Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Seminar Pertanian. Show all posts
Showing posts with label Seminar Pertanian. Show all posts

Monday, 23 February 2009

Strategi dan Pencapaian Swasembada Pangan di Indonesia

Oleh Dr.Ir. Abdul Munif, MSc.agr.

Sekretaris/Tenaga Ahli Menteri Pertanian RI dan Staf Pengajar pada Fakultas Pertanian-IPB

Pembangunan sektor pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan nasional semakin penting dan strategis. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik sumbangan langsung dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, menyediakan sumber pangan dan bahan baku industri/biofuel, pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan, perolehan devisa, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain. Dengan demikian, sektor pertanian masih tetap akan berperan besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi yang dihadapi saat ini, sudah selayaknya sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional. Sektor pertanian haruslah diposisikan sebagai sektor andalan perekonomian nasional. Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, dimana salah satunya adalah Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan.

Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan, secara garis besar ditujukan untuk: (a) meningkatkan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional, (b) menciptakan lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non-pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah terbuka, dan (c) meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan, yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.

Pencapaian hasil sektor pertanian

Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian tahun 2007 s/d 2008 mengalami pertumbuhan yang mengesankan yaitu sekitar 4.41 persen. Selain itu berdasarkan data kemiskinan tahun 2005-2008, kesejahteraan penduduk perdesaan dan perkotaan membaik secara berkelanjutan. Berbagai hasil penelitian, menyimpulkan bahwa yang paling besar kontribusinya dalam penurunan jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian dalam menurunkan jumlah penduduk miskin mencapai 66%, dengan rincian 74% di perdesaan dan 55% di perkotaan.

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, Nilai tukar petani (NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani secara konsisten mengalami peningkatan selama periode tahun 2006-2008 dengan pertumbuhan sebesar 2,52 persen per tahun. Dengan kinerja yang kundusif seperti itu, neraca perdagangan komoditas pertanian mengalami peningkatan secara konsisten selama periode 2005-2008 dengan rata-rata pertumbuhan 29,29 persen per tahun. Selain itu, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian 1,56%/tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan total angkatan kerja (1,24%/tahun) dan tenaga kerja non pertanian yang hanya sekitar 0,98%/tahun. Melihat kondisi tersebut mengakibatkan. Rata-rata pertumbuhan nilai investasi sektor pertanian tahun 2005 – 2007 mencapai 172,8%/tahun, lebih tinggi dibanding sektor lain.

Selama periode 2004-2008 pertumbuhan produksi tanaman pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang signifikan . Produksi padi meningkat rata-rata 2,78% per tahun (dari 54,09 juta ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008 (ARAM III), bahkan bila dibanding produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46%). Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai selama ini, sehingga tahun 2008 Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras, bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Keberhasilan tersebut telah diakui masyarakat international, sebagaimana terlihat pada Pertemuan Puncak tentang Ketahanan Pangan di Berlin bulan Januari 2009. Beberapa negara menaruh minat untuk mendalami strategi yang ditempuh Indonesia dalam mewujudkan ketahan pangan.

Demikian pula produksi jagung meningkat 9,52% per tahun (dari 11,23 juta ton pipilan kering tahun 2004 menjadi 15,86 juta ton tahun 2008). Bahkan dibanding produksi jagung tahun 2007, peningkatan produksi jagung tahun 2008 mencapai 19,34% (naik 2,57 juta ton). Pencapaian produksi jagung tahun 2008 juga merupakan produksi tertinggi yang pernah dicapai selama ini. Selanjutnya, produksi kedele juga meningkat 2,98% per tahun dari 723 ribu ton biji kering tahun 2004 menjadi 761 juta ton biji kering tahun 2008 (ARAM III).

Peningkatan produksi tanaman pangan yang spektakuler tahun 2008 (terutama padi, jagung, gula, sawit, karet, kopi, kakao dan daging sapi dan unggas), dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. Pertama, Tingginya motivasi petani/pelaku usaha pertanian utnuk berproduksi karena pengaruh berbagai kebijakan dan program pemerintah meliputi penetapan harga, pengendalian impor, subsidi pupuk dan benih, bantuan benih gratis, penyediaan modal, akselerasi penerapan inovasi teknologi, dan penyuluhan.. Kedua, perkembangan harga-harga komoditas pangan di dalam negeri yang kondusif sebagai refleksi dari perkembangan harga di pasar dunia dan efektifitas kebijakan pemerintah. Ketiga, kondisi iklim memang sangat kondusif dengan curah hujan yang cukup tinggi dan musim kemarau relatif pendek.

Untuk komoditas sumber pangan lainnya, produksi gula/tebu juga meningkat 6,76% per tahun dari 2,05 juta ton tahun 2004 menjadi 2,85 juta ton tahun 2008 (ARAM III). Demikian juga untuk komoditas daging sapi, baik dari segi populasi maupun produksi daging meningkat cukup besar. Peningkatan populasi ternak mencapai 12,75% (dari 10,5 juta ekor tahun 2004 menjadi 11,87 juta ekor tahun 2008), sedangkan produksi daging sapi meningkat 3,83% (dari 339,5 ribu ton menjadi 352,4 ribu ton).
Jika dibandingkan dengan beberapa Negara ASEAN, produksi dan produktivitas pangan strategis Indonesia relatif lebih tinggi. Gambaran tentang produksi dan produktivitas padi dan jagung di beberapa Negara ASEAN tercantum dalam Data 1 dan 2.

Data 1. Produksi dan Produktivitas Padi di ASEAN Tahun 2006

1. Indonesia luas panen 11,786.43 ribu ha; produksi 54,454.937 ribu metrik ton; produktivitas 4,620 kg/ha
2. Filipina luas panen 4,159.930 ribu ha; produksi 15,326.706 ribu metrik ton; produktivitas 3,684 kg/ha
3. Thailand luas panen 9,524.846 ribu ha; produksi 30,945.774 ribu metrik ton; produktivitas 3,249 kg/ha
4. Malaysia luas panen 658.200 ribu ha; produksi 2,202.000 ribu metrik ton; produktivitas 3,254 kg/ha
5. Vietnam luas panen tidak diketahui, produksi 35,917.900 ribu metrik ton; produktivitas 4,981

Sumber : FAOStat, 2008


Data 2. Produksi dan Produktivitas Jagung di ASEAN Tahun 2006

1. Indonesia luas panen 3,345.805 ribu ha; produksi 11,609.463 ribu metrik ton; produktivitas 3,470 kg/ha
2. Filipina luas panen 2,570.673 ha; produksi 6,082.109 ribu metrik ton; produktivitas 2,366 kg/ha
3. Thailand luas panen 951.970 ribu ha; produksi 4,057.698 ribu metrik ton; produktivitas 3,913 kg/ha
4. Malaysia luas panen 10.000 ribu ha; produksi 39.800 ribu metrik ton; produktivitas 3,980 kg/ha
5. Vietnam luas panen tidak diketahui; produksi 3,819.400 ribu metrik ton; produktivitas 3,700 kg/ha

Sumber : FAOStat, 2008

Strategi kebijakan pembangunan pertanian

Tujuan akhir pembangunan pertanian adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui sistem pertanian industrial. Secara operasional pencapaian tujuan tersebut ditempuh melalui tahapan-tahapan pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Kebijakan dan program pembangunan pertanian jangka panjang dijabarkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (lima tahunan) dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam rencana pembangunan pertanian tahunan.

Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan, Departemen Pertanian telah menyusun Cetak Biru (Blue Print) Pembangunan Pertanian Jangka Panjang (2005 - 2025), Jangka Menengah (2005-2009) dan tahunan. Adapun sasaran jangka panjang pembangunan pertanian, adalah : (1) Terwujudnya sistem pertanian industrial yang berdayasaing; (2) Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; (3) Terciptanya kesempatan kerja bagi masyarakat pertanian serta (4) Terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian dan tercapainya pendapatan petani US$ 2500/kapita/tahun.

Tujuan jangka menengah pembangunan pertanian (2005-2009) adalah : (1) membangun SDM aparatur profesional, petani mandiri, dan kelembagaan pertanian yang kokoh; (2) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan; (3) memantapkan ketahanan dan keamanan pangan; (4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian; (5) menumbuh-kembangkan usaha pertanian yang akan memacu aktivitas ekonomi perdesaan; dan (6) membangun sistem manajemen pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani.

Untuk pencapaian tujuan tersebut pemerintah menyusun strategi, kebijakan dan mengimplementasikan berbagai program/kegiatan pembangunan pertanian, baik lintas subsektor maupun program subsektor. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, ada tiga kebijakan utama yang diimplementasikan Departemen Pertanian, yaitu: (1) Peningkatan Produksi Pangan dan Akses Rumah Tangga terhadap Pangan; (2) Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Produk Pertanian; (3) Perluasan Kesempatan Kerja dan Diversifikasi Ekonomi Perdesaan.

Selanjutnya, dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut ada dua strategi besar yang ditempuh Departemen Pertanian. Pertama, memperkokoh fondasi pembangunan pertanian melalui Panca Yasa, ditempuh dengan strategi : (1) Penyediaan/perbaikan infrastruktur; (2) Penguatan kelembagaan; (3) Perbaikan sistem penyuluhan; (4) Penanganan pembiayaan pertanian; (5) Fasilitasi pemasaran hasil pertanian.
Kedua, melakukan Akselerasi pembangunan pertanian, yang ditempuh melalui strategi, yaitu: a) melibatkan partisipasi berbagai komponen masyarakat, b) padanan satu desa – satu penyuluh, c) sinergisme seluruh potensi sumberdaya, d) fokus komoditas, e) perencanaan berdasarkan master plan dan road map, f) penguatan Sistem Monitoring dan Data Base, dan g) pengarusutamaan gender dan pendekatan sosial budaya.

Dengan beragamnya jenis komoditas pertanian yang tumbuh di Indonesia, diperlukan strategi yang tepat dalam menentukan pilihan komoditas yang prioritas untuk dikembangkan. Prioritas penanganan difokuskan pada komoditas pertanian yang secara nasional dapat memberikan dampak nyata dan dirasakan hasilnya oleh petani, maupun masyarakat konsumen. Sehubungan itu, telah dirumuskan lima komoditas pangan utama yang diprioritaskan dengan sasaran akhir sebagai berikut: (a) padi dengan sasaran swasembada berkelanjutan; (b) jagung dengan sasaran swasembada tahun 2007-2008; (c) kedele dengan sasaran swasembada tahun 2015; (d) gula dengan sasaran swasembada tahun 2009; dan (e) daging sapi dengan sasaran mencapai kecukupan tahun 2010.


Masalah dan Tantangan dalam Pembangunan Pertanian

Tantangan dan permasalahan mendasar pembangunan sektor pertanian berkaitan dengan sarana prasarana, permodalan, pasar, teknologi, dan kelembagaan petani, yang masih memerlukan penanganan yang berkelanjutan disamping munculnya persoalan-persoalan baru. Walaupun dihadapkan pada berbagai permasalahan dan hambatan, sektor pertanian telah mampu menunjukkan keberhasilan dan perkembangan yang menggembirakan.

Khusus untuk masalah lahan pertanian, rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain disebabkan oleh derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir khususnya di pulau Jawa. Antara tahun 1978 – 1998, misalnya konversi lahan sawah irigasi adalah sebesar satu juta ha. Padahal kenyataannya sawah irigasi masih tetap merupakan sumberdaya lahan yang terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah masih memberikan kontribusi sebesar sekitar 90 persen sedangkan pangsa produksi berkisar 95 persen. Bila terjadi penurunan luas sawah irigasi yang tidak terkendali maka akan mengakibatkan turunnya kapasitas lahan sawah untuk memproduksi padi. Lebih dari itu jika proses degradasi kualitas jaringan irigasi terus berlanjut maka eksistensi lahan tersebut sebagai sawah sulit dipertahankan. Yang segera akan terjadi adalah alih fungsi lahan sawah tersebut ke penggunaan lain (pertanian lahan kering ataupun ke peruntukan non pertanian).

Data empiris menunjukkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan produksi padi sawah 4,78 persen (Tahun 2003-2007), dibutuhkan pertumbuhan luas lahan sawah sebesar 2,47 persen. Hal ini menunjukkan penambahan luas lahan sawah masih sangat dibutuhkan dalam peningkatan produksi padi. Hal ini dapat dilihat dari anggaran yang cukup besar dalam pembangunan pertanian, dimana selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar adalah untuk sarana dan prasarana (infrastruktur) yaitu 10,5 persen dan yang kedua adalah bantuan permodalan sebesar 8,5 persen. Urutan berikutnya adalah penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%), dan pendidikan dan latihan (1,3%).

Tidak hanya dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam kebijakan insentif harga juga dilakukan seperti pada kebijakan insentif harga yang dapat dilihat dari peninjauan HPP setiap tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan HPP gabah sebesar 10% akan mendorong peningkatan harga beras sebesar 8,1%. Peningkatan harga beras 10% akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1%. Peningkatan harga beras 10% meningkatkan inflasi 0,52%. Inilah tantangan secara makro dalam perekonomian nasional bagaimana disatu sisi dapat meningkatkan harga untuk kepentingan petani namun dipihak lain ada sebagian masyarakat merasa dirugikan. Walaupun demikian keberhasilan pembangunan pertanian bisa mengakibatkan jumlah rumah tangga petani khususnya rumah tangga petani padi dan palawija meningkat sebesar 4,06 persen.

Beberapa kebijakan pokok yang memberikan kontribusi terhadap pencapaian produksi pangan tersebut adalah: (a) Pengawalan Dan Bantuan Sarana Produksi: benih/bibit unggul, pupuk, alat mesin pertanian, obat hewan; (b) Bantuan Permodalan: fasilitas kredit kkp-E, BLM- KIP, PUAP, DPM-LUEP, KP-ENRP, LM3, PMUK; (C) Perbaikan Infrastruktur Pertanian: perluasan Areal, JITUT, JIDES, TAM, jalan usaha tani, embung, pengembangan irigasi air tanah; (d) Fasilitasi Pengembangan Pasar dan Peningkatan Mutu Produk; (e) Inovasi dan Percepatan Diseminasi Teknologi; (f) Pendampingan dan pengawalan intensif: SL PHT, SL PHP, SL Iklim, penyuluh, tokoh masyarakat, aparat; (g) Penyediaan Dana Tanggap Darurat; dan (h) Koordinasi Intensif Pusat - Daerah.

Penutup

Sebagai sektor strategis, pembangunan pertanian menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan serta kondisi lingkungan sosial-ekonomi-politik-budaya yang sangat dinamis. Departemen Pertanian sebagai penanggungjawab dan simpul koordinasi pembangunan pertanian telah menyusun dan mengembangkan berbagai target pembangunan dengan menetapkan tujuan, arah, strategi, dan kebijakan sebagai pedoman bagi seluruh pelaku pembangunan pertanian. Operasionalisasi pembangunan pertanian jangka panjang yang dijabarkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (lima tahunan) dan dijabarkan lebih lanjut ke dalam rencana pembangunan pertanian tahunan. Strategi pencapaian masing-masing tujuan dijabarkan dengan jelas, didukung dengan kebijakan dan program yang akan diimplementasikan secara menyeluruh, teritegrasi, efisien dan sinergi, baik oleh pemerintah melalui internal Departemen Pertanian, bekerjasama dengan instansi luar pertanian, maupun dengan swasta dan pengusaha serta mengupayakan keterlibatan masyarakat terutama petani.

Sumber : Seminar on Agricultural Sciences 2009 at Tokyo University of Agriculture, on February 22, 2009, organized by Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA), collaboration with Embassy of the Republic of Indonesia, Tokyo

Friday, 30 January 2009

Seminar on Agricultural Science (SAS-2009)



Tema:

“Menggali dan Mengembangkan Potensi Sumber Daya Nasional Menuju
Swasembada Pangan dan Kelestarian Lingkungan yang Berkelanjutan”

Waktu :

Minggu, 22 Februari 2009

Tempat :

Tokyo University of Agriculture

Diselenggarakan oleh:

Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA)


Dalam seminar SAS-2009 ini, materi utama merupakan (1) keynote address dari Sekretaris Menteri Pertanian - Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc.Agr dan (2) Hasil-hasil penelitian serta kajian dari anggota IASA yang merupakan hasil utama disertasi program Doktor dan thesis program Master. Tema keynote address terkait dengan “Strategi dan Pencapaian Swasembada Pangan di Indonesia”, sedangkan hasil kajian disertasi Doktor dan Master berupa 10 (sepuluh) sub-tema yang memiliki kaitan erat dengan penggalian dan pemanfaatan sumber daya nasional.

Secara umum tema-tema kajian mencakup bidang-bidang berikut:

1.Kehutanan, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang disampaikan oleh:
-Arif Darmawan (The University of Tokyo)
-Syartinilia (The University of Tokyo)

2. Ilmu Hayati Murni dan Terapan yang disampaikan oleh:
- Davin H.E Setiamarga (The University of Tokyo)
- Roni Wijaya (The University of Tokyo)
- Tatang Sopian (Tokyo University of Agriculture and Technology)

3. Peternakan, Perikanan dan Medis Veteriner yang disampaikan oleh:
- Bainah Sari Dewi (Utsonomia University-Tokyo University of Agriculture and
Technology)

4. Sosial, Ekonomi dan Politik Pertanian yang disampaikan oleh:
- Lukytawati Anggraeni (The University of Tokyo)
- Mohamad Dwi Wicaksono (Tokyo University of Agriculture and Technology)
- Syahmir Ramadhan Siregar (Tokyo University of Agriculture)

5. Teknologi dan Informasi Pertanian yang disampaikan oleh:
- Ardiansah (The University of Tokyo)

Direncanakan seminar akan dibagi menjadi 3 sesi utama dengan pembagian sebagai berikut:

1. Sesi 1 : presentasi dan diskusi keynote address
(Sektetaris Menteri Pertanian: Dr.Ir. Abdul Munif, MSc.Agr)

2. Sesi 2 : presentasi dan diskusi pararel 5 (lima) pemakalah/narasumber

3. Sesi 3 : presentasi dan diskusi pararel 5 (lima) pemakalah/narasumber

Monday, 30 June 2008

Symposium on Agriculture, Science and Technology (SAST) 2008

Symposium on Agriculture, Science and Technology 2008 diselenggarakan atas kerjasama antara Indonesian Agricultural Science Association (IASA) dan Pehimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kanto yang didukung KBRI Tokyo pada hari Sabtu tanggal 21 Juni 2008 bertempat di Tokyo University of Agriculture - Tokyo, Jepang. Symposium ini merupakan salah satu kegiatan yang termasuk dalam program peringatan hubungan diplomasi Indonesia – Jepang ke 50. Simposium mengangkat tema Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) dan Peran ASEAN Economic Community (AEC) dalam Memperkuat Ekonomi dan Ketahanan Pangan Indonesia.

Symposium dibuka oleh Bapak Ronny Prasetyo Yuliantoro Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia KBRI Tokyo. Beliau membacakan sambutan pembukaan Dubes RI untuk Jepang, isinya menekankan bahwa dengan JI-EPA diharapkan Indonesia dapat meningkatkan ekspor berbagai macam produk termasuk produk pertanian, perikanan dan kehutanan ke Jepang, IJ-EPA juga diharapkan akan mendorong menguatnya hubungan bilateral Indonesia-Jepang.

Kesepakatan kemitraan ekonomi Indonesia-Jepang IJ-EPA yang telah ditandatangani tanggal 20 Agustus 2007 tahun lalu oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang saat itu, Shinzo Abe, diharapkan akan mampu meningkatkan perekonomian kedua negara. Di pihak Indonesia, IJ-EPA ini diharapkan dapat meningkatkan ekspor Indonesia ke Jepang, meningkatkan investasi Jepang ke Indonesia, serta meningkatkan kapasitas dan kemampuan kompetitif industri Indonesia.

Harapan-harapan ini telah disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha Perdagangan - Badan Litbang Departemen Perdagangan, Dr. Andin Hadiyanto, dalam makalah utama dalam Symposium kali ini. Dalam pemaparan makalahnya, Dr. Andin mengemukakan rincian yang merupakan hasil analisis simulasi model ekonomi bahwa penghapusan atau pengurangan tarif perdagangan dalam kesepakatan yang tertuang IJ-EPA akan memberikan peningkatan GDP bagi Indonesia sebesar 3,01 persen dan Jepang sebesar 0,06 persen. Di samping itu diperhitungkan bahwa ekspor Indonesia akan meningkat sebesar 4,68 persen dan ekspor Jepang meningkat sebesar 0,41 persen. Sementara dari aktivitas bursa saham, Indonesia akan memperoleh peningkatan sebesar 5,38 persen dan Jepang memperoleh peningkatan sebesar 0,05 persen. Pemaparan dari Dr. Andin ini memberikan suasana persiapan menjelang diberlakukannya IJ-EPA tanggal 1 Juli 2008 atau tepatnya 10 hari yang akan datang.

Profesor Dr. Keishiro Itagaki, profesor Bidang Pembangunan Pertanian Internasional pada Tokyo University of Agriculture dalam presentasinya mengemukakan sebuah kasus tentang kebijakan reformasi pangan beras pada masa transisi di Asia umumnya dan ASEAN khususnya. Berangkat dari keprihatinan meningkatnya harga pangan dunia termasuk beras yang berimplikasi pada instabilitas perekonomian di berbagai negara, Profesor Itagaki memaparkan pentingnya rencana aksi bersama negara-negara anggota komunitas ekonomi AEC untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran pangan sekaligus stabilisasi harga pangan beras di wilayah regional ini. Dalam paparan makalahnya ini Profesor Itagaki memberikan tiga perspektif terkait kebijakan reformasi pangan beras AEC yaitu: 1) fitur-fitur perbandingan kebijakan pangan di negara-negara produsen beras AEC ; 2) kecenderungan umum kebijakan pangan beras AEC ; dan 3) kerjasama saling menguntungkan yang diperlukan dalam AEC. Di samping itu juga Profesor Itagaki juga menyampaikan usulan agar AEC mempelajari sejarah kebijakan pangan Jepang yang mampu menjaga stabilitas swasembada beras selama ini.

Dr. Taro Adati dan Ryoji Sakamoto melengkapi pembicaraan di dalam symposium ini dengan mengemukakan kasus yang dilakukan dalam pekerjaannya masing-masing. Dr. Adati, yang merupakan Asisten Profesor bidang perlindungan tanaman tropis Tokyo University of Agriculture, mengungkapkan studi kasus di Indonesia tentang perlindungan sumberdaya alam dalam perspektif ilmu pengetahuan alam, sedangkan Mr. Sakamoto, yang merupakan Kepala Divisi Operasional JAEC (Japan Agriculture Exchange Council) menyampaikan uraian tentang program pelatihan pemuda tani di Jepang sebagai bentuk kerjasama bilateral yang melibatkan pemuda-pemudi dari berbagai negara khususnya dari negara-negara ASEAN.

Kegiatan simposium SAST 2008 ini merupakan agenda pertemuan ilmiah rutin yang diselenggarakan oleh IASA, sebuah wadah ilmiah pelajar dan peneliti pertanian Indonesia dalam pengertian luas di Jepang, dan pada kesempatan kali ini bekerja sama dengan Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang - Koordinator Daerah Kanto (PPI Jepang-Korda Kanto) serta kelompok pelajar internasional dari Tokyo University of Agriculture.

Hadir dalam kegiatan ini dari pihak Indonesia yaitu KUAI Duta Besar RI untuk Negara Jepang beserta Atase Pertanian, Atase Perdagangan, dan Koordinator Fungsi Ekonomi KBRI Tokyo, Pimpinan dan Staf Bank Indonesia serta BUMN Perwakilan di Jepang, sedangkan dari pihak tuan rumah di Jepang yaitu Rektor Tokyo University of Agriculture beserta para profesor dari Fakultas Studi Pertanian dan Pangan Internasional Tokyo University of Agriculture, dan juga para undangan yang terdiri dari pejabat-pejabat kedutaan besar negara-negara ASEAN untuk Negara Jepang.

Sumber: Laporan Panitia SAST 2008

Tuesday, 20 May 2008

Call for Abstracts for Oral and Poster Presentations

Symposium on Agriculture, Science and Technology (SAST) 2008

June 21, 2008

Tokyo University of Agriculture

Theme of Symposium:


Optimizing National Resources Utilization to Strengthen Indonesia’s International Competitiveness: Agricultural,Environmental, Scientific and Technological Perspectives

Introduction:

Indonesia is blessed with great natural resources that have to be managed for the national development. However, it seems that such natural resources are not yet managed optimally to give a significant contribution for the economic development and national welfare. Meanwhile, as a country with rich of the natural resources, Indonesia has a great opportunity to play important roles in international level. Considering this situation, effective strategies formulated based on latest research findings and innovative ideas are absolutely required for optimal management of the natural resources.

The Symposium on Agriculture, Science and Technology (SAST) 2008, which is organized by the Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA) Japan Chapter and the Indonesian Students Association (ISA) Kanto Chapter, is intended to facilitating scientists, researchers and practitioners to present their research findings, exchange ideas and discuss recent issues related to the natural resources management in Indonesia.

This symposium is follow up of the previous symposia that have been held at The Republic of Indonesia School in Tokyo (1997 and 1998), Tokyo University of Agriculture and Technology (1999); Chiba University (2000), The University of Tokyo (2001), Tsukuba University (2002) and Tokyo University of Agriculture (2005).

Objectives:

The aims of the SAST-2008 are as follows:

1. To provide an interdisciplinary forum with stimulating academic atmosphere for scientists, researchers and students to present their research findings, share ideas and discuss various issues and latest knowledge related to the natural and human resources management in Indonesian.

2. To systematically synthesize the presented research findings and ground breaking ideas that could be used to formulate relevant recommendations and strategies for the Indonesian government and related policy makers in optimizing the natural and human resource managements in Indonesia.

Time and Venue:

Date : Saturday, June 21, 2008
Place : Media Hall of 4th floor at First Building of Tokyo
University of Agriculture, 1-1-1 Sakuragaoka, Setagaya-ku, Tokyo 156-8502, Japan.

Participants and the Areas of Interest:

It is expected that Indonesian students currently studying agriculture or related fields will comprise a significant part of the whole main participants of the Symposium. Besides them, the Symposium greatly welcomes participations from Indonesian and Japanese individuals and organizations whose works, interest, and concerns are related to Indonesian agriculture directly and indirectly. These might include participation from the members of Indonesian and Japanese scientific communities, both Indonesian and Japanese press, relevant Indonesian and Japanese organizations, both governmental and non-governmental.

In order to simplify the organization of ideas, concepts, and knowledge, the main interest of the symposium is divided into several key themes as follows:

1.Science, Technology, and Information

2.Humanities (Sociology, Anthropology and Cultural Studies)

3.Economics, Management, and Policies Studies

4.Bio-production and Ecological Studies

5.Life Sciences and Biomedicine


Language:

English will be the official language used throughout the symposium.
No translation facilities will be provided.

Deadlines of call for Abstract and Posters:
Deadline for submission of abstracts (including abstract of poster):
Saturday, May 31st, 2008 (by 8 P.M)
Original Posters submission:
Saturday, June 7th, 2008

Registration fee:
Fee : ¥1,000 (including program booklet, lunch and certificate)
Payment : Receptionist of SAST-2008 (during registration time)



Guide to Authors:

Abstract:

1. It should be written in English. Please use 12 pt Times New Roman font, left/right margins 2.5 cm on letter-sized paper (left justification).

2. Type title in bold. Leave a blank line.

3. Type name(s) of the author(s). Place an underline(_) on the name
of the person presenting the paper. Use superscript numbers to indicate affiliation(s). Leave a blank line.

4. Following the appropriate superscript, type author(s) address (es). Include company/institution, city, province/state, postal zip code and country. Include the E-mail address of the corresponding authors as the line. Leave another blank line.

5. Type text, single spaced in one paragraph. An informative abstract should contain a short description of your work with all the elements to define your aims and the results to readers. An abstract should contain the following key points (maximum 5 keywords). Abstract should be no more than 250 words. Please try to have it reviewed by a colleague before submission.

6. Save in Microsoft Word format if possible. Use your last name and initial as the file name (e.g. nasrul_pradana.doc).

7. Submitted manuscripts will be subjected to peer review ensuring the highest possible scientific quality.

Poster:

1. The size of the poster should not exceed 70 cm x 100 cm.
2. Display boards and fixing materials will be provided.

Contact address:

Inquires regarding abstract and poster should be sent to:
The Secretariat SAST-2008 (SAST_2008@yahoo.com)
Mr. Tatang Sopian (General Secretary of SAST-2008)
Visit the official website of SAST-2008 at:
http://ppikanto.org/index.php?option=com_content&task=view&id=69&Itemid=51



Wassalamualaikum Wr. Wb.

Best regards,
Organizing Committee
General Chairperson

Muhamad Nasrul Pradana

Muhamad Nasrul Pradana ( Æ’_Æ’i)
Graduate School ofAgriculture
Department of International Bio-Business
Laboratory of Bio-Business Management
Tokyo University of Agriculture
Sakuragaoka Dorm, 201-2B
3-9-37 Sakuragaoka, Setagaya-ku
Tokyo 156-0054 Japan

Tel. +81-3-5450-9759 ( Home )
+81-90-8503-0275 ( Mobile )

Sunday, 6 January 2008

Peran Pelaku Perlindungan Tanaman

PERAN PELAKU PERLINDUNGAN TANAMAN DALAM PASAR INTERNASIONAL PRODUK-PRODUK HORTIKULTURA INDONESIA [1]

Oleh: Soekirno [2]

I. Pendahuluan

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden RI pada tahun 2005 yang lalu mengamanatkan bahwa sektor pertanian secara luas dijadikan andalan dalam pembangunan nasional. Selain memberikan sumbangan yang besar dalam perekonomian nasional, sektor pertanian juga berperan secara signifikan dalam penyerapan tenaga kerja, khususnya di pedesaan.

Secara nasional, fokus pengembangan produk dan bisnis PPK mencakup lingkup kategori produk yang berfungsi dalam hal (Anonim, (?)):
a. Membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian.
b. Sumber perolehan devisa, terutama yang terkait dengan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di pasar internasional.
c. Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama yang terkait dengan peluang pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik.
d. Pengembangan produk-produk baru yang terkait dengan berbagai isu global dan kecenderungan pasar global.

Dari empat fokus pengembangan tersebut, fokus ketiga dan keempat secara jelas mengangkat produk/komoditas hortikultura sebagai salah satu unggulan. Fokus pengembangan kesempatan usaha dan pertumbuhan baru antara lain dimulai pada produk-produk hortikultura, disamping produk-produk lain. Sementara fokus pengembangan produk baru, salah satu produk yang digarap adalah biomedicine (biofarmaka). Biofarmaka merupakan salah satu kelompok komoditas hortikultura.

Kebijakan dan strategi umum yang diambil dalam pelaksanaan RPPK adalah pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian dilakukan antara lain dengan praktek usaha pertanian yang baik (Good Agriculture Practices = GAP).

Untuk Mewujudkan RPPK, telah ditetapkan visi Pembangunan Pertanian tahun 2005 – 2009 (Anonim, 2006) yaitu: Terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta peningkatan kesejahteraan petani. Dalam mencapai visi yang telah ditetapkan tersebut, misi yang diemban adalah 1) Mewujudkan birokrasi pertanian yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, 2) Mendorong pembangunan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan, 3) Mewujudkan ketahanan pangan melalui peningkatan produksi dan penganekaragaman konsumsi, 4) Mendorong peningkatan peran sektor pertanian terhadap perekonomian nasional, 5) Meningkatkan akses pelaku usaha pertanian terhadap sumberdaya dan pelayanan, 6) Memperjuangkan kepentingan dan perlindungan terhadap petani dan pertanian dalam sistem perdagangan domestik dan global.

Dalam merumuskan visi dan misi pembangunan pertanian tersebut, Departemen Pertanian melandaskan diri pada ruh yang merupakan nilai dan jiwa (spirit) pembangunan dan penyelenggaraan pembangunan pertanian. Ruh yang melandasi penyelenggaraan pembangunan pertanian adalah bersih dan peduli. Bersih dimaksudkan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, amanah, transparan dan akuntabel. Peduli berarti memberikan fasilitas, pelayanan, perlindungan, pembelaan, pemberdayaan dan keberpihakan terhadap kepentingan umum (masyarakat pertanian) diatas kepentingan pribadi dan golongan, serta aspiratif.

Salah satu kebijakan pembangunan yang dilakukan langsung Departemen Pertanian adalah meningkatkan promosi dan proteksi pertanian, yang diarahkan antara lain peningkatan ekspor dan pengendalian impor. Kebijakan ini sudah barang tentu termasuk komoditas hortikultura.

Dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengembangan hortikultura di Indonesia, arti penting atau posisi perlindungan tanaman dalam perdagangan produk hortikultura, dan tuntutan bagi sumberdaya manusia (SDM) perlindungan tanaman dalam perdagangan produk hortikultura tersebut. Komoditas hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Sesuai dengan sifat hortikultura yang unik, pasar atau perdagangan hortikultura menjadi area kegiatan yang perlu mendapatkan perhatian yang memadai. Sementara dalam perdagangan inilah, perlindungan tanaman mempunyai peran yang unik pula.

II. Pengembangan Hortikultura di Indonesia

Hortikultura merupakan salah satu komoditas yang mempunyai peran yang penting dalam sektor pertanian, baik dari sisi sumbangan ekonomi nasional, pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja maupun berbagai segi kehidupan masyarakat. Selama ini dikenal beberapa manfaat komoditas hortikultura dalam kehidupan masyarakat (Anomin, 2007), antara lain 1) Manfaat sebagai bahan pangan, 2) Manfaat di bidang ekonomi, 3) Manfaat di bidang kesehatan, dan 4) Manfaat di bidang budaya.

Kemanfaatan komoditas hortikultura sebagai bahan pangan, ditunjukkan oleh kandungan nutrisi yang berguna sebagai sumber-sumber energi, vitamin, mineral dan serat alami. Kemanfaatan di bidang ekonomi dapat dilihat secara nasional, regional maupun tingkat rumah tangga petani. Di tingkat nasional komoditas hortikultura menyumbang produk domestik bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja cukup signifikan. Nilai PDB ini sama dengan sekitar 21,17% dari PDB sektor pertanian, menduduki urutan kedua setelah subsektor tanaman pangan yang sebesar 40,75% (Sumber Ditjen Hortikultura). Selain sumbangan terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja, komoditas hortikultura berperan penting dalam perdagangan lokal, regional maupun nasional. Sementara di tingkat rumah tangga petani, hortikultura merupakan sumber pendapatan rumah tangga yang penting pula. Bahkan banyak diantara petani-petani hotikultura yang mempunyai kehidupan ekonomi yang cukup baik di pedesaan.

Kemanfaatan dalam bidang kesehatan dapat digambarkan peranannya dalam menjaga kesehatan, terutama terhadap penyakit-penyakit degeneratif. Pencegahan penyakit-penyakit diabetes, hipertensi, gangguan jantung dan penyakit-penyakit yang terkait dengan umur lanjut manusia, sangat dipengaruhi oleh konsumsi hortikultura. Berkembangnya semboyan kembali ke alam, semakin menegaskan manfaat hortikultura yaitu buah-buahan, sayuran dan biofarmaka dalam kesehatan. Selain itu, komoditas hortikultura juga mempunyai manfaat yang cukup penting dalam pengembangan kosmetik.

Di bidang budaya, komoditas hortikutura sangat erat berkaitan dengan keindahan rumah, perkantoran dan sarana umum (taman-taman, dan lain-lain), pesta-pesta dan upacara-upacara adat/keagamaan serta pariwisata.

Pada dasarnya, komoditas hortikultura dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama yaitu buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan biofarmaka (tanaman obat-obatan). Komoditas hotikultura terdiri dari 323 jenis, yaitu buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66 jenis, dan tanaman hias 117 jenis. Mengingat banyaknya jenis komoditas yang harus ditangani dan berbagai pertimbangan strategis lain, selama ini pengembangan hortikultura diprioritaskan pada komoditas-komoditas unggulan yang ada.

Di tingkat nasional, komoditas unggulan tersebut adalah mangga, manggis, pisang, durian, jeruk, bawang merah, cabai merah, kentang, anggrek dan rimpang. Namun demikian, di tingkat daerah diberikan kesempatan untuk mengembangkan komoditas unggulan masing-masing sesuai keunggulan yang ada.

Sesuai dengan perkembangan situasi dan untuk lebih meningkatkan upaya pengembangan agribisnis hortikultura, ke depan akan dikembangkan kawasan-kawasan agribisnis hortikultura. Dalam pengembangan kawasan ini, komoditas unggulan menjadi tidak terbatas pada 10 unggulan nasional, tetapi komoditas-komoditas unggulan yang ada di masing-masing kawasan tersebut. Kawasan tidak dibatasi oleh batas administrasi, tetapi merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan hortikultura yang mempunyai kondisi ekosistem yang serupa, dengan jaringan infrastruktur yang menyatukan. Dengan pengembangan kawasan sebagai satu kesatuan pengembangan agribisnis hortikultura, diharapkan penyediaan bahan ekspor menjadi lebih terjamin.

Terdapat fokus-fokus kegiatan pengembangan hortikultura, yaitu peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk melalui penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agriculture Practices = GAP), penerapan manajemen rantai pasokan (Supplay Chaim Management = SCM), fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), dan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura.

GAP merupakan panduan umum dalam melaksanakan budidaya secara baik. Dalam pelaksanaannya, GAP dilengkapi dengan Procedure Operational Standart (POS), yang spesifik komoditas dan lokasi secara lebih rinci. Dalam GAP/POS, berbagai praktek budidaya sejak dari perencanaan, pengelolaan lahan, budidaya sampai dengan panen dan pengelolaan secara keseluruhan distandarisasikan dengan baik. Penerapan GAP/POS harus dicatat secara baik sehingga dapat ditelusuri balik (prinsip traceability).

GAP/POS pada prinsipnya merupakan panduan budidaya agar mampu menghasilkan produksi yang tinggi, bermutu baik, aman dikonsumsi, efisien dalam berproduksi dan memanfaatkan sumberdaya, kelestarian lingkungan terjamin sehingga mampu mempertahankan sistem produksi secara berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan kepada petani. Penerapan GAP/POS diharapkan mampu meningkatkan daya saing dalam perdagangan. GAP/POS menjadi salah satu sistem jaminan mutu produk-produk pertanian, khususnya hortikultura. Terhadap komoditas buah-buahan, telah diterbitkan Permentan nomor 61/Permentan/OT.160/11/2006 tanggal 28 November 2006, untuk menjadi landasan pelaksanaannya di lapang.

Secara teknis operasional di lapang, penerapan GAP/POS sangat terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan penerapan sistem pengendalian hama terpadu (PHT) maupun sistem pengelolaan pestisida secara baik. Titik-titik kendali penilaian pelaksanaan GAP/POS, sangat terkait erat dengan teknik-teknik pelaksanaan PHT dan sistem pengelolaan pestisida yang baik. Bahkan hampir 30% titik kendali penilaian tersebut terkait dengan masalah pestisida. Penerapan PHT merupakan bagian yang penting dan vital dalam penerapan GAP/POS.

Penerapan manajemen rantai pasokan (SCM) dimaksudkan untuk mengelola jejaring organisasi yang saling tergantung dalam suatu rantai pasokan produk hortikultura, sehingga memberikan keuntungan yang seimbang di antara berbagai anggota rantai dan meningkatkan daya saing. Dalam SCM ini tercakup pengelolaan sejak dari hulu sampai hilir, sejak dari sistem produksi sampai dengan konsumen.

Untuk lebih mendorong pengembangan agribisnis hortikultura, dikembangkan kawasan-kawasan agribisnis hortikultura. Kawasan pengembangan ini secara geografis merupakan satu kesatuan kawasan agribisnis hortikultura yang mencakup berbagai komoditas unggulan hortikultura setempat, tanpa dibatasi sekat-sekat batas administrasi daerah. Dengan demikian, kawasan akan merupakan suatu “kebun produksi” yang mempunyai skala ekonomi yang besar. Berbagai jaringan pendukung agribisnis hortikultura berada dalam satu kesatuan wilayah kawasan tersebut, membentuk suatu wilayah agribisnis hortikultura yang menguntungkan semua pihak, berdaya saing dan berkelanjutan.

Dalam upaya pengembangan agribisnis hortikultura diperlukan dukungan dari berbagai sektor, termasuk swasta dan berbagai pelayanan. Oleh karena itu dikembangkan fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), yang merupakan jejaring kerja berbagai institusi pemerintah, swasta, permodalan dan lain-lain di suatu wilayah agribisnis hortikultura. FATIH diarahkan untuk mendorong dan memfasilitasi investasi dalam pengembangan hortikultura.

Selain itu, dalam pengembangan hortikultura juga dilakukan peningkatan SDM, kelembagaan, maupun penerapan teknologi yang lebih baik dan tepat guna.

III. Perlindungan Tanaman Hortikultura dan Pasar Produk-produk Hortikultura

1. Kebijakan Perlindungan Tanaman Hortikultura

Perlindungan tanaman pada prinsipnya mempunyai peran dalam menjamin agar kuantitas produksi mencapai sasaran yang telah ditetapkan, kualitas produk yang baik dan keberlanjutan produksi serta berperan dalam mendukung perdagangan produk hortikultura. Pada komoditas hortikultura, peran tersebut sangat terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dengan sistem perdagangan global. Hal ini sangat terlihat pada berbagai persyaratan teknis produk hortikultura yang diperdagangkan, yang tidak dapat dipisahkan dengan persoalan perlindungan tanaman.

Pencapaian produksi hortikultura tidak terlepas dari gangguan-gangguan sistem produksi yang dialami di lapang. Berbagai serangan OPT dan gangguan akibat anomali iklim/bencana alam sering mengakibatkan kerugian hasil yang cukup besar, apalagi dilihat ditingkat petani secara individual. Dengan pengelolaan perlindungan tanaman yang baik, diharapkan gangguan-gangguan tersebut dapat dihilangkan atau diminimalisasikan, sehingga pencapaian target produksi tidak terganggu.

Serangan OPT atau cemaran biologi dan kimia yang digunakan dalam perlindungan tanaman sangat berpengaruh terhadap mutu produk hortikultura. Produk hortikultura dituntut mempunyai mutu yang tinggi, apabila akan diperdagangkan. Akibat serangan OPT yang menyebabkan produk rusak, berlubang, busuk, ukuran tidak optimal, maupun tampilan yang kurang optimal akan sangat berpengaruh terhadap standar mutu yang ditetapkan/diinginkan. Produk-produk hortikultura yang tetap membawa sisa-sisa OPT, apakah itu serangga, cendawan jelaga, patogen lain, juga berpengaruh terhadap pencapaian standar mutu yang diinginkan. Sementara itu, sisa-sisa/residu pestisida yang digunakan untuk pengendalian OPT, selain berbahaya juga berpengaruh terhadap standar mutu keamanan pangan. Standar mutu tersebut yang sangat dituntut oleh pasar (konsumen).

Banyak permasalahan dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan tanaman hortikultura, antara lain banyaknya komoditas hortikultura yang masing-masing disertai jenis OPT yang beragam pula. Sementara teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan OPT tersebut sangat terbatas. Bahkan teknologi budidaya komoditasnya dan identifikasi jenis OPT di masing-masing komoditas juga sangat terbatas. Selain permasalahan banyaknya jenis komoditas dan jenis OPT, jumlah dan kemampuan SDM yang menangani perlindungan tanaman juga sangat terbatas, dukungan saran prasarana yang belum optimal, pemahaman petani dan masyarakat terhadap upaya perlindungan tanaman secara benar belum memadai. Masih banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa perlindungan tanaman adalah persoalan yang rumit (karena menyangkut perikehidupan serangga dan organisme mikro), dan pengendalian OPT dipahami dengan cara yang sederhana yaitu dengan pestisida. Pada berbagai hal yang spesifik, sarana pengelolaan OPT juga belum tersedia/tidak tersedia.

Kebijakan Pemerintah dalam melaksanakan perlindungan tanaman sudah cukup jelas dan mempunyai dasar hukum yang kuat. UU nomor 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman telah ditetapkan bahwa dalam pelaksanaan perlindungan tanaman harus dilakukan dengan sistem pengendalian hama terpadu, dan perlindungan tanaman menjadi tanggung jawab petani (masyarakat) bersama pemerintah.

PHT menitikberatkan pemanfaatan berbagai teknik pengendalian yang dikombinasikan dalam satu kesatuan program, sehingga dicapai keuntungan ekonomi yang maksimal, dan memberikan dampak yang aman bagi pekerja, konsumen dan lingkungan hidup. Secara prinsip, berbagai cara pengendalian diterapkan harus secara teknis efektif dan dapat diterapkan, secara ekonomi menguntungkan, secara ekologi aman dan secara sosial budaya dapat diterima.

Dalam pelaksanaannya, PHT mendorong untuk memanfaatkan dan memanipulasi unsur-unsur lingkungan alamiah demi terkendalinya populasi OPT berada pada kondisi yang tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi. Berbagai faktor lingkungan fisik dan biologi, seperti iklim, pengairan, suhu, musuh alami, agens antagonis dan lain-lain dieksplorasi dan dikembangkan untuk dimanfaatkan dalam pengelolaan OPT. Pestisida yang berasal dari tumbuhan dieksplorasi untuk dimanfaatkan dalam menekan populasi OPT secara cepat.

Penggunaan pestisida, terutama pestisida kimia sintetik masih dibenarkan dalam prinsip PHT, seyogyanya penggunaannya proporsional dan bijaksana. Apabila berbagai cara pengendalian yang diterapkan tidak mampu mengatasi populasi OPT, pestisida dapat dimanfaatkan. Pada kasus-kasus tertentu, penggunaan seed treatment juga masih dilakukan. Namun penggunaan pestisida harus tetap mempertimbangkan efektivitas, efisiensi, keamanan terhadap konsumen, keamanan terhadap jasad bukan sasaran, polusi/pencemaran, dan lain-lain. Prinsip 6 tepat dalam penggunaan pestisida perlu mendapatkan perhatian. Dengan demikian prinsip pemanfaatan pestisida dengan residu minimum menjadi pertimbangan penting.

Selain pemanfaatan di lapang/ disistem budidaya, pestisida juga perlu mendapat perhatian yang besar dalam pengelolaannya. Prinsip pengelolaan pestisida secara aman, baik dalam pemilihan untuk penggunaannya, persiapan penggunaan, pasca penggunaan, pengelolaan sisa dan wadah pestisida, penyimpanan, dan lain-lain harus memenuhi kaidah-kaidah keamanan bagi pekerja, masyarakat dan lingkungan.

Beberapa hal terkait dengan prinsip-prinsip penerapan PHT dan pengelolaan pestisida kimia sistetik tersebut sangat terkait erat dengan tuntutan pasar, terutama pasar global saat ini. Dalam GAP/POS, hal ini mendapatkan porsi yang sangat signifikan.

Perlindungan tanaman hortikultura terus berupaya mendukung ekspor dengan upaya-upaya pemenuhan standar mutu produk dan standar teknis lain yang terkait dengan perlindungan tanaman.

2. Tuntutan Pasar Produk Hortikultura

Tuntutan pasar terhadap produk hortikultura sangat ketat. Apalagi untuk produk-produk yang dikonsumsi dalam kondisi segar (bukan hasil olahan). Sebagian dari tuntutan pasar tersebut sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan perlindungan tanaman, baik secara langsung di lapang, dalam sistem pengelolaannya dan sistem perdagangan antar negara.

Pasar produk hortikultura segar secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi pasar tradisional, pasar modern dan pasar ekspor. Pasar tradisional termasuk pasar-pasar di pinggir jalan tidak/belum menuntut standar produk yang terlalu tinggi. Namun demikian, harga yang diberikan juga belum optimal. Pasar modern, yang dicirikan dengan bentuk pasar swalayan di kota-kota besar, menuntut standar mutu yang lebih tinggi, dan memberi harga yang secara relatif tinggi pula. Namun demikian, tuntutan standar mutu yang ada, sejauh ini masih terfokus pada mutu fisik produk. Produk dengan tampilan yang baik dan menarik masih menjadi pilihan utama konsumen. Standar mutu yang terkait dengan cemaran biologi dan cemaran kimia (residu pestisida) belum mendapatkan perhatian yang memadai. Kedepan, konsumen pasti akan semakin memberi perhatian yang lebih besar terhadap residu pestisida, seiring dengan kesadaran terhadap kesehatan.

Tuntutan pasar global merupakan tuntutan yang paling ketat dan sampai dengan saat ini paling sulit dipenuhi. Standar mutu produk yang diminta negara pengimpor (konsumen) semakin tinggi dan beragam. Buah dengan tampilan fisik yang baik saja belum tentu mampu memenuhi keinginan konsumen. Selain itu, selera konsumen terhadap cita rasa produk, sangat berbeda dari konsumen negara yang satu dengan yang lainnya. Keseragaman bentuk ukuran produk juga menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Disamping itu, kesinambungan pasokan merupakan salah satu tuntutan untuk menjamin kesuksesan pemasaran di luar negeri. Persoalannya banyak produk-produk hortikultura Indonesia yang bersifat musiman.

Produk-produk hortikultura yang menunjukkan tampilan yang kurang menarik banyak yang terkait dengan OPT. Akibat serangan OPT dan atau bekas-bekas dari keberadaan populasi OPT seringkali mengakibatkan produk tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Padahal banyak diantaranya yang mungkin secara ekonomi tidak menimbulkan kerugian usahatani.

Banyak negara-negara pengimpor produk hortikultura juga mensyaratkan batas residu yang ada dalam produk. Produk-produk yang mengandung residu pestisida melebihi batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan, akan ditolak masuk negara tersebut. Saat ini semakin banyak angka BMR yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) yang diadopsi berbagai negara importir. Tidak mustahil, angka BMR tersebut akan terus bertambah dan semakin kecil pula nilainya, seiring dengan tuntutan kesehatan yang diinginkan konsumen.

Selain tuntutan yang terkait dengan standar mutu produk yang secara langsung melibatkan praktek-praktek perlindungan tanaman, terdapat pula tuntutan persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh sistem perlindungan tanaman, khususnya dalam perdagangan internasional. Tidak/belum semua negara menerapkan persyaratan ini, tetapi dengan semakin gencarnya tuntutan penghilangan hambatan tarif dalam perdagangan bebas, nampaknya persyaratan teknis karantina ini menjadi semakin populer dan penting.

Dengan demikian, beberapa hal yang sangat terkait perlindungan tanaman dalam perdagangan internasional hortikultura antara lain standar mutu fisik, cemaran biologis, sistem jaminan mutu GAP/POS dan standar yang terkait dengan sanitari dan fitosanitari (SPS) termasuk residu pestisida.

3. Sanitari dan Fitosanitari (SPS)
Perjanjian sanitari dan fitosanitari (Sanitary and Phytosanitary = SPS) merupakan perjanjian dalam kerangka perdagangan internasional, komoditi pertanian yang mengatur tentang keamanan pangan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan. Perjanjian SPS merupakan salah satu bagian dari perjanjian dalam putaran Uruguay – GATT (belakangan menjadi WTO), khususnya untuk perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman. Perjanjian SPS diadminstrasikan oleh Committee on SPS Measures, yang merupakan forum konsultasi dimana anggota-anggota WTO secara reguler bertemu mendiskusikan tentang SPS Measures, dampaknya bagi perdagangan, penerapannya dan melakukan upaya-upaya menghindari terjadinya perselisihan.

Pada dasarnya terdapat tiga lembaga internasional yang menetapkan standar-standar yang terkait dengan Perjanjian SPS, yang sering disebut sebagai “Three Sisters” (Anonim, (?)) yaitu International Plant Protection Convention (IPPC), World Orgatization for Animal Health (OIE) dan Codex Alimentarius Commission (CAC).
IPPC diberi kewenangan oleh FAO, tetapi dalam pelaksanaannya melalui kerjasama antara pemerintah anggota dan Regional Plant Protection Organisation (di Asia Pasific, ada APPPC). Lembaga ini mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan untuk mencegah menyebar dan masuknya OPT pada tumbuhan dan produk tumbuhan, mempromosikan ketentuan-ketentuan pengendalian, dengan seminimal mungkin mengganggu perdagangan (trade). IPPC mengembangkan Internasional Standard for Phytosanitary Measures (ISPMs), yang merupakan standar-standar yang harus dipenuhi apabila memperdagangkan produk-produk hortikultura. Sampai dengan edisi terbitan tahun 2005, telah terbit 24 ISPM (secara lengkap tercantum pada lampiran).

Salah satu contoh ISPM tersebut adalah ISPM nomor 6 tahun 1997 tentang Pedoman Surveilans. Dalam pedoman ini, pelaksanaan surveilans harus dilakukan sesuai standar tertentu, OPT yang ditemukan diidentifikasi sampai dengan spesies oleh ahli yang dapat dipercaya, dan hasil surveilans disimpan dalam koleksi secara benar dilengkapi keterangan antara lain nama spesies, lokasi ditemukan, waktu dan lain-lain. Koleksi ini dijadikan bahan rujukan apabila terjadi keragu-raguan dan kesalahpahaman tentang keberadaan spesies OPT di suatu wilayah. Saat ini, terdapat kecenderungan negara-negara pengimpor produk hortikultura menginginkan pest list hasil surveilans untuk menentukan diterima tidaknya produk tersebut dan atau langkah-langkah pengelolaan dan tindakan karantina yang harus dilakukan.
WOAH (OIE) dibentuk untuk menetapkan standar-standar yang terkait dengan bidang kesehatan hewan.

CAC, merupakan lembaga kerjasama antara FAO dan WHO, yang mengembangkan dan mendorong penerapan standar-standar, code of practice pedoman dan rekomendasi yang mencakup semua aspek keamanan pangan. Dalam hal ini termasuk handling dan distribusi. Mandat CAC/Codex adalah melindungi kesehatan konsumen dan memastikan perdagangan pangan yang dilakukan secara fair. Dalam kaitannya dengan perlindungan tanaman, standar yang dibuat Codex adalah Batas Maksimum Residu (BMR) pestisida.

4. Langkah-Langkah Yang Telah Dan Sedang Dilakukan
Beberapa langkah telah dan sedang dilakukan dalam upaya untuk memenuhi standar-standar yang terkait dengan perlindungan tanaman untuk mendukung ekspor produk-produk hortikultura. Upaya sosialisasi, pelatihan-pelatihan teknis, penerbitan bahan cetak/informasi, bimbingan teknis, penguatan kelembagaan perlindungan tanaman dilakukan dalam upaya menekan penggunaan pestisida yang tidak proporsional, sehingga residu pestisida minimum. Pengembangan penerapan PHT melalui SLPHT dan penerapan PHT skala luas, eksplorasi dan pengembangan penerapan agensia hayati, pengembangan penggunaan pupuk kompos + agensia hayati, pengembangan kelompok tani pengguna agens hayati, penguatan laboratorium agensia hayati di berbagai daerah turut mendukung pemenuhan standar-standar mutu produk. Penyelenggaraan SLPHT dan pengembangan penerapan agens hayati akan semakin ditingkatkan pada masa-masa yang akan datang.

GAP/POS merupakan salah satu andalan program pengembangan hortikultura. Dalam penerapannya, GAP/POS dan PHT dalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan salah satu persyaratan teknis petani/peserta GAP/POS adalah yang menerima pelatihan teknis dan atau SLPHT. Kedepan, semakin diprioritaskan bahwa penerapan GAP/POS adalah kelompok tani alumni SLPHT. Peran petugas perlindungan tanaman di lapang sangat penting dalam pendampingan petani dalam pelaksanaan GAP/POS.
Penyusunan pest list pada komoditas unggulan ekspor mendapatkan prioritas pelaksanaannya. Saat ini telah diselesaikan draft pest list untuk mangga di daerah-daerah sentra produksi dan spesies-spesies lalat buah di wilayah Kalimantan dan Jawa. Kedua kegiatan tersebut mendapatkan bantuan kerjasama teknis (mangga) dan teknis dengan pembiayaan (lalat buah) dari ACIAR (Australia).

Pelaksanaan surveilans, identifikasi dan pembuatan koleksi referensi juga dilakukan bekerjasama antara petugas Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, BPTPH, UGM, IPB, Barantan, BB Biogen (Litbang Deptan), BBPOPT dan ACIAR. Pada tahun 2007, diharapkan dapat diselesaikan pest list untuk manggis, durian, paprika, anggrek. Komoditas lain yang diharapkan juga dapat diselesaikan antara lain salak, pepaya, rambutan. Tahun 2008 direncanakan dapat diselesaikan untuk antara lain nenas, jahe, belimbing dan lain-lain.

Penyusunan Pest Risk Analysis = PRA (ISPM nomor 2 tahun 1995) telah dilakukan untuk mengendalikan masuknya nematoda sista kuning (Globodera rastochiensis = NSK) yang kemungkinan terbawa impor benih kentang dari Belanda dan OPT lain dari negara-negara lain.

Melalui Permentan nomor 37/2006 tentang Persyaratan Teknis dan Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan Buah-buahan dan atau Sayuran Buah Segar ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Permentan ini mengatur pemasukan buah dan sayuran buah segar, untuk mencegah masuk dan tersebarnya 31 spesies lalat buah yang belum ada di Indonesia. Pemasukan buah dan sayuran buah impor hanya diperbolehkan melalui 7 pintu pemasukan, yang mempunyai SDM dan infrastruktur karantina yang memadai, atau daerah lain yang menurut pertimbangan strategis dapat diterima.

Untuk memperkuat kemampuan Indonesia dalam memenuhi persyaratan-persyaratan SPS tersebut, terus digalang kerjasama dengan negara/lembaga donor dan Perguruan Tinggi Nasional dan Lembaga Penelitian Departemen Pertanian. Pelatihan-pelatihan teknis identifikasi spesies-spesies lalat buah, thrips, kutu putih, kutu kebul, cendawan cercosporoid, latihan-latihan pemantapan data base, latihan pemahaman tentang SPS diikuti staf Perlindungan Tanaman Hortikultura (dan Perguruan Tinggi, Barantan, BBPOPT) ke Malaysia, Thailand, Vietnam, Australia, China, selama periode 2005 – 2007. Khusus untuk pelatihan identifikasi lalat buah, telah lebih dari 30 staf yang mendapatkan pelatihan di Australia dan di dalam negeri.

Dalam upaya mengatasi lalat buah pada mangga sehingga mampu menembus pasar ekspor, tahun 2007 dimulai kerjasama dengan Jepang dalam kerangka program IJ-EPA untuk pelatihan-pelatihan dan bantuan peralatan Vapour Heat Treatment (VHT). Dengan pemanfaatan VHT, produk mangga segar dapat lolos dari persyaratan SPS yang terkait dengan keberadaan lalat buah.

IV. Tuntutan bagi SDM Perlindungan Tanaman
Dari paparan singkat dari bab-bab terdahulu, terlihat jelas bahwa perlindungan tanaman hortikultura mempunyai beberapa dimensi yang harus ditangani antara lain tanaman, OPT, iklim, lingkungan, sosial budaya, kesehatan maupun politik/administrasi perdagangan. Dimensi tanaman dan OPT sangat jelas bahwa perlindungan tanaman hortikultura menangani berbagai persoalan hubungan/interaksi antara tanaman dan OPT. Sementara dimensi iklim, terkait dengan hubungan langsung dan tidak langsung dengan situasi pertumbuhan tanaman dan populasi OPT. Dalam hal tugas fungsi kedinasan Direktorat, iklim terkait dengan dampak anomali yang terjadi, yang mengakibatkan bencana alam.

Dampak negatif terhadap lingkungan telah diketahui secara luas dalam penerapan perlindungan tanaman, terutama dampak negatif penggunaan pestisida. Selain dampak negatif kepada resistensi OPT, resurjensi, matinya organisme bukan sasaran, juga pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sisa-sisa penggunaan pestisida. Dimensi kesehatan manusia juga masih terkait dengan penggunaan pestisida, yaitu keberadaan residu pestisida pada produk-produk pertanian.

Dimensi sosial budaya masyarakat sangat terkait dengan pelaksanaan cara-cara pengendalian OPT yang dilakukan, apa dapat diterima apa tidak oleh masyarakat. Dimensi politik/administrasi perdagangan, sampai dengan saat ini terutama terfokus pada persyaratan-persyaratan perdagangan internasional produk-produk pertanian (hortikultura). Namun pada masa yang akan datang, kemungkinan besar persyaratan-persyaratan yang terkait dengan perlindungan kesehatan manusia menjadi fokus yang penting pada perdagangan hortikultura di dalam negeri, khususnya terkait dengan residu pestisida.

Dari berbagai dimensi perlindungan tanaman hortikultura tersebut, dimensi politik/administrasi perdagangan (internasional) merupakan salah satu dimensi yang cukup pelik. Sebagai salah satu instrumen pendukung perdagangan internasional, khususnya produk-produk hortikultura, perlindungan tanaman memerlukan SDM yang memahami berbagai hal, tidak saja ilmu-ilmu dasar entomologi dan fitopatologi, tetapi juga berbagai pengetahuan implementasi konsep-konsep perlindungan tanaman di tataran administrasi maupun lapangan.

Pengetahuan dan keterampilan dasar entomologi dan fitopatologi sangat diperlukan untuk kegiatan surveilans, identifikasi secara benar jenis OPT, misalnya dalam penyusuanan pest list, identifikasi OPT dalam pelabuhan-pelabuhan masuk produk impor, maupun penentuan cara-cara pengelolaan yang tepat. Khususnya dalam hal koleksi referensi, pengetahuan dasar proteksi termasuk dalam pembuatan dan pemeliharaan koleksi tersebut sangat diperlukan.

Pengetahuan bioekologi OPT, termasuk distribusi geografisnya dan teknologi pengelolaannya, disamping diperlukan untuk pengelolaan di lapangan, juga sangat diperlukan misalnya dalam penyusunan Pest Risk Analysis (PRA). Bioekologi, nilai ekonomi yang diakibatkan (kerusakan yang timbul, konsekuensi biaya pengelolaan dan lain-lain), upaya-upaya pengelolaan, mitigasi dan lain-lain harus dianalisis secara akurat.

Standar-standar perdagangan internasional yang terkait dengan perlindungan tanaman hortikultura merupakan persyaratan perdagangan yang perlu dipahami secara cermat dan baik. Pemahaman terhadap standar-standar tersebut, digabungkan dengan pemahaman pengetahuan dasar maupun pemahaman penerapan perlindungan tanaman secara umum, dijadikan suatu bahan dalam merumuskan langkah-langkah operasional pemenuhan persyaratan-persyaratan tersebut. Dalam operasionalisasi, pemenuhan persyaratan perdagangan internasional, terutama yang di tingkat lapang, perlu ditambah pemahaman yang baik kondisi pengelolaan tanaman, sosial ekonomi-budaya masyarakat, pengelolaan pestisida secara aman dan benar, organisasi pemerintahan dan masyarakat/petani, penyuluhan dan lain-lain. Karena pada dasarnya, operasionalisasi di tingkat lapang menghadapi masalah yang sangat kompleks.

V. Penutup

Perlindungan tanaman mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam ikut mendukung kelancaran perdagangan internasional produk-produk hortikultura. Berbagai persyaratan produk-produk hortikultura, untuk dapat diperdagangkan secara global sangat terkait dengan perlindungan tanaman. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain mutu fisik, mutu akibat cemaran biologi, mutu oleh adanya residu pestisida, mutu yang merupakan hasil proses produksi yang baik (GAP), maupun persyaratan yang sifatnya teknis administratif. Persyaratan teknis administratif tersebut antara lain persyaratan-persyaratan standar-standar fitosanitari yang telah ditetapkan oleh konvensi internasional pelindungan tanaman (IPPC). Sedangkan persyaratan yang terkait dengan mutu oleh adanya residu pestisida telah ditetapkan angka-angka batas minimum residu (BMR) pestisida oleh Codex Alimentarius Commission (CAC).

Melihat pentingnya dan strategisnya posisi perlindungan tanaman dalam perdagangan internasional hortikultura tersebut, dituntut keberadaan dan kesiapan SDM perlindungan tanaman, baik di lapangan, laboratorium maupun pada tataran kebijakan/administrasi. Pengetahuan-pengetahuan dasar proteksi, persyaratan-persyaratan perdagangan internasional, perumusan kegiatan dan operasionalisasi upaya-upaya pemenuhan persyaratan yang cukup kompleks tersebut perlu dipahami oleh para pelaku perlindungan tanaman dengan baik.


Jakarta, 10 Mei 2007



________________________________________
[1] Disampaikan pada seminar dalam rangka:”Plant Protection Show” Ikatan Mahasiswa Hama Penyakit Tumbuhan (IMHPT), Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta pada tanggal 13 Mei 2007. (Penyesuaian judul terhadap permintaan panitia: Peran Pelaku Perlindungan Tanaman terhadap Pertanian Indonesia di Pasar Internasional)

[2] Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian.
Jl. AUP, Pasar Minggu Jakarta Selatan.



Bacaan

Anonim (?) Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta. 56 hal.
______ (?) The WTO Sanitary and Phytosanitary (SPS) Agreement. SPS Cap. Build. Program. AUSAID. 18 pgs.
______ (2002) Pedoman Teknis Perjanjian Sanitasi dan Fitosanitasi Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures WTO). Barantan, Deptan. Jakarta. 55 hal.
______ (2006) Agricultural Statistics. Statistical Pocketbook of Indonesia. 2006. MOA. Cent. of . Agric. Data and Info. Jakarta. 246 pgs.
______ (2006) International Standards for Phytosanitary Measures 1 to 24 (2005 edition). FAO-UN. Roma. 291 pgs.
______ (2006) Rencana Pembangunan Pertanian 2005 – 2009. Biro Perencanaan Departemen Pertanian RI. Jakarta. 88 hal.
______ (2007) Pedoman Khusus Pelaksanaan Kegiatan Utama Pengembangan Hortikultura Tahun 2007. Ditjen Hortikultura, Jakarta.


Lampiran

International Standards For Phytosanitary Measures (ISPMs), (Anonim, 2006)

ISPM No. 1. (1993) Principles of plant quarantine as related to international trade
ISPM No. 2. (1995) Guidelines for pest risk analysis
ISPM No. 3. (2005) Guidelines for export, shipment, import and release of biological control agents and other benefecial organisms
ISPM No. 4. (1995) Requirements for the establishment of pest free areas
ISPM No. 5. (2005) Glossary of phytosanitary terms
ISPM No. 6. (1997) Guidelines for surveillance
ISPM No. 7. (1997) Export certification system
ISPM No. 8. (1998) Determination of pest status in an area
ISPM No. 9. (1998) Guidelines for pest eradication programmes
ISPM No. 10. (1999) Requirements for the establishment of pest free places of production and free pest production sites
ISPM No. 11. (2004) Pest risk analysis for quarantine pests, including analysis of environmental risks and living modified organisms
ISPM No. 12. (2001) Guidelines for phytosanitary certificates
ISPM No. 13. (2001) Guidelines for the notification of non-compliance and emergency action
ISPM No. 14. (2002) The use of integrated measures in a system approach for pest risk management
ISPM No. 15. (2002) Guidelines for regulating wood packing material in international trade
ISPM No. 16. (2002) Regulated non-quarantine pests: concept and application
ISPM No. 17. (2002) Pest reporting
ISPM No. 18. (2003) Guidelines for the use of irradiation as a phytosanitary measure
ISPM No. 19. (2003) Guidelines on lists of regulated pests
ISPM No. 20. (2004) Guidelines for a phytosanitary import regulatory system
ISPM No. 21. (2004) Pest risk analysis for regulated non-quarantine pests
ISPM No. 22. (2005) Requirements for the establishment of areas of low pest prevalence
ISPM No. 23. (2005) Guidelines for inspection
ISPM No. 24. (2005) Guidelines for the determination and recognition of equivalence of phytosanitary measures
ISPM No. 25. (2006) Consignment in transit
ISPM No. 26. (2006) Establishment of pest free areas for fruitflies (Tephritidae)

Wednesday, 2 January 2008

Kajian Produksi Pangan dan Lahan Marginal

Pada hari Sabtu tanggal 29 Desember 2007 telah dilaksanakan Seminar on Agricultural Sciences (SAS) 2007 bertempat di Balai Indonesia / Sekolah Republik Indonesia - Tokyo, Jepang, pada pukul 12.30-16.10 JST. Kegiatan SAS ini sebetulnya merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Indonesian Agricultural Sciences (IASA) sejak 2005 sebagai pengganti SAB (Symposium on Agriculture and Biochemical Sciences) yang diselenggarakan bersama oleh IASA sebagai perhimpunan ilmu-ilmu pertanian Indonesia dan BIOCHE sebagai perhimpunan ilmu-ilmu biokimia Indonesia, dan sebelumnya sempat diselenggarakan selama 6 kali sejak pendiriannya. Pada tahun ini, IASA bekerja sama dengan PPI Jepang Koordinator Daerah Kanto (PPI Kanto) menyelenggarakan SAS 2007, kegiatan ini didukung juga oleh Atase Pertanian KBRI Tokyo. Bentuk kerjasama antara IASA dan PPI Kanto ini dituangkan dengan pembentukan kepanitiaan yang diambil dari personil dari masing-masing kepengurusan.


Acara diawali dengan makan siang bersama, lalu seminar dimulai pada pukul 13.30 JST atau 11.30 WIB dengan pengantar laporan dari Ketua Panitia, Arief Darmawan, MSc., mahasiswa program Doktor bidang kehutanan (GIS) University of Tokyo, Jepang, dan dilanjutkan arahan dari Atase Pertanian KBRI Tokyo, drh. Pudjiatmoko, PhD.


Seminar diselenggarakan dalam bentuk diskusi panel dengan menampilkan 3 orang pembicara yaitu Dr. Nono Carsono, Dr. Irwandi Jaswir dan Dr. Arman Wijonarko. Seminar yang bertemakan “Mencermati perjalanan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dalam lingkup kajian terbatas peningkatan produksi pertanian, pendekatan pangan dan pengelolaan lahan marginal” yang diharapkan mencari jawaban atas pertanyaan yaitu “Dapatkah kajian produksi, pangan dan lahan marginal mendukung pembangunan pertanian khususnya dalam program RPPK ?”, dipandu oleh moderator Tatang Sopian, MAgr, mahasiswa program Doktor bidang pertanian (bioteknologi tanaman) pada Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Jepang.


Pemaparan Materi Seminar

 

Materi seminar disampaikan secara berurutan dari pembicara termuda yaitu Dr. Nono Carsono, dilanjutkan oleh Dr. Irwandi Jaswir yang telah memiliki publikasi artikel jurnal internasional sebanyak kurang lebih 40 buah dan terakhir disampaikan oleh pembicara tertua yaitu Dr. Arman Wijonarko dengan selisih usia 5 tahun dari pembicara termuda.


Dr. Nono Carsono yang merupakan staf pengajar pemuliaan tanaman Universitas Padjadjaran dan juga peneliti program post-doktoral pada National Institute of Agro-biological Science (NIAS), Tsukuba, Jepang, membawakan makalah yang berjudul “Peran pemuliaan tanaman dalam upaya meningkatkan produksi pertanian di Indonesia“. Dalam presentasi makalahnya, Dr. Nono Carsono menguraikan bahwa benih ataupun bibit sebagai produk akhir dari suatu program pemuliaan tanaman dan pada umumnya memiliki karakteristik keunggulan tertentu, mempunyai peranan yang vital sebagai penentu batas-atas produktivitas dan dalam menjamin keberhasilan budidaya tanaman.


Disebutkan pula olehnya bahwa sampai saat ini, upaya perbaikan genetik tanaman di Indonesia masih terbatas melalui metode pemuliaan tanaman konvensional, seperti persilangan, seleksi dan mutasi, dan masih belum secara optimal memanfaatkan aneka teknologi pemuliaan modern yang saat ini sangat pesat perkembangannya di negara-negara maju. Diuraikan lebih lanjut pula bahwa tujuan pemuliaan masih berkisar pada upaya peningkatan produktivitas, ketahanan terhadap hama - penyakit utama dan toleransi terhadap cekaman lingkungan (Al, Fe, kadar garam, dll), sedangkan pemuliaan ke arah kualitas karakter masih terbatas.


Lebih jauh disinggung pula oleh Dr. Nono Carsono bahwa pada umumnya kegiatan pemuliaan di Indonesia masih didominasi oleh lembaga-lembaga pemerintah, sedangkan pihak swasta masih terbatas dalam upaya propagasi (perbanyakan) tanaman dan relatif sedikit yang sudah mengembangkan divisi R & D-nya, demikian pula disebutkan bahwa riset pemuliaan molekuler masih sangat terbatas. Menurut Dr. Nono Carsono, pemberlakuan UU No. 29 tahun 2000 dapat memberikan perlindungan dan hak khusus bagi pelaku riset pemuliaan dan memberi peluang untuk berkembangnya industri perbenihan kompetitif yang berbasis riset pemuliaan.


Dr. Irwandi Jaswir yang merupakan seorang Associate Professor pada Departemen Bioteknologi, International Islamic University, Kualalumpur, Malaysia dan juga peneliti tamu pada National Food Research Institute (NFRI), Tsukuba, Jepang, membawakan makalah yang berjudul “Pendekatan konsumsi gizi dalam memenuhi kebutuhan pangan“. Ia menyampaikan bahwa kendati menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, posisi Indonesia berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis United Nation Development Programme masih memprihatinkan. Ditunjukkan olehnya bahwa data tahun 2005 yang baru saja dikeluarkan badan PBB tersebut menunjukkan Indonesia kini berada di rangking 107 dari 177 negara di dunia. Rendahnya IPM Indonesia ini menurutnya jelas sangat berkaitan dengan pelbagai masalah berkaitan gizi yang dihadapi Bangsa Indonesia.


Menurut Dr. Irwandi Jaswir permasalahan gizi dewasa ini terbagi atas dua bagian yaitu gizi buruk yang banyak diderita negara-negara Dunia Ketiga, serta ‘gizi berlebih’ atau yang juga disebut ‘New World Syndrome’ yang banyak dijumpai di negara-negara maju. Keduanya menyumbang kepada meningkatnya berbagai penyakit serta permasalahan kesehatan lainnya, serta secara nyata menurunkan produktivitas dan GDP suatu bangsa. Dr. Irwandi Jaswir memandang bahwa sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia tergolong ‘unik’, karena menghadapi kedua permasalahan tersebut sekaligus, dan diperkirakan olehnya bahwa masalah gizi dan kesehatan di masa mendatang jelas akan semakin kompleks dan akan menjadi tantangan utama pembangunan bidang kesehatan. Oleh karena itu, menurutnya kesadaran akan pentingnya pengetahuan seputar gizi seimbang, piramida makanan, menu sehat dan pola hidup sehat dirasakan menjadi semakin penting.


Dr. Irwandi Jaswir yang juga merupakan lulusan sarjana bidang teknologi pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor ini, tidak lupa juga memberikan masukan kepada rekan-rekan mahasiswa dan peneliti bahwa trend riset-riset berkaitan pangan dan gizi di negara-negara maju, seperti Jepang, yang semakin spesifik dan komprehensif seharusnya bisa dijadikan pedoman dan perbandingan untuk sama-sama ikut andil, baik langsung ataupun tidak, memberi jalan penyelesaian terhadap berbagai masalah gizi di tanah air.


Dr. Arman Wijonarko yang merupakan staf pengajar entomologi Universitas Gadjah Mada dan juga peneliti tamu pada Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT) menyampaikan pemaparan hasil kerja penelitiannya berjudul “Pengembangan pertanian di lahan pasir pantai“. Dalam presentasinya, Dr. Arman Wijonarko mencoba menggambarkan potensi lahan pantai yang belum termanfaatkan dan berpeluang dipergunakan dalam pengembangan pertanian. Disebutkan oleh Dr. Arman Wijonarko bahwa Indonesia memiliki hampir 20 juta hektar lahan pantai yang sebagian besar belum dimanfaatkan dan masih merupakan tanah kosong. Dalam contoh kasus disebutkan olehnya bahwa bentangan pantai selatan Pulau Jawa sendiri tidak kurang dari 110.000 kilometer panjangnya, yang juga belum dimanfaatkan secara optimal, dibandingkan dengan pantai bagian utara Pulau Jawa, dan kondisi ini disebutkan juga mencerminkan kondisi sosial masyarakat pantai selatan Pulau Jawa yang relatif masih tertinggal dibandingkan dengan daerah pantai yang lain.


Menurut Dr. Arman Wijonarko, dengan adanya bencana Tsunami yang juga menimpa pantai selatan Pulau Jawa dan pantai barat Pulau Sumatra, membuat kawasan pantai kembali menjadi pusat perhatian, khususnya bidang konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Selama ini pengembangan kawasan pantai selatan masih terbatas pada bidang usaha perikanan, baik untuk tangkap maupun tambak, hanya sayangnya menurutnya pembangunan kawasan pantai selatan Pulau Jawa sebagai sentra hortikultura belum banyak dikaji. Oleh karena itulah maka penelitian ini dilakukan oleh timnya dengan maksud untuk mencoba mengkaji potensi perubahan kawasan pantai selatan Pulau Jawa sebagai sentra pertanian baru dan sekaligus upaya nyata pemberdayaan masyarakat pantai yang berkelanjutan.


Kondisi Seminar dan Peserta

 

Seminar diakhiri dengan diskusi dengan dibukanya 3 kesempatan penanya yang di antaranya menyinggung tentang analisis kebijakan terkait ketiga materi yang disampaikan oleh para pembicara tersebut, lalu pertanyaan lain terkait food security sehubungan dengan produksi dan perdagangan internasional, juga pertanyaan terkait dengan sulitnya kemungkinan pelaksanaan penelitian pangan dan gizi yang cenderung high-tech, di samping itu pula muncul pertanyaan terkait peluang dilakukannya kajian di lahan-lahan gambut seperti di Kalimantan selain di lahan pantai dan juga muncul pertanyaan kajian umum tentang isu di tanah air terkait System of Rice Intensification (SRI) yang sukses dilakukan di wilayah timur Indonesia namun kurang sukses di wilayah barat Indonesia khususnya Pulau Jawa. Rangkaian seminar ditutup secara resmi pada pukul 16.10 JST atau 14.10 WIB oleh Wakil Ketua Umum IASA, Syahmir Ramadan Siregar, pelajar dari Tokyo University of Agriculture (TUA) yang sekaligus mengumumkan rencana penyelenggaraan Symposium on Agricultural Sciences (SAS) 2008 mendatang.


Secara umum seminar ini mampu menarik peserta yang cukup banyak dibandingkan penyelenggaraan SAS 2006 tahun lalu. Pendaftar yang telah terlebih dahulu menyampaikan keinginannya untuk mengikuti acara ini mencapai 34 orang di luar panitia dan undangan. Sehingga dari partisipasi keseluruhannya dapat mencapai angka lebih dari 50 orang. Pelajar-pelajar Indonesia yang berpartisipasi, berasal dari beberapa universitas, di antaranya yaitu: University of Tokyo, Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), Tokyo University of Agriculture, Ritsumeikan University-Kyoto, National Graduate Institute for Policy Science (GRIPS), Takushoku University dan Hoshi University. Umumnya para peserta yang telah mendaftar ini, dapat hadir sejak makan siang sebelum acara dimulai, sehingga acara seminar dapat dimulai tepat pada waktunya.


Kondisi peserta pun tampak tidak terlalu jenuh dengan materi-materi yang disampaikan oleh pembicara, hal ini diduga terkait dengan bervariasinya topik yang disampaikan oleh ketiga pembicara, di samping beberapa ‘intermezzo’ candaan yang disampaikan oleh para pembicara menyelingi materi yang disampaikannya.

Friday, 20 July 2007

Dialog Petani ASEAN di Palembang

Tujuh petani Jepang datang ke Palembang menghadiri Dialogue of ASEAN Farmer di Hotel Aston pada tanggal 18 Juli 2007. Sedangkan peserta dialog dari negara ASEAN sebanyak 15 petani yang berasal dari negara-negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam, dan Kamboja. Acara dibuka oleh Ibu Ir. Yusni Emilia Harahap, MM. Kepala Biro Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian.

Tujuh petani Jepang yang telah datang pada acara tersebut yaitu Mr. Yochihide Morita dan Mrs. Ishako Morita dari Hiroshima, Mr. Keiichiro Mizuta berasal dari Nara, Mr. Toshiro Ichinose dari Kumamoto, Mr. Zengo Gomi dari Yamanashi, Mr. Takao Otake dan Mr. Yuichi Ishikawa dari Gunma. Mereka merupakan sebagian petani Jepang yang telah melatih petani muda Indonesia yang mengikuti program magang petani muda yang diselenggarakan oleh Departemen Pertanian.

Tujuh petani senior dari Jepang ini berantusias datang pada dialog ini karena mereka ingin lebih meningkatkan lagi hubungan bisnis dengan para alumni magang petani yang telah kembali ke Indonesia. Mereka merasa bangga banyak diantara alumni magang petani yang dulu pernah mereka latih sekarang telah menjadi petani sukses yang mampu mengekspor produk pertaniannya ke Jepang.

Sebagai contoh Sdr. Yudi Kurniawan seorang petani dari Malang Jawa Timur yang pernah magang di pertanian Mr. Takao Otake di Gunma, Jepang sekarang telah menjadi eksportir Teh Ashitaba ke Jepang. Teh tersebut terkenal di Jepang karena mengandung antioksidan dan berkhasiat menjadi anti kanker.

Selain itu mereka bahagia karena pada sehari sebelum acara diolog petani ASEAN mereka mendapat kesempatan menghadiri PENAS KTNA XII yang merupakan pertemuan besar Petani-Nelayan seluruh Indonesia yang dihadiri oleh 26.000 petani-nelayan dari 33 Propinsi.

Di lubuk hati mereka, jauh hari sebelum datang ke Indonesia mereka berharap dapat bertatap muka dengan Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudoyono Doktor Pertanian lulusan IPB, yang membuka acara PENAS KTNA XII.

Pada acara dialog petani ASEAN setiap negara menyampaikan permasalahan dan perkembangan pertanian di negaranya masing-masing dan memberikan pandangannya tentang rencana kerjasama petani di kawasan Asia Tenggara. Perwakilan dari Vietnam sangat berantusias memamerkan sertifikat standar internasional yang mereka kontongi sebagai persyaratan untuk ekspor produk pertaniannya termasuk sertifikat halal.

Petani Jepang mengharap kerjasama petani ASEAN dan Jepang dapat ditingkatkan lagi baik dalam bidang alih teknologi maupun agribisnis.

Perwakilan IRRI menyampaikan laporan perkembangan bantuan IRRI yang telah dilaksanakan dengan baik kepada beberapa negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia.

Dialog ini telah mencatat tiga hal yang telah dirumuskan bersama yaitu permasalahan yang sedang dihadapi oleh para petani di Asia Tenggara, cara pemecahan masalahnya dan langkah tindak lanjut yang diperlukan seperti yang tertulis pada 3 hal sebagai berikut:

1. Permasalahan yang sedang dihadapi oleh para petani ASEAN yaitu:
a.Harga produk pertanian yang tidak stabil,
b.Resiko tinggi dalam bercocok tanam,
c.Posisi tawar yang rendah terhadap pedagang,
d.Infrastruktur kurang memadai,
f.Akses memperoleh pinjaman bank yang rendah,
g.Limbah pertanian yang menumpuk,
h.Kurangnya minat pemuda menjadi petani .


2. Untuk memecahkan masalah ini disarankan agar melakukan:
a.Pengembangan sistem pertanian terpadu,
b.Peningkatkan pengetahuan dan tehnik bertani serta penyebarankannya,
c.Penentukan standar internasional makanan dan mengembangkan brand untuk dapat masuk akses pasar,
d.Kerjasama antar petani untuk meningkatkan posisi tawar,
e.Penigkatan peran pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan akses Bank,
f.Pengembangan istitusi dan organisasi pertanian,
g.Pengembangan pusat-pusat pelatiahan pertanian.


3. Tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah meneruskan transformasi informasi dan teknologi serta berbagi pengalaman diantara semua petani ASEAN dengan pembentukan suatu forum petani ASEAN.

Acara yang telah berjalan dengan lancar penuh keakraban ini ditutup oleh Bapak Ir. Heri Suliyanto MBA, Kepala Pusat Pengembangan Pelatihan Pertanian, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Departemen Pertanian RI.

Wednesday, 16 May 2007

Seminar bahan bakar Ethanol

Pada tanggal 15 Mei 2007 telah dilakukan seminar tentang Plant and Agricultural Biotechnology yang deiselenggarakan oleh United Nation University Yokohama. Pembicara tunggal adalah Professor Albert Sasson mantan Deputy Director-General of UNESCO, yang sedang menjadi Senior visiting Professor di United Nation University Yokohama.

Professor Albert Sasson menjelaskan tentang kebutuhan manusia akan bahan bakar yang berasal dari produk pertanian. Beliau mengatakan bahwa kebutuhan bahan bakar dunia semakin meningkat sementara cadangan bahan bakar bensin sudah mulai menipis. Untuk itu diperlukan mencari jalan keluar sebagai bahan bakar pengganti, atau paling tidak dapat mengurangi penggunaan bahan bakar bensin yang makin lama semakin menipis tersebut.

Pada saat ini harga bensin tidak menentu dan sering terdapat kecenderungan harganya makin lama makin meningkat. Karena kebutuhan bahan bakar tidak terelakkan lagi maka dilakukan pencarian bahan bakar lain yaitu ethanol maupun biodisel. Dewasa ini banyak orang berbicara tentang bahan bakar ethanol sehinga telah merangsang tercipta beberapa tipe kendaraan menggunakan bahan bakar dengan kandungan ethanol.

Ethanol diproduksi dari bahan produk pertanian yang kebanyakan bersaing dengan kebutuhan pangan manusia yaitu gula.

Salah satu negara penghasil ethanol terbesar di dunia adalah Brazil. Brazil juga merupakan negara penghasil gula terbesar didunia. Brazil mempunyai lahan 18 juta ha yang dapat dipergunakan menanam tebu. Brazil berani mendorong penggunaan bahan bakar ethanol karena Brazil mempunyai lahan yang luas dimana iklim dan tanahnya cocok untuk bercocok tanam tebu. Tetapi beliau mengingatkan agar hutan Amazon tetap dipertahankan sebagai penjaga kelesatarian lingkungan hidup di bumi ini.

Brazil sedang mengembangkan pembuatan mesin kendaraan yang dapat tidak hanya berbahan bakar bensin, tapi juga untuk campuran bensin dan ethanol maupun ethanol dengan konsentrasi tinggi.

Selain itu untuk biodisel telah dikembangkan dibeberapa negara. Beliau menyayangkan negara asia tenggara telah merencanakan proyek besar dengan cara menebang hutan untuk ditanami pohon kelapa sawit yang dapat dijadikan bahan baku bahan bakar biodisel. Sangat disayangkan kalau hutan tropis yang kita lindungi tersebut fungsi menajdi berkurang dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Pada saat ini kebutuhan bakar asal produk pertanian yang semakin meningkat tersebut akan mempengaruhi kebutuhan manusia terhadap bahan makanan pokok. Sehingga dikhawatirkan persaingan ini akan mempengaruhi kesejahteraan umat manusia, karena banyak sebagian besar penduduk didunia ini masih kekurangan bahan makanan. Maka dari itu beliau menekankan agar bahan bakar yang berasal dari produk pertanian berasal bukan dari bahan baku makanan pokok manusia, seperti biji jarak, limbah kayu, maupun tanaman rumput-rumputan.

Selain itu perlu dilakukan penggunaan teknologi tinggi dalam rangka peningkatan kwalitas maupun kuantitas produk pertanian. Untuk keperluan itu ditingkatkan penggunaan teknologi transgenic untuk memperoleh produksi tinggi maupun terkandung zat utama tinggi, seperti amylopectine. Untuk mendukung kebutuhan manusia semakin meningkat Nanotechnologi dan Biotechnology perlu digabungkan untuk dimanfaatkan dalam pencapaian kemakmuran manusia.

Terakhir yang sangat menarik untuk kita cermati adalah agar kita menghitung berapa besar energi masukan yang kita pergunakan untuk menanam tebu, memanen, mengangkut, mengolah menjadi ethanol dan sampai tersedianya bahan bakar. Jangan sampai energi yang dipergunakan untuk pembuatan bakar tersebut menjadi tidak jauh berbeda dengan energi bahan bakar yang dihasilkan.