Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Showing posts with label Scholarship. Show all posts
Showing posts with label Scholarship. Show all posts

Sunday, 13 July 2025

Jepang Pangkas Beasiswa Doktor Asing: Alarm Bahaya bagi Riset dan Masa Depan Akademik Global



Pemangkasan Dukungan Mahasiswa Doktor Asing: Pukulan Bagi Akademisi Jepang

 

Jepang sedang berdiri di persimpangan penting dunia akademik. Rencana pemerintah untuk memangkas dukungan finansial bagi mahasiswa Doktor asing memantik gelombang protes dan kecaman, bukan hanya karena dinilai diskriminatif, tapi juga karena dianggap mengancam masa depan riset dan inovasi di negeri sakura. Di saat negara-negara lain berlomba menarik talenta internasional, Jepang justru berpotensi mengusir para pemikir muda yang selama ini menjadi bagian penting dari ekosistem akademiknya.

 

Rencana pemerintah Jepang untuk menghentikan dukungan finansial bagi mahasiswa asing program doktoral memicu kegelisahan luas di kalangan akademisi dan mahasiswa. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah mundur yang bertolak belakang dengan semangat internasionalisasi pendidikan tinggi dan memperparah kesenjangan di lingkungan akademik.

 

Sebelumnya, mahasiswa doctoral, termasuk yang berasal dari luar negeri, berhak menerima tunjangan hidup hingga 2,4 juta yen per tahun. Namun kini, Kementerian Pendidikan berencana membatasi bantuan ini hanya untuk warga negara Jepang. Jika disetujui, kebijakan baru ini akan berlaku mulai tahun fiskal 2027.

 

Banyak pihak menganggap kebijakan ini diskriminatif dan tidak adil. Emi Omuro, mahasiswa doktoral asal Jepang di Universitas Ochanomizu, bahkan menggelar unjuk rasa menentang rencana tersebut. Ia bersama puluhan mahasiswa lainnya membawa pesan kuat melalui spanduk bertuliskan “Jangan Diskriminasi” dan “Akademis Tidak Mengenal Batas.” Menurut Omuro, membatasi dukungan berdasarkan kewarganegaraan adalah tindakan yang merusak solidaritas dan semangat kebersamaan di kampus.

 

Isu ini juga telah memasuki ranah politik. Dalam debat parlemen, anggota Partai Demokrat Liberal, Haruko Arimura, mengkritisi besarnya porsi mahasiswa asing, khususnya asal Tiongkok, dalam penerima dana. Ia menyebut perlunya memperkuat aspek “keamanan ekonomi nasional,” dan menegaskan bahwa program ini semestinya hanya diperuntukkan bagi warga Jepang.

 

Namun pendekatan ini justru menimbulkan pertanyaan besar. Jika Jepang ingin bersaing secara global dalam bidang penelitian dan inovasi, mengapa menutup pintu bagi talenta internasional? Data menunjukkan, 39 persen dari 10.564 penerima subsidi pada tahun fiskal 2024 adalah mahasiswa asing. Dari jumlah itu, sebagian besar berasal dari Tiongkok.

 

Ironisnya, pemerintah Jepang sendiri sebelumnya telah mencanangkan target ambisius untuk meningkatkan rasio mahasiswa asing di program doktoral menjadi 33 persen pada 2033. Saat ini, angkanya baru mencapai 21 persen. Kebijakan pemangkasan ini jelas kontradiktif dengan arah kebijakan tersebut.

 

Bagi para mahasiswa asing, keputusan ini bukan hanya soal beasiswa, tetapi soal keberlangsungan studi dan masa depan mereka. Seorang mahasiswa pascasarjana asal Tiongkok mengaku akan membatalkan rencana melanjutkan ke jenjang doktoral karena tidak lagi mampu membiayai hidup tanpa dukungan. “Saya memilih kerja saja daripada terus kuliah tanpa dukungan finansial,” katanya dalam aksi di Tokyo.

 

Selain mengancam keberadaan mahasiswa asing, kebijakan ini juga dinilai membahayakan kualitas riset di Jepang. Profesor Norihiro Nihei dari Universitas Tokyo menyebut bahwa banyak kontribusi besar dalam dunia akademik Jepang berasal dari mahasiswa asing dengan keahlian khusus. Menyingkirkan mereka sama saja dengan mematikan sumber gagasan dan inovasi.

 

Dampak sosial dari kebijakan ini juga tidak bisa diabaikan. Yusuke Kazama, dosen Universitas Prefektur Nara, menilai kebijakan ini sebagai cerminan meningkatnya sentimen anti-asing di Jepang. Ia menyebut munculnya platform “Japanese First” sebagai bukti menguatnya populisme yang mengorbankan semangat inklusif.

 

Mahasiswa asing datang ke Jepang dengan harapan besar, untuk belajar, bertukar pengetahuan, dan berkontribusi dalam komunitas akademik. Jika mereka mulai diperlakukan sebagai beban, bukan aset, maka Jepang berisiko kehilangan simpati dan kepercayaan dari dunia internasional.

 

Pada akhirnya, pendidikan seharusnya menjadi jembatan antarbangsa, bukan tembok pemisah. Kebijakan ini bukan hanya soal beasiswa, tapi soal nilai-nilai dasar: keadilan, keberagaman, dan kemajuan bersama. Jika Jepang ingin tetap menjadi pemain utama dalam ilmu pengetahuan global, maka menghargai dan mendukung semua mahasiswa, tanpa memandang kewarganegaraan, adalah langkah yang tak bisa ditawar lagi.


#BeasiswaDoktorJepang
#MahasiswaAsingJepang
#KrisisAkademikJepang
#RisetDanInovasi
#PendidikanTinggiGlobal