Zuhudlah, Niscaya Engkau Dicintai Allah
dan Dicintai Manusia
Dari Abul ‘Abbâs Sahl bin Sa’d
as-Sa’idi Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Ada seseorang yang datang kepada
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullâh! Tunjukkan
kepadaku satu amalan yang jika aku mengamalkannya maka aku akan dicintai oleh
Allah dan dicintai manusia.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan zuhudlah terhadap
apa yang dimiliki manusia, niscaya engkau dicintai manusia.” [Hadits hasan,
diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dan selainnya dengan beberapa sanad yang hasan]
TAKHRIJ
HADITS
Hadits ini
hasan diriwayatkan oleh:
Ibnu Mâjah
no. 4102, dan ini lafazhnya.
Ibnu Hibbân
dalam Raudhatul ‘Uqalâ` hlm. 128
Ath-Thabarâni
dalam al-Mu’jamul Kabîr no. 5972
Abu Nu’aim
dalam Hilyatul Auliyâ’ VII/155, no. 9991
Al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iimân no. 10043
Ibnu ‘Adi
dalam al-Kâmil III/458
Al-‘Uqaili
dalam adh-Dhu’afâ` II/357
Al-Hâkim
IV/313
Hadits ini dihasankan oleh Imam an-Nawawi, al-Hâfidz Ibnu
Hajar al-Asqalâni, al-Irâqi, al-Haitsami, dan Syaikh al-Albâni rahimahumullâh
dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah no. 944 dan Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr
no. 922
SYARAH HADITS
Hadits ini mengandung dua wasiat agung:
Pertama, zuhud
terhadap dunia. Zuhud ini bisa menguncang kecintaan Allah Azza wa Jalla kepada
seorang hambaNya.
Kedua, zuhud
terhadap apa yang dimiliki orang lain. Zuhud ini bisa menyebabkan seseorang
dicintai manusia.
Pengertian Zuhud
Zuhud terhadap sesuatu maknanya berpaling darinya karena
menganggapnya remeh, tidak bernilai, atau tidak meminatinya. Para generasi
Salaf dan generasi sesudah mereka banyak berbicara tentang makna zuhud terhadap
dunia dengan redaksi yang beragam.
Abu Muslim
al-Khaulâni rahimahullah berkata, “Zuhud terhadap dunia tidak dengan
mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Nnamun zuhud terhadap dunia
ialah engkau lebih yakin kepada apa yang ada di tangan Allah Azza wa Jalla
daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika engkau diuji dengan musibah maka
engkau lebih senang dengan pahalanya hingga engkau berharap seandainya musibah
tersebut tetap terjadi padamu.”[1]
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan bahwa zuhud yang sesuai dengan syari’at
adalah seseorang meninggalkan segala yang tidak bermanfaat di akhiratnya dan
hatinya yakin serta percaya terhadap apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla.[2]
Jadi, zuhud
ditafsirkan dengan tiga hal yang semuanya merupakan perbuatan hati. Oleh karena
itu, Abu Sulaiman rahimahullah mengatakan, “Janganlah engkau bersaksi untuk
seseorang bahwa ia orang zuhud karena zuhud itu letaknya di hati.”[3]
Tiga hal yang
merupakan penafsiran zuhud yaitu :
Pertama,
hendaknya seorang hamba lebih yakin terhadap apa yang ada di sisi Allah Azza wa
Jalla daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Sikap ini muncul dari
keyakinannya yang kuat dan lurus, karena Allah Azza wa Jalla menjamin rezeki
seluruh hamba-Nya dan menanggungnya, seperti yang Allah Azza wa Jalla
firmankan,
Dan tidak ada
satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin
rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat
penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfûzh).”
[Hûd/11:6]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman,
Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di
sisi Allah adalah kekal [an-Nahl/16:96]
Abu Hâzim rahimahullah pernah ditanya, “Apa
hartamu?” Ia menjawab, “Aku mempunyai dua harta yang menyebabkan aku tidak
takut miskin; Pertama, percaya sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla dan Kedua,
tidak mempunyai harapan terhadap apa yang ada di tangan manusia.”
Al-Fudhail bin
‘Iyâdh rahimahullah berkata, “Prinsip zuhud ialah ridha kepada Allah Azza wa
Jalla .” Ia juga mengatakan, “Qanâ’ah adalah zuhud dan itulah kekayaan (merasa
cukup).” [4]
Barangsiapa mewujudkan keyakinannya, maka ia
percaya sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam segala urusannya, ridha
dengan pengaturan-Nya dan tidak menggantungkan harapan dan kekhawatirannya pada
makhluk. Ini semua bisa mencegahnya dari usaha menggapai dunia dengan cara-cara
yang ilegal. Orang yang seperti inilah orang yang benar-benar zuhud terhadap
dunia dan ia adalah manusia terkaya, kendati ia tidak mempunyai apapun.[5]
Kedua, jika seorang hamba mendapatkan musibah pada
dunianya, misalnya hartanya ludes, anaknya meninggal dunia, dan lain
sebagainya, maka ia lebih senang kepada pahala musibah tersebut daripada
dunianya yang hilang itu kembali lagi. Sikap seperti ini muncul karena
keyakinannya yang penuh.[6]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu
bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam doanya,
Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa
takut kepada-Mu yang dapat menghalangi kami dari perbuatan maksiat kepada-Mu;
Anugerahkan kepada kami ketaatan kepada-Mu yang akan menghantarkan kami ke
surga-Mu; Dan anugerahkan kepada kami keyakinan yang membuat kami merasa ringan
atas seluruh musibah dunia ini. [7]
Allah Azza wa Jalla berfirman, yang maknanya: ”Setiap bencana yang
menimpa di bumi dan menimpa dirimu, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfûzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi
Allah. Agar kau tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak
pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.”
[al-Hadîd/57:22-23]
Ketiga, pujian dan celaan dari
orang tidak berpengaruh bagi hamba yang zuhud selama dia dalam kebenaran. Ini
juga pertanda zuhudnya terhadap dunia, menganggapnya rendah dan tidak berambisi
kepadanya. Karena orang yang
mengagungkan dunia, maka ia akan mencintai pujian dan membenci celaan. Ada
kemungkinan, sikap mencintai pujian dan membenci celaan ini mendorongnya
meninggalkan banyak kebenaran karena khawatir dicela serta mengerjakan berbagai
perbuatan bathil karena mengharapkan pujian. Jadi, orang yang menilai pujian
dan celaan manusia baginya itu sama selama dia dalam kebenaran, menunjukkan
kedudukan seluruh makhluk telah runtuh dari hatinya. Hatinya penuh dengan
kecintaan kepada kebenaran, dan ridha kepada Rabb-nya. Allah Azza wa Jalla
memuji orang-orang yang berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla dan tidak takut
celaan. [8]
Mereka
berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang mencela. [al-Mâidah/5:54]
Bertolak dari definisi bahwa orang yang zuhud
sejati ialah orang yang tidak memuji dirinya dan tidak pula mengagungkannya,
Yûsuf bin al-Asbâth t berkata, “Zuhud terhadap kekuasaan itu lebih berat
daripada zuhud terhadap dunia.”[9]
Jadi, barangsiapa menghilangkan ambisi untuk berkuasa di dunia ini dari
dalam hatinya dan menghilangkan perasaan lebih hebat dari orang lain, sungguh,
dia orang yang zuhud sejati dan dialah orang yang pemuji dan pencelanya dalam
kebenaran itu sama saja.
ZUHUD YANG BID’AH
Zuhud yang bid’ah adalah zuhud yang menyelisihi
Sunnah dan tidak mendatangkan kebaikan. Ia hanya menzhalimi dan membutakan hati
serta mengotori keindahan agama Islam yang diridhai Allah Azza wa Jalla ini dan
membuat manusia lari menjauhi agama Islam, menghancurkan peradabannya dan
membuat umatnya takluk kepada musuh Islam. Selain itu, zuhud bid’ah ini juga
menimbulkan kebodohan yang merata dan bersandar kepada selain Allah Azza wa
Jalla . Berikut ini ucapan para tokoh Sufi yang mengajarkan zuhud bid’ah.
Al-Junaid berkata, “Yang lebih saya sukai bagi
para pemula ialah tidak menyibukkan hatinya dengan ketiga hal ini, jika tidak,
maka keadaan akan berubah: pertama: berusaha (mencari rizki), kedua: mencari
hadits, dan menikah: menikah. Dan yang saya sukai dari seorang Sufi ialah
hendaknya ia tidak membaca dan tidak menulis, supaya lebih konsentrasi.”[10]
Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Apabila seseorang
mencari hadits, atau safar dalam rangka mencari rezeki, atau menikah maka ia
telah bertumpu pada dunia.”
Semua yang disebutkan di atas oleh al-Junaid dan
Abu Sulaimân ad-Darani adalah menyelisihi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mereka berusaha merusak Islam, mengajak orang supaya bodoh, statis,
malas, mengemis serta membuka pintu zina, onani, homoseksual dan lainnya.
Telah diketahui bersama bahwa peradaban Islam
tidak akan tegak kecuali dengan ilmu, mata pencaharian dan menikah.
Islam menyuruh umatnya agar menuntut ilmu agama
juga ilmu dunia. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Menuntut ilmu itu
wajib atas setiap Muslim.[11]
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang maknanya : Barangsiapa
yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. [12]
Islam menyuruh
kita untuk bekerja dan mencari nafkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
Tidaklah seseorang makan suatu makanan pun yang
lebih baik daripada hasil pekerjaan (usaha) tangannya sendiri. Dan sesungguhnya
Nabiyullah Dâwud Alaihissallam makan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri.[13]
Dan Islam juga
menyuruh umatnya untuk menikah. Rasulullah n bersabda,
Wahai para pemuda! Barang siapa di antara
kalian memiliki kemampuan menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat
membentengi dirinya.[14]
TIDAK
MENGUTAMAKAN KESENANGAN DUNIAWI
Dalam al-Qur`ân
banyak didapatkan pujian bagi orang zuhud pada dunia dan mengecam cinta dunia. Allah
Azza wa Jalla berfirman,
Sedangkan kamu (orang-orang
kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan
lebih kekal. [al-A’lâ/87:16-17]
Allah Azza wa Jalla berfirman,
yang artinya: Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan
dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat.
[ar-Ra’d/13:26]
Allah Azza wa
Jalla berfirman, yang maknanya: Katakanlah, ‘Kesenangan di dunia ini hanya
sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa dan kamu
tidak akan dizhalimi sedikit pun. [an-Nisâ’/4:77]
Seorang Mukmin
tidak boleh tertipu dengan dunia. Allah Azza wa Jalla berulang-ulang
mengingatkan dalam firman-Nya agar kita tidak tertipu dengan dunia.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. [Ali ‘Imrân/3:185]
Allah Azza wa
Jalla juga berfirman,
Wahai manusia! Sungguh, janji Allah itu benar,
maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan janganlah (setan) yang
pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. [Fâthir/35:5]
Hadits-hadits tentang celaan terhadap dunia dan kehinaannya di sisi Allah
Azza wa Jalla banyak sekali.
Diriwayatkan dari Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berjalan melewati pasar sedang manusia berada di pasar tersebut. Beliau
berjalan melewati bangkai anak kambing jantan yang kedua telinganya kecil.
Sambil memegang telinga binatang beliau bersabda, “Siapa di antara kalian yang
suka membeli ini seharga satu dirham ?” Orang-orang berkata, “Kami sama sekali
tidak tertarik kepadanya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau
bersabda, “Apakah kalian suka jika ini menjadi milik kalian ?” Orang-orang
berkata, “Demi Allah, kalau anak kambing jantan ini hidup, pasti ia cacat,
karena telinganya kecil, apalagi ia telah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah,
sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi
kalian.”[15]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Demi Allah! Tidaklah dunia dibandingkan
akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian meletakkan jari-jarinya-
Yahya (perawi hadits) berisyarat dengan jari telunjuknya- ke laut, maka
lihatlah apa yang dibawa jari-jarinya ?”[16]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
Seandainya
dunia di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk, maka Dia tidak memberi minum
sedikit pun darinya kepada orang kafir.[17]
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya
dunia ini manis dan indah. Dan sesungguhnya Allah menguasakan kepada kalian
untuk mengelola apa yang ada di dalamnya, lalu Dia melihat bagaimana kalian
berbuat. Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap dunia dan wanita, karena
fitnah yang pertama kali terjadi pada bani Israil adalah karena wanita.[18]
MAKNA KECAMAN
KEPADA DUNIA
Ketahuilah bahwa
kecaman kepada dunia dalam al-Qur`ân dan Sunnah itu tidak tertuju kepada malam
dan siang, karena Allah Azza wa Jalla menjadikannya silih berganti bagi orang
yang ingin ingat dan bersyukur.
Kecaman kepada
dunia juga tidak tertuju kepada tempat dunia yang tidak lain adalah bumi yang
dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai hamparan dan tempat tinggal; Tidak pula
ke gunung, laut, sungai, pertambangan, pohon, hewan-hewan dan lain sebagainya
yang ada di dalamnya karena itu semua nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla kepada
hamba-hamba-Nya.
Namun, kecaman
kepada dunia tertuju kepada perbuatan-perbuatan anak keturunan Adam yang
terjadi di dunia karena sebagian besar perbuatan mereka mempunyai dampak yang
tidak terpuji, bahkan berdampak negatif atau melakukan hal-hal yang tidak
bermanfaat, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla ,
Ketahuilah,
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan
dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak
keturunan
[al-Hadîd/57:20]
DUA KELOMPOK MANUSIA DI DUNIA
Manusia di dunia terbagi menjadi dua kelompok:
Kelompok pertama, yang mengingkari keberadaan negeri lain setelah
dunia ini yaitu negeri untuk memberikan balasan. Mereka itulah yang dikatakan
oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya, yang bermakna: ”Sesungguhnya
orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami,
dan merasa puas dengan dunia serta tentram dengan kehidupan itu, dan
orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di neraka,
karena apa yang telah mereka lakukan.” [Yunus: 7-8]
Ambisi mereka
adalah menikmati dunia dan memanfaatkan seluruh kelezatannya sebelum mati,
seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla ,
Dan
orang-orang kafir menikmati kesenangan dunia, dan mereka makan seperti hewan
makan; dan kelak nerakalah tempat tinggal bagi mereka.[Muhammad/47:12]
Kelompok kedua, yang mengakui adanya negeri Akhirat
setelah kematian.
Kelompok ini bergabung ke dalam syari’at para rasul. Mereka
terbagi ke dalam tiga kelompok: Pertama, orang yang menzhalimi dirinya sendiri.
Kedua, orang yang pertengahan. Ketiga, orang yang berlomba dalam kebaikan atas
izin Allah Azza wa Jalla.
Kelompok yang menzhalimi dirinya sendiri adalah kelompok
terbanyak dan kebanyakan mereka terlena dengan bunga-bunga dunia dan
perhiasannya, lalu mengambilnya dan menggunakannya tidak pada semestinya.
Akibatnya, dunia menjadi ambisi terbesarnya. Karena dunialah, mereka marah,
ridha, berdamai dan memusuhi. Merekalah orang-orang yang lalai, main-main,
orang-orang yang mementingkan penampilan, sombong dan gila harta. Mereka
tidak mengetahui jalan hidup dan tidak menyadari bahwa dunia merupakan tempat
perjalanan untuk menyiapkan bekal akhirat. Kendati ada diantara mereka yang
mengimaninya namun dengan keimanan global, mereka tidak mengetahuinya secara
detail dan tidak merasakan kenikmatan yang dirasakan orang-orang yang mengenal
Allah Azza wa Jalla di dunia yang merupakan sampel kenikmatan yang disiapkan di
akhirat.
Kelompok yang pertengahan ialah orang-orang yang
mengambil dunia dari sumber yang diperbolehkan, menunaikan
kewajiban-kewajibannya, menyimpan harta lebih dari kebutuhannya dan juga sering
bersenang-senang dengan kenikmatan dunia.
Adapun kelompok yang berlomba-lomba dalam kebaikan
seizin Allah Azza wa Jalla , mereka memahami tujuan dunia dan beramal
sebagaimana mestinya. Mereka sadar bahwa Allah Azza wa Jalla menempatkan para
hamba-Nya di dunia dalam rangka menguji mereka; siapakah di antara mereka yang
paling baik amalnya, seperti yang Allah Azza wa Jalla firmankan, yang artinya :Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arsy-Nya di atas
air, agar Dia menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
[Hûd/11:7]
Kelompok yang berlomba-lomba dalam kebaikan ini
terbagi ke dalam dua kelompok.
Pertama: kelompok yang hanya mengambil dunia
sebatas untuk menutup kerongkongan saja. Inilah kondisi kebanyakan orang-orang
yang zuhud.
Kedua: kelompok yang terkadang mengizinkan dirinya
menikmati sebagian kesenangan yang diperbolehkan supaya lebih kuat dan giat
dalam beramal, seperti diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda,
Sesungguhnya di antara dunia kalian yang
menjadikan aku terpikat kepadanya ialah wanita dan parfum dan penyejuk mataku
dijadikan dalam shalat.[19]
Jika seorang Mukmin ketika melampiaskan syahwatnya
yang mubah berniat untuk memperkuat diri dalam melaksanakan ketaatan, maka
pelampiasannya itu adalah ketaatan baginya dan ia diberi pahala. Mu’âdz bin
Jabal Radhiyallahu anhu mengatakan, “Sungguh, aku mengharapkan pahala dari
tidurku sebagaimana aku mengharapkan pahala dari shalatku.” Maksudnya, ia
berniat dengan tidurnya supaya kuat melakukan qiyâmul lail di akhir malam.
Sa’id bin Jubair Radhiyallahu anhu mengatakan,
“Kenikmatan yang menipu ialah kenikmatan yang melalaikanmu dari mencari akhirat
dan apa saja yang tidak melalaikanmu tidak dikatakan kenikmatan yang menipu,
namun dikatakan kenikmatan yang mengantarkan kepada sesuatu yang lebih
baik.”[20]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dunia itu
terlaknat dan terlaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada
Allah dan apa saja yang mendukungnya (dzikir), orang alim, dan orang yang
belajar.[21]
Jadi, dunia dan isinya terlaknat, maksudnya
dijauhkan dari Allah Azza wa Jalla , karena bisa menyibukkan dari Allah Azza wa
Jalla , kecuali ilmu yang bermanfaat yang membimbing menuju Allah Azza wa Jalla
, supaya kenal dengan-Nya, mencari kedekatan dan keridhaan-Nya, juga dzikir
kepada Allah Azza wa Jalla dan yang mendukungnya. Itulah tujuan dunia, karena
Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk sentiasa bertakwa dan
taat kepada-Nya. Ini menuntut seorang hamba selalu berdzikir kepada Allah Azza
wa Jalla . Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu tentang definisi takwa : “Hendaklah
Allah itu ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta
disyukuri dan tidak diingkari.[22]
Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan shalat dalam
rangka dzikir kepada-Nya, begitu juga haji dan thawaf. Ahli ibadah yang paling
utama ialah orang yang paling banyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dalam
ibadahnya. Ini semua (dzikir, shalat, dll) tidak termasuk dunia yang tercela,
karena itulah tujuan penciptaan dunia dan manusia. Allah Azza wa Jalla
berfirman yang maknanya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah kepada-Ku”. [adz-Dzâriyât/51:56]
Al-Qur`ân dan Sunnah menegaskan bahwa akhirat
lebih baik daripada dunia secara mutlak. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan
akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian meletakkan jari-jarinya ke
laut, maka lihatlah air yang dibawa jari-jarinya ? [23]
Hadits ini menegaskan bahwa akhirat lebih baik
daripada dunia beserta isinya.
CARA MENDAPATKAN KECINTAAN ALLAH AZZA WA JALLA.
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu.”
Zuhud terhadap dunia adalah salah satu cara
mendapatkan cinta Allah Azza wa Jalla . Yang dimaksud zuhud di sini ialah zuhud
seperti yang dilakukan oleh para Ulama Salaf, bukan zuhud menurut cara ahlul
bid’ah yang menyebabkan kaum Muslimin menjadi terbelakang. Kecintaan Allah Azza
wa Jalla terhadap hamba-Nya adalah perkara agung. Orang yang dicintai Allah
Azza wa Jalla berarti telah diberikan taufik (bimbingan) ke arah yang dicintai
dan diridhai-Nya.
Masih banyak cara untuk mendapatkan kecintaan
Allah Azza wa Jalla , di antaranya: berbuat baik kepada kedua orang tua,
keluarga, sanak kerabat, tetangga, dan sesama kaum Muslimin, tawakkal kepada
Allah Azza wa Jalla , menegakkan keadilan, sabar, takwa, bersuci lahir batin,
berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla , dan lain sebagainya. Kesimpulannya,
bahwa cara mendapatkan kecintaan Allah Azza wa Jalla ialah mentaati-Nya dengan
jujur dan menjauhi segala larangan-Nya.
CARA MENDAPATKAN KECINTAAN MANUSIA
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Dan
zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia niscaya engkau dicintai
manusia.”
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla mencintai
orang-orang yang zuhud terhadap dunia. Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang
yang mencintai dan mengutamakan dunia daripada akhirat. Allah Azza wa Jalla berfirman,
Tidak! Bahkan
kamu mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akhirat. [al-Qiyâmah/75: 20-21]
Jika Allah Azza wa Jalla mencela orang-orang yang mencintai dunia, maka itu
menunjukkan bahwa Dia memuji orang-orang yang tidak mencintai dunia,
menolaknya, dan meninggalkannya.
Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang tujuan hidupnya adalah
dunia, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di
kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat,
Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia
akan mendatanginya dalam keadaan hina. [24]
Wasiat kedua di hadits ini ialah zuhud terhadap
apa saja yang ada di tangan manusia. Zuhud seperti ini membuat orang dicintai
manusia. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dan ketahuilah bahwa kemuliaan seorang
Mukmin ialah shalat malamnya dan kehormatannya ialah tidak merasa butuh kepada
manusia.[25]
Seseorang sangat butuh kecintaan orang lain. Ia
akan merasa senang dan lapang dada ketika ia hidup di tengah masyarakat yang
mencintainya. Sebaliknya ia merasa sempit ketika hidup di tengah masyarakat
yang membencinya. Namun, yang perlu diperhatikan dalam menggapai cinta manusia
yaitu harus dengan cara yang benar dan adil yang dibenarkan dalam agama Islam,
bukan dengan cara-cara yang menyimpang dari agama Islam.[26]
Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa mencari ridha manusia dengan
membuat Allah murka, maka ia diserahkan oleh Allah kepada manusia, dan
barangsiapa membuat marah manusia dengan keridhaan Allah, maka Allah akan
mencukupinya dari kekejaman manusia. [27]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Engkau
senantiasa menjadi mulia di mata manusia atau manusia senantiasa memuliakanmu
jika engkau tidak mengambil apa yang ada di tangan manusia. Jika engkau
mengambil apa yang ada di tangan manusia, mereka meremehkanmu, membenci
perkataanmu dan benci kepadamu.”[28]
Banyak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang memerintahkan menahan diri dari meminta-minta kepada manusia. Barangsiapa
meminta sesuatu yang ada di tangan manusia, maka mereka membencinya dan tidak
menyukainya, karena manusia itu menyukai harta. Dan meminta apa yang disukai
oleh orang yang memilikinya akan menimbulkan kebencian.
Adapun orang yang zuhud terhadap apa yang ada di
tangan manusia dan menahan diri darinya, maka mereka akan mencintai dan
memuliakannya. Seorang Arab Badui bertanya kepada penduduk Basrah, “Siapakah
orang mulia di desa ini?” Penduduk Bashrah menjawab, “Al-Hasan.” Orang Arab
badui itu bertanya, “Kenapa ia mulia bagi penduduk Bashrah?” Penduduk Bashrah
menjawab, “Manusia membutuhkan ilmunya, sedang ia tidak membutuhkan dunia
mereka.”
Sungguh indah
perkataan salah seorang generasi Salaf ketika menyifatkan dunia dan
penghuninya,
Dunia tidak lain adalah bangkai yang berubah,
Yang dikerumuni anjing-anjing dan mereka ingin menyeretnya
Jika engkau menjauhi bangkai tersebut, engkau memberi
kedamaian bagi pemiliknya
Jika engkau menariknya, engkau bersaing dengan anjing-anjingnya.[29]
FAWAA-ID HADITS
Tingginya
cita-cita para Sahabat, terbukti mereka selalu bertanya kepada Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan
dunia dan akhirat mereka.
Menetapkan salah
satu sifat Allah Azza wa Jalla , yaitu Allah Azza wa Jalla mencintai dengan
cinta yang sesungguhnya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
Tidak mengapa
bagi seseorang berusaha mendapatkan kecintaan manusia selama cara dan tujuannya
adalah benar dan diridhai Allah Azza wa Jalla.
Keutamaan zuhud di dunia.
Kedudukan zuhud lebih tinggi
daripada wara’ karena wara’ artinya meninggalkan apa yang berbahaya saja
sedangkan zuhud meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat di akhirat.
Zuhud sebagai sebab mendapatkan
kecintaan Allah Azza wa Jalla . Dan di antara sebab terbesar mendapatkan
kecintaan Allah Azza wa Jalla ialah mengikuti Sunnah Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
Anjuran dan dorongan agar zuhud
terhadap segala apa yang dimiliki orang lain karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadikan hal itu sebagai sebab mendapatkan kecintaan manusia.
Merasa cukup dan tidak mengharap apa yang ada di tangan manusia dan tidak
minta-minta kepada mereka, akan membawa kepada kecintaan manusia.
MARAJI’
Al-Qur`ân dan
terjemahnya.
Tafsîr
ath-Thabari.
Tafsîr Ibni
Katsir.
Shahîh al-Bukhâri.
Shahîh Muslim
Musnad Imam Ahmad.
Sunan Abu Dâwud.
Sunan at-Tirmidzi.
Sunan an-Nasâi.
Sunan Ibni Mâjah.
Shahîh Ibni
Hibbân (At-Ta’lîqâtul Hisân).
Hilyatul Auliyâ’,
karya Abu Nu’aim.
Jâmi’ul ‘Ulûm wal
Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm
Bâjis.
Qawâ’id wa
Fawâ-id minal Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
Syarhul
Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
Shahîh Jâmi’ush
Shaghîr, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
Silsilah
Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâny.
Dan kitab-kitab
hadits lainnya.
[Disalin dari
majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647,
081575792961, Redaksi 08122589079]
Footnote
[1] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/179
[2] Majmû’ Fatâwâ X/641
[3] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/180
[4] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/180-181
[5] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/181
[6] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/182
[7] Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 3502, al-Hâkim I/528, dan
Ibnus Sunni no. 446
[8] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/182-183
[9] Hilyatul Auliyâ’ VIII/261, no. 12127
[10] Qûtul Qulûb III/135. Dinukil dari Qawâ’id wa Fawâ-id,
hlm. 268
[11] Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah no. 224,
dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr
no. 3913. Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits lainnya dari beberapa
Sahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbâs, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ûd, Abu Sa’id
al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali Radhiyallahu anhum.
[12] Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh Ahmad V/196, Abu Dâwud
no. 3641, at-Tirmidzi no. 2682, Ibnu Mâjah no. 223, dan Ibnu Hibbân no.
80—al-Mawârid), lafazh ini milik Ahmad, dari Sahabat Abu Dardâ’Radhiyallahu
anhu.
[13] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2072 dari Sahabat
al-Miqdâm Radhiyallahu anhu.
[14] Hadits shahîh: Diriwayatkan oleh Ahmad I/378, 424, 425,
432, al-Bukhâri no. 1905, 5065, 5066, Muslim no. 1400 dan ini lafazhnya,
at-Tirmidzi no. 1081, an-Nasâ-i VI/56, 57, Ibnu Mâjah no. 1845, ad-Dârimi
II/132, dan al-Baihaqi VII/ 77 dari Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu
anhu
[15] Shahîh: HR. Muslim no. 2957
[16]Shahîh: HR. Muslim no. 2858 dan Ibnu Hibbân no.
4315-At-Ta’lîqâtul Hisân dari al-Mustaurid al-Fihri t .
[17]Shahîh: HR. at-Tirmidzi no. 2320 dan Ibnu Mâjah no. 4110
dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu.
[18]Shahîh: HR. Muslim no. 2742 (99), dari Sahabat Abu Sa’id
al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[19]Shahîh: HR. Ahmad III/128, 199, 285, an-Nasâ`i VII/61,
62, Isyratun Nisâ’ no.1, al-Hâkim II/160, dan al-Baihaqi VII/78 dari Anas bin
Mâlik Radhiyallahu anhu. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh
al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3124
[20] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/193
[21] Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 2322 dan Ibnu Mâjah no. 4112
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[22] Atsar Shahîh: Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam
al-Mu’jamul Kabîr no. 8502, al-Hâkim II/294, Ibnu Jarîr dalam Tafsîr-nya
III/375-376, dan Ibnu Katsîr dalam Tafsîr-nya II/87
[23]Shahîh: HR. Muslim no. 2858 dan Ibnu Hibbân no. 4315 –
at-Ta’lîqâtul Hisân– dari al-Mustaurid al-Fihri t .
[24] Shahîh: HR. Ahmad V/183, Ibnu Mâjah no. 4105, dan Ibnu
Hibbân no. 72-Mawâriduzh Zham-ân) dari Sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu
anhu. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah
no. 950)
[25] Hasan: HR. al-Hâkim IV/324-325, dan al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iimân no. 10058 dishahîhkan oleh al-Hâkim dan disepakati adz-Dzahabi.
Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah no. 831
dan beliau menyebutkan tiga jalan periwayatan; dari ‘Ali, Sahl, dan Jâbir
Radhiyallahu anhu.
[26]Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 271
[27] Shahîh: HR. Ibnu Hibbân no. 277-At-Ta’lîqâtul Hisân,
Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ‘ VIII/202, no. 11878, dan selainnya.
Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr no. 6010
[28] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/204-205
[29] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam II/206
SUMBER:
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas. Zuhudlah, niscaya
engkau dicintai allah dan dicintai manusia.
#Zuhud
#CintaAllah
#AkhlaqMulia
#IlmuSalaf
#MotivasiIslam

No comments:
Post a Comment