Protokol
Praktis dan Terkini untuk Deteksi Chlamydia psittaci dari Feses Burung
Paruh Bengkok Menggunakan Nested PCR
Pendekatan nested
PCR telah menjadi salah satu metode yang paling sensitif dan andal untuk
mendeteksi Chlamydia psittaci dari sampel feses burung paruh bengkok (psittacine).
Protokol ini menggabungkan praktik lapangan dan laboratorium terkini, mulai
dari teknik pengambilan sampel, ekstraksi DNA yang meminimalkan pengaruh
inhibitor feses, hingga desain primer spesifik yang telah banyak digunakan
dalam penelitian global. Pendekatan
ini juga mencakup kontrol kualitas yang ketat serta langkah konfirmasi hasil
untuk memastikan akurasi deteksi.
Secara umum, target gen yang direkomendasikan
dalam nested PCR adalah ompA (outer membrane protein A) dan 16S–23S
rRNA intergenic spacer, keduanya telah diakui oleh WOAH sebagai penanda
molekuler yang efektif. Gen ompA sering digunakan tidak hanya untuk
deteksi, tetapi juga untuk genotipe karena tingkat variasinya yang tinggi antar
strain. Proses ekstraksi DNA sebaiknya menggunakan kit yang dirancang khusus
untuk sampel feses atau tanah, seperti QIAamp PowerFecal atau DNeasy
PowerSoil/PowerFecal, yang dilengkapi dengan tahap inhibitor removal.
Penambahan langkah bead-beating berkecepatan tinggi (6000–7000 rpm
selama 30–60 detik) penting untuk melisiskan elementary bodies dari C.
psittaci dan meningkatkan efisiensi ekstraksi DNA.
Dalam desain nested PCR, strategi yang umum
digunakan adalah amplifikasi ganda: primer luar (outer primers)
berfungsi memperkaya target DNA, diikuti primer dalam (inner primers)
yang lebih spesifik terhadap C. psittaci. Beberapa studi
terkemuka—seperti yang dilakukan oleh Sachse, Pantchev, dan Madani—telah
memvalidasi pasangan primer pada gen ompA untuk menghasilkan amplikon
dengan ukuran bervariasi antara 200–1000 bp. Agar hasil tetap akurat, setiap
reaksi PCR sebaiknya disertai internal amplification control (IAC) untuk
mendeteksi kemungkinan adanya inhibitor, atau dilakukan pengenceran template
DNA (1:10) guna menilai efek hambatan amplifikasi.
Proses validasi hasil sangat penting dalam
mendeteksi C. psittaci karena nested PCR memiliki sensitivitas tinggi
namun juga rentan terhadap kontaminasi silang. Setiap batch PCR harus
disertai kontrol positif, kontrol negatif, serta kontrol ekstraksi negatif.
Produk amplifikasi yang menunjukkan pita dengan ukuran sesuai target di gel
agarosa 1,5–2% dianggap positif sementara (presumptive positive). Namun,
hasil tersebut perlu dikonfirmasi melalui sekuensing Sanger untuk
memastikan spesies dan genotipe, atau diuji ulang menggunakan PCR real-time
spesifik untuk C. psittaci guna memvalidasi identitas produk
amplifikasi.
Sebelum proses
PCR, kualitas DNA perlu diperiksa melalui rasio A260/280 dan uji amplifikasi
gen rumah tangga (housekeeping gene) seperti 16S rRNA atau 18S rRNA.
Langkah ini memastikan bahwa DNA hasil ekstraksi bebas dari inhibitor. Apabila
terjadi hambatan amplifikasi, pengenceran DNA atau penggunaan sistem
penghilangan inhibitor tambahan dapat memperbaiki hasil.
Kondisi PCR
dapat disesuaikan berdasarkan melting temperature (Tm) primer dan enzim
yang digunakan. Secara umum, reaksi tahap pertama menggunakan volume 25–50 µL
dengan komposisi standar: buffer PCR 1×, dNTP 200 µM, primer 0,2–0,4 µM, dan
Taq DNA polymerase 0,5–1,25 U. Siklus termal biasanya meliputi denaturasi pada
95°C selama 3 menit, diikuti 35 siklus amplifikasi (95°C selama 30 detik,
annealing pada 52–60°C selama 30 detik, dan ekstensi 72°C selama 45–60 detik),
serta ekstensi akhir 72°C selama 5 menit. Reaksi nested dilakukan dengan
menggunakan 1–2 µL produk PCR pertama sebagai template, dengan kondisi serupa
namun annealing pada suhu sedikit lebih tinggi (55–62°C).
Untuk mencegah
kontaminasi, area kerja harus dipisahkan secara ketat antara tahap pra-PCR
(penyiapan reagen), penambahan template DNA, dan tahap pasca-PCR (analisis
gel). Penggunaan pipet dengan filter, tabung tertutup, serta sistem dUTP/UNG
sangat direkomendasikan untuk mencegah carry-over contamination. Setiap
run PCR wajib menyertakan no template control (NTC) untuk memastikan
tidak terjadi amplifikasi nonspesifik.
Dari segi
kelebihan, nested PCR memberikan sensitivitas yang sangat tinggi,
sehingga efektif untuk mendeteksi jumlah target yang rendah seperti pada sampel
feses yang sering mengandung DNA dalam jumlah minimal. Teknik ini juga bermanfaat untuk surveilans
lapangan atau penelitian epidemiologi molekuler. Namun, kekurangannya adalah risiko
kontaminasi silang yang tinggi dan proses kerja yang relatif lebih panjang
dibandingkan PCR real-time. Karena itu, banyak laboratorium modern
mengombinasikan pendekatan ini—menggunakan nested PCR untuk skrining awal, lalu
mengonfirmasi hasil positif dengan real-time PCR atau sekuensing.
Beberapa sumber
utama yang menjadi rujukan dalam pengembangan protokol ini antara lain WOAH
Terrestrial Animal Health Manual untuk rekomendasi target gen dan
pengambilan sampel, studi Sachse et al. (2008) mengenai genotyping berbasis ompA,
serta penelitian terbaru oleh Kowalczyk et al. (2022) yang membandingkan
efektivitas nested PCR dengan real-time PCR pada sampel feses burung. Selain itu, penelitian oleh Golestani et
al. (2020) dan Origlia et al. (2019) turut memperkuat efektivitas metode ini
untuk deteksi C. psittaci di berbagai spesies burung.
Dengan mengikuti langkah-langkah dalam protokol
ini secara disiplin dan menjaga kontrol mutu di setiap tahapan, deteksi Chlamydia
psittaci menggunakan nested PCR dari feses burung paruh bengkok dapat
dilakukan dengan hasil yang akurat, sensitif, dan dapat direproduksi.
