Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday 13 August 2021

Pengamanan Surat / Paket yang Dicurigai Mengandung Anthrax




I. PENDAHULUAN


Kesehatan hewan sebagai bagian dari pembangunan nasional, berperan penting dalam pembangunan pertanian, kesehatan masyarakat dan lingkungan. Peran pembinaan kesehatan hewan sangat strategis dalam perbaikan iklim investasi melalui penerapan teknologi kesehatan hewan untuk penurunan biaya produksi, pengurangan resiko usaha serta membuka peluang ekspor.


1. Pembinaan Kesehatan Hewan

Pembinaan secara mikro menunjang upaya mensejahterakan peternak melalui peningkatan pendapatan sekaligus penyediaan lapangan kerja dan secara makro adalah upaya peningkatan devisa dengan menghasilkan produk unggul bersaing di pasar bebas. Tujuan pembinaan pada dasarnya untuk:

1) Mengoptimalkan tingkat produktivitas/ reproduktivitas hewan ternak serta meminimalkan morbiditas dan mortalitas;

2) Mengoptimalkan pelayanan kesehatan hewan dan mencegah penyakit zoonosis pada hewan/ternak serta menyediakan vaksin, sera dan obat hewan yang aman, terjamin mutunya dan terjangkau harganya;

3) Mencegah masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular (PHM) antar daerah/pulau dalam wilayah epublik Indonesia dan menangkal masuknya PHM eksotik dari luar negeri.

 

2. Kesiapan Teknis Kesehatan Hewan dalam Antisipasi Wabah Penyakit Hewan Maupun Teror Anthrax

Untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya wabah penyakit hewan, setiap daerah sesuai dengan kewenangannya telah memiliki kemampuan melakukan pencegahan secara dini dan peramalan wabah penyakit. Hasil surveilans suatu penyakit dapat memberikan peringatan dini sebelum penyakit tersebut menyebar secara luas ataupun bebasnya suatu penyakit:

 

1) Survei sero epidemiologis terhadap beberapa PHM strategis yang akan dibebaskan bertahap per pulau, beberapa penyakit eksotik penting yang berpotensi menimbulkan penularan seperti Penyakit Mulut dan Kuku, Nipah, Avian influenza maupun surveilans terhadap penyakit endemik Anthrax. Penyakit Anthrax yang bersifat endemis ini dalam uraian selanjutnya akan disebut sebagai “Anthrax klasik/konvensional” atau “penyakit tanah” atau “Anthrax”, sedangkan Anthrax dalam kasus teror dibedakan menjadi “Anthrax Teror” (AT) atau “Anthrax hasil Rekayasa Genetik” (ARG).

 

2) Antisipasi dan penangan khusus diberikan terhadap AT/ARG secara terkoordinir lintas sektoral baik dari Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Republik Indonesia, Polri, BIK Polri, DKK Polri), Kementerian Pertahanan Keamanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Bappenas, PT Pos Indonesia, Perguruan Tinggi maupun Instansi/ Lembaga Terkait lain mengacu kepada Prosedur Tetap tentang Petunjuk Pengamanan Surat/Paket yang Dicurigai Mengandung Anthrax sebagaimana akan diuraikan pada Bab II nanti.

 

3. Perbedaan dan Persamaan Antara Anthrax Klasik dengan AT/ARG


1) Anthrax Klasik:

Penyakit disebabkan bakteri Bacillus anthracis dengan masa inkubasi berkisar 1-3 hari bahkan dapat mencapai 14 hari, menyerang semua hewan berdarah panas dan penyakit berlangsung per akut, akut maupun kronis. Penyakit Anthrax memiliki beberapa nama misalnya Radang limpa, Radang kura, Milvuur, Milzbrand, Splenc fever, Charbon, Wool Sorters Disease, Cenang hideung, Pesdar (kempes modar). Bakteri membentuk spora di bagian sentral sel bila cukup oksigen, sedangkan dalam jaringan tubuh selalu berselubung dan tidak berspora. Apabila kuman Anthrax jatuh ke tanah/mengalami kekeringan/ dilingkungan yang kurang baik lainnya akan berubah menjadi bentuk spora yang tahan hidup sampai 40 tahun lebih sehingga menjadi sumber penularan penyakit kepada manusia dan hewan ternak.

 

2) AT/ARG:

Spora anthrax dikembangkan melalui rekayasa genetik dan diyakini berkaitan dengan program pengembangan senjata biologis untuk maksud pertahanan negara tertentu. Rekayasa di laboratorium difokuskan untuk mengubah ukuran spora dari ukuran alami sebesar 1-5 mikron diperkecil menjadi lebih kecil dari 1 mikron (bentuk tabur dengan organ sasaran melalui paru-paru), mengubah rantai DNA terkait dengan virulensi agen serta resistensinya terhadap antibiotik.

 

4. Kemampuan Menginfeksi


1) Anthrax Klasik:

Apabila pengendalian penyakit didaerah endemis tidak memadai, seringkali menimbulkan wabah pada ternak dengan penyebaran penyakit yang cepat dan menimbulkan kematian. Daerah endemis adalah suatu daerah yang pernah berjangkit Anthrax dan sewaktu-waktu penyakit dapat muncul kembali. Wabah umumnya berhubungan erat dengan tanah netral atau alkalis (berkapur) yang menjadi inkubator dalam perkembangbiakan spora Anthrax jika kondisi bioklimatologinya memungkinkan. Anthrax tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu ke hewan lainnya dan penyakit dapat menginfeksi manusia tetapi tidak terlalu rentan seperti pada hewan.

 

2) AT/ARG:

Rekayasa genetik pada rantai DNA menjadikan spora ARG jauh lebih berbahaya dibanding Anthrax klasik, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

(1) Analisis World Health Organization tahun 1970 menyimpulkan bahwa pelepasan ARG ke udara di atas populasi manusia 5 juta orang akan menyebabkan korban 250 ribu orang (5 %), diantaranya meninggal dunia sebanyak 100 ribu jiwa (40 %).

(2) Analisis Kongres Amerika Serikat memperkirakan 130 ribu sampai 3 juta jiwa (33 %) korban akan meninggal setelah pelepasan 100 ribu gram Anthrax ke udara di atas kota Washington (populasi 10 juta orang).

 

5. Kejadian di Indonesia


1) Anthrax Klasik:

Di Indonesia ditetapkan 14 provinsi endemis Anthrax di mana situasi kasus pada manusia hampir selalu terjadi pada 4 propinsi yaitu Jabar, Jateng, NTB dan NTT (data Kementerian Kesehatan). Dalam tahun 1991-2001 jumlah keseluruhan penderita berkisar 20-131 penderita dan terobati, korban meninggal 1-2 orang dengan angka tertinggi 6 orang pada tahun 1995 seluruhnya di NTT di mana di sisi lain pada saat yang sama kasus pada ternak berjumlah 1 ekor. Tahun 1996 di provinsi NTT jumlah kasus pada ternak meningkat menjadi 213 ekor dan disisi lain korban manusia meninggal tidak ada.

2) AT/ARG:

Dengan klasifikasi awal dirahasiakan pernah diperiksa terhadap dugaan Anthrax dalam amplop oleh Balai Besar Veteriner Denpasar beserta Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor pada Bulan November tahun 2001. Hasil pemeriksaan laboratorium ternyata negatif Anthrax.

 

II. PENGENDALIAN DAN ANTISIPASI


Dalam pemberantasan dan pengendalian Anthrax secara teknis dikaitkan dengan sifat agen penyakit dan epizootiologinya (status daerah, jenis hewan rentan, dampaknya dan cara penularan penyakit). Ada beberapa peraturan perundangan yang mendasarinya antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5619). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan PP No.78 tahun 1992 tentang Obat Hewan serta Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 61/Permentan/Pk.320/12/2015 tentangPemberantasan Penyakit Hewan dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis. Tetapi khusus untuk tindakan terhadap AT/ARG diatur dalam Protap yang dikeluarkan Direktorat Jenderal PPM & PL Departemen Kesehatan No. KS.02.3.1338 tanggal 23 November 2001 tentang Petunjuk Pengamanan Surat/Paket yang Dicurigai Mengandung Antraks.

 

1. Terhadap Anthrax klasik:


1) Bagi daerah yang bebas Anthrax tindakan pencegahan didasarkan kepada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut. Kejadian kasus Anthrax pada musim kemarau terkait dengan pakan hijauan ternak yang mengering dan sangat terbatas dimana rumput yang dimakan ternak tercabut sampai akarnya (spora anthrax pada tanah menempel di akar rumput). Pada daerah Anthrax penyakit dapat muncul secara enzootik pada saat tertentu sepanjang tahun.

 

2) Pemberantasan vektor penghisap darah, pengamatan di lapangan/di Balai Besar Veteriner (BBVet)/Balai Veteriner (Bvet)/Lab dan vaksinasi rutin dengan prioritas vaksinasi diberikan di lokasi endemis sesuai tahun peramalan wabah yang telah diramalkan sebelumnya, mencakup populasi terancam di daerah tertular dan daerah rawan lain paling lambat 1 bulan sebelum waktu wabah yang diramalkan tiba.

 

3) Sebagai kesiapan laboratorium kesehatan hewan (laboratory preparedness) dalam menguji “Anthrax klasik” pada prinsipnya seluruh dapat melakukan pemeriksaan spesimen. Ditinjau dari administrasi perwilayahan kerja Bvet/ Bbvet, maka dari 12 (dua belas) provinsi endemis Anthrax di Indonesia yaitu Sumatera Barat dan Jambi masuk wilayah kerja Bvet Bukittinggi. Jawa Barat, DKI Jakarta dan masuk wilayah kerja Bvet Subang. Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY masuk wilayah kerja BBVet Wates, Yogyakarta. Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Gorontalo masuk wilayah kerja BBVet Maros sedangkan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar, tetapi mengingat P. Bali “bebas Anthrax” maka spesimen untuk pemeriksaan Anthrax dari Nusatenggara tidak dikirim ke BBVet Denpasar tetapi dapat diperiksa di Lab Keswan pada Propinsi tertular atau spesimen tersebut dikirim ke BBVet Maros untuk pengujian spesimen asal Nusa Tenggara Timur dan BBVet Wates, Yogyakarta untuk pengujian spesimen asal Nusa Tenggara Barat.

 

2. Terhadap AT/ARG:


Tindakan antisipasi terhadap teror AT/ARG sebagai berikut:

1) Prosedur penanganan AT/ARG Prosedur penanganan AT/ARG mengacu kepada Protap yang dikeluarkan Departemen Kesehatan No.KS.02.3.1338 tanggal 23 Nopember 2001 tentang Tata Cara Pengamanan Barang Bukti Diduga Mengandung Antraks, yaitu sebagai berikut:

(1) Jangan membuka lebih lanjut amplop/bungkusan/ paket yang mengandung bahan diduga bakteri antraks.

(2) Jangan menggoyang atau mengosongkan amplop/ bungkusan/ paket yang diduga mengandung bubuk spora antraks.

(3) Hindari semaksimal mungkin bahan yang diduga mengandung kuman antraks tersebar atau tertiup angin atau terhirup.

(4) Gunakan sarung tangan dan masker hidung dan mulut, bila tangan atau badan tercemar bubuk yang diduga mengandung spora antraks, cuci tangan atau mandi dengan sabun dan air yang mengalir.

(5) Masukan amplop atau bungkusan seluruhnya ke dalam kantong plastik yang kedap udara atau dapat diikat dengan keras, lebih baik bila menggunakan kantong plastik 2 (dua) lapis atau lebih.

(6) Masukan kantong plastik ke dalam wadah kaleng/ stoples kaca berikut sarung tangan, masker dan barang-barang lain yang mungkin telah tercemar bakteri antraks dan beri label “BERBAHAYA JANGAN DIBUKA”.

(7) Letakan dos dan stoples dalam ruangan yang tidak banyak digunakan oleh orang lain atau ruangan khusus yang terkunci.

(8) Lapor ke Polisi (Kadis DOKKES Polda Metro Jaya), dengan alamat Jl. Jend. Sudirman No. 55 Jakarta, Telepon: (021) 5234018 atau Faksimili: (021) 5234197.

(9) Polisi akan datang ke tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengambil dan mengamankan barang bukti dan lokasi.

(10) Buat daftar nama orang-orang yang berada di lokasi kejadian untuk mendapatkan pengobatan pencegahan.

(11) Hasil pemeriksaan laboratorium (positif/negatif) dikirimkan kepada polisi pengirim dengan tembusan ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan dan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan.

 

2) Unit Khusus penyidikan dugaan AT/ARG


Selain penyidikan terhadap Anthrax klasik maka khusus untuk penyidikan AT/ARG atau Anthrax dalam surat/paket ditunjuk Bvet Bukittinggi, BBVet Wates, Yogyakarta, BBVet Maros dan Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET) di Bogor. Alamat Unit Khusus penyidikan dugaan AT/ARG :

(1) BVet Bukittinggi, alamat Komplek Pertanian, Jln. Landbow Kotak Pos 35 Bukittinggi, Sumatera Barat. Telp. 0752 28300/Fax. 0752 28290. Menerima spesimen asal P. Sumatera.

(2) BBVet Wates, Yogyakarta, alamat Jln. Raya YogyaWates KM. 27 Kotak Pos 18 Wates, Yogyakarta 55602. Telp. 0274 773168/Fax. 0274 773354. Menerima spesimen asal P. Jawa, P.Kalimantan, P. Bali dan Nusa Tenggara Barat.

(3) BBVet Maros, alamat Jln. Jend. Sudirman No.14, Kotak Pos 198 Makassar, Sulsel. Telp/Fax. 0411 371105. Menerima spesimen asal P. Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan pulau-pulau Kawasan Timur Indonesia.

(4) Balai Besar Penelitian Veteriner (BALITVET), alamat Jln. RE. Martadinata No.30, Bogor Jawa Barat. Telp. 0251 21048. Menerima spesimen dari seluruh wilayah di Indonesia.

 

III. PENUTUP

Pada prinsipnya seluruh Balai Besar Veteriner dan Balai Veteriner melakukan pemeriksaan spesimen terhadap Anthrax. Khusus untuk penyidikan terhadap AT/ARG atau Anthrax dalam surat/paket telah ditunjuk pelaksana penyidik adalah BPPVR- II Bukittinggi, BPPVR-IV Yogyakarta, BPPVR- VII Maros dan Balai Penelitian Veteriner Bogor selain penyidikan terhadap Anthrax klasik. Guna kecepatan reaksi dan operasional yang tepat terhadap AT/ARG maka hendaknya BPPV Regional II, IV dan VII yang ditunjuk tersebut berkoordinasi lebih lanjut dengan POLDA dan Dinas Kesehatan setempat di wilayah kerja guna operasional setiap saat diperlukan.

 

SUMBER:

Pedoman Khusus Pengamanan Surat / Paket yang Dicurigai Mengandung Anthrax dalam Pedoman Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM) Seri Penyakit Anthrax.  2016. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,  Kementerian Pertanian.

 

No comments: