Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 23 September 2025

GRK dari Pertanian: Antara Ancaman dan Solusi

 


Emisi Gas Rumah Kaca Global Menurut Sektor (gambar atas)

 


Pertanian adalah tulang punggung pangan dunia, tetapi di balik fungsinya yang vital, sektor ini juga menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah besar. Menurut berbagai laporan internasional, pertanian, kehutanan, dan tata guna lahan menyumbang 13–21% dari total emisi GRK global. Kontribusi ini tidak hanya datang dari kegiatan langsung di lahan pertanian, melainkan juga dari perubahan tata guna lahan, penggunaan pupuk, serta sistem peternakan yang kompleks.

 

Gas utama yang dilepaskan dari sektor ini adalah metana (CH₄) dan dinitrogen oksida (N₂O). Keduanya jauh lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO₂) dalam memerangkap panas di atmosfer. Emisi metana, misalnya, sebagian besar berasal dari fermentasi enterik pada ternak ruminansia seperti sapi dan domba, serta dari budidaya padi sawah yang tergenang air. Sementara itu, emisi N₂O sebagian besar dipicu oleh penggunaan pupuk nitrogen, baik organik maupun sintetis, yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan konsentrasi GRK secara signifikan.

 

Perubahan tata guna lahan juga menyumbang porsi besar. Penebangan hutan untuk dijadikan lahan pertanian melepas cadangan karbon yang tersimpan selama ratusan tahun. Metode tebang dan bakar memperburuk keadaan karena pelepasan langsung karbon dan partikel ke udara, sekaligus merusak kemampuan tanah untuk menyerap karbon.

 

Peternakan menjadi sorotan utama karena kontribusinya yang sangat besar. Produksi daging sapi dan domba, misalnya, memiliki intensitas emisi tertinggi dibandingkan sumber pangan lainnya. Hewan ruminansia mengeluarkan metana dalam jumlah besar melalui proses pencernaannya, sementara lahan luas dibutuhkan untuk pakan ternak, terutama jagung dan kedelai. Ironisnya, meskipun peternakan mengonsumsi hampir 30% air tawar global dan luas lahan yang masif, kontribusinya terhadap kalori global hanya sekitar 18%.

 

Budidaya padi juga berperan signifikan. Sawah yang terus-menerus digenangi air menciptakan kondisi anaerobik yang ideal bagi mikroba penghasil metana. Tidak heran jika padi menjadi penyumbang hampir setengah emisi GRK dari lahan pertanian. Namun, penelitian menunjukkan bahwa praktik sederhana seperti sistem irigasi berselang atau penggunaan varietas padi baru dapat menurunkan emisi hingga 90% sekaligus meningkatkan hasil panen.

 

Dari sisi pupuk, produksi dan penggunaannya menyumbang sekitar 5% dari total emisi global. Pabrik pupuk mengeluarkan CO₂ dalam proses produksinya, sementara penggunaan berlebih di lahan memicu pelepasan N₂O yang daya pemanasan globalnya 300 kali lebih kuat dibandingkan CO₂.

 

Namun, ancaman ini bukan tanpa solusi. Konsep pertanian cerdas iklim menawarkan beragam strategi mitigasi. Pada level lahan, praktik seperti pertanian presisi, pengolahan tanah konservasi, penggunaan biochar, serta manajemen air dan pupuk yang efisien terbukti mampu menekan emisi. Di sektor peternakan, pendekatan inovatif mulai dikembangkan, mulai dari seleksi genetik hewan, pemberian pakan aditif, hingga eksplorasi rumput laut sebagai bahan tambahan untuk mengurangi produksi metana.

 

Selain itu, perubahan pola konsumsi juga memiliki dampak besar. Mengurangi limbah pangan, beralih pada pola makan berbasis nabati, atau mengganti sebagian konsumsi daging ruminansia dengan unggas atau ikan, dapat menurunkan jejak karbon pangan secara drastis. Bahkan, studi terbaru menunjukkan bahwa pola makan vegan mampu mengurangi emisi hingga 75%.

 

Secara global, sistem pangan melepaskan sekitar 16,2 miliar ton setara CO₂ pada 2022—naik 10% dibandingkan tahun 2000. Tanpa perubahan signifikan, angka ini diperkirakan akan meningkat 30–40% pada 2050 seiring bertambahnya populasi dan perubahan pola makan.

 

Artinya, masa depan iklim sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola pertanian dan konsumsi pangan. Dengan langkah-langkah inovatif, kebijakan tepat, serta perubahan gaya hidup masyarakat, sektor pangan bisa bertransformasi dari penyumbang besar emisi menjadi bagian dari solusi.

 

Kesimpulan

 

Pertanian tidak bisa dipisahkan dari keberlanjutan bumi. Jika terus dibiarkan, sistem pangan akan melepaskan 30–40% lebih banyak emisi pada 2050. Namun, dengan teknologi ramah lingkungan, kebijakan yang berpihak pada iklim, serta perubahan gaya hidup masyarakat, sektor ini justru dapat menjadi bagian dari solusi. Masa depan iklim global ada di tangan bagaimana kita mengolah sawah, memberi makan ternak, dan—yang terpenting—mengatur pola makan di meja makan kita.

No comments: