
Pernahkah kamu
membayangkan bahwa hampir semua negara di dunia tidak bisa mencukupi kebutuhan
makanannya sendiri tanpa bantuan dari negara lain? Sebuah studi global terbaru berjudul Gap
Between National Food Production and Food-Based Dietary Guidance Highlights
Lack of National Self-Sufficiency (2025) menemukan bahwa hanya ada satu
negara di dunia yang benar-benar bisa hidup dari hasil pertaniannya sendiri
tanpa perlu mengimpor makanan dari luar negeri. Fakta ini membuka mata tentang
rapuhnya sistem pangan global, terutama ketika dunia dihadapkan pada pandemi,
konflik, dan perubahan iklim.
1. Guyana jadi
satu-satunya negara yang swasembada pangan
Temuan pertama yang
mengejutkan adalah Guyana, negara kecil di pesisir utara Amerika Selatan,
menjadi satu-satunya negara yang mampu swasembada penuh. Dari 186 negara yang
diteliti, hanya Guyana yang berhasil memenuhi tujuh kelompok pangan sehat
menurut standar diet Livewell WWF, yaitu daging, ikan dan makanan laut, produk
susu, pati, legum, kacang dan biji-bijian, buah, serta sayuran. Keberhasilan
ini lahir dari lonjakan investasi besar di sektor pertanian, peternakan, dan
perikanan. Pemerintah Guyana meningkatkan produksi beras dengan menyediakan
152.000 karung benih, mendorong pertumbuhan peternakan hingga 24,6 persen,
serta memperluas budidaya kacang merah, kedelai, dan jagung. Diversifikasi
pangan juga didukung oleh produksi sayuran bernilai tinggi, pembangunan ratusan
rumah tanam, serta peningkatan produksi madu. Strategi komprehensif inilah yang
menjadikan Guyana contoh nyata swasembada pangan berkelanjutan.
2. Lebih dari 80 persen
negara tak bisa memenuhi separuh kebutuhan pangan
Namun, gambaran global justru menunjukkan
sebaliknya. Lebih dari 80 persen negara di dunia tidak mampu memenuhi separuh kebutuhan
pangannya. Sebanyak 154 negara hanya bisa memenuhi dua hingga lima kelompok
pangan sehat, bahkan lebih dari sepertiga hanya sanggup menyediakan dua
kelompok atau kurang. Kawasan yang paling terdampak adalah Afrika, Karibia, dan
sebagian Eropa. Keterbatasan lahan subur, air, dan tanah produktif menjadi
alasan utama, sehingga negara-negara tersebut terpaksa bergantung pada
perdagangan internasional untuk mencukupi kebutuhan makanannya.
3. Negara-negara maju
belum tentu lebih mandiri ketahanan pangan
Menariknya, ketahanan
pangan tidak selalu sejalan dengan tingkat kemajuan ekonomi. Negara-negara kaya
seperti UEA, Qatar, Irak, dan Makau justru tidak mampu memenuhi kebutuhan dari
satu pun kelompok pangan sehat secara lokal, meskipun memiliki infrastruktur
modern dan pendapatan tinggi. Sebaliknya, Guyana yang ekonominya relatif kecil
mampu mandiri berkat investasi serius di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan
bahwa ketahanan pangan lebih ditentukan oleh strategi pembangunan dan kebijakan
investasi pangan, bukan sekadar kekayaan nasional.
4. Ikan dan sayuran,
kelompok pangan paling sulit dipenuhi secara lokal
Dari semua kelompok
pangan, ikan dan sayuran menjadi yang paling sulit dipenuhi secara lokal. Hanya
25 persen negara yang mampu memenuhi kebutuhan ikan dan seafood, sementara
untuk sayuran angkanya bahkan lebih rendah, hanya 24 persen. Sebagian besar negara
Sub-Sahara Afrika gagal memenuhi kebutuhan sayurannya, dan bahkan negara maju
pun kesulitan dalam produksi sayuran karena keterbatasan lahan, air, iklim,
serta infrastruktur rantai dingin. Kondisi ini ironis, mengingat kedua kelompok
pangan ini sangat penting sebagai sumber mikronutrien.
5. Ketergantungan tinggi
pada negara mitra berisiko saat krisis
Ketergantungan tinggi
pada negara mitra juga memperbesar risiko ketika krisis melanda. Banyak negara,
misalnya di Karibia dan Amerika Tengah, sangat bergantung pada impor dari
Amerika Serikat, sementara negara-negara di Asia Timur dan Afrika Sub-Sahara sering
mengandalkan satu negara untuk lebih dari separuh impor pangannya. Situasi ini
membuat sistem pangan global rentan terguncang oleh peristiwa tak terduga,
seperti pandemi COVID-19, insiden kapal Ever Given yang tersangkut di Terusan
Suez, atau kebijakan tarif impor.
6. Perdagangan regional
meningkatkan ketahanan pangan, tapi tidak cukup
Kerja sama regional
sebenarnya mampu meningkatkan ketahanan pangan, tetapi tidak cukup untuk
mencapai swasembada penuh. Serikat Ekonomi dan Moneter Afrika Barat misalnya,
hanya mandiri dalam produksi kacang-kacangan dan pangan bertepung. Komunitas
Karibia hanya mandiri pada buah dan daging, sementara Dewan Kerja Sama Teluk
hanya pada daging. Rata-rata, perdagangan dalam blok regional ini hanya
meningkatkan swasembada sekitar seperempat kelompok pangan, meski ada
pengecualian seperti Kongo, Malaysia, dan Afghanistan yang mengalami lonjakan
lebih signifikan.
Meski kondisi sekarang
terlihat rapuh, harapan untuk perubahan tetap ada. Teknologi pertanian modern
dan kebijakan pangan yang progresif bisa mengubah peta ketahanan pangan dunia.
Proyeksi hingga tahun 2032 memperkirakan peningkatan signifikan dalam produksi
daging di Timur Tengah dan Afrika Utara, serta pertumbuhan besar untuk
kacang-kacangan, biji-bijian, dan pangan bertepung di Eropa, Asia Tengah, dan
Afrika. Inisiatif nasional seperti strategi "30 by 30" di Singapura,
yang menargetkan produksi 30 persen kebutuhan pangan secara lokal pada 2030,
menunjukkan bagaimana investasi dan inovasi bisa membawa perubahan nyata.
7. Potensi teknologi dan
kebijakan bisa mengubah peta ketahanan pangan
Pada akhirnya,
fakta-fakta ini memberi pelajaran bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal
produksi, tetapi juga soal kebijakan, distribusi, dan ketergantungan
antarnegara. Di balik sepiring nasi atau semangkuk sayur yang kita makan, ada
rantai pasokan panjang yang bisa terganggu kapan saja oleh perang, cuaca
ekstrem, atau krisis global lainnya. Meski tantangannya besar, negara-negara
masih memiliki peluang untuk memperkuat diri jika mulai berinvestasi pada
sistem pangan yang berkelanjutan. Dalam dunia yang semakin tidak pasti,
swasembada pangan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.
No comments:
Post a Comment