Mitigasi
dan Pengendalian Banjir Bandang pada Musim Hujan di Indonesia
RINGKASAN
EKSEKUTIF
Banjir bandang
yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November kembali
menegaskan bahwa bencana hidrometeorologi di Indonesia tidak semata-mata akibat
hujan ekstrem. Kerusakan hutan di hulu DAS, perubahan tata guna lahan, dan lemahnya
pengawasan izin memperbesar limpasan air, meningkatkan sedimentasi, dan
menimbulkan banjir bandang yang membawa material kayu, batu, dan lumpur dalam
volume besar.
Mitigasi efektif
memerlukan pendekatan berbasis daerah aliran sungai (DAS), penguatan
sistem peringatan dini, penegakan hukum terhadap deforestasi ilegal,
rehabilitasi hulu DAS, dan pembaruan tata ruang berbasis risiko. Kebijakan ini
harus mengikuti kerangka hukum nasional seperti UU 41/1999 tentang Kehutanan,
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 24/2007 tentang Penanggulangan
Bencana, serta pedoman teknis dari KLHK, BNPB, dan BMKG.
1. LATAR
BELAKANG: APA YANG SESUNGGUHNYA TERJADI?
Berbagai laporan
investigasi lapangan menunjukkan bahwa banjir bandang di Sumatra bukanlah
bencana alam biasa. Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) menyebut
bahwa hulu DAS mengalami deforestasi masif akibat pembalakan liar, ekspansi
perkebunan, dan industri ekstraktif. Akibatnya, hutan kehilangan fungsi
hidrologisnya sebagai penyangga air (hydrological buffer).
Secara ilmiah,
deforestasi menyebabkan hilangnya tutupan vegetasi dan serasah yang berfungsi
menahan serta menyerap air hujan. Tanpa penahan ini, air mengalir cepat sebagai
limpasan permukaan (runoff), membawa sedimen dan kayu yang memperburuk
banjir (Bruijnzeel, 2004). Temuan adanya kayu gelondongan dengan bekas potongan
mesin memperkuat indikasi aktivitas ilegal di kawasan hulu.
Di tingkat
kebijakan, sejumlah anggota DPR menyatakan bahwa perlindungan hutan harus
menjadi prioritas nasional karena hutan berfungsi sebagai benteng alami
terhadap risiko banjir, longsor, dan kekeringan. Hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan
lestari sebagaimana dikemukakan oleh FAO (2020).
Faktor cuaca
juga berperan besar. BMKG mencatat bahwa fenomena La Niña dan
perubahan iklim meningkatkan intensitas hujan ekstrem di Indonesia. Penelitian
IPCC (2021) menunjukkan bahwa curah hujan ekstrem meningkat di kawasan tropis,
termasuk Asia Tenggara. Kondisi ini menjadi semakin berbahaya ketika
berinteraksi dengan DAS yang rusak.
Pendekatan
berbasis DAS atau catchment-based management menjadi sangat penting
untuk memahami pola aliran, sumber material banjir, dan risiko di hilir. Para
ahli mengusulkan pemetaan lengkap mulai dari bentuk topografi, tipe catchment,
tata guna lahan, curah hujan harian, hingga sumber kayu dan lumpur.
2. ANALISIS
MASALAH: MENGAPA BANJIR BANDANG BERULANG?
Banjir bandang
berulang karena tiga faktor utama:
(1) Kerusakan Hutan dan Alih Fungsi Lahan
Deforestasi meningkatkan limpasan hingga 30–100%
di daerah tropis (Ziegler et al., 2007). Hilangnya akar pohon mempercepat erosi
dan meningkatkan volume sedimen yang masuk ke sungai. Hulu DAS yang berubah
menjadi perkebunan monokultur atau tambang terbuka kehilangan kemampuan menahan
air (KLHK, 2021).
(2) Kelemahan Tata Ruang dan Pengawasan
Izin
Banyak wilayah
permukiman dan infrastruktur dibangun di zona rawan banjir dan jalur aliran
material (debris flow). Penataan
ruang belum sepenuhnya mengikuti analisis risiko bencana sebagaimana
diwajibkan UU 26/2007.
(3) Data
Hidrologi dan Sistem Peringatan Dini yang Belum Terintegrasi
Meski BMKG sudah
memiliki sistem prediksi cuaca dan potensi bencana, implementasi di daerah
masih terbatas. Seringkali tidak ada distribusi informasi yang cepat, dan tidak
semua daerah memiliki sensor hujan atau automatic water level recorder
(AWLR) di DAS hulu.
3. REKOMENDASI KEBIJAKAN: DARI JANGKA
PENDEK HINGGA JANGKA PANJANG
A. Jangka
Pendek (0–6 bulan): Respons Cepat dan Pengamanan Awal
- Pemetaan Cepat DAS Terdampak
- Petakan desa terdampak, sungai, batas catchment,
dan tutupan lahan.
- Lakukan rapid hydrological assessment untuk
menilai jalur aliran dan sumber material.
- Identifikasi kayu gelondongan yang berpotensi
menjadi bukti pembalakan ilegal.
- Aktivasi Sistem Peringatan Dini
- BMKG
mengeluarkan peringatan hujan ekstrem berbasis radar cuaca dan satelit.
- BNPB/BPBD mengaktifkan community-based early
warning systems.
- Moratorium Izin Sementara di Hulu DAS Kritis
- Mengacu pada prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) dalam UU Lingkungan Hidup.
B. Jangka Menengah (6–24 bulan):
Pemulihan, Rehabilitasi, dan Pengendalian DAS
- Rehabilitasi
Lahan Kritis dan Penguatan Fungsi Hutan
- Reboisasi dengan spesies lokal.
- Pembangunan rorak, terasering, dan check dam
untuk menahan sedimen.
- Pembaruan RTRW dan RDTR Berbasis Risiko
- Melarang pembangunan di jalur banjir bandang dan
zona rawan gerakan tanah.
- Memasukkan peta rawan banjir ke dalam perizinan
OSS-RBA.
- Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Tata Ruang
dan Illegal Logging
- Kolaborasi
Polri, Kejaksaan, dan KLHK melalui Gakkum LHK.
- Penggunaan citra satelit Sentinel dan Landsat untuk
memonitor deforestasi.
C. Jangka Panjang (>24 bulan):
Ketahanan Bencana dan Tata Kelola Lahan
- Sistem Pengelolaan DAS Terintegrasi
- Melibatkan KLHK, PUPR, BMKG, Bappenas, masyarakat
adat, dan pemegang konsesi.
- Penyelarasan dengan konsep Integrated
Watershed Management (IWM) (World Bank, 2018).
- Pendanaan Berkelanjutan
- APBN/APBD, green bonds, CSR kehutanan, dan
skema insentif REDD+.
- Pendidikan dan Penguatan Kapasitas Masyarakat
- Pelatihan mitigasi berbasis komunitas.
- Insentif
ekonomi untuk desa yang menjaga tutupan hutan.
- Sistem
Data Terbuka Bencana dan Kehutanan
- Citra
satelit, data curah hujan, peta izin konsesi, hingga laporan deforestasi
harus terbuka untuk publik.
4. RENCANA IMPLEMENTASI: SIAPA MELAKUKAN
APA?
|
Lembaga |
Tanggung
Jawab Utama |
|
KLHK |
Audit hutan,
rehabilitasi DAS, pengawasan izin, penindakan illegal logging |
|
BNPB/BPBD |
Respons darurat, evakuasi, edukasi risiko,
peringatan dini berbasis komunitas |
|
BMKG |
Prediksi
cuaca, analisis hujan ekstrem, penyediaan data hidrometeorologi |
|
Kementerian
PUPR |
Infrastruktur
pengendali sedimen, normalisasi sungai, rencana teknis DAS |
|
Bappeda Pemda |
Pembaruan RTRW/RDTR, sinkronisasi kebijakan
daerah |
|
Akademisi/NGO |
Analisis DAS,
audit independen, penelitian kebijakan |
|
Penegak Hukum |
Tindak pidana kehutanan, tambang ilegal,
pelanggaran tata ruang |
5. INDIKATOR
KEBERHASILAN
- Penurunan debit puncak banjir pada DAS prioritas.
- Peningkatan
luas hutan yang direhabilitasi setiap tahun.
- Jumlah izin bermasalah yang dicabut/ditindak.
- Waktu
respons peringatan dini <15 menit dari deteksi hujan ekstrem.
- Pengurangan kejadian banjir bandang dalam 5 tahun.
6. KERANGKA TEORI DAN REGULASI
Kerangka Teori Ilmiah
- Deforestasi
meningkatkan runoff dan erosi (Bruijnzeel, 2004).
- Perubahan
iklim meningkatkan intensitas hujan ekstrem (IPCC, 2021).
- Pengelolaan DAS terpadu menurunkan risiko banjir
(World Bank, 2018).
Regulasi
Relevan
- UU 41/1999 tentang Kehutanan
- UU 26/2007 tentang Penataan Ruang
- UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
- PP 26/2020
tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan
- Permen LHK 23/2021 tentang Penyelenggaraan
Rehabilitasi DAS
- Perka BNPB tentang Sistem Peringatan Dini
Multi-Bahaya
- Standar BMKG tentang Informasi Cuaca Ekstrem
Penutup
Banjir bandang
adalah hasil interaksi antara cuaca ekstrem dan kerusakan hulu DAS. Untuk
mengatasinya, perlu sinergi lintas lembaga, data berbasis sains, dan penegakan
hukum yang kuat. Keberhasilan mitigasi banjir bandang tidak hanya menentukan
keselamatan masyarakat, tetapi juga masa depan ekosistem Indonesia. Arah kebijakan harus menuju rehabilitasi
hulu, tata ruang berbasis risiko, dan transparansi pengelolaan sumber daya alam.
Daftar
Referensi
Bruijnzeel, L.
A. (2004). Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil
for the trees? Agriculture, Ecosystems & Environment, 104(1), 185–228.
FAO. (2020). Global
Forest Resources Assessment 2020. Food and Agriculture Organization.
IPCC. (2021). Climate
Change 2021: The Physical Science Basis. Intergovernmental Panel on Climate
Change.
KLHK. (2021). Status Hutan dan Kehutanan
Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
World Bank.
(2018). Integrated Watershed Management for Resilience. World Bank
Publications.
Ziegler, A. D.,
et al. (2007). Runoff response to conversion of mixed forest to grassland in
a tropical catchment. Journal of Hydrology, 334(1–2), 33–50.
UU 41/1999
tentang Kehutanan.
UU 26/2007
tentang Penataan Ruang.
UU 24/2007
tentang Penanggulangan Bencana.
PP 26/2020 tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan.
Permen LHK
23/2021 tentang Penyelenggaraan Rehabilitasi DAS.
Pedoman Sistem
Peringatan Dini BNPB & BMKG.
#MitigasiBanjir
#PengelolaanDAS
#RehabilitasiHutan
#TataRuangAman
#CegahBanjirBandang