Penyakit menular seksual sering kali
dianggap mudah dikenali karena adanya gejala khas, namun Chlamydia
trachomatis justru menjadi pengecualian yang berbahaya. Infeksi ini
dijuluki sebagai “silent infection” karena sebagian besar penderitanya
tidak menunjukkan tanda-tanda klinis apa pun, tetapi diam-diam dapat
menyebabkan kerusakan serius pada sistem reproduksi, bahkan menimbulkan
infertilitas permanen. Di balik diamnya infeksi ini tersembunyi ancaman global:
jutaan orang terinfeksi setiap tahun tanpa disadari, dan banyak di antaranya
baru mengetahui saat komplikasi berat seperti penyakit radang panggul atau
kehamilan ektopik muncul. Kondisi ini menjadikan klamidia bukan hanya masalah
individu, tetapi juga tantangan besar bagi kesehatan masyarakat dunia. Oleh
karena itu, mengenali gejala klinis, memahami perjalanan infeksi, serta
mengetahui metode diagnosis yang akurat menjadi langkah penting dalam mencegah
dampak jangka panjang yang sering kali tidak terdeteksi hingga terlambat.
Banyak pasien
penderita klamidia tidak menunjukkan gejala, namun sebagian kecil orang
mengalami gejala bergantung pada bagian tubuh yang terinfeksi. Setiap wanita,
pria, dan bayi baru lahir yang terinfeksi dapat menunjukkan gejala-khasnya
masing-masing.
Chlamydia trachomatis merupakan
penyebab paling umum infeksi menular seksual di dunia. Data epidemiologis dan
klinis mengenai tingkat infeksi klamidia sulit dipastikan karena keterbatasan
dalam skrining dan pelaporan infeksi. Tindakan skrining besar-besaran belum
diterapkan di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, sehingga menyebabkan
ketidak-akuratan dalam menghitung tingkat prevalensi dan kejadian [40].
Selain itu,
individu tanpa gejala tanpa sadar dapat menyebarkan penyakit ini ke pasangan
seksualnya, dan meskipun sudah diobati, infeksi ulang sering terjadi [32]. Diperkirakan
sekitar 75% wanita dan 50% pria tidak menunjukkan gejala [40]. Dalam keadaan
seperti ini, sulit untuk memperoleh data yang dapat diandalkan mengenai tingkat
infeksi. Tingkat prevalensi mungkin lebih tinggi daripada yang tercatat dalam
literatur.
Gejala pada Wanita
Pada wanita,
leher rahim merupakan tempat yang paling sering terinfeksi C. trachomatis [27]. Akibatnya, servisitis dapat terjadi pada
wanita dengan gejala ringan seperti keputihan, pendarahan, sakit perut, dan
disuria [14]. Beberapa wanita mungkin mengalami servisitis mukopurulen,
perdarahan endoserviks, dan perdarahan pascakoitus atau intermenstrual. Jika
infeksi naik dari leher rahim ke saluran reproduksi bagian atas, pasien akan
mengalami nyeri perut atau panggul, dan infeksi akan berkembang menjadi Pelvic inflammatory disease (PID) [27]. Selain
nyeri, gejala lain juga telah dilaporkan yaitu mual, muntah, demam, menggigil,
nyeri punggung bawah, disuria, dispareunia atau nyeri saat berhubungan seksual,
dan perdarahan setelah berhubungan seksual [24].
Pasien yang
didiagnosis PID dapat mengalami Fitz-Hugh-Curtis
syndrome (FHCS), atau perihepatitis,
suatu kondisi di mana hati dan permukaan peritoneum di sekitarnya mengalami
peradangan, yang menyebabkan nyeri kuadran kanan atas (Right upper quadrant / RUQ) atau nyeri pleuritik [27]. FHCS sering
dikaitkan dengan gejala PID seperti demam, nyeri perut bagian bawah dan
keputihan [33]; namun, hal ini dapat menjadi gawat karena menimbulkan gejala
seperti infertilitas, kehamilan ektopik, dan nyeri panggul kronis [3]. Selain
itu, PID terutama jika tidak diobati, dapat menyebabkan jaringan parut tuba fallopi akibat respon inflamasi yang intens dan
kronis [17]. Jaringan parut tuba fallopi dapat
menyebabkan Tubal factor infertility
(TFI) [16].
Komplikasi
lain dari infeksi klamidia yang tidak diobati atau sudah berlangsung lama pada
saluran reproduksi, khususnya saluran tuba fallopi,
dapat menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik [38]. Pada wanita hamil,
infeksi klamidia telah dikaitkan dengan akhir kehamilan yang tidak diharapkan
seperti ketuban pecah dini (Prelabor
Rupture of membrane / PROM), kelahiran prematur, berat badan lahir rendah,
hambatan pertumbuhan yang menyebabkan bayi kecil dan kematian neonatal [1].
Meskipun
jarang terjadi, wanita yang terinfeksi C.
trachomatis dapat mengalami uretritis, di mana frekuensi buang air kecil
dan disuria menjadi keluhan utama [27].
Gejala pada Pria
Pria yang
bergejala mungkin menunjukkan kombinasi manifestasi urogenital dan
ekstragenital. Infeksi urogenital pada pria dapat muncul dengan epididimitis,
merasakan nyeri testis unilateral yang disertai pembengkakan epididimis.
Uretritis juga merupakan tanda umum infeksi klamidia pada pria; pasien
mengalami disuria dan sering teramati keluarnya cairan dari uretra berwarna
putih abu-abu. Prostatitis ditandai dengan disuria, nyeri panggul, disfungsi
saluran kemih, dan disorgasmia [27].
Temuan
ekstragenital yaitu proktitis dan artritis reaktif. Proktitis, atau peradangan
rektum, terasa nyeri jika disebabkan oleh serovar L1–L3, dan pasien menderita
keluarnya cairan dari rektum, pendarahan, demam, dan malaise. Kondisi ini
hampir secara eksklusif terbatas pada pria yang berhubungan seks dengan pria [27].
Artritis reaktif adalah manifestasi lain dari infeksi klamidia. Diperkirakan 1%
pria dengan uretritis yang disebabkan oleh C.
trachomatis mengalami arthritis reaktif [22]. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan oligoartritis asimetris, biasanya pada ekstremitas bawah, dan nyeri
pada jari tangan, kaki, atau tumit. Pasien juga dapat mengalami trias
arthritis, uretritis, dan uveitis, suatu kondisi yang sebelumnya dikenal
sebagai sindrom Reiter [10].
Limfogranuloma Venereum (LGV)
LGV merupakan
manifestasi klinis dari infeksi klamidia yang terlihat pada wanita maupun pria.
LGV diklasifikasikan sebagai penyakit ulseratif pada daerah genital [34]. Penyakit
ini mengikuti perjalanan tiga tahap [12]. Terbentuknya ulkus genital yang tidak
menimbulkan rasa sakit menandai tahap pertama atau primer. Penyakit ini sering
kali luput dari perhatian karena ukuran dan lokasinya serta dapat sembuh secara
spontan.
Perkembangan
limfadenopati inguinal dan/atau femoralis biasanya terjadi setelah memalui
tahap infeksi sekunder. Selama tahap ini, pasien mungkin mengalami penyakit
mirip proktokolitis yang ditandai dengan disuria, diskezia atau kesulitan buang
air besar, nyeri perut, dubur, dan dubur, dan tenesmus, atau sering ingin buang
air besar. Telah diketahui gejala konstitusional seperti demam, sakit kepala dan
nyeri tubuh.
Tahap akhir
infeksi muncul ketika penyakit ini tidak diobati dan ditandai dengan
penyempitan, fibrosis, pembentukan fistula di daerah anogenital, dan nekrosis
serta pecahnya kelenjar getah bening yang terkena [12]. Pada pria secara
keseluruhan tampak pada awal perjalanan penyakit ketika gejala akut muncul,
sedangkan pada wanita tampak pada tahap akhir infeksi ketika timbul komplikasi [9].
Gejala Trakhoma
Trachoma
merupakan penyebab utama kebutaan di dunia saat ini. Gambaran umum pada gejala
awal yaitu kemerahan, gatal dan iritasi pada mata dan kelopak mata [18]. Juga
terlihat keluar cairan, bengkak, nyeri dan fotofobia. Dua bentuk trachoma telah
diketahui yaitu bentuk aktif dan bentuk sikatrik kronis.
Trachoma
aktif lebih sering terjadi pada anak-anak dan ditandai dengan konjungtivitis
folikular dan papiler campuran. Kondisi ini terlihat adanya sekret mukopurulen,
keratitis epitel superior, dan vaskularisasi kornea. Dalam kasus yang parah
dapat terjadi hipertrofi papiler.
Infeksi
berulang menimbulkan bentuk trakoma sikatrik, yang terlihat pada orang dewasa
paruh baya. Tahap kronis ini ditandai dengan jaringan parut, terutama di
lempeng tarsal atas, disertai vaskularisasi kornea, trikiasis, dan
distichiasis. Seiring waktu, rusaknya sel goblet di konjungtiva dan duktus
kelenjar lakrimal memicu kekeringan pada mata. Proses ini berkembang akan menimbulkan
kekeruhan kornea dan kebutaan merupakan tanda kerusakan permanen [2].
Gejala pada Neonatus
Neonatus (bayi
bulan pertama kelahiran) dapat terinfeksi C.
trachomatis dari ibunya ketika melewati saluran vagina saat dilahirkan.
Interaksi dengan sekret genital yang terinfeksi dapat menyebabkan
konjungtivitis, atau oftalmia neonatorum, pada bayi baru lahir, ditandai dengan
eritema dan edema pada kelopak mata, konjungtiva palpebra, dan sekret
konjungtiva [46]. Konjungtivitis dianggap sebagai manifestasi klinis klamidia
yang paling umum pada bayi baru lahir [27]. Gejala biasanya muncul pada satu
mata 5 – 14 hari setelah diahirkan dan mata kedua biasanya meradang setelah 2 –
7 hari [7]. Keluarnya cairan pada awalnya encer tetapi kemudian menjadi
bernanah setelah beberapa hari [45]. Jika tidak diobati, timbulnya jaringan
parut pada kornea dan konjungtiva telah dilaporkan [4].
Aspirasi
sekret genital yang terinfeksi saat melahirkan dapat menyebabkan pneumonia pada
bayi baru lahir [7]. Gejala muncul pada bayi usia antara 4 dan 12 minggu. Pasien
biasanya tidak demam, menimbulkan batuk staccato
paroksismal, dan mungkin mengalami takipnea
[27]. Selain tanda-tanda klinis ini, hidung tersumbat dan sekret hidung kental
juga sering terjadi [39]. Rontgen dada akan menunjukkan infiltrat paru yang
menyebar disertai hiperinflasi [45]. Rales
juga dapat terdengar pada auskultasi selama pemeriksaan fisik [27]. Jika tidak
diobati, bayi lebih rentan terkena penyakit paru kronis, termasuk asma [45].
Komplikasi Klinis
Setiap
infeksi yang terdiagnosis harus diobati karena kurangnya penatalaksanaan
terapeutik dapat mengakibatkan perkembangan penyakit dan komplikasi yang
ditandai dengan gejala yang bertahan lama.
Komplikasi
yang paling parah berhubungan dengan penanganan dan pengobatan infeksi klamidia
yang tidak efektif. Misalnya, prevalensi Pelvic
inflammatory disease (PID) setelah infeksi klamidia ditemukan antara 3,0%
dan 30,0% [35]. Kehamilan ektopik juga dilaporkan antara 0,2% hingga 2,7% pada wanita
yang terinfeksi [13], sedangkan TFI terdeteksi pada 0,1% hingga 6,0% pada wanita
yang terinfeksi [21].
Skrining untuk Klamidia
Satuan Tugas
Layanan Pencegahan Amerika Serikat (USPSTF) merekomendasikan agar semua wanita
yang aktif secara seksual berusia 24 tahun atau lebih muda menjalani
pemeriksaan klamidia setiap tahun. Protokol serupa harus diterapkan pada wanita
berusia 25 tahun ke atas yang memiliki risiko lebih tinggi terhadap infeksi
(pasangan seksual baru, lebih dari satu pasangan seksual, pasangan seksual
dengan beberapa pasangan seksual secara bersamaan, atau pasangan seksual dengan
diagnosis Premenstrual syndrome (PMS)
[41].
Selain itu,
wanita hamil di bawah usia 25 tahun dan mereka yang berusia di atas 25 tahun
yang memiliki peningkatan risiko infeksi (pasangan seksual baru, lebih dari
satu pasangan seksual, pasangan seksual dengan beberapa pasangan seksual
bersamaan, atau pasangan seksual dengan diagnosis PMS) harus diskrining pada
kunjungan prenatal pertama mereka. Mereka yang berisiko tinggi pada saat itu
harus menjalani tes ulang pada trimester ketiga [43].
Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) juga merekomendasikan skrining pada
populasi pria tertentu, terutama pria yang aktif secara seksual di wilayah dan
populasi dengan prevalensi tinggi. Skrining tahunan harus dilakukan pada pria
yang berhubungan seks dengan pria; namun, pengujian yang lebih sering disarankan
pada kelompok yang melakukan perilaku seksual berisiko tinggi atau jika
pasangan seksual diketahui memiliki banyak pasangan. Individu transgender harus
diskrining berdasarkan partisipasi seksual dan anatomi masing-masing. Selain
itu, CDC merekomendasikan skrining untuk wanita di bawah usia 35 tahun dan
laki-laki di bawah usia 30 tahun pada saat memasuki lembaga pemasyarakatan [43].
Dalam semua
situasi yang disebutkan di atas, pasien juga harus diskrining untuk mengetahui
adanya gonore, yang sering terjadi bersamaan dengan klamidia [41]. Dalam kasus
infeksi klamidia atau gonokokus, pasien harus menjalani tes ulang tiga bulan
setelah memulai pengobatan, terlepas dari status infeksi pasangan seksualnya [43].
Diagnosis dan Pengambilan Sampel
Tes
amplifikasi asam nukleat (NAAT) adalah tes yang paling sensitif dengan
spesifisitas yang mirip dengan kultur sel dan dianggap sebagai metode pilihan
untuk deteksi C. trachomatis. [26]. Sejak
saat itu, tes tersebut telah menggantikan metode kultur sebagai diagnosis
standar emas. Tes antigen, seperti enzim immunoassay, tes antibodi fluoresen
langsung (direct fluorescent antibody
/ DFA), dan tes diagnostik cepat, yang pernah digunakan untuk deteksi dan
diagnosis, juga tidak lagi direkomendasikan karena ketidakakuratan dalam
prosedur pemeriksaan diagnostik [31].
Ada banyak
alasan untuk menukar cara diagnosis ini. Pertama, karena Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) tidak bergantung pada
patogen menular atau patogen yang hidup, spesimen dapat dengan mudah diambil dan
dikumpulkan [26].
Selain itu,
sampel non-invasif seperti urin dapat dianalisis, menskrining infeksi pada
individu tanpa gejala yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Hal ini
terbukti menguntungkan karena sebagian besar infeksi klamidia kelompok pada
populasi wanita dan kelompok pada populasi pria tidak menunjukkan gejala [23].
Terakhir,
karena sebagian besar NAAT bergantung pada polymerase
chain reaction (PCR) dan probe berlabel fluoresensi untuk menemukan
rangkaian DNA yang diperkuat secara real-time,
sehingga proses pengujian menjadi lebih efisien, dan waktu durasi pengujian
berkurang. Hasilnya dapat dipastikan dengan cepat dan bahkan seringkali diperoleh
dalam beberapa jam [26].
Untuk
mendiagnosis klamidia genital menggunakan NAAT, sampel usap vagina dikumpulkan
pada wanita dan urin dikumpulkan pada pria. Untuk infeksi klamidia rektal atau
faring, pengujian di lokasi paparan diperlukan [8]. Oftalmia klamidia pada
neonatus harus didiagnosis melalui tes kultur jaringan dan nonkultur misalnya
tes DFA dan NAAT.
Kedua metode
tersebut sensitif dan spesifik [43]. DFA merupakan satu-satunya tes nonkultur
yang disetujui Food and Drug
Administration (FDA) untuk mendeteksi klamidia dari usap konjungtiva (NAAT
tidak disetujui oleh FDA untuk mendeteksi klamidia dari usap konjungtiva).
Untuk kultur dan DFA, spesimen harus mengandung sel konjungtiva (diperoleh dari
kelopak mata yang dibalik), bukan eksudat saja [43,46].
Selain
menggunakan tes NAAT dan DFA, antibodi spesifik klamidia dapat dideteksi dalam
serum pasien. Dua antibodi utama dalam sekresi genital yang dapat mencegah
penularan C. trachomatis adalah IgG
terhadap C. trachomatis, isotipe
dominan, dan IgA sekretorik polimer [20].
Kedua
antibodi tersebut terutama disintesis oleh sel plasma lokal di saluran genital
wanita bagian atas (Female genital tract
/ FGT) [11]. Kedua isotipe antibodi ini mencegah infeksi yang disebabkan oleh C. trachomatis dengan menghalangi
masuknya bakteri ke dalam sel inang. Antibodi menjebak bakteri dalam lendir di
lumen FGT [42], atau menetralisir patogen intraseluler dalam sel epitel
kolumnar selama transportasi [5].
Antibodi
meningkatkan opsonophagocytosis dan degradasi klamidia, membatasi proses
infektif (yang seharusnya bergantung pada sintesis interferon-gamma (IFN-γ)) [28].
Sel plasma yang mensintesis IgG melawan C.
trachomatis ditemukan di FGT, namun IgG genital terutama berasal dari
sirkulasi [25]. Sebaliknya, sel plasma subepitel menghasilkan IgM dan IgA
genital [44], dan hampir 70% IgA diproduksi secara lokal pada wanita [37].
Kelas IgA dan
IgM diketahui bereaksi cepat terhadap infeksi ulang akut. Lokasi utama produksi
IgA sekretori adalah di leher rahim [19]. Demikian pula, IgA sekretorik
merupakan isotipe dominan yang disekresikan oleh mukosa usus, namun pada FGT,
rasio IgG terhadap IgA sekretorik yang lebih besar telah diamati [29]. Penelitian
longitudinal pada manusia menunjukkan bahwa respons IFN-γ sel T CD4 spesifik
klamidia (tetapi bukan titer IgG) dapat mengurangi risiko infeksi ulang pada
wanita dengan pajanan tinggi [36].
Titer IgG
yang tinggi merupakan penanda paparan klamidia berulang dan/atau
berkepanjangan, namun tidak dapat melindungi terhadap infeksi ulang [15]. Titer
serum anti-EB IgG berkaitan dengan penurunan keparahan serviks dan penurunan
risiko infeksi endometrium [36]. Peran antibodi anti-IgG tidak dapat
disimpulkan. Beberapa data menunjukkan bahwa anti-EB IgG tidak efektif dalam menurunkan
risiko infeksi endometrium [30]. Sebaliknya, penelitian lain melaporkan bahwa
IgA anti-klamidia (tetapi bukan IgG) dapat menurunkan risiko infeksi
endometrium dan mencegah pembentukan salpingitis [6].
DAFTAR PUSTAKA
1.Adachi, K.N.; Nielsen-Saines, K.; Klausner, J.D. Chlamydia trachomatis Screening and Treatment in
Pregnancy to Reduce Adverse Pregnancy and Neonatal Outcomes: A Review. Front. Public Health. 2021, 9, 531073.
2.Ahmad, B.; Patel, B.C. Trachoma. In StatPearls; StatPearls Publishing: Treasure Island,
FL, USA, 2022.
3.Bebear, C.; de Barbeyrac, B. Genital Chlamydia trachomatis infections. Clin. Microbiol. Infect. 2009, 15, 4–10.
4.Bialasiewicz, A.A.; Junkenitz, A.; Jahn, G.J. Corneal
symptoms in keratoconjunctivitis caused by Chlamydia. Klin.
Mon. Fur Augenheilkd. 1985,
187, 36–39.
5.Bidgood, S.R.; Tam, J.C.H.; McEwan, W.A.; Mallery, D.L.;
James, L.C. Translocalized IgA mediates neutralization and stimulates innate
immunity inside infected cells. Proc. Natl. Acad. Sci.
USA 2014, 111, 13463–13468.
6.Brunham, R.C.; Peeling, R.; Maclean, I.; McDowell, J.;
Persson, K.; Osser, S. Postabortal Chlamydia
trachomatis salpingitis: Correlating risk with antigen-specific
serological responses and with neutralization. J.
Infect. Dis. 1987, 155, 749–755.
7.Carol, P.; Pratt, R.J. Neonatal conjunctivitis and
pneumonia due to chlamydia infection. Infant 2006, 2,
16–17.
8.Centers for Disease Control and Prevention. Chlamydia—CDC
Fact Sheet (Detailed). 2021. Available online: https://www.cdc.gov/std/chlamydia/stdfact-chlamydia-detailed.htm (accessed on 7 December 2022).
9.Ceovic, R.; Gulin, S.J. Lymphogranuloma venereum:
Diagnostic and treatment challenges. Infect. Drug
Resist. 2015, 8, 39–47.
10.Cheeti, A.;
Chakraborty, R.K.; Ramphul, K. Reactive arthritis. In StatPeals;
StatPearls Publishing: Treasure Island, FL, USA, 2018.
11.Crowley-Nowick,
P.A.; Bell, M.; Edwards, R.P.; Mccallister, D.; Gore, H.; Kanbour-Shakir, A.;
Mestecky, J.; Partridge, E.E. Normal uterine cervix: Characterization of
isolated lymphocyte phenotypes and immunoglobulin secretion. Am. J. Reprod. Immunol. 1995, 34, 241–247.
12.Dal Conte,
I.; Mistrangelo, M.; Cariti, C.; Chiriotto, M.; Lucchini, A.; Vigna, M.;
Morino, M.; Di Perri, G. Lymphogranuloma venereum: An old, forgotten
re-emerging systemic disease. Panminerva Med. 2014, 56,
73–83.
13.Davies, B.;
Turner, K.M.; Frølund, M.; Ward, H.; May, M.T.; Rasmussen, S.; Benfield, T.;
Westh, H. Risk of reproductive complications following chlamydia testing: A
population-based retrospective cohort study in Denmark. Lancet Infect. Dis. 2016, 16, 1057–1064.
14.Detels, R.;
Green, A.M.; Klausner, J.D.; Katzenstein, D.; Gaydos, C.; Handsfield, H.;
Pequegnat, W.; Mayer, K.; Hartwell, T.D.; Quinn, T.C. The incidence and
correlates of symptomatic and asymptomatic Chlamydia trachomatis and Neisseria
gonorrhoeae infections in selected populations in five countries. Sex. Transm.
Dis. 2011, 38, 503–509.
15.El Hakim,
E.A.; Gordon, U.D.; Akande, V.A. The relationship between serum Chlamydia
antibody levels and severity of disease in infertile women with tubal damage. Arch. Gynecol. Obstet. 2010, 281, 727–733.
16.Hafner, L.M.
Pathogenesis of fallopian tube damage caused by Chlamydia
trachomatis infections. Contraception 2015, 92,
108–115.
17.Haggerty,
C.L.; Gottlieb, S.L.; Taylor, B.D.; Low, N.; Xu, F.; Ness, R.B. Risk of
sequelae after Chlamydia trachomatis genital
infection in women. J. Infect. Dis. 2010, 201
(Suppl. S2), S134–S155.
18.Handley,
B.L.; Roberts, C.H.; Butcher, R. A systematic review of historical and
contemporary evidence of trachoma endemicity in the Pacific Islands. PLoS ONE 2018,
13, e0207393.
19.Iwasaki, A.
Antiviral immune responses in the genital tract: Clues for vaccines. Nat. Rev. Immunol. 2010, 10, 699–711.
20.Johansson,
M.; Lycke, N. Immunology of the human genital tract. Curr.
Opin. Infect. Dis. 2003, 16, 43–49.
21.Kavanagh, K.;
Wallace, L.A.; Robertson, C.; Wilson, P.; Scoular, A. Estimation of the risk of
tubal factor infertility associated with genital chlamydial infection in women:
A statistical modelling study. Int. J. Epidemiol.
2013, 42,
493–503.
22.Kobayashi,
S.; Kida, I. Reactive arthritis: Recent advances and clinical manifestations. Intern. Med. 2005,
44, 408–412.
23.Malhotra, M.;
Sood, S.; Mukherjee, A.; Muralidhar, S.; Bala, M. Genital Chlamydia trachomatis: An update. Indian J. Med. Res. 2013, 138, 303–316.
24.Margaret, G.
Pelvic inflammatory disease. Am. Fam. Physician 2012, 85,
791–796.
25.Mestecky, J.;
Alexander, R.C.; Wei, Q.; Moldoveanu, Z. Methods for evaluation of humoral
immune responses in human genital tract secretions. Am.
J. Reprod. Immunol. 2011,
65, 361–367.
26.Meyer, T.
Diagnostic Procedures to Detect Chlamydia trachomatis Infections. Microorganisms
2016, 4,
25.
27.Mohseni, M.;
Sung, S.; Takov, V. Chlamydia. In StatPearls;
StatPearls Publishing: Treasure Island, FL, USA, 2022; [Updated 18 September
2022]. Available online: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537286/ (accessed on 18 November 2022).
28.Naglak, E.K.;
Morrison, S.G.; Morrison, R.P. IFNgamma is required for optimal
antibody-mediated immunity against genital Chlamydia infection. Infect. Immun. 2016,
84, 3232–3242.
29.Naz, R.K.
Female genital tract immunity: Distinct immunological challenges for vaccine
development. J. Reprod. Immunol. 2012, 93,
1–8.
30.Norrby-Teglund,
A.; Ihendyane, N.; Kansal, R.; Basma, H.; Kotb, M.; Andersson, J.; Hammarström,
L. Relative neutralizing activity in polyspecific IgM, IgA, and IgG
preparations against group A streptococcal superantigens. Clin. Infect. Dis. 2000, 31, 1175–1182.
31.Nwokolo,
N.C.; Dragovic, B.; Patel, S.; Tong, C.Y.; Barker, G.; Radcliffe, K. 2015 UK
national guideline for the management of infection with Chlamydia trachomatis.
Int. J. STD AIDS 2016, 27, 251–267.
32.O’Connell,
C.M.; Ferone, M.E. Chlamydia trachomatis Genital
Infections. Microb. Cell 2016, 3, 390–403.
33.Onoh, R.C.;
Mgbafuru, C.C.; Onubuogu, S.E.; Ugwuoke, I. Fitz-Hugh-Curtis syndrome: An
incidental diagnostic finding in an infertility workup. Niger. J. Clin. Pract. 2016, 19, 834–836.
34.Prashanth,
R.; Thandra, K.C.; Limaiem, F. Lymphogranuloma Venereum. In StatPeals; StatPearls Publishing: Treasure Island, FL,
USA, 2019.
35.Price, M.J.;
Ades, A.; Soldan, K.; Welton, N.J.; Macleod, J.; Simms, I.; DeAngelis, D.;
Turner, K.M.; Horner, P.J. The natural history of Chlamydia
trachomatis infection in women: A multi-parameter evidence synthesis. Health Technol. Assess. 2016, 20, 1–250.
36.Russell,
A.N.; Zheng, X.; O’Connell, C.M.; Wiesenfeld, H.C.; Hillier, S.L.; Taylor,
B.D.; Picard, M.D.; Flechtner, J.B.; Zhong, W.; Frazer, L.C.; et al.
Identification of Chlamydia trachomatis antigens
recognized by T Cells from highly exposed women who limit or resist genital
tract infection. J. Infect. Dis. 2016, 214,
1884–1892.
37.Russell,
M.W.; Mestecky, J. Humoral immune responses to microbial infections in the
genital tract. Microbes Infect. 2002, 4,
667–677.
38.Steiner,
A.Z.; Diamond, M.P.; Legro, R.S.; Schlaff, W.D.; Barnhart, K.T.; Casson, P.R.;
Christman, G.M.; Alvero, R.; Hansen, K.R.; Geisler, W.M.; et al. Chlamydia trachomatis immunoglobulin G3 seropositivity
is a predictor of reproductive outcomes in infertile women with patent
fallopian tubes. Fertil Steril. 2015, 104,
1522–1526.
39.Tipple, M.A.;
Beem, M.O.; Saxon, E.M. Clinical characteristics of the afebrile pneumonia
associated with Chlamydia trachomatis infection
in infants less than 6 months of age. Pediatrics
1979, 63,
192–197.
40.Tjahyadi, D.;
Ropii, B.; Tjandraprawira, K.D.; Parwati, I.; Djuwantono, T.; Permadi, W.; Li,
T. Female urogenital chlamydia: Epidemiology, Chlamydia on pregnancy, current
diagnosis, and treatment. Ann. Med. Surg. 2022, 75,
103448.
41.US Preventive
Services Task Force. Screening for Chlamydia and Gonorrhea: US Preventive
Services Task Force Recommendation Statement. JAMA
2021, 326,
949–956.
42.Wang, Y.-Y.;
Kannan, A.; Nunn, K.L.; Murphy, M.A.; Subramani, D.B.; Moench, T.; Cone, R.;
Lai, S.K. IgG in cervicovaginal mucus traps HSV and prevents vaginal herpes
infections. Mucosal Immunol. 2014, 7,
1036–1044.
43.Workowski,
K.A.; Bachmann, L.H.; Chan, P.A.; Johnston, C.M.; Muzny, C.A.; Park, I.; Reno,
H.; Zenilman, J.M.; Bolan, G.A. Sexually transmitted infections treatment
guidelines, 2021. MMWR Recomm. Rep. 2021, 70,
1–187.
44.Wright, P.F.
Inductive/effector mechanisms for humoral immunity at mucosal sites. Am. J. Reprod. Immunol. 2011, 65, 248–252.
45.Zar, H.J.
Neonatal chlamydial infections. Pediat. Drugs 2005, 7,
103–110.
46.Zikic, A.;
Schünemann, H.; Wi, T.; Lincetto, O.; Broutet, N.; Santesso, N. Treatment of
Neonatal Chlamydial Conjunctivitis: A Systematic Review and Meta-analysis. J. Pediatric Infect. Dis. Soc. 2018, 7, e107–e115.
SUMBER:
Pudjiatmoko dan Romadona Triada. Mengenali Gejala Klinis
Infeksi Chlamydia trachomatis dan Uji Diagnosisnya.
Buletin Penyakit Zoonosa Edisi 39, hal 3-10. Oktober 2023.