Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Saturday, 6 September 2025

Ledakan Emosi Warganet Saat Protes Agustus 2025


Polarisasi kelas dan sentimen anti-elit politik yang mencuat dalam protes publik Agustus 2025 bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Fenomena ini mencerminkan ketegangan sosial yang sudah lama terpendam. Analisis terbaru dari Monash Data & Democracy Research Hub menunjukkan bagaimana emosi, toksisitas, dan polarisasi berkembang dalam percakapan digital seputar aksi protes yang berlangsung pada 25–31 Agustus 2025.

 

Dari hampir 10 juta percakapan di media sosial dan pemberitaan, peneliti mengkaji 13.780 unggahan asli (bukan retweet atau share) untuk menangkap suara warganet yang autentik. Hasilnya cukup menarik: sebagian besar unggahan (70,9%) bersifat non-toksik, sementara 29,1% lainnya mengandung ujaran toksik. Lonjakan percakapan toksik terutama terjadi pada 28–30 Agustus 2025, bertepatan dengan eskalasi kekerasan di lapangan, khususnya setelah peristiwa tragis yang menewaskan pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.

 

Selain toksisitas, sekitar 20% percakapan juga mengandung unsur polarisasi. Namun, penting dicatat bahwa polarisasi ini tidak sepenuhnya lahir dari ujaran toksik, melainkan berakar pada ketegangan kelas sosial. Pola serupa sudah terdeteksi sejak Pemilu 2024 dan Pilkada, ketika narasi publik kerap membelah antara kelompok yang mempunyai hak istimewa atau privilese (elit politik, pejabat, pemilik akses ekonomi) dan kelompok pekerja atau masyarakat menengah bawah (buruh, ojek online, kelas rentan). Protes Agustus 2025 kembali mempertegas gambaran ini: elit digambarkan hidup penuh privilese, sementara masyarakat bawah menjadi korban kebijakan maupun kekerasan aparat.

 

Dari sisi emosi, percakapan publik didominasi oleh rasa marah (47,3%). Namun ada juga emosi percaya (11,3%) dan antisipasi (10,8%) yang menunjukkan bahwa polarisasi bisa menjadi sarana mobilisasi solidaritas, bukan sekadar perpecahan. Artinya, polarisasi di ruang digital tidak selalu negatif. Ia juga bisa berfungsi sebagai perekat komunitas rentan yang mencari jalan keluar bersama.

 

Emosi publik sendiri bergerak dinamis. Pada awal aksi, warga lebih banyak mengekspresikan antisipasi. Puncaknya, kemarahan meledak pada 28–30 Agustus, bercampur dengan rasa sedih, takut, dan terkejut. Media sosial berperan sebagai ruang utama artikulasi emosi kolektif, memperkuat narasi “rakyat versus elit,” sekaligus memperluas basis protes. Dalam konteks Gerakan 17+8, misalnya, kemarahan yang sebelumnya mendominasi justru berubah menjadi rasa gembira (joy) dan sentimen netral, ketika aksi diarahkan pada solusi konkret dan solidaritas simbolik. Inilah bukti bahwa emosi kolektif bisa dikelola menjadi energi positif.

 

Jika dilihat dalam rentang waktu lebih panjang, sejak September 2023 hingga Agustus 2025, tampak dua sumbu utama polarisasi: pertama, ketegangan kelas antara kelompok berprivilese dan kelas pekerja; kedua, sentimen anti-elit atau anti-dinasti politik. Pola ini konsisten muncul sejak Pemilu dan Pilkada 2024 hingga akhirnya mencapai puncaknya dalam protes terbaru. Akar masalahnya jelas: gaya hidup mewah sebagian elit politik yang dipertontonkan di tengah kesulitan ekonomi rakyat.

 

Dengan demikian, protes Agustus 2025 bukanlah anomali atau gerakan yang digerakkan pihak asing. Ia merupakan akumulasi frustrasi yang sudah lama tumbuh di masyarakat, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Mengabaikan sinyal ini hanya akan memperlebar jurang legitimasi dan memperdalam krisis kepercayaan antara rakyat dan pemerintah.

 

Karena itu, ada beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan. Pertama, pemerintah harus berani mengakui adanya masalah: ketegangan kelas sosial dan jarak antara rakyat dengan elit politik. Kedua, berikan respons nyata dan transparan, bukan sekadar janji atau represi. Tindakan konkret jauh lebih mampu memulihkan kepercayaan. Ketiga, hentikan simbolisme kemewahan di ruang publik. Di saat rakyat menghadapi kesulitan ekonomi, glorifikasi gaya hidup pejabat hanya memperburuk luka sosial. Keempat, sediakan saluran aspirasi yang aman dan akuntabel agar masyarakat merasa suaranya didengar dan tidak lagi menumpuk dalam bentuk frustrasi.

 

Jika langkah-langkah ini ditempuh, protes publik bisa menjadi cermin berharga untuk memperbaiki relasi negara dan rakyat, sekaligus membangun ruang digital yang lebih sehat dan konstruktif.

 

Kesimpulan


Protes publik Agustus 2025 seharusnya tidak hanya dipandang sebagai ledakan kemarahan, tetapi juga sebagai panggilan hati rakyat yang ingin didengar. Di balik riuhnya emosi dan polarisasi di ruang digital, terdapat kerinduan akan keadilan, transparansi, dan kepedulian. Polarisasi yang muncul bukan semata-mata perpecahan, tetapi juga tanda bahwa masyarakat masih peduli dan mau bersuara demi perubahan.

 

Bagi pemerintah, momentum ini adalah kesempatan untuk merangkul, bukan menjauh. Mengakui adanya masalah bukanlah kelemahan, melainkan wujud kebijaksanaan. Dengan keterbukaan dan langkah nyata, kepercayaan yang sempat retak bisa kembali pulih. Bagi masyarakat, suara kritis yang disampaikan dengan cara damai akan lebih kuat dalam menggerakkan perubahan dibandingkan dengan ekspresi marah yang mudah disalahartikan.

 

Pada akhirnya, baik pemerintah maupun rakyat memiliki tujuan yang sama: kehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Jika kemarahan bisa diubah menjadi dialog, dan kritik bisa diterima sebagai masukan, maka polarisasi justru bisa menjadi energi yang menyatukan. Protes ini bukanlah akhir dari perpecahan, melainkan awal dari kemungkinan baru—sebuah kesempatan untuk memperbaiki relasi antara rakyat dan pemimpinnya.

 

Sumber Referensi:

Derry Wijaya & Ika Idris dkk. Jejak Emosi dan Polarisasi Sosial di Ruang Digital: Analisis Protes Publik Agustus 2025. Monash Data & Democracy Research Hub.

No comments: