan (Liu & Chen, 2021). Variasi ini menunjukkan pentingnya pendekatan diagnostik yang komprehensif dalam menentukan kejadian kalsifikasi prostat di berbagai kelompok usia.

Dalam praktik klinis, kalsifikasi prostat umumnya merupakan temuan insidental dan tidak menimbulkan gejala. Akan tetapi, pada sebagian kasus, keberadaannya dapat berkontribusi terhadap disuria, hematuria, obstruksi saluran kemih, serta nyeri panggul atau perineum. Pada kondisi tertentu, deposit kalsium bahkan dapat keluar melalui uretra, meskipun kondisi tersebut jarang terjadi (Sato et al., 2020). Hubungan kausal antara kalsifikasi dan gejala klinis juga tidak selalu jelas sehingga evaluasi menyeluruh diperlukan untuk memastikan adanya faktor penyerta.

Secara patologis, pembentukan kalsifikasi prostat terutama berkaitan dengan proses kalsifikasi pada corpora amylacea dan pengendapan sekresi prostat yang mengalami stagnasi. Corpora amylacea merupakan struktur lamelar kecil yang ditemukan pada prostat yang menua dan memiliki kecenderungan mengalami proses mineralisasi (Gleason & Foster, 2019).

Dari segi etiologi, kalsifikasi prostat dapat bersifat primer (idiopatik) maupun sekunder akibat berbagai kondisi seperti diabetes melitus, infeksi prostat (misalnya prostatitis bakteri atau tuberkulosis), pembesaran prostat jinak, kanker prostat, terapi radiasi, serta prosedur medis seperti pemasangan stent uretra atau tindakan pembedahan. Sekitar 10% kasus benign prostatic hypertrophy dilaporkan disertai deposit kalsifikasi (Morales et al., 2022).

Kalsifikasi prostat juga memiliki asosiasi dengan beberapa kondisi lain, termasuk sindrom nyeri panggul kronis, disfungsi berkemih, dan volume prostat yang lebih besar. Dalam kasus tertentu, terutama ketika kalsifikasi berukuran besar atau bersifat ekstrinsik, gangguan aliran urin dapat terjadi, meskipun insidensinya rendah (Kumar & Patel, 2021).

Pada pemeriksaan pencitraan, kalsifikasi prostat umumnya bersifat bilateral dan terletak pada lobus posterior serta lateral, meskipun kalsifikasi unilateral dapat ditemukan. Pada foto polos (X-ray), deposit kalsium dapat tampak sebagai granul halus hingga massa tidak beraturan berukuran 1–40 mm. Pada pembesaran prostat yang signifikan, kalsifikasi dapat tampak berada di atas simfisis pubis (Singh et al., 2017).

Ultrasonografi menunjukkan kalsifikasi sebagai fokus hiperekoik terang yang dapat disertai bayangan akustik posterior. Pada CT scan, kalsifikasi tampak sebagai fokus berattenuasi tinggi dengan ketebalan bervariasi. Sebaliknya, MRI relatif kurang sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi, yang biasanya tampak sebagai area kecil tanpa sinyal (signal void). Penggunaan sekuens gradient echo seperti SWI terbukti meningkatkan deteksi deposit kecil pada jaringan prostat (Rodriguez et al., 2020).

Secara keseluruhan, kalsifikasi prostat merupakan fenomena umum yang umumnya tidak berbahaya, tetapi tetap memerlukan perhatian klinis terutama ketika dikaitkan dengan keluhan urologis atau perubahan patologis pada prostat.

 

Daftar Pustaka

  1. Gleason J, Foster R. 2019. Prostatic corpora amylacea and mineralization mechanisms. J Urol Pathol 12(3): 155–162.
  2. Harrison M, Cole D, Nguyen T. 2018. Age-related changes in prostatic calcification: A clinical overview. Int J Clin Urol 7(2): 88–94.
  3. Kumar S, Patel R. 2021. Association of large prostatic calculi with urinary dysfunction. Asian J Androl 23(1): 45–52.
  4. Liu H, Chen X. 2021. Prevalence variability of prostatic calcifications across populations. Clin Radiol Rev 19(4): 201–209.
  5. Morales F, Zhang L, Peters C. 2022. Prostatic hypertrophy and prevalence of intraprostatic calcifications. Urol Health J 14(1): 33–40.
  6. Rodriguez M, Allen P, Hawthorne J. 2020. Detection of micro-calcifications in the prostate using SWI MRI sequences. Magnetic Imaging Clin 28(2): 117–124.
  7. Sato Y, Kimura N, Oda K. 2020. Clinical cases of prostatic calculi expelled through the urethra. J Clin Urol Case Rep 5(1): 12–18.
  8. Singh V, Rao P, Datta S. 2017. Radiographic characteristics of prostatic calcifications in elderly men. Gerontol Imaging J 9(3): 140–147.
#KesehatanPria 
#KalsifikasiProstat 
#PenyakitProstat 
#RadiologiMedis 
#Urologi

Sunday, 23 March 2025

Bahaya Tersembunyi Perkawinan Beda Rhesus Darah



Kemungkinan Risiko yang Terjadi Akibat Perkawinan Beda Rhesus Darah

 

Perkawinan antara pasangan dengan perbedaan rhesus darah bukanlah hal yang memengaruhi keharmonisan rumah tangga. Selama ini, ada anggapan bahwa golongan darah dapat menentukan kecocokan sifat dan karakter pasangan, tetapi hal tersebut masih menjadi perdebatan. Namun, dari sisi kesehatan, perbedaan rhesus darah antara suami dan istri bisa menimbulkan risiko apabila mereka berencana memiliki keturunan. Risiko ini muncul karena adanya potensi ketidakcocokan rhesus darah antara ibu dan janin yang dikandungnya.

 

Apa Itu Rhesus Darah?

 

Golongan darah manusia umumnya diklasifikasikan ke dalam empat kelompok utama, yaitu A, B, AB, dan O. Selain sistem golongan darah ini, terdapat faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu faktor rhesus atau Rh. Faktor rhesus merupakan protein khusus (Antigen D) yang terdapat di permukaan sel darah merah. Berdasarkan keberadaan protein ini, rhesus dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rhesus positif (Rh+) bagi mereka yang memiliki antigen tersebut dan rhesus negatif (Rh-) bagi yang tidak memilikinya.

 

Menurut informasi dari Kids Health, seseorang dengan Rh+ memiliki protein khusus ini dalam sel darah merahnya, sedangkan seseorang dengan Rh- tidak memilikinya. Perbedaan rhesus ini dapat berpengaruh ketika seorang ibu dengan Rh- mengandung bayi dengan Rh+, yang diwarisi dari ayahnya.

 

Risiko Inkompatibilitas Rhesus Saat Kehamilan

 

Inkompatibilitas rhesus dapat terjadi ketika ibu memiliki rhesus negatif, sedangkan janin yang dikandungnya memiliki rhesus positif. Sebagai contoh, jika seorang wanita dengan Rh- menikah dengan pria yang memiliki Rh+, maka ada kemungkinan bayi yang dikandung memiliki Rh+, yang diwarisi dari ayahnya. Kasus seperti ini diperkirakan terjadi pada 50 persen pasangan dengan perbedaan rhesus.

 

Dalam kehamilan pertama, kondisi ini biasanya tidak menimbulkan masalah serius. Hal ini karena darah bayi umumnya tidak bercampur dengan darah ibu selama kehamilan. Namun, jika selama proses persalinan atau keguguran darah bayi masuk ke sistem peredaran darah ibu, maka tubuh ibu akan mengenali sel darah bayi sebagai benda asing dan mulai memproduksi antibodi anti-Rh. Antibodi ini berfungsi untuk menyerang sel darah merah dengan rhesus positif yang dianggap tidak cocok dengan sistem tubuh ibu.

 

Pada kehamilan berikutnya, jika ibu kembali mengandung bayi dengan Rh+, antibodi yang telah terbentuk sebelumnya dapat melewati plasenta dan menyerang sel darah merah janin. Akibatnya, bayi dapat mengalami anemia hemolitik, yaitu kondisi di mana sel darah merahnya rusak lebih cepat daripada yang bisa diproduksi oleh tubuhnya. Jika tidak ditangani, kondisi ini bisa menyebabkan berbagai komplikasi serius, termasuk keguguran, bayi lahir mati, atau gangguan kesehatan lainnya setelah lahir.

 

Pencegahan dan Penanganan Risiko Inkompatibilitas Rhesus

 

Meski demikian, risiko inkompatibilitas rhesus dapat dikelola dengan baik melalui pemeriksaan medis yang tepat. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merekomendasikan pasangan yang akan menikah untuk melakukan tes golongan darah dan rhesus sebagai bagian dari pemeriksaan pranikah. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan ketidakcocokan rhesus antara ibu dan janin di masa depan serta menentukan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan.

 

Jika seorang wanita dengan Rh- diketahui sedang mengandung bayi dengan Rh+, dokter akan memantau kehamilan secara ketat. Salah satu langkah pencegahan yang bisa dilakukan adalah pemberian suntikan imunoglobulin Rh (RhIg) pada minggu ke-28 kehamilan dan dalam waktu 72 jam setelah persalinan. RhIg berfungsi untuk mencegah tubuh ibu membentuk antibodi anti-Rh yang dapat menyerang sel darah bayi pada kehamilan berikutnya.

 

Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), suntikan RhIg sangat efektif dalam mencegah reaksi imun tubuh ibu terhadap darah janin. Dengan langkah ini, risiko komplikasi akibat inkompatibilitas rhesus dapat diminimalkan, sehingga ibu dapat menjalani kehamilan yang lebih aman dan bayi terlahir dalam kondisi sehat.

 

Kesimpulan

 

Perbedaan rhesus darah antara suami dan istri tidak memengaruhi kehidupan rumah tangga secara langsung, tetapi dapat menjadi faktor risiko dalam kehamilan. Ketidakcocokan rhesus darah antara ibu dan janin berpotensi menyebabkan komplikasi serius, terutama pada kehamilan kedua dan seterusnya. Oleh karena itu, pasangan yang berencana memiliki anak disarankan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan rhesus sebelum menikah. Dengan deteksi dini dan penanganan yang tepat, risiko akibat inkompatibilitas rhesus dapat dikendalikan, sehingga ibu dan bayi dapat terhindar dari masalah kesehatan yang berbahaya.

Friday, 7 February 2025

Waspadai Infeksi Tersembunyi Chlamydia trachomatis: Gejala Sering Tak Terasa, Dampaknya Bisa Fatal!

 


Penyakit menular seksual sering kali dianggap mudah dikenali karena adanya gejala khas, namun Chlamydia trachomatis justru menjadi pengecualian yang berbahaya. Infeksi ini dijuluki sebagai “silent infection” karena sebagian besar penderitanya tidak menunjukkan tanda-tanda klinis apa pun, tetapi diam-diam dapat menyebabkan kerusakan serius pada sistem reproduksi, bahkan menimbulkan infertilitas permanen. Di balik diamnya infeksi ini tersembunyi ancaman global: jutaan orang terinfeksi setiap tahun tanpa disadari, dan banyak di antaranya baru mengetahui saat komplikasi berat seperti penyakit radang panggul atau kehamilan ektopik muncul. Kondisi ini menjadikan klamidia bukan hanya masalah individu, tetapi juga tantangan besar bagi kesehatan masyarakat dunia. Oleh karena itu, mengenali gejala klinis, memahami perjalanan infeksi, serta mengetahui metode diagnosis yang akurat menjadi langkah penting dalam mencegah dampak jangka panjang yang sering kali tidak terdeteksi hingga terlambat.


Banyak pasien penderita klamidia tidak menunjukkan gejala, namun sebagian kecil orang mengalami gejala bergantung pada bagian tubuh yang terinfeksi. Setiap wanita, pria, dan bayi baru lahir yang terinfeksi dapat menunjukkan gejala-khasnya masing-masing.

 

Chlamydia trachomatis merupakan penyebab paling umum infeksi menular seksual di dunia. Data epidemiologis dan klinis mengenai tingkat infeksi klamidia sulit dipastikan karena keterbatasan dalam skrining dan pelaporan infeksi. Tindakan skrining besar-besaran belum diterapkan di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, sehingga menyebabkan ketidak-akuratan dalam menghitung tingkat prevalensi dan kejadian [40].

 

Selain itu, individu tanpa gejala tanpa sadar dapat menyebarkan penyakit ini ke pasangan seksualnya, dan meskipun sudah diobati, infeksi ulang sering terjadi [32]. Diperkirakan sekitar 75% wanita dan 50% pria tidak menunjukkan gejala [40]. Dalam keadaan seperti ini, sulit untuk memperoleh data yang dapat diandalkan mengenai tingkat infeksi. Tingkat prevalensi mungkin lebih tinggi daripada yang tercatat dalam literatur.

 

Gejala pada Wanita

 

Pada wanita, leher rahim merupakan tempat yang paling sering terinfeksi C. trachomatis [27]. Akibatnya, servisitis dapat terjadi pada wanita dengan gejala ringan seperti keputihan, pendarahan, sakit perut, dan disuria [14]. Beberapa wanita mungkin mengalami servisitis mukopurulen, perdarahan endoserviks, dan perdarahan pascakoitus atau intermenstrual. Jika infeksi naik dari leher rahim ke saluran reproduksi bagian atas, pasien akan mengalami nyeri perut atau panggul, dan infeksi akan berkembang menjadi Pelvic inflammatory disease (PID) [27]. Selain nyeri, gejala lain juga telah dilaporkan yaitu mual, muntah, demam, menggigil, nyeri punggung bawah, disuria, dispareunia atau nyeri saat berhubungan seksual, dan perdarahan setelah berhubungan seksual [24].

 

Pasien yang didiagnosis PID dapat mengalami Fitz-Hugh-Curtis syndrome (FHCS), atau perihepatitis, suatu kondisi di mana hati dan permukaan peritoneum di sekitarnya mengalami peradangan, yang menyebabkan nyeri kuadran kanan atas (Right upper quadrant / RUQ) atau nyeri pleuritik [27]. FHCS sering dikaitkan dengan gejala PID seperti demam, nyeri perut bagian bawah dan keputihan [33]; namun, hal ini dapat menjadi gawat karena menimbulkan gejala seperti infertilitas, kehamilan ektopik, dan nyeri panggul kronis [3]. Selain itu, PID terutama jika tidak diobati, dapat menyebabkan jaringan parut tuba fallopi akibat respon inflamasi yang intens dan kronis [17]. Jaringan parut tuba fallopi dapat menyebabkan Tubal factor infertility (TFI) [16].

 

Komplikasi lain dari infeksi klamidia yang tidak diobati atau sudah berlangsung lama pada saluran reproduksi, khususnya saluran tuba fallopi, dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik [38]. Pada wanita hamil, infeksi klamidia telah dikaitkan dengan akhir kehamilan yang tidak diharapkan seperti ketuban pecah dini (Prelabor Rupture of membrane / PROM), kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, hambatan pertumbuhan yang menyebabkan bayi kecil dan kematian neonatal [1].

 

Meskipun jarang terjadi, wanita yang terinfeksi C. trachomatis dapat mengalami uretritis, di mana frekuensi buang air kecil dan disuria menjadi keluhan utama [27].

 

Gejala pada Pria

 

Pria yang bergejala mungkin menunjukkan kombinasi manifestasi urogenital dan ekstragenital. Infeksi urogenital pada pria dapat muncul dengan epididimitis, merasakan nyeri testis unilateral yang disertai pembengkakan epididimis. Uretritis juga merupakan tanda umum infeksi klamidia pada pria; pasien mengalami disuria dan sering teramati keluarnya cairan dari uretra berwarna putih abu-abu. Prostatitis ditandai dengan disuria, nyeri panggul, disfungsi saluran kemih, dan disorgasmia [27].

 

Temuan ekstragenital yaitu proktitis dan artritis reaktif. Proktitis, atau peradangan rektum, terasa nyeri jika disebabkan oleh serovar L1–L3, dan pasien menderita keluarnya cairan dari rektum, pendarahan, demam, dan malaise. Kondisi ini hampir secara eksklusif terbatas pada pria yang berhubungan seks dengan pria [27]. Artritis reaktif adalah manifestasi lain dari infeksi klamidia. Diperkirakan 1% pria dengan uretritis yang disebabkan oleh C. trachomatis mengalami arthritis reaktif [22]. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan oligoartritis asimetris, biasanya pada ekstremitas bawah, dan nyeri pada jari tangan, kaki, atau tumit. Pasien juga dapat mengalami trias arthritis, uretritis, dan uveitis, suatu kondisi yang sebelumnya dikenal sebagai sindrom Reiter [10].

 

Limfogranuloma Venereum (LGV)

 

LGV merupakan manifestasi klinis dari infeksi klamidia yang terlihat pada wanita maupun pria. LGV diklasifikasikan sebagai penyakit ulseratif pada daerah genital [34]. Penyakit ini mengikuti perjalanan tiga tahap [12]. Terbentuknya ulkus genital yang tidak menimbulkan rasa sakit menandai tahap pertama atau primer. Penyakit ini sering kali luput dari perhatian karena ukuran dan lokasinya serta dapat sembuh secara spontan.

 

Perkembangan limfadenopati inguinal dan/atau femoralis biasanya terjadi setelah memalui tahap infeksi sekunder. Selama tahap ini, pasien mungkin mengalami penyakit mirip proktokolitis yang ditandai dengan disuria, diskezia atau kesulitan buang air besar, nyeri perut, dubur, dan dubur, dan tenesmus, atau sering ingin buang air besar. Telah diketahui gejala konstitusional seperti demam, sakit kepala dan nyeri tubuh.

 

Tahap akhir infeksi muncul ketika penyakit ini tidak diobati dan ditandai dengan penyempitan, fibrosis, pembentukan fistula di daerah anogenital, dan nekrosis serta pecahnya kelenjar getah bening yang terkena [12]. Pada pria secara keseluruhan tampak pada awal perjalanan penyakit ketika gejala akut muncul, sedangkan pada wanita tampak pada tahap akhir infeksi ketika timbul komplikasi [9].

 

Gejala Trakhoma

 

Trachoma merupakan penyebab utama kebutaan di dunia saat ini. Gambaran umum pada gejala awal yaitu kemerahan, gatal dan iritasi pada mata dan kelopak mata [18]. Juga terlihat keluar cairan, bengkak, nyeri dan fotofobia. Dua bentuk trachoma telah diketahui yaitu bentuk aktif dan bentuk sikatrik kronis.

 

Trachoma aktif lebih sering terjadi pada anak-anak dan ditandai dengan konjungtivitis folikular dan papiler campuran. Kondisi ini terlihat adanya sekret mukopurulen, keratitis epitel superior, dan vaskularisasi kornea. Dalam kasus yang parah dapat terjadi hipertrofi papiler.

 

Infeksi berulang menimbulkan bentuk trakoma sikatrik, yang terlihat pada orang dewasa paruh baya. Tahap kronis ini ditandai dengan jaringan parut, terutama di lempeng tarsal atas, disertai vaskularisasi kornea, trikiasis, dan distichiasis. Seiring waktu, rusaknya sel goblet di konjungtiva dan duktus kelenjar lakrimal memicu kekeringan pada mata. Proses ini berkembang akan menimbulkan kekeruhan kornea dan kebutaan merupakan tanda kerusakan permanen [2].

 

Gejala pada Neonatus

 

Neonatus (bayi bulan pertama kelahiran) dapat terinfeksi C. trachomatis dari ibunya ketika melewati saluran vagina saat dilahirkan. Interaksi dengan sekret genital yang terinfeksi dapat menyebabkan konjungtivitis, atau oftalmia neonatorum, pada bayi baru lahir, ditandai dengan eritema dan edema pada kelopak mata, konjungtiva palpebra, dan sekret konjungtiva [46]. Konjungtivitis dianggap sebagai manifestasi klinis klamidia yang paling umum pada bayi baru lahir [27]. Gejala biasanya muncul pada satu mata 5 – 14 hari setelah diahirkan dan mata kedua biasanya meradang setelah 2 – 7 hari [7]. Keluarnya cairan pada awalnya encer tetapi kemudian menjadi bernanah setelah beberapa hari [45]. Jika tidak diobati, timbulnya jaringan parut pada kornea dan konjungtiva telah dilaporkan [4].

 

Aspirasi sekret genital yang terinfeksi saat melahirkan dapat menyebabkan pneumonia pada bayi baru lahir [7]. Gejala muncul pada bayi usia antara 4 dan 12 minggu. Pasien biasanya tidak demam, menimbulkan batuk staccato paroksismal, dan mungkin mengalami takipnea [27]. Selain tanda-tanda klinis ini, hidung tersumbat dan sekret hidung kental juga sering terjadi [39]. Rontgen dada akan menunjukkan infiltrat paru yang menyebar disertai hiperinflasi [45]. Rales juga dapat terdengar pada auskultasi selama pemeriksaan fisik [27]. Jika tidak diobati, bayi lebih rentan terkena penyakit paru kronis, termasuk asma [45].

 

Komplikasi Klinis

 

Setiap infeksi yang terdiagnosis harus diobati karena kurangnya penatalaksanaan terapeutik dapat mengakibatkan perkembangan penyakit dan komplikasi yang ditandai dengan gejala yang bertahan lama.

 

Komplikasi yang paling parah berhubungan dengan penanganan dan pengobatan infeksi klamidia yang tidak efektif. Misalnya, prevalensi Pelvic inflammatory disease (PID) setelah infeksi klamidia ditemukan antara 3,0% dan 30,0% [35]. Kehamilan ektopik juga dilaporkan antara 0,2% hingga 2,7% pada wanita yang terinfeksi [13], sedangkan TFI terdeteksi pada 0,1% hingga 6,0% pada wanita yang terinfeksi [21].

 

Skrining untuk Klamidia

 

Satuan Tugas Layanan Pencegahan Amerika Serikat (USPSTF) merekomendasikan agar semua wanita yang aktif secara seksual berusia 24 tahun atau lebih muda menjalani pemeriksaan klamidia setiap tahun. Protokol serupa harus diterapkan pada wanita berusia 25 tahun ke atas yang memiliki risiko lebih tinggi terhadap infeksi (pasangan seksual baru, lebih dari satu pasangan seksual, pasangan seksual dengan beberapa pasangan seksual secara bersamaan, atau pasangan seksual dengan diagnosis Premenstrual syndrome (PMS) [41].

 

Selain itu, wanita hamil di bawah usia 25 tahun dan mereka yang berusia di atas 25 tahun yang memiliki peningkatan risiko infeksi (pasangan seksual baru, lebih dari satu pasangan seksual, pasangan seksual dengan beberapa pasangan seksual bersamaan, atau pasangan seksual dengan diagnosis PMS) harus diskrining pada kunjungan prenatal pertama mereka. Mereka yang berisiko tinggi pada saat itu harus menjalani tes ulang pada trimester ketiga [43].

 

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) juga merekomendasikan skrining pada populasi pria tertentu, terutama pria yang aktif secara seksual di wilayah dan populasi dengan prevalensi tinggi. Skrining tahunan harus dilakukan pada pria yang berhubungan seks dengan pria; namun, pengujian yang lebih sering disarankan pada kelompok yang melakukan perilaku seksual berisiko tinggi atau jika pasangan seksual diketahui memiliki banyak pasangan. Individu transgender harus diskrining berdasarkan partisipasi seksual dan anatomi masing-masing. Selain itu, CDC merekomendasikan skrining untuk wanita di bawah usia 35 tahun dan laki-laki di bawah usia 30 tahun pada saat memasuki lembaga pemasyarakatan [43].

 

Dalam semua situasi yang disebutkan di atas, pasien juga harus diskrining untuk mengetahui adanya gonore, yang sering terjadi bersamaan dengan klamidia [41]. Dalam kasus infeksi klamidia atau gonokokus, pasien harus menjalani tes ulang tiga bulan setelah memulai pengobatan, terlepas dari status infeksi pasangan seksualnya [43].

 

Diagnosis dan Pengambilan Sampel

 

Tes amplifikasi asam nukleat (NAAT) adalah tes yang paling sensitif dengan spesifisitas yang mirip dengan kultur sel dan dianggap sebagai metode pilihan untuk deteksi C. trachomatis. [26]. Sejak saat itu, tes tersebut telah menggantikan metode kultur sebagai diagnosis standar emas. Tes antigen, seperti enzim immunoassay, tes antibodi fluoresen langsung (direct fluorescent antibody / DFA), dan tes diagnostik cepat, yang pernah digunakan untuk deteksi dan diagnosis, juga tidak lagi direkomendasikan karena ketidakakuratan dalam prosedur pemeriksaan diagnostik [31].

 

Ada banyak alasan untuk menukar cara diagnosis ini. Pertama, karena Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) tidak bergantung pada patogen menular atau patogen yang hidup, spesimen dapat dengan mudah diambil dan dikumpulkan [26].

 

Selain itu, sampel non-invasif seperti urin dapat dianalisis, menskrining infeksi pada individu tanpa gejala yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Hal ini terbukti menguntungkan karena sebagian besar infeksi klamidia kelompok pada populasi wanita dan kelompok pada populasi pria tidak menunjukkan gejala [23].

 

Terakhir, karena sebagian besar NAAT bergantung pada polymerase chain reaction (PCR) dan probe berlabel fluoresensi untuk menemukan rangkaian DNA yang diperkuat secara real-time, sehingga proses pengujian menjadi lebih efisien, dan waktu durasi pengujian berkurang. Hasilnya dapat dipastikan dengan cepat dan bahkan seringkali diperoleh dalam beberapa jam [26].

 

Untuk mendiagnosis klamidia genital menggunakan NAAT, sampel usap vagina dikumpulkan pada wanita dan urin dikumpulkan pada pria. Untuk infeksi klamidia rektal atau faring, pengujian di lokasi paparan diperlukan [8]. Oftalmia klamidia pada neonatus harus didiagnosis melalui tes kultur jaringan dan nonkultur misalnya tes DFA dan NAAT.

 

Kedua metode tersebut sensitif dan spesifik [43]. DFA merupakan satu-satunya tes nonkultur yang disetujui Food and Drug Administration (FDA) untuk mendeteksi klamidia dari usap konjungtiva (NAAT tidak disetujui oleh FDA untuk mendeteksi klamidia dari usap konjungtiva). Untuk kultur dan DFA, spesimen harus mengandung sel konjungtiva (diperoleh dari kelopak mata yang dibalik), bukan eksudat saja [43,46].

 

Selain menggunakan tes NAAT dan DFA, antibodi spesifik klamidia dapat dideteksi dalam serum pasien. Dua antibodi utama dalam sekresi genital yang dapat mencegah penularan C. trachomatis adalah IgG terhadap C. trachomatis, isotipe dominan, dan IgA sekretorik polimer [20].

 

Kedua antibodi tersebut terutama disintesis oleh sel plasma lokal di saluran genital wanita bagian atas (Female genital tract / FGT) [11]. Kedua isotipe antibodi ini mencegah infeksi yang disebabkan oleh C. trachomatis dengan menghalangi masuknya bakteri ke dalam sel inang. Antibodi menjebak bakteri dalam lendir di lumen FGT [42], atau menetralisir patogen intraseluler dalam sel epitel kolumnar selama transportasi [5].

 

Antibodi meningkatkan opsonophagocytosis dan degradasi klamidia, membatasi proses infektif (yang seharusnya bergantung pada sintesis interferon-gamma (IFN-γ)) [28]. Sel plasma yang mensintesis IgG melawan C. trachomatis ditemukan di FGT, namun IgG genital terutama berasal dari sirkulasi [25]. Sebaliknya, sel plasma subepitel menghasilkan IgM dan IgA genital [44], dan hampir 70% IgA diproduksi secara lokal pada wanita [37].

 

Kelas IgA dan IgM diketahui bereaksi cepat terhadap infeksi ulang akut. Lokasi utama produksi IgA sekretori adalah di leher rahim [19]. Demikian pula, IgA sekretorik merupakan isotipe dominan yang disekresikan oleh mukosa usus, namun pada FGT, rasio IgG terhadap IgA sekretorik yang lebih besar telah diamati [29]. Penelitian longitudinal pada manusia menunjukkan bahwa respons IFN-γ sel T CD4 spesifik klamidia (tetapi bukan titer IgG) dapat mengurangi risiko infeksi ulang pada wanita dengan pajanan tinggi [36].

 

Titer IgG yang tinggi merupakan penanda paparan klamidia berulang dan/atau berkepanjangan, namun tidak dapat melindungi terhadap infeksi ulang [15]. Titer serum anti-EB IgG berkaitan dengan penurunan keparahan serviks dan penurunan risiko infeksi endometrium [36]. Peran antibodi anti-IgG tidak dapat disimpulkan. Beberapa data menunjukkan bahwa anti-EB IgG tidak efektif dalam menurunkan risiko infeksi endometrium [30]. Sebaliknya, penelitian lain melaporkan bahwa IgA anti-klamidia (tetapi bukan IgG) dapat menurunkan risiko infeksi endometrium dan mencegah pembentukan salpingitis [6].

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.Adachi, K.N.; Nielsen-Saines, K.; Klausner, J.D. Chlamydia trachomatis Screening and Treatment in Pregnancy to Reduce Adverse Pregnancy and Neonatal Outcomes: A Review. Front. Public Health. 2021, 9, 531073.

2.Ahmad, B.; Patel, B.C. Trachoma. In StatPearls; StatPearls Publishing: Treasure Island, FL, USA, 2022.

3.Bebear, C.; de Barbeyrac, B. Genital Chlamydia trachomatis infections. Clin. Microbiol. Infect. 2009, 15, 4–10.

4.Bialasiewicz, A.A.; Junkenitz, A.; Jahn, G.J. Corneal symptoms in keratoconjunctivitis caused by Chlamydia. Klin. Mon. Fur Augenheilkd. 1985, 187, 36–39.

5.Bidgood, S.R.; Tam, J.C.H.; McEwan, W.A.; Mallery, D.L.; James, L.C. Translocalized IgA mediates neutralization and stimulates innate immunity inside infected cells. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2014, 111, 13463–13468.

6.Brunham, R.C.; Peeling, R.; Maclean, I.; McDowell, J.; Persson, K.; Osser, S. Postabortal Chlamydia trachomatis salpingitis: Correlating risk with antigen-specific serological responses and with neutralization. J. Infect. Dis. 1987, 155, 749–755.

7.Carol, P.; Pratt, R.J. Neonatal conjunctivitis and pneumonia due to chlamydia infection. Infant 2006, 2, 16–17.

8.Centers for Disease Control and Prevention. Chlamydia—CDC Fact Sheet (Detailed). 2021. Available online: https://www.cdc.gov/std/chlamydia/stdfact-chlamydia-detailed.htm (accessed on 7 December 2022).

9.Ceovic, R.; Gulin, S.J. Lymphogranuloma venereum: Diagnostic and treatment challenges. Infect. Drug Resist. 2015, 8, 39–47.

10.Cheeti, A.; Chakraborty, R.K.; Ramphul, K. Reactive arthritis. In StatPeals; StatPearls Publishing: Treasure Island, FL, USA, 2018.

11.Crowley-Nowick, P.A.; Bell, M.; Edwards, R.P.; Mccallister, D.; Gore, H.; Kanbour-Shakir, A.; Mestecky, J.; Partridge, E.E. Normal uterine cervix: Characterization of isolated lymphocyte phenotypes and immunoglobulin secretion. Am. J. Reprod. Immunol. 1995, 34, 241–247.

12.Dal Conte, I.; Mistrangelo, M.; Cariti, C.; Chiriotto, M.; Lucchini, A.; Vigna, M.; Morino, M.; Di Perri, G. Lymphogranuloma venereum: An old, forgotten re-emerging systemic disease. Panminerva Med. 2014, 56, 73–83.

13.Davies, B.; Turner, K.M.; Frølund, M.; Ward, H.; May, M.T.; Rasmussen, S.; Benfield, T.; Westh, H. Risk of reproductive complications following chlamydia testing: A population-based retrospective cohort study in Denmark. Lancet Infect. Dis. 2016, 16, 1057–1064.

14.Detels, R.; Green, A.M.; Klausner, J.D.; Katzenstein, D.; Gaydos, C.; Handsfield, H.; Pequegnat, W.; Mayer, K.; Hartwell, T.D.; Quinn, T.C. The incidence and correlates of symptomatic and asymptomatic Chlamydia trachomatis and Neisseria gonorrhoeae infections in selected populations in five countries. Sex. Transm. Dis. 2011, 38, 503–509.

15.El Hakim, E.A.; Gordon, U.D.; Akande, V.A. The relationship between serum Chlamydia antibody levels and severity of disease in infertile women with tubal damage. Arch. Gynecol. Obstet. 2010, 281, 727–733.

16.Hafner, L.M. Pathogenesis of fallopian tube damage caused by Chlamydia trachomatis infections. Contraception 2015, 92, 108–115.

17.Haggerty, C.L.; Gottlieb, S.L.; Taylor, B.D.; Low, N.; Xu, F.; Ness, R.B. Risk of sequelae after Chlamydia trachomatis genital infection in women. J. Infect. Dis. 2010, 201 (Suppl. S2), S134–S155.

18.Handley, B.L.; Roberts, C.H.; Butcher, R. A systematic review of historical and contemporary evidence of trachoma endemicity in the Pacific Islands. PLoS ONE 2018, 13, e0207393.

19.Iwasaki, A. Antiviral immune responses in the genital tract: Clues for vaccines. Nat. Rev. Immunol. 2010, 10, 699–711.

20.Johansson, M.; Lycke, N. Immunology of the human genital tract. Curr. Opin. Infect. Dis. 2003, 16, 43–49.

21.Kavanagh, K.; Wallace, L.A.; Robertson, C.; Wilson, P.; Scoular, A. Estimation of the risk of tubal factor infertility associated with genital chlamydial infection in women: A statistical modelling study. Int. J. Epidemiol. 2013, 42, 493–503.

22.Kobayashi, S.; Kida, I. Reactive arthritis: Recent advances and clinical manifestations. Intern. Med. 2005, 44, 408–412.

23.Malhotra, M.; Sood, S.; Mukherjee, A.; Muralidhar, S.; Bala, M. Genital Chlamydia trachomatis: An update. Indian J. Med. Res. 2013, 138, 303–316.

24.Margaret, G. Pelvic inflammatory disease. Am. Fam. Physician 2012, 85, 791–796.

25.Mestecky, J.; Alexander, R.C.; Wei, Q.; Moldoveanu, Z. Methods for evaluation of humoral immune responses in human genital tract secretions. Am. J. Reprod. Immunol. 2011, 65, 361–367.

26.Meyer, T. Diagnostic Procedures to Detect Chlamydia trachomatis Infections. Microorganisms 2016, 4, 25.

27.Mohseni, M.; Sung, S.; Takov, V. Chlamydia. In StatPearls; StatPearls Publishing: Treasure Island, FL, USA, 2022; [Updated 18 September 2022]. Available online: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537286/ (accessed on 18 November 2022).

28.Naglak, E.K.; Morrison, S.G.; Morrison, R.P. IFNgamma is required for optimal antibody-mediated immunity against genital Chlamydia infection. Infect. Immun. 2016, 84, 3232–3242.

29.Naz, R.K. Female genital tract immunity: Distinct immunological challenges for vaccine development. J. Reprod. Immunol. 2012, 93, 1–8.

30.Norrby-Teglund, A.; Ihendyane, N.; Kansal, R.; Basma, H.; Kotb, M.; Andersson, J.; Hammarström, L. Relative neutralizing activity in polyspecific IgM, IgA, and IgG preparations against group A streptococcal superantigens. Clin. Infect. Dis. 2000, 31, 1175–1182.

31.Nwokolo, N.C.; Dragovic, B.; Patel, S.; Tong, C.Y.; Barker, G.; Radcliffe, K. 2015 UK national guideline for the management of infection with Chlamydia trachomatis. Int. J. STD AIDS 2016, 27, 251–267.

32.O’Connell, C.M.; Ferone, M.E. Chlamydia trachomatis Genital Infections. Microb. Cell 2016, 3, 390–403.

33.Onoh, R.C.; Mgbafuru, C.C.; Onubuogu, S.E.; Ugwuoke, I. Fitz-Hugh-Curtis syndrome: An incidental diagnostic finding in an infertility workup. Niger. J. Clin. Pract. 2016, 19, 834–836.

34.Prashanth, R.; Thandra, K.C.; Limaiem, F. Lymphogranuloma Venereum. In StatPeals; StatPearls Publishing: Treasure Island, FL, USA, 2019.

35.Price, M.J.; Ades, A.; Soldan, K.; Welton, N.J.; Macleod, J.; Simms, I.; DeAngelis, D.; Turner, K.M.; Horner, P.J. The natural history of Chlamydia trachomatis infection in women: A multi-parameter evidence synthesis. Health Technol. Assess. 2016, 20, 1–250.

36.Russell, A.N.; Zheng, X.; O’Connell, C.M.; Wiesenfeld, H.C.; Hillier, S.L.; Taylor, B.D.; Picard, M.D.; Flechtner, J.B.; Zhong, W.; Frazer, L.C.; et al. Identification of Chlamydia trachomatis antigens recognized by T Cells from highly exposed women who limit or resist genital tract infection. J. Infect. Dis. 2016, 214, 1884–1892.

37.Russell, M.W.; Mestecky, J. Humoral immune responses to microbial infections in the genital tract. Microbes Infect. 2002, 4, 667–677.

38.Steiner, A.Z.; Diamond, M.P.; Legro, R.S.; Schlaff, W.D.; Barnhart, K.T.; Casson, P.R.; Christman, G.M.; Alvero, R.; Hansen, K.R.; Geisler, W.M.; et al. Chlamydia trachomatis immunoglobulin G3 seropositivity is a predictor of reproductive outcomes in infertile women with patent fallopian tubes. Fertil Steril. 2015, 104, 1522–1526.

39.Tipple, M.A.; Beem, M.O.; Saxon, E.M. Clinical characteristics of the afebrile pneumonia associated with Chlamydia trachomatis infection in infants less than 6 months of age. Pediatrics 1979, 63, 192–197.

40.Tjahyadi, D.; Ropii, B.; Tjandraprawira, K.D.; Parwati, I.; Djuwantono, T.; Permadi, W.; Li, T. Female urogenital chlamydia: Epidemiology, Chlamydia on pregnancy, current diagnosis, and treatment. Ann. Med. Surg. 2022, 75, 103448.

41.US Preventive Services Task Force. Screening for Chlamydia and Gonorrhea: US Preventive Services Task Force Recommendation Statement. JAMA 2021, 326, 949–956.

42.Wang, Y.-Y.; Kannan, A.; Nunn, K.L.; Murphy, M.A.; Subramani, D.B.; Moench, T.; Cone, R.; Lai, S.K. IgG in cervicovaginal mucus traps HSV and prevents vaginal herpes infections. Mucosal Immunol. 2014, 7, 1036–1044.

43.Workowski, K.A.; Bachmann, L.H.; Chan, P.A.; Johnston, C.M.; Muzny, C.A.; Park, I.; Reno, H.; Zenilman, J.M.; Bolan, G.A. Sexually transmitted infections treatment guidelines, 2021. MMWR Recomm. Rep. 2021, 70, 1–187.

44.Wright, P.F. Inductive/effector mechanisms for humoral immunity at mucosal sites. Am. J. Reprod. Immunol. 2011, 65, 248–252.

45.Zar, H.J. Neonatal chlamydial infections. Pediat. Drugs 2005, 7, 103–110.

46.Zikic, A.; Schünemann, H.; Wi, T.; Lincetto, O.; Broutet, N.; Santesso, N. Treatment of Neonatal Chlamydial Conjunctivitis: A Systematic Review and Meta-analysis. J. Pediatric Infect. Dis. Soc. 2018, 7, e107–e115.

 

SUMBER:

Pudjiatmoko dan Romadona Triada. Mengenali Gejala Klinis Infeksi Chlamydia trachomatis dan Uji Diagnosisnya. Buletin Penyakit Zoonosa Edisi 39, hal 3-10. Oktober 2023.