TKI Hong Kong, Pahlawan Devisa yang
Terlupakan
Mereka bangun
saat kota masih gelap. Bekerja saat kita tertidur. Mengirim uang saat mereka
sendiri menahan rindu. TKI di Hong Kong bukan sekadar pekerja migran—mereka
adalah pahlawan yang menanggung lelah untuk membangun hidup orang lain. Terima
kasih, pahlawan devisa. Indonesia berdiri lebih kokoh karena kalian.
Setiap akhir pekan, ribuan pekerja
migran Indonesia di Hong Kong tumpah ruah di Victoria Park dan Central. Di
balik tawa, musik, dan kerumunan itu, ada kenyataan yang sering kita lupakan: mereka
adalah penyumbang devisa negara dalam jumlah miliaran dolar—tetapi penghargaan
yang mereka terima belum sebanding dengan pengorbanannya.
Data resmi menunjukkan sekitar 150 ribu lebih pekerja Indonesia bekerja di Hong Kong, mayoritas
sebagai pekerja rumah tangga. Mereka bangun lebih pagi daripada siapa pun,
tidur paling larut, bekerja enam hari seminggu, dan hidup di negara dengan
biaya hidup tinggi. Upah minimum yang mereka terima—sekitar HK$5.000 per bulan—seringkali habis untuk kebutuhan
hidup dan kiriman rutin untuk keluarga di tanah air. Namun dari gaji yang
sederhana itulah lahir kontribusi besar: lebih
dari USD 2 miliar remitansi dari Hong Kong saja mengalir ke Indonesia setiap tahunnya. Angka itu
menjadi oksigen bagi ribuan keluarga dan bagian penting dari stabilitas ekonomi
nasional.
Namun, seiring
derasnya aliran devisa, kita juga harus berani mengakui tekanan yang mereka
hadapi. Aturan “live-in”
membuat banyak dari mereka bekerja tanpa batas jam yang jelas. Sebagian
menghadapi beban mental akibat kesepian, konflik dengan majikan, atau
kekhawatiran soal masa depan keluarga yang bergantung pada uang kiriman dari
Hong Kong. Meski begitu, mereka tetap bertahan—karena di balik peluh ada mimpi:
menyekolahkan anak, melunasi utang, membangun rumah, atau memulai usaha kecil
saat pulang nanti.
Ironisnya, para pekerja yang menjadi tulang punggung
devisa ini masih sering dipandang sebelah mata. Penghargaan
sosial bagi PMI belum setara dengan nilai ekonomi dan pengorbanan emosional
yang mereka berikan. Padahal tanpa mereka, banyak keluarga tidak akan bergerak
naik kelas, dan negara kehilangan salah satu sumber devisa terbesarnya di luar
sektor formal.
Artikel ini
ingin menegaskan satu hal: para TKI di Hong Kong bukan sekadar pekerja migran—mereka
pahlawan keluarga dan negara.
Mereka layak mendapatkan:
- perlindungan
hukum yang lebih kuat,
- biaya
penempatan yang rendah dan bebas pungli,
- literasi keuangan yang lebih luas,
- akses
psikososial yang memadai,
- dan yang
terpenting: penghargaan sosial sebagai
pejuang ekonomi bangsa.
Di era menuju
Indonesia Emas 2045, narasi tentang pahlawan tak boleh hanya berisi kisah para
tokoh besar. Narasi itu juga harus memuat para perempuan dan laki-laki yang
bekerja dalam sunyi di negeri orang demi masa depan generasi berikutnya.
Merekalah pahlawan devisa—dan sudah waktunya negara berhenti sekadar menghitung uang yang mereka kirim, tetapi mulai menghitung martabat yang harus kita jaga.
#TKIHongKong
#PahlawanDevisa
#PMIIndonesia
#PekerjaMigran
#RemitansiIndonesia
#KisahTKI
#TenagaKerjaIndonesia
#PahlawanKeluarga #DiasporaIndonesia

No comments:
Post a Comment