Cuaca panas yang
menyengat dan musim kering berkepanjangan belakangan ini bukan sekadar
kebetulan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa
penyebab utama kondisi ini adalah fenomena El Nino, yang terus menguat
sejak pertengahan 2023. Fenomena iklim global ini kerap menjadi momok di
Indonesia karena berhubungan erat dengan kekeringan, kebakaran hutan, hingga
ancaman krisis pangan.
Apa Itu El Nino?
Secara sederhana, El Nino adalah
fenomena pemanasan suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah di
atas kondisi normal. Saat suhu laut memanas, proses pembentukan awan di kawasan
tersebut meningkat, sementara curah hujan di wilayah lain, termasuk Indonesia,
justru berkurang.
Akibatnya, sebagian besar wilayah
Indonesia mengalami musim kering ekstrem. Tak heran, El Nino sering
disebut sebagai biang keladi kekeringan yang melanda Jawa, Bali, hingga Nusa
Tenggara. Fenomena ini bukan hal baru—rata-rata terjadi setiap 3 hingga 7 tahun
sekali dengan durasi 9 sampai 12 bulan, bahkan kadang lebih lama tergantung
tingkat intensitasnya.
Mengapa
El Nino Bisa Terjadi?
BMKG menjelaskan
bahwa El Nino muncul akibat kombinasi faktor alami dan faktor manusia. Dari
sisi alami, penyebab utamanya adalah melemahnya angin pasat, yaitu angin
yang biasanya bertiup dari timur ke barat di kawasan Pasifik tropis. Ketika
angin pasat melemah, sirkulasi atmosfer terganggu: sirkulasi Walker melemah,
sementara sirkulasi Hadley menguat. Kondisi ini memicu perubahan distribusi
curah hujan, termasuk berkurangnya hujan di wilayah tropis seperti Indonesia.
Sementara itu,
faktor manusia juga ikut memperparah. Emisi gas rumah kaca dari
pembakaran fosil dan deforestasi membuat suhu atmosfer dan laut semakin tinggi.
Ditambah lagi, perubahan penggunaan lahan seperti penggundulan hutan
memperburuk ketidakseimbangan iklim global. Dengan kata lain, El Nino bukan
hanya urusan alam, tetapi juga erat kaitannya dengan aktivitas manusia.
Dampak El Nino di Indonesia
El Nino tidak hanya membuat cuaca
lebih panas. Dampaknya begitu luas dan menyentuh berbagai sektor kehidupan
masyarakat Indonesia:
1. Kekeringan dan gagal panen
Curah hujan yang menurun drastis di
Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara seringkali memicu kekeringan, kebakaran hutan,
dan turunnya produksi pertanian.
2. Banjir di wilayah tertentu
Ironisnya, El Nino juga bisa
meningkatkan curah hujan di wilayah Papua dan sebagian Sulawesi. Akibatnya,
wilayah ini rentan banjir, longsor, dan gangguan transportasi.
3. Gangguan
ekosistem laut
Suhu
laut yang meningkat memengaruhi habitat biota laut. Ikan-ikan tertentu bisa
bermigrasi, dan terumbu karang berisiko rusak, sehingga nelayan ikut terdampak.
4. Perubahan
iklim global
El Nino
memengaruhi iklim dunia: meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem, naiknya
permukaan laut, hingga berubahnya pola distribusi makhluk hidup.
Kapan El Nino Akan Berakhir?
Menurut BMKG, fenomena El Nino 2023
diperkirakan berlangsung hingga akhir tahun dan berakhir sekitar Februari–Maret
2024. Puncaknya terjadi pada Agustus–September 2023, ketika banyak
wilayah di Indonesia mengalami hari tanpa hujan yang sangat panjang, terutama
di Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT,
Sulawesi Selatan, dan Maluku.
Menghadapi El Nino Bersama
Fenomena El Nino mengingatkan kita
bahwa iklim global sangat dinamis dan saling terhubung. Meski sifatnya alami,
dampak buruknya bisa diperparah oleh ulah manusia. Karena itu, adaptasi dan
mitigasi menjadi kunci: hemat air, menjaga hutan, mengurangi emisi karbon,
dan memperkuat sistem pangan agar tidak terguncang saat musim kering
panjang melanda.
Pada akhirnya, El Nino bukan sekadar
cerita tentang panas dan kekeringan, melainkan cermin rapuhnya keseimbangan
alam yang harus kita jaga bersama.

No comments:
Post a Comment