Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 24 September 2025

Revolusi Pangan Dunia Selamatkan Lahan Bumi

 


Sistem pangan global saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia menjadi penopang utama bagi miliaran orang di seluruh dunia. Namun di sisi lain, cara kita memproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi pangan justru mempercepat kerusakan lingkungan, memperburuk perubahan iklim, serta mengikis keanekaragaman hayati. Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature menunjukkan bahwa reformasi besar-besaran pada sistem pangan mampu membalikkan kondisi tersebut sekaligus membuka jalan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

 

Penelitian yang melibatkan 21 ilmuwan internasional ini mengingatkan bahwa degradasi lahan tengah meningkat dengan cepat di berbagai belahan dunia. Dampaknya sangat luas, mulai dari ancaman terhadap ketahanan pangan dan air, hingga meningkatnya migrasi paksa, kerusuhan sosial, dan ketidaksetaraan ekonomi. Namun, jika reformasi sistem pangan dilakukan secara serius, para peneliti memperkirakan sekitar setengah dari lahan terdegradasi di dunia dapat dipulihkan pada tahun 2050.

 

Salah satu temuan menarik dari studi ini adalah perhitungan gabungan antara pengurangan limbah makanan hingga 75 persen serta pergeseran pola konsumsi dari produk hewani—yang boros lahan—menuju makanan laut yang berkelanjutan. Kombinasi langkah ini diperkirakan dapat membebaskan lahan seluas 30 juta kilometer persegi. Jika ditambah dengan upaya restorasi, total lahan yang bisa dilindungi dan dipulihkan mencapai 43,8 juta kilometer persegi—luas yang setara dengan hampir tiga kali lipat benua Afrika.

 

Lantas, apa saja langkah konkret yang direkomendasikan? 


Pertama, memulihkan 13 juta kilometer persegi lahan melalui pengelolaan berkelanjutan. Upaya ini harus melibatkan masyarakat adat, petani kecil, perempuan, dan komunitas rentan yang selama ini justru menjadi garda terdepan pengelolaan lahan. Selain itu, subsidi pertanian perlu dialihkan dari sistem industri skala besar menuju pertanian berkelanjutan, dengan jaminan hak atas tanah, akses teknologi, serta pasar yang adil.

 

Kedua, mengurangi limbah pangan yang saat ini mencapai sepertiga dari total produksi global. Dengan menekan angka pemborosan tersebut, lahan seluas 13,4 juta kilometer persegi bisa dihemat. Ketiga, melakukan transformasi pola makan. Produksi daging merah, terutama yang tidak berkelanjutan, sangat intensif dalam penggunaan lahan, air, dan pakan, serta menyumbang emisi gas rumah kaca yang tinggi. Mengganti 70 persen konsumsi daging merah dengan ikan, moluska, dan rumput laut berkelanjutan, dapat membebaskan 17,1 juta kilometer persegi lahan. Bahkan, hanya dengan mengganti 10 persen asupan sayuran dengan rumput laut, kita sudah bisa melepaskan 0,4 juta kilometer persegi lahan.

 

Meski begitu, para peneliti menegaskan bahwa rekomendasi ini tidak berlaku sama rata di seluruh dunia. Di negara-negara kaya, konsumsi daging yang berlebihan perlu dikurangi, sementara di wilayah miskin produk hewani masih berperan penting untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. “Kami menyajikan serangkaian tindakan terpadu yang berani untuk mengatasi degradasi lahan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim secara bersamaan, serta jalur yang jelas untuk mengimplementasikannya pada tahun 2050,” ujar Fernando T. Maestre, penulis utama penelitian dari King Abdullah University of Science and Technology, Arab Saudi.

 

Jika reformasi pangan global benar-benar dilakukan, kita bukan hanya menyelamatkan miliaran hektare lahan, tetapi juga memberi peluang bagi bumi untuk pulih. Dengan begitu, generasi mendatang dapat mewarisi sebuah planet yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan.

 

No comments: