Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sunday, 21 September 2025

Peternakan, Bank Dunia, dan Masa Depan Bumi



Menuju Keberlanjutan: Sektor Peternakan dan Bank Dunia

 

Peternakan bukan sekadar soal daging, susu, atau telur. Ia adalah denyut nadi pangan dunia, penyokong 1,3 miliar jiwa, sekaligus penyumbang 40% dari total nilai produksi pertanian global. Namun di balik peran vitalnya, sektor ini juga menjadi sumber dilema: bagaimana memenuhi lonjakan permintaan pangan hewani tanpa merusak lingkungan, memperburuk ketimpangan, atau memicu krisis kesehatan?

 

Sektor peternakan adalah salah satu fondasi utama sistem pangan global. Perannya tidak hanya terbatas pada penyediaan daging, susu, atau telur, tetapi juga mencakup pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, hingga pembangunan ekonomi pedesaan. Menurut FAO, peternakan menyumbang sekitar 40% dari total nilai produksi pertanian dunia dan menopang kehidupan serta gizi hampir 1,3 miliar orang. Namun, di balik kontribusi besarnya, sektor ini juga menghadapi tantangan serius: bagaimana memastikan keberlanjutan sekaligus melindungi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.


Bagi banyak masyarakat, terutama di negara berkembang, ternak bukan sekadar sumber makanan, melainkan juga aset berharga. Pupuk kandang dari hewan menjadi sumber alami yang menjaga kesuburan tanah, sementara tenaga ternak sering kali masih digunakan untuk mengolah lahan di daerah yang minim mekanisasi. Lebih dari 500 juta peternak kecil di seluruh dunia bergantung pada ternak untuk pendapatan, tabungan, hingga jaring pengaman ketika kondisi sulit. Bahkan di lingkungan ekstrem seperti pegunungan atau lahan kering, peternakan menjadi satu-satunya cara yang berkelanjutan untuk mengubah sumber daya alam menjadi pangan, serat, dan tenaga kerja.


Seiring meningkatnya pendapatan masyarakat dan perubahan pola konsumsi, permintaan terhadap produk hewani terus melonjak. Sektor peternakan kini menjadi salah satu subsektor pertanian dengan pertumbuhan tercepat, khususnya di negara berpendapatan menengah dan rendah. Peluang ini membuka ruang besar bagi peternak kecil, agribisnis, dan penciptaan lapangan kerja. Namun, pertumbuhan pesat juga membawa risiko: mulai dari ketimpangan, tekanan terhadap lingkungan, hingga meningkatnya ancaman kesehatan masyarakat.


Salah satu tantangan terbesar adalah emisi gas rumah kaca. Sektor peternakan diperkirakan menghasilkan 7,1 gigaton CO2 ekuivalen setiap tahun—setara dengan 14,5% dari total emisi global akibat aktivitas manusia. Angka ini menjadikan peternakan sebagai korban sekaligus kontributor perubahan iklim. Di sisi lain, efisiensi yang lebih baik dalam rantai pasok, mulai dari pakan hingga pengolahan produk, dapat menekan emisi secara signifikan.


Di sinilah peran Bank Dunia menjadi penting. Lembaga ini berkomitmen membantu negara-negara berkembang membangun sistem peternakan yang lebih ramah lingkungan, berkeadilan, dan cerdas iklim. Investasi diarahkan tidak hanya untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga untuk memperkuat layanan veteriner, surveilans penyakit, serta pendekatan One Health yang menekankan keterkaitan erat antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Upaya pencegahan penyakit hewan, misalnya, terbukti jauh lebih hemat biaya daripada penanganan wabah zoonosis setelah meledak.


Selama beberapa tahun terakhir, sekitar 61% pembiayaan sektor peternakan oleh Bank Dunia memiliki manfaat tambahan terhadap iklim, naik dari 55% pada periode sebelumnya. Proyek-proyek yang didukung mencakup peningkatan efisiensi pakan, penggunaan energi terbarukan, praktik pengelolaan pupuk kandang, hingga penerapan sistem silvopastoral yang menggabungkan ternak dengan pepohonan. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga memperbaiki kualitas tanah, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan memberi nilai tambah ekonomi bagi peternak.


Contoh nyata hadir dari berbagai negara. Di Kazakhstan, program pengembangan peternakan sapi potong difokuskan pada peningkatan produktivitas sekaligus penurunan emisi. Di Argentina, proyek yang didukung Bank Dunia membantu petani beralih dari menanam serealia ke padang rumput alami untuk memerangi penggurunan. Di Sahel, proyek PRAPS mendukung penggembala dalam mengelola padang rumput, air, dan akses pasar di wilayah kering. Di Vietnam, ribuan peternak telah mempraktikkan Good Animal Husbandry Practices (GAHP) yang mengurangi dampak lingkungan sekaligus meningkatkan kebersihan rantai nilai.


Inovasi serupa juga berkembang di Kolombia, di mana sistem silvopastoral berhasil mengubah puluhan ribu hektar lahan terdegradasi menjadi padang rumput produktif dengan pepohonan, sambil menangkap lebih dari sejuta ton CO2. Hasilnya tidak hanya berupa lingkungan yang lebih sehat, tetapi juga peningkatan produksi susu, penurunan biaya, dan pendapatan yang lebih stabil bagi peternak.


Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa transformasi sektor peternakan menuju keberlanjutan bukanlah utopia. Dengan dukungan kebijakan, pembiayaan, dan teknologi yang tepat, peternakan dapat menjadi motor pembangunan berkelanjutan, menyediakan pangan dan gizi, sekaligus berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Seperti yang ditekankan Bank Dunia, investasi di sektor ini adalah investasi untuk masa depan: masa depan manusia, hewan, dan bumi yang lebih sehat.

 

Kesimpulan


Kisah dari Kazakhstan hingga Kolombia membuktikan bahwa peternakan berkelanjutan bukanlah mimpi, melainkan kenyataan yang bisa dicapai dengan kebijakan, teknologi, dan investasi yang tepat. Bank Dunia menunjukkan bahwa sektor ini mampu menjadi motor pembangunan sekaligus garda depan mitigasi perubahan iklim. Menata peternakan berarti menata masa depan: memastikan pangan cukup, gizi tercukupi, dan bumi tetap lestari bagi generasi mendatang.

No comments: