Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, 17 September 2025

Perubahan Iklim Picu Krisis Pangan Global

 

 

Ketahanan Pangan Global di Tengah Perubahan Iklim


Jumlah orang yang mengalami kerawanan pangan akut meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2019 tercatat 135 juta orang, sementara pada Juni 2022 jumlah itu melonjak menjadi 345 juta orang di 82 negara. Lonjakan ini dipicu oleh perang di Ukraina, gangguan rantai pasokan, serta dampak ekonomi berkepanjangan dari pandemi COVID-19 yang mendorong harga pangan ke titik tertinggi sepanjang masa.

 

Selain faktor geopolitik dan ekonomi, perubahan iklim juga menjadi penyebab utama memburuknya ketahanan pangan. Pemanasan global mengubah pola cuaca, meningkatkan risiko gelombang panas, curah hujan ekstrem, dan kekeringan berkepanjangan. Pada 2021, kenaikan harga komoditas pangan akibat iklim menjadi faktor penting yang mendorong sekitar 30 juta orang tambahan di negara-negara berpenghasilan rendah masuk ke dalam kondisi rawan pangan.

 

Ironisnya, sistem pangan global justru berkontribusi besar terhadap krisis iklim. Diperkirakan sepertiga emisi gas rumah kaca berasal dari sistem pangan, menempati posisi kedua setelah sektor energi. Sistem ini juga menjadi sumber utama emisi metana serta penyebab hilangnya keanekaragaman hayati.

 

Populasi yang Paling Rentan

 

Dampak perubahan iklim terhadap pangan tidak dirasakan secara merata. Sekitar 80% populasi dunia yang paling berisiko gagal panen dan kelaparan berada di Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Di wilayah ini, mayoritas keluarga petani hidup dalam kondisi miskin dan sangat rentan.

 

Kekeringan parah akibat El Niño atau perubahan iklim seringkali mendorong jutaan orang jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan. Bahkan negara berpendapatan menengah seperti Filipina dan Vietnam pun menghadapi tantangan besar, karena petani di sana banyak yang hidup di ambang kemiskinan. Kenaikan harga pangan pun menghantam keras konsumen perkotaan miskin yang harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk membeli makanan.

 

Dampak Perubahan Iklim terhadap Pertanian

 

Peningkatan suhu dan konsentrasi CO₂ memang dapat memberikan sedikit keuntungan pada pertumbuhan tanaman dalam kondisi tertentu. Namun, manfaat itu dibayangi oleh dampak negatif yang lebih besar, seperti percepatan hilangnya air dari tanah dan tanaman, meningkatnya frekuensi banjir, badai, tekanan panas, serta serangan hama dan penyakit.

 

Risiko ini semakin besar di wilayah yang sudah menghadapi keterbatasan air. Jika suhu global naik lebih dari 2°C, adaptasi akan menjadi semakin sulit dan mahal. Negara dengan suhu tinggi, seperti di Sahel (Afrika) dan Asia Selatan, akan menghadapi penurunan hasil panen signifikan, terutama pada komoditas penting seperti gandum. Tanpa solusi yang tepat, jutaan orang akan jatuh miskin; diperkirakan 43 juta orang di Afrika dapat hidup di bawah garis kemiskinan pada 2030 akibat penurunan hasil pertanian.

 

Strategi Adaptasi Pertanian

 

Untuk menghadapi tantangan ini, sektor pertanian perlu beradaptasi dengan perubahan iklim melalui inovasi sosial, ekonomi, dan teknologi. Beberapa strategi utama antara lain:

  • Efisiensi penggunaan air. Mengoptimalkan penggunaan air dengan teknologi irigasi cerdas, sensor kelembapan tanah, dan pemantauan satelit. Praktik seperti pembasahan dan pengeringan sawah secara bergantian terbukti menghemat air sekaligus mengurangi emisi metana.
  • Diversifikasi tanaman. Petani dianjurkan beralih ke tanaman yang lebih tahan kekeringan dan membutuhkan lebih sedikit air, misalnya jagung atau kacang-kacangan. Meski demikian, transisi ini tidak mudah karena terkait tradisi dan pola konsumsi masyarakat yang sudah mengakar.
  • Peningkatan kesehatan tanah. Tanah yang kaya karbon organik mampu menahan air lebih lama, meningkatkan kesuburan, serta mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Praktik seperti tidak mengolah tanah, menggunakan tanaman penutup, dan rotasi tanaman dapat membantu pemulihan tanah.

SARAN-SARAN:

  1. Pemerintah dan pembuat kebijakan perlu memperkuat regulasi dan dukungan bagi praktik pertanian berkelanjutan, termasuk investasi pada teknologi irigasi cerdas, sistem pemantauan iklim, serta infrastruktur yang mendukung ketahanan pangan.
  1. Petani dan komunitas lokal perlu diberi akses pada pelatihan, penyuluhan, serta insentif agar mampu mengadopsi teknik pertanian adaptif seperti rotasi tanaman, penggunaan benih tahan kekeringan, dan pengelolaan tanah yang lebih sehat.
  1. Kerja sama internasional harus ditingkatkan untuk menghadapi tantangan lintas batas, baik melalui transfer teknologi, pendanaan, maupun kebijakan global yang mendukung pertanian rendah emisi dan pengurangan pemborosan pangan.
  1. Penelitian dan inovasi perlu terus dikembangkan untuk mencari solusi berbasis alam serta teknologi baru yang mampu meningkatkan produktivitas pertanian sekaligus menekan dampak negatif terhadap lingkungan.

Solusi berbasis alam seperti ini diperkirakan dapat menyumbang hingga 37% mitigasi perubahan iklim yang dibutuhkan untuk mencapai target Perjanjian Paris. Namun, penerapan di lapangan membutuhkan dukungan kebijakan, penyuluhan, dan pelatihan bagi para petani, terutama di wilayah dengan lahan sempit.

 

Peran Bank Dunia dalam Membangun Ketahanan Pangan

 

Bank Dunia melalui Rencana Aksi Perubahan Iklim (2021–2025) memperkuat dukungan bagi pertanian cerdas iklim di seluruh rantai pasok pangan. Upaya ini mencakup intervensi kebijakan, peningkatan produktivitas, serta pengurangan emisi gas rumah kaca.

 

Selain itu, Bank Dunia juga membantu negara-negara dalam mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan, serta mengelola risiko bencana seperti banjir dan kekeringan. Contohnya, proyek di Niger yang mendistribusikan benih tahan kekeringan, memperluas irigasi efisien, dan menerapkan teknik konservasi lahan. Hingga kini, lebih dari 336.000 petani telah terbantu dalam mengelola lahan secara berkelanjutan di hampir 80.000 hektar wilayah pertanian.

 

KESIMPULAN

 

Ketahanan pangan global menghadapi tantangan yang semakin besar akibat kombinasi faktor geopolitik, ekonomi, dan perubahan iklim. Lonjakan jumlah penduduk yang mengalami kerawanan pangan akut menunjukkan betapa rapuhnya sistem pangan dunia. Perubahan iklim menjadi faktor yang memperburuk kondisi ini, dengan dampak berupa kekeringan, banjir, gelombang panas, hingga serangan hama dan penyakit tanaman.

 

Populasi paling rentan adalah mereka yang tinggal di wilayah miskin dan bergantung pada pertanian, terutama di Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Tanpa upaya serius untuk beradaptasi, perubahan iklim berpotensi menurunkan hasil panen secara signifikan dan mendorong jutaan orang jatuh ke dalam kemiskinan, khususnya jika suhu global terus meningkat di atas 2°C.

 

Meski demikian, terdapat peluang untuk memperbaiki kondisi ini melalui strategi adaptasi. Efisiensi penggunaan air, diversifikasi tanaman, dan peningkatan kesehatan tanah menjadi kunci untuk menjaga produktivitas sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Inisiatif seperti yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa transformasi menuju pertanian cerdas iklim bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga mendesak untuk keberlanjutan pangan global.


Dengan langkah-langkah tersebut, dunia masih memiliki peluang untuk memperkuat ketahanan pangan, melindungi kelompok rentan, dan memastikan sistem pangan global yang lebih adil, tangguh, serta berkelanjutan di tengah perubahan iklim.

No comments: