Emisi Gas Rumah Kaca Global Menurut Sektor (gambar atas)
Pertanian adalah
tulang punggung pangan dunia, tetapi di balik fungsinya yang vital, sektor ini
juga menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah besar. Menurut berbagai
laporan internasional, pertanian, kehutanan, dan tata guna lahan menyumbang 13–21%
dari total emisi GRK global. Kontribusi ini tidak hanya datang dari kegiatan
langsung di lahan pertanian, melainkan juga dari perubahan tata guna lahan,
penggunaan pupuk, serta sistem peternakan yang kompleks.
Gas utama yang
dilepaskan dari sektor ini adalah metana (CH₄) dan dinitrogen oksida (N₂O).
Keduanya jauh lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO₂) dalam memerangkap
panas di atmosfer. Emisi metana, misalnya, sebagian besar berasal dari
fermentasi enterik pada ternak ruminansia seperti sapi dan domba, serta dari
budidaya padi sawah yang tergenang air. Sementara itu, emisi N₂O sebagian besar
dipicu oleh penggunaan pupuk nitrogen, baik organik maupun sintetis, yang dalam
jangka panjang dapat meningkatkan konsentrasi GRK secara signifikan.
Perubahan tata
guna lahan juga menyumbang porsi besar. Penebangan hutan untuk dijadikan lahan
pertanian melepas cadangan karbon yang tersimpan selama ratusan tahun. Metode
tebang dan bakar memperburuk keadaan karena pelepasan langsung karbon dan
partikel ke udara, sekaligus merusak kemampuan tanah untuk menyerap karbon.
Peternakan
menjadi sorotan utama karena kontribusinya yang sangat besar. Produksi daging sapi dan domba,
misalnya, memiliki intensitas emisi tertinggi dibandingkan sumber pangan
lainnya. Hewan ruminansia mengeluarkan metana dalam jumlah besar melalui proses
pencernaannya, sementara lahan luas dibutuhkan untuk pakan ternak, terutama
jagung dan kedelai. Ironisnya, meskipun peternakan mengonsumsi hampir 30% air
tawar global dan luas lahan yang masif, kontribusinya terhadap kalori global
hanya sekitar 18%.
Budidaya padi juga berperan
signifikan. Sawah yang terus-menerus digenangi air menciptakan kondisi
anaerobik yang ideal bagi mikroba penghasil metana. Tidak heran jika
padi menjadi penyumbang hampir setengah emisi GRK dari lahan pertanian. Namun,
penelitian menunjukkan bahwa praktik sederhana seperti sistem irigasi berselang
atau penggunaan varietas padi baru dapat menurunkan emisi hingga 90% sekaligus
meningkatkan hasil panen.
Dari sisi pupuk,
produksi dan penggunaannya menyumbang sekitar 5% dari total emisi global.
Pabrik pupuk mengeluarkan CO₂ dalam proses produksinya, sementara penggunaan
berlebih di lahan memicu pelepasan N₂O yang daya pemanasan globalnya 300 kali
lebih kuat dibandingkan CO₂.
Namun, ancaman
ini bukan tanpa solusi. Konsep
pertanian cerdas iklim menawarkan beragam strategi mitigasi. Pada
level lahan, praktik seperti pertanian presisi, pengolahan tanah konservasi,
penggunaan biochar, serta manajemen air dan pupuk yang efisien terbukti mampu
menekan emisi. Di sektor peternakan, pendekatan inovatif mulai dikembangkan,
mulai dari seleksi genetik hewan, pemberian pakan aditif, hingga eksplorasi
rumput laut sebagai bahan tambahan untuk mengurangi produksi metana.
Selain itu,
perubahan pola konsumsi juga memiliki dampak besar. Mengurangi limbah pangan,
beralih pada pola makan berbasis nabati, atau mengganti sebagian konsumsi
daging ruminansia dengan unggas atau ikan, dapat menurunkan jejak karbon pangan
secara drastis. Bahkan, studi terbaru menunjukkan bahwa pola makan vegan mampu
mengurangi emisi hingga 75%.
Secara global,
sistem pangan melepaskan sekitar 16,2 miliar ton setara CO₂ pada 2022—naik 10%
dibandingkan tahun 2000. Tanpa perubahan signifikan, angka ini diperkirakan
akan meningkat 30–40% pada 2050 seiring bertambahnya populasi dan perubahan
pola makan.
Artinya, masa
depan iklim sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola pertanian dan
konsumsi pangan. Dengan langkah-langkah inovatif, kebijakan tepat, serta
perubahan gaya hidup masyarakat, sektor pangan bisa bertransformasi dari
penyumbang besar emisi menjadi bagian dari solusi.
Kesimpulan
Pertanian tidak
bisa dipisahkan dari keberlanjutan bumi. Jika terus dibiarkan, sistem pangan
akan melepaskan 30–40% lebih banyak emisi pada 2050. Namun, dengan teknologi
ramah lingkungan, kebijakan yang berpihak pada iklim, serta perubahan gaya
hidup masyarakat, sektor ini justru dapat menjadi bagian dari solusi. Masa
depan iklim global ada di tangan bagaimana kita mengolah sawah, memberi makan
ternak, dan—yang terpenting—mengatur pola makan di meja makan kita.

No comments:
Post a Comment