Amalan yang Paling Dicintai Allâh
Dari Abu Amr asy-Syaibâni –namanya Sa’d bin Iyâs-
berkata, “Pemilik rumah ini telah menceritakan kepadaku –sambil menunjuk rumah
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dengan tangannya, ia berkata, ‘Aku
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Amalan apakah yang paling
dicintai Allâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada
waktunya.” Aku (Abdullah bin Mas’ud) mengatakan, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Berbakti kepada dua orang tua.” Aku bertanya lagi,
‘Lalu apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan
Allâh.”
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu
berkata, “Itu semua telah diceritakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepadaku, sekiranya aku menambah (pertanyaanku), pasti Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menambah (jawaban Beliau) kepadaku.”
PERAWI HADITS
Abu Amr Sa’d bin Iyâs Asy-Syaibâni
Abu Amr mendapati masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (mendapati kemunculan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa awal
dakwah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun dia baru masuk Islam
setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat). Ia berkata, “Aku ingat bahwa
aku mendengar kemunculan seorang Nabi di Tihâmah, sedangkan ketika itu aku
menggembala unta keluargaku di Kâzhimah.”
Abu Amr ini adalah seorang tabi’i mukhadhram[2]. Imam
Muslim menghitung tabi’i mukhadhram itu berjumlah 20 orang, namun beliau
melupakan sekelompok lainnya; di antaranya al-Ahnaf bin Qais dan Abu Muslim
al-Khaulâni.
Abu Amr hidup 120 tahun. Dia rahimahullah mengajarkan
al-Quran di Masjid Agung (al-Masjid al-A’zham). Âshim bin Bahdalah
membaca dan mengkaji al-Quran kepadanya.
Abu Amr adalah seorang yang telah disepakati
ketsiqahannya. Ibnu Hibbân berkata, tampaknya ia wafat pada tahun 101 H.
Sedangkan Abu Umar (Ibnu Abdil Barr) berkata ia meninggal tahun 95. Adz-Dzahabi
berkata, “Ada yang mengatakan ia meninggal tahun 98.”
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu
Beliau adalah Abu Abdirrahman al-Hudzali Radhiyallahu
anhu , salah seorang as-sâbiqûnal awwalûn (yang mula-mula masuk Islam). Ia
adalah sekutu dari Bani Zuhrah. Ibundanya Ummu Abdillah binti Abd dari bani
Hudzail juga. Beliau Radhiyallahu anhu turut serta dalam perang Badr dan peperangan
lainnya. Dia yang membunuh Abu Jahl pada perang Badr[3]. Ia turut serta dalam
dua hijrah (ke Habasyah dan Madinah); mendapati shalat ke arah dua kiblat.
Beliau masuk Islam sebelum Umar
Radhiyallahu anhu . At-Thabrâni meriwayatkan darinya bahwa ia berkata, “Aku
dapati diriku ini orang keenam yang masuk Islam, (di mana ketika itu) tidak ada
Muslim di atas muka bumi ini selain kami.”
Dia adalah pemegang rahasia
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang mengurusi urusan kasur, siwak,
terompah dan bersuci Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam mempersaksikan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu sebagai penghuni
surga yang disebutkan dalam rangkaian sepuluh orang yang dijamin masuk surga
dalam hadits hasan yang diriwayatkan Abu Umar dalam kitabnya al-Istî’âb.[4]
Beliau termasuk yang menghimpun
al-Quran pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah
seorang dari empat Sahabat yang kaum Muslimin diperintahkan untuk mengambil
al-Qur’an dari mereka. Empat Sahabat ini selain Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu anhu adalah Mu’adz, Ubayy, dan yang keempat Sâlim Maula Abi
Hudzaifah Radhiyallahu anhum.
Beliau Radhiyallahu anhu
berperawakan pendek dan kurus; di mana kaum lelaki yang berperawakan tinggi
kala duduk hampir sama dengan dia padahal ia dalam posisi berdiri. Rambutnya sampai pada cuping telinganya. Dan beliau tidak
merubah warna rambut ubannya. Beliau mempunyai dua betis yang kecil. Ilmunya
banyak, jiwanya penuh dengan kedalaman ilmu; dan mempunyai kedudukan tinggi.
Beliau mempunyai berbagai fatwa dan juga mempunyai qira’ah al-Quran yang
menyendiri dari lainnya sebagaimana yang sudah diketahui.
Beliau Radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh, aku adalah
orang yang paling alim tentang Kitabullah, dan aku bukanlah Sahabat yang
terbaik. Tidak ada
satu surat pun, tidak juga satu ayat dalam Kitabullah, melainkan aku tahu dalam
hal apa itu diturunkan, dan kapan turunnya.” Dan tidak ada seorang pun yang
mengingkari Ibnu Mas’ud dalam ucapannya ini.
Riwayatnya dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ada 848 hadits; di mana al-Bukhâri dan Muslim menyepakati 64
hadits dari jumlah tersebut. Sedangkan yang hanya diriwayatkan oleh al-Bukhâri
tanpa Muslim berjumlah 21 hadits, sementara yang hanya diriwayatkan Imam Muslim
tanpa imam al-Bukhâri berjumlah 35 hadits. Ada sekelompok kalangan
Sahabat dan tabiin yang meriwayatkan hadits darinya.
Beliau Radhiyallahu anhu meninggal
pada 32 H. Ada yang mengatakan tahun 33, ada pula yang mengatakan 36 H, dalam
usia 60 lebih. Abu ad-Dardâ’ berkata,
“Sepeninggalnya, ia tidak meninggalkan orang yang sekaliber dengannya.” Ia
dimakamkan di Baqi’, ada yang mengatakan di Kufah. Az-Zubair yang menshalatkan
jenazahnya (yang menjadi imamnya) sesuai dengan wasiat yang ditujukan kepadanya.
Ada yang mengatakan yang menshalatkannya adalah Utsman Radhiyallahu anhu , ada
lagi yang mengatakan Ammâr.
FAWA’ID HADITS
1.Ucapan perawi:
Yang artinya:
Pemilik rumah ini telah menceritakan kepadaku –sambil
memberikan isyarat kearah rumah Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dengan
tangannya.
Disimpulkan dari ucapan ini, bahwa isyarat sudah cukup
sehingga tidak perlu lagi menyebut nama secara tegas. Isyarat sama dengan
penyebutan nama secara terang, bila menunjuk pada obyek yang ditunjuk sehingga
terbedakannya dari yang lainnya. Bahkan bisa saja untuk memahamkan sesuatu,
isyarat lebih mengena dan lebih mendalam daripada menyebut nama dengan jelas.
Karena isyarat tertuju (secara khusus) pada apa yang ditunjukkan oleh tangan
yang menunjuk, sedangkan isim ‘alam (nama) mungkin saja ada unsur kesamaan
dengan obyek lainnya. Oleh karena itu –wallâhu a’lam– sebagian pakar nahwu
(Gramatika Bahasa Arab) berpendapat bahwa isim isyârah (ini, itu dan yang
semisalnya) itu lebih tinggi tingkat ma’rifahnya daripada isim ‘alam (lebih
spesifik dalam menentukan -mendefinitifkan- sesuatu benda). Meskipun yang rajih
(lebih kuat) adalah pendapat kebalikannya.
2. Pertanyaan yang diajukan adalah tentang mencari amalan
yang paling utama, yang dilontarkan untuk menggelorakan semangat dalam
mengamalkannya dan menjaganya. Karena seorang hamba diperintahkan untuk
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sehingga apa yang lebih utama harus
ia dahulukan daripada amalan yang utama, dalam rangka meraih derajat yang
tinggi.
3. Kata amalan (a’mâl, jamak dari
‘amal), bisa diungkapkan untuk menyebut amalan hati dan amalan anggota badan.
Yang dimaksudkan di sini adalah amalan hati[5] dan amalan badan; yang mana
pertanyaan tersebut direspon dengan jawaban “shalat pada waktunya”. Dan secara
otomatis, niat pun menjadi kelaziman dari tuntutan amalan tersebut, bukan
karena maksud khusus dari hadits tersebut. Berkenaan dengan amalan hati, ada
amalan yang utama, ada pula yang lebih utama; seperti iman misalnya, di mana
ini telah ditandaskan dalam berbagai hadits yang shahih. Di antaranya hadits
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
tentang amalan apakah yang paling utama?
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang amalan apakah yang
paling utama? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iman kepada Allâh
dan Rasul-Nya.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya lagi,
“Kemudian apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan
Allâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya kembali, “Lalu apa?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Haji yang mabrur.”[6] Yang
dimaksudkan dengan amalan-amalan dalam hadits ini adalah amalan badan dan hati.
SUMBER:
almanhaj.or.id
#AmalanUtama
#ShalatTepatWaktu
#BirrulWalidain
#JihadFiSabilillah
#HaditsNabi
