Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 24 September 2025

Fakta Mengejutkan di Balik Krisis Ketahanan Pangan

 

Pernahkah kamu membayangkan bahwa hampir semua negara di dunia tidak bisa mencukupi kebutuhan makanannya sendiri tanpa bantuan dari negara lain? Sebuah studi global terbaru berjudul Gap Between National Food Production and Food-Based Dietary Guidance Highlights Lack of National Self-Sufficiency (2025) menemukan bahwa hanya ada satu negara di dunia yang benar-benar bisa hidup dari hasil pertaniannya sendiri tanpa perlu mengimpor makanan dari luar negeri. Fakta ini membuka mata tentang rapuhnya sistem pangan global, terutama ketika dunia dihadapkan pada pandemi, konflik, dan perubahan iklim.

 

1. Guyana jadi satu-satunya negara yang swasembada pangan

Temuan pertama yang mengejutkan adalah Guyana, negara kecil di pesisir utara Amerika Selatan, menjadi satu-satunya negara yang mampu swasembada penuh. Dari 186 negara yang diteliti, hanya Guyana yang berhasil memenuhi tujuh kelompok pangan sehat menurut standar diet Livewell WWF, yaitu daging, ikan dan makanan laut, produk susu, pati, legum, kacang dan biji-bijian, buah, serta sayuran. Keberhasilan ini lahir dari lonjakan investasi besar di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. Pemerintah Guyana meningkatkan produksi beras dengan menyediakan 152.000 karung benih, mendorong pertumbuhan peternakan hingga 24,6 persen, serta memperluas budidaya kacang merah, kedelai, dan jagung. Diversifikasi pangan juga didukung oleh produksi sayuran bernilai tinggi, pembangunan ratusan rumah tanam, serta peningkatan produksi madu. Strategi komprehensif inilah yang menjadikan Guyana contoh nyata swasembada pangan berkelanjutan.

 

2. Lebih dari 80 persen negara tak bisa memenuhi separuh kebutuhan pangan

Namun, gambaran global justru menunjukkan sebaliknya. Lebih dari 80 persen negara di dunia tidak mampu memenuhi separuh kebutuhan pangannya. Sebanyak 154 negara hanya bisa memenuhi dua hingga lima kelompok pangan sehat, bahkan lebih dari sepertiga hanya sanggup menyediakan dua kelompok atau kurang. Kawasan yang paling terdampak adalah Afrika, Karibia, dan sebagian Eropa. Keterbatasan lahan subur, air, dan tanah produktif menjadi alasan utama, sehingga negara-negara tersebut terpaksa bergantung pada perdagangan internasional untuk mencukupi kebutuhan makanannya.

 

3. Negara-negara maju belum tentu lebih mandiri ketahanan pangan

Menariknya, ketahanan pangan tidak selalu sejalan dengan tingkat kemajuan ekonomi. Negara-negara kaya seperti UEA, Qatar, Irak, dan Makau justru tidak mampu memenuhi kebutuhan dari satu pun kelompok pangan sehat secara lokal, meskipun memiliki infrastruktur modern dan pendapatan tinggi. Sebaliknya, Guyana yang ekonominya relatif kecil mampu mandiri berkat investasi serius di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan lebih ditentukan oleh strategi pembangunan dan kebijakan investasi pangan, bukan sekadar kekayaan nasional.

 

4. Ikan dan sayuran, kelompok pangan paling sulit dipenuhi secara lokal

Dari semua kelompok pangan, ikan dan sayuran menjadi yang paling sulit dipenuhi secara lokal. Hanya 25 persen negara yang mampu memenuhi kebutuhan ikan dan seafood, sementara untuk sayuran angkanya bahkan lebih rendah, hanya 24 persen. Sebagian besar negara Sub-Sahara Afrika gagal memenuhi kebutuhan sayurannya, dan bahkan negara maju pun kesulitan dalam produksi sayuran karena keterbatasan lahan, air, iklim, serta infrastruktur rantai dingin. Kondisi ini ironis, mengingat kedua kelompok pangan ini sangat penting sebagai sumber mikronutrien.

 

5. Ketergantungan tinggi pada negara mitra berisiko saat krisis

Ketergantungan tinggi pada negara mitra juga memperbesar risiko ketika krisis melanda. Banyak negara, misalnya di Karibia dan Amerika Tengah, sangat bergantung pada impor dari Amerika Serikat, sementara negara-negara di Asia Timur dan Afrika Sub-Sahara sering mengandalkan satu negara untuk lebih dari separuh impor pangannya. Situasi ini membuat sistem pangan global rentan terguncang oleh peristiwa tak terduga, seperti pandemi COVID-19, insiden kapal Ever Given yang tersangkut di Terusan Suez, atau kebijakan tarif impor.

 

6. Perdagangan regional meningkatkan ketahanan pangan, tapi tidak cukup

Kerja sama regional sebenarnya mampu meningkatkan ketahanan pangan, tetapi tidak cukup untuk mencapai swasembada penuh. Serikat Ekonomi dan Moneter Afrika Barat misalnya, hanya mandiri dalam produksi kacang-kacangan dan pangan bertepung. Komunitas Karibia hanya mandiri pada buah dan daging, sementara Dewan Kerja Sama Teluk hanya pada daging. Rata-rata, perdagangan dalam blok regional ini hanya meningkatkan swasembada sekitar seperempat kelompok pangan, meski ada pengecualian seperti Kongo, Malaysia, dan Afghanistan yang mengalami lonjakan lebih signifikan.

 

Meski kondisi sekarang terlihat rapuh, harapan untuk perubahan tetap ada. Teknologi pertanian modern dan kebijakan pangan yang progresif bisa mengubah peta ketahanan pangan dunia. Proyeksi hingga tahun 2032 memperkirakan peningkatan signifikan dalam produksi daging di Timur Tengah dan Afrika Utara, serta pertumbuhan besar untuk kacang-kacangan, biji-bijian, dan pangan bertepung di Eropa, Asia Tengah, dan Afrika. Inisiatif nasional seperti strategi "30 by 30" di Singapura, yang menargetkan produksi 30 persen kebutuhan pangan secara lokal pada 2030, menunjukkan bagaimana investasi dan inovasi bisa membawa perubahan nyata.

 

7. Potensi teknologi dan kebijakan bisa mengubah peta ketahanan pangan

Pada akhirnya, fakta-fakta ini memberi pelajaran bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga soal kebijakan, distribusi, dan ketergantungan antarnegara. Di balik sepiring nasi atau semangkuk sayur yang kita makan, ada rantai pasokan panjang yang bisa terganggu kapan saja oleh perang, cuaca ekstrem, atau krisis global lainnya. Meski tantangannya besar, negara-negara masih memiliki peluang untuk memperkuat diri jika mulai berinvestasi pada sistem pangan yang berkelanjutan. Dalam dunia yang semakin tidak pasti, swasembada pangan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.

No comments: