Tahukah Anda bahwa manusia dan babi ternyata punya “titik
persamaan” yang mengejutkan di dalam tubuhnya? Bukan sekadar bentuk organ atau
susunan gen, melainkan pada bagian super kecil dari protein yang disebut epitop.
Fakta menarik ini terungkap dari sebuah penelitian berjudul “Pengenalan
Epitope dalam Model Perbandingan Manusia–Babi pada Materi yang Difiksasi dan
Diinklusikan” yang dilaporkan oleh Carla Rossana Scalia dan rekan-rekannya
dalam Journal of Histochemistry & Cytochemistry tahun 2015.
Epitop bisa dibayangkan seperti kunci gembok—potongan
mini protein yang menjadi tempat antibodi menempel. Jika cocok, antibodi bisa
“mengunci” protein itu dan memberi sinyal pada tubuh bahwa ada sesuatu yang
perlu diperhatikan.
Yang mengejutkan, penelitian tersebut menunjukkan bahwa
banyak antibodi manusia ternyata bisa menempel juga pada epitop milik babi,
meski struktur proteinnya tidak seratus persen sama. Artinya, di balik daging
dan kulit yang jelas berbeda, manusia dan babi menyimpan kesamaan molekuler
yang begitu dekat. Temuan ini bukan hanya membuat para peneliti tercengang,
tetapi juga membuka jalan baru bagi riset medis—mulai dari diagnosis kanker
yang lebih tepat hingga pemanfaatan jaringan babi sebagai pengganti jaringan
manusia dalam laboratorium.
Mengintip Dunia Protein Lewat Imunohistokimia
Dalam dunia kedokteran modern, salah satu teknik penting
yang digunakan dokter dan peneliti adalah imunohistokimia (IHC). Teknik ini
memungkinkan kita melihat bagaimana protein tertentu bekerja di dalam jaringan
tubuh. Biasanya, jaringan diawetkan dengan formalin dan dimasukkan ke dalam
parafin agar bisa dipotong tipis, lalu diamati di bawah mikroskop.
IHC sangat membantu, terutama dalam mendiagnosis penyakit
seperti kanker. Namun, ada satu masalah besar: antibodi yang digunakan sebagai
“alat pelacak” protein kadang tidak bekerja akurat. Ada yang salah mengenali
target, ada pula yang tidak bisa menempel pada protein sasaran. Hal inilah yang
membuat para peneliti mencari cara baru untuk meningkatkan akurasi uji ini.
Mengapa Babi Jadi
“Cermin Biologis” Manusia?
Cara
paling ketat untuk menguji antibodi adalah menggunakan hewan percobaan yang
gennya dimodifikasi, tetapi ini mahal dan rumit. Lalu muncul ide: bagaimana
jika ada hewan lain yang mirip manusia, sehingga bisa dipakai sebagai
pengganti?
Di sinilah babi masuk ke panggung. Hewan ini bukan hanya
mirip secara anatomi, tetapi juga secara genetik. Lebih dari 80% gen babi
serupa dengan manusia, bahkan beberapa proteinnya identik 100%. Tidak heran
kalau babi sejak lama dipakai dalam penelitian medis dan kini bahkan dilirik
sebagai calon donor organ dalam transplantasi.
Antibodi Manusia Diuji pada Jaringan Babi
Dalam penelitian tersebut, para ilmuwan mencoba menguji
ratusan antibodi manusia pada jaringan babi yang sudah difiksasi dan
diinklusikan parafin—proses standar yang sama seperti pada jaringan manusia.
Hasilnya mengejutkan. Sekitar setengah dari antibodi yang
dicoba berhasil menempel dengan baik pada jaringan babi, menghasilkan pola
pewarnaan yang hampir identik dengan jaringan manusia. Bahkan,
protein-protein penting seperti aktin dan BCL2 yang berperan dalam struktur sel
dan kematian sel terprogram dapat dikenali dengan sangat baik.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Beberapa antibodi
menunjukkan perbedaan kecil: ada yang menempel di inti sel babi saja, padahal
pada manusia menempel juga di sitoplasma. Ada pula antibodi yang bekerja di
jaringan saraf babi, tetapi tidak pada manusia. Artinya, meskipun banyak
kesamaan, perbedaan kecil dalam struktur protein tetap bisa mengubah hasil.
Epitop: Kunci Kecil
dengan Peran Besar
Antibodi
mengenali epitop, yaitu potongan kecil dari protein yang menjadi titik
menempel. Menariknya, antibodi
manusia ternyata bisa mengenali epitop babi meskipun tingkat kemiripannya hanya
sekitar 60%. Ini menunjukkan adanya toleransi cukup besar terhadap variasi
urutan protein.
Sebagian besar antibodi yang tahan terhadap proses
fiksasi memang lebih mudah mengenali epitop linear—bagian protein yang lurus
dan stabil—dibanding epitop yang bentuknya lebih kompleks. Hal inilah yang
menjelaskan mengapa antibodi masih bisa bekerja meski protein babi dan manusia
tidak 100% identik.
Jaringan Babi Sebagai Kontrol Kualitas
Temuan paling menarik dari penelitian tersebut adalah
bahwa jaringan babi bisa dipakai sebagai bahan kontrol kualitas dalam uji IHC. Selama
ini, laboratorium menggunakan jaringan manusia untuk memastikan akurasi uji,
tetapi ketersediaannya terbatas dan sering terhambat masalah etika.
Dengan menggunakan jaringan babi dari rumah pemotongan
hewan, laboratorium bisa mendapatkan kontrol yang murah, mudah diperoleh, dan
lebih seragam. Bahkan untuk organ yang jarang tersedia dari manusia—seperti
otak, jantung, atau kelenjar endokrin—jaringan babi bisa menjadi solusi
praktis.
Menatap Masa Depan: Babi Sebagai Jembatan Riset Medis
Penelitian tersebut membuka pandangan baru bahwa babi
bukan hanya hewan ternak biasa, melainkan jembatan biologis yang bisa membantu
manusia memahami dunia molekuler. Dengan kemiripan yang sangat tinggi, jaringan
babi berpotensi mempercepat riset medis, meningkatkan akurasi diagnosis, dan
bahkan mendukung pengembangan terapi baru.
Ke depan, keterbukaan informasi dari produsen antibodi
tentang target epitop akan semakin penting. Dengan begitu, para peneliti bisa
memilih antibodi yang paling tepat, tidak hanya untuk diagnosis pada manusia,
tetapi juga untuk penelitian lintas spesies.
Artikel ini menegaskan satu hal menarik: di balik
perbedaan bentuk luar, manusia dan babi ternyata berbagi rahasia molekuler yang
sangat dekat. Rahasia kecil bernama epitop ini bisa menjadi kunci besar bagi
masa depan dunia kedokteran.
Pada akhirnya, penelitian tersebut memberi pesan
mengejutkan: babi bukan sekadar hewan ternak yang kita kenal sehari-hari,
melainkan “kembaran molekuler” yang menyimpan rahasia besar tentang tubuh
manusia. Kesamaan epitop antara manusia dan babi membuka pintu baru bagi riset
medis, dari meningkatkan akurasi diagnosis hingga membuka jalan menuju
transplantasi organ lintas spesies. Pertanyaan yang kini muncul bukan lagi “apakah
babi mirip manusia?” melainkan “sejauh mana kita berani memanfaatkan
kesamaan ini untuk menyelamatkan jutaan nyawa manusia?”
Akhirnya, setelah satu dekade penuh upaya, transplantasi organ lintas spesies berhasil diwujudkan. Massachusetts General Hospital (MGH) di AS berhasil melakukan transplantasi ginjal babi hasil rekayasa genetik pada pasien gagal ginjal stadium akhir berusia 62 tahun. Hal ini menandai tonggak penting dalam bidang xenotransplantasi. Ginjal yang telah dimodifikasi melalui 69 perubahan genetik dengan teknologi CRISPR-Cas9 yang disediakan oleh perusahaan eGenesis dan dirancang agar lebih kompatibel dengan tubuh manusia serta aman dari virus bawaan babi. Operasi yang berlangsung empat jam di bawah protokol khusus FDA ini dilengkapi dengan terapi imunosupresan canggih untuk mencegah penolakan organ. Keberhasilan ini membuka harapan baru bagi lebih dari 100.000 pasien di AS yang menunggu donor organ, sekaligus memberi jalan menuju solusi berkelanjutan bagi krisis global kekurangan organ.
Sumber:
1.Rahasia Epitop: Kesamaan Mengejutkan Manusia dan Babi, Jurnal Atani Tokyo ( https://atanitokyo.blogspot.com/2025/01/pengenalan-epitop-dalam-model.html )
2.Sukses transplatasi ginjal babi ke manusia ( https://atanitokyo.blogspot.com/2025/01/keberhasilan-transplantasi-ginjal-babi.html)

No comments:
Post a Comment