Apakah dunia
benar-benar sedang melaju ke arah krisis pangan global? Data terbaru justru
menghadirkan gambaran yang penuh kontras. Di satu sisi, laporan AMIS Market
Monitor Juni 2025 menunjukkan pasokan pangan utama dunia seperti gandum,
jagung, beras, dan kedelai masih relatif stabil dengan stok memadai. Namun, di
sisi lain, ancaman iklim ekstrem, lonjakan harga domestik, dan rapuhnya sistem
distribusi membuat jutaan orang tetap berisiko kelaparan. Fakta ini menunjukkan
bahwa stabilitas pasar global tidak otomatis berarti pangan terjangkau dan aman
bagi semua orang.
ISU-ISU
TERKINI
Kondisi
Tanaman Bervariasi antarwilayah, tetapi Pasar Tetap Stabil
Laporan AMIS Market Monitor edisi Juni 2025 menyebutkan bahwa pasar
global gandum, jagung, beras, dan kedelai tetap relatif stabil, tanpa gangguan
besar pasokan dalam waktu dekat. Tingkat stok umumnya memadai, arus perdagangan
berjalan lancar, tetapi kondisi tanaman di beberapa wilayah bervariasi dan
risiko terkait cuaca terus meningkat.
Panen kedelai hampir selesai di Argentina, Brasil, dan Afrika Selatan,
sementara penanaman dimulai di belahan bumi utara. Panen jagung masih
berlangsung di wilayah selatan dengan kondisi beragam, sementara kekeringan
mulai muncul di beberapa bagian Eropa. Cuaca kering tetap menjadi perhatian
bagi gandum musim dingin di sebagian wilayah Tiongkok, Eropa, dan Amerika
Serikat. Produksi
beras diproyeksikan meningkat dengan kondisi yang baik di India dan sebagian
besar Asia Tenggara. Namun, suhu yang terus meningkat berpotensi memperbesar
risiko iklim. April 2025 tercatat sebagai April terpanas kedua dalam sejarah
global, dan prakiraan cuaca menunjukkan kemungkinan gelombang panas di beberapa
kawasan penghasil utama. Suhu tinggi dapat
meningkatkan variabilitas hasil panen dari tahun ke tahun, khususnya untuk
jagung. Meskipun biaya input dan transportasi tetap stabil, gangguan akibat
panas ekstrem dapat memengaruhi produksi dan pasar dalam beberapa bulan ke
depan.
Harga
Komoditas Pangan Global Turun, tetapi Harga Domestik Masih Tinggi
Sebuah blog Bank Dunia terbaru menunjukkan penurunan berkelanjutan harga
komoditas pangan global yang dipicu oleh peningkatan pasokan. Indeks Harga
Pangan FAO turun untuk bulan kedua berturut-turut, dengan harga sereal dan
minyak nabati mengalami penurunan terbesar (Gambar 1). Harga gandum jatuh
karena panen melimpah di kawasan Laut Hitam dan ekspor besar dari Rusia. Harga
jagung dan beras juga menurun, didukung oleh perkembangan panen yang baik serta
pengurangan pembatasan ekspor.
Gambar 1. Indeks Harga Pangan
Namun,
meskipun acuan global menurun, harga pangan domestik tetap tinggi di banyak
negara. Depresiasi mata uang, biaya perdagangan, dan keterbatasan pasokan lokal
terus menurunkan keterjangkauan. Kesenjangan antara tren harga internasional
dan domestik menegaskan perlunya memantau tidak hanya pasar global, tetapi juga
transmisi harga domestik dan risiko inflasi.
Ketahanan
Pangan Afrika Terkait Kesenjangan Transportasi
Meski konflik dan cuaca ekstrem secara luas diakui sebagai pendorong
kelaparan, laporan Bank Dunia menyoroti penyebab lain yang terus berlangsung di
Afrika: inefisiensi transportasi. Rantai pasok pangan di Afrika panjang,
terfragmentasi, dan rentan terhadap keterlambatan, kerusakan, serta pemborosan.
Rata-rata, produk segar menempuh perjalanan sejauh 4.000 kilometer selama 23
hari—empat kali lebih lama dibandingkan di Eropa. Akibatnya,
lebih dari sepertiga produk segar hilang sebelum mencapai konsumen. Di banyak
negara, biaya transportasi dan perdagangan yang tinggi menyumbang hingga 30 %
dari harga akhir pangan, sehingga membatasi keterjangkauan bagi rumah tangga
berpendapatan rendah. Saat ini, 58 % orang Afrika
mengalami ketidakamanan pangan—dua kali lipat rata-rata global.
Untuk mengatasi hal ini, Bank Dunia merekomendasikan peningkatan
infrastruktur yang lebih terarah. Dengan menggunakan model baru bernama FlowMax,
laporan tersebut mengidentifikasi 20 pos lintas batas dan 10 pelabuhan
bermasalah yang membutuhkan investasi dengan dampak terbesar. Perbaikan
titik-titik kemacetan ini, bersamaan dengan perluasan perdagangan pangan
intra-Afrika dan penghubungan produsen pedesaan dengan jalan utama, dapat
mengurangi pemborosan, menurunkan harga, dan memperkuat ketahanan sistem pangan.
Ethiopia menjadi salah satu contoh; program yang didukung Bank Dunia tengah
membangun jaringan jalan tahan segala cuaca untuk menghubungkan langsung
komunitas dengan pasar. Transportasi yang lebih baik bukan hanya soal
efisiensi—tetapi juga langkah penting menuju ketahanan pangan global.
Kebijakan
Sistem Pangan Masih Minim Ketahanan
Dalam rangka memperingati 50 tahun berdirinya, IFPRI menerbitkan laporan
yang menyoroti bagaimana sistem pangan telah berubah dalam lima dekade
terakhir—dan di mana masih terdapat kelemahan. Laporan tersebut menekankan satu
masalah utama: sistem pangan masih terlalu rentan terhadap guncangan, mulai
dari iklim ekstrem hingga konflik dan tekanan ekonomi.
Meski reformasi telah dilakukan bertahun-tahun, banyak kebijakan masih
berfokus pada keuntungan produksi jangka pendek ketimbang mempersiapkan diri
menghadapi gangguan yang semakin sering terjadi. Seperti yang ditegaskan
laporan itu, tanpa perencanaan dan investasi yang lebih baik, “kita sedang
mengelola risiko melalui krisis.”
Laporan
tersebut menguraikan lima prioritas untuk membangun ketahanan:
1.
sistem peringatan dini yang lebih baik,
2.
infrastruktur pedesaan yang lebih kuat,
3.
dukungan lebih besar untuk pertanian cerdas iklim,
4.
jaring pengaman sosial yang lebih memadai, serta
5.
strategi yang lebih jelas untuk respons darurat.
Di sebagian
besar negara, alat-alat ini sudah tersedia, tetapi belum dibiayai, dihubungkan,
atau diprioritaskan secara konsisten. Sistem peringatan dini tidak selalu
memicu aksi tepat waktu, jaring pengaman sering gagal ketika guncangan datang,
dan infrastruktur dasar—seperti jalan tahan segala cuaca dan penyimpanan
pangan—masih terbatas, terutama di daerah rapuh dan terpencil.
IFPRI menekankan bahwa solusi tersebut tidak bisa berdiri sendiri. Agar efektif,
semuanya harus terintegrasi dalam desain dan pembiayaan sistem pangan. Artinya,
investasi harus bergeser ke arah kesiapsiagaan jangka panjang, bukan hanya
reaktif terhadap krisis berikutnya. Tanpa pergeseran
tersebut, siklus ketidakamanan pangan akan terus berulang—bahkan saat produksi
meningkat.
PEMBARUAN DATA
REGIONAL
Afrika
Timur dan Selatan
Di Afrika Timur dan Selatan, 80 juta orang menghadapi kondisi Krisis (IPC
Fase 3) atau lebih buruk. Kombinasi konflik, guncangan iklim (termasuk
kekeringan, banjir, dan siklon), pengungsian, serta ketidakstabilan
makroekonomi terus memengaruhi kawasan ini. Meskipun ada perbaikan lokal di
beberapa wilayah akibat hujan terbaru, ketersediaan dan akses pangan secara
keseluruhan tetap sangat terbatas bagi jutaan orang.
Di Sudan, lebih dari 21 juta orang mengalami kerawanan pangan. Konflik
aktif terus mendorong pengungsian massal, mengganggu pasar, dan membatasi
operasi kemanusiaan. Darfur Utara dan Pegunungan Nuba mengalami kondisi mirip
kelaparan (IPC Fase 5). Di Ethiopia, 15 juta orang berada pada kondisi Darurat
(IPC Fase 4), terutama di Amhara dan Tigray, di mana konflik dan ketidakamanan
masih berlangsung. Kekeringan di wilayah pastoral dan curah hujan belg
yang buruk memperparah keadaan, dengan bantuan baru diperkirakan setelah panen meher
pada akhir 2025. Di Republik Demokratik Kongo, pengungsian akibat konflik terus
memicu kerawanan pangan tinggi, dengan 15 juta orang berada pada Krisis (IPC
Fase 3). Bentrokan bersenjata yang berkelanjutan dan hambatan akses kemanusiaan
terus memengaruhi provinsi-provinsi timur. Di Sudan Selatan, menurut FEWS NET,
8 juta orang berada dalam kondisi Darurat (IPC Fase 4). Ketidakstabilan
politik, dampak konflik Sudan, banjir, dan wabah kolera diperkirakan
memperburuk kerawanan pangan. Menurut analisis terbaru IPC Sudan Selatan
tentang kerawanan pangan akut dan gizi buruk (dengan metodologi dan periode
analisis berbeda), lebih dari 7,7 juta orang—lebih dari separuh
populasi—menghadapi IPC Fase 3 atau lebih tinggi antara April–Juli 2025,
termasuk 83.000 orang dalam kondisi bencana (IPC Fase 5), banyak di antaranya
merupakan pengungsi yang baru kembali dari Sudan. Kasus gizi buruk akut juga
meningkat, dengan 2,3 juta anak di bawah lima tahun dan 1,2 juta ibu hamil dan
menyusui membutuhkan perawatan. Beberapa daerah seperti Luakpiny, Nasir dan
Ulang berisiko menghadapi Kelaparan tanpa adanya respons mendesak berskala
besar dan akses kemanusiaan yang aman.
Asia Timur
dan Pasifik
Asia Timur dan Pasifik mencatat pertumbuhan signifikan dalam produksi
pertanian—baik untuk konsumsi domestik maupun ekspor—yang menegaskan ketahanan
dan daya adaptasi sektor ini menghadapi tantangan.
Di Myanmar, sektor pertanian menunjukkan ketahanan luar biasa meskipun
dilanda gempa besar yang merusak 55 hektare lahan pertanian. Panen padi musim
kemarau menghasilkan 4,3 juta ton gabah di atas lahan 770.000 hektare, menyamai
hasil tahun sebelumnya dan menyoroti kemampuan sektor ini mempertahankan
produksi di tengah kesulitan. Persiapan penanaman padi musim hujan dimulai pada
Mei, memastikan keberlanjutan siklus pertanian.
Pemerintah Republik Demokratik Rakyat Lao (Lao PDR) mengumumkan rencana
ambisius untuk meningkatkan produksi daging, ikan, dan telur hingga 577.000 ton
pada 2025, dengan target swasembada pangan. Inisiatif ini bertujuan memberikan setiap
warga akses minimal 73 kilogram pangan esensial tersebut per tahun. Pemerintah
juga fokus meningkatkan distribusi pangan dan produksi telur, sehingga tiap
provinsi mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri.
Viet Nam
melaporkan pertumbuhan signifikan ekspor pertanian: nilai produk pertanian naik
16,3 %, produk peternakan 11,7 %, dan ekspor kopi melonjak 65,1 % dibanding
tahun sebelumnya. Walaupun volume ekspor beras
meningkat, nilainya menurun karena harga jatuh. Sementara itu, ekspor buah dan
sayur turun 16 %. Angka-angka ini mencerminkan
dinamika sektor pertanian Viet Nam dan strategi ekspansi pasar ekspor.
Di Indonesia, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh 10,5 % year-on-year
pada kuartal pertama 2025—pertumbuhan dua digit pertama dalam 15 tahun
terakhir. Produksi beras meningkat pesat, dengan stok cadangan mencapai 4 juta
ton pada akhir Mei, diproyeksikan menjadi 18,76 juta ton pada Juni 2025.
Indonesia juga berfokus memperkuat ekosistem peternakan nasional dengan rencana
impor 2 juta sapi hidup hingga 2029 untuk memenuhi kebutuhan daging dan susu
domestik.
Filipina meluncurkan program beras seharga US$0,36/kg pada April 2025 untuk
meningkatkan keterjangkauan pangan pokok ini bagi kelompok rentan. Awalnya
diluncurkan di Wilayah Visayas, program ini kini diperluas ke banyak toko
KADIWA di Pulau Luzon dan Wilayah Ibu Kota Nasional. Inisiatif ini dikreditkan
membantu menekan inflasi beras serta memperkuat ketahanan dan adaptasi
pertanian.
Namun, pasar pangan di Lao PDR dan Myanmar menghadapi tantangan besar
dengan harga pangan tinggi dan gangguan fungsi pasar. Kombinasi tekanan
pasokan, faktor sosial ekonomi, dan bencana alam menjadi pendorong.
Di Lao PDR, Survei Pemantauan Rumah Tangga Bank Dunia (Jan–Feb 2025)
menunjukkan inflasi tinggi dan tekanan ekonomi mendorong pergeseran tenaga
kerja ke sektor pertanian, yang dianggap lebih menguntungkan. Meskipun inflasi
berhasil ditekan pemerintah dari 26,2 % (pertengahan 2024) menjadi 8,3 % (Mei
2025), harga pangan tetap tinggi sehingga menekan daya beli rumah tangga.
Di Myanmar, harga pangan tetap tinggi. Harga eceran beras Emata—varietas
utama konsumsi—hanya 0,9 % lebih tinggi dibanding tahun lalu, namun tetap mahal
akibat kerusakan tanaman karena badai/banjir, biaya input tinggi, dan gangguan
pasar. Penilaian Pasar Cepat (Mei 2025) oleh UNHCR–Myanmar Information
Management Unit menyoroti ketidakstabilan pasokan dan biaya logistik yang
naik, diperburuk oleh konflik dan bencana alam. USDA juga melaporkan masalah
pasar buah akibat fluktuasi produksi domestik, keresahan sosial ekonomi, dan
regulasi ketat yang membatasi impor, sehingga memengaruhi keterjangkauan pangan
di perkotaan. Laporan OCHA Myanmar menekankan adanya 3,5 juta pengungsi
internal dan kebutuhan mendesak 19,9 juta orang, termasuk terdampak gempa
terbaru. Kerusakan lahan pertanian dan sistem irigasi menimbulkan risiko produksi,
sementara hujan pra-monsun meningkatkan kerentanan kelompok pengungsi.
Indonesia
juga memperkuat kolaborasi strategis untuk program Makan Bergizi Gratis.
Keberhasilan program ini memerlukan kerja sama lintas kementerian/lembaga.
Badan Gizi Nasional mengusulkan peraturan presiden untuk membangun kerangka
kolaborasi dengan entitas kunci, termasuk Badan Pangan Nasional, serta
memperjelas peran pemerintah daerah. Pemerintah telah menetapkan delapan
prioritas belanja negara 2026, termasuk memperkuat ketahanan pangan dengan
meningkatkan produktivitas dan menjaga stabilitas harga, meningkatkan
efektivitas program Makan Bergizi Gratis sejak usia dini, serta memanfaatkan
koperasi desa untuk memperkuat ketahanan pangan lokal.
Eropa dan Asia Tengah
Pada 21 Mei,
negara anggota UE menyetujui proposal Komisi Eropa untuk mengalokasikan €15
juta dari cadangan pertanian guna membantu petani di Ceko, Slovenia, dan Jerman
yang terdampak cuaca ekstrem dan wabah penyakit hewan. Dana dialokasikan €7,4
juta ke Ceko, €2,9 juta ke Slovenia, dan €4,8 juta ke Jerman.
Pada
September 2024, Ceko dilanda hujan deras, angin kencang, dan banjir yang
memengaruhi produksi tanaman pangan dan hortikultura. Di Slovenia, embun beku
akhir April 2024 menurunkan produksi buah, sayur, dan anggur. Pada 10 Januari
2025, Jerman melaporkan wabah PMK (penyakit mulut dan kuku) di Brandenburg.
Dukungan UE ini dapat dilipatgandakan dengan dana nasional hingga 200 %, dan
harus disalurkan ke petani paling lambat 31 Desember 2025 di Ceko dan Slovenia,
serta 30 November 2025 di Jerman.
UE kembali memberlakukan bea masuk dan kuota untuk produk pertanian Ukraina
pada 6 Juni 2025. Diharapkan akan tercapai kesepakatan baru dengan kuota lebih
kecil dibanding impor tiga tahun terakhir sejak invasi Rusia. Sebelumnya, sejak
Juni 2022 UE membebaskan bea/kuota untuk membantu Ukraina menghadapi biaya
ekspor tinggi akibat ancaman Rusia terhadap jalur Laut Hitam.
Ukraina kini berencana mengurangi ekspor bahan mentah dan memperluas
industri pengolahan pangan domestik. Pada 2024, produk pertanian mencakup 60 %
dari total ekspor Ukraina (US$41,6 miliar), dengan 60 % di antaranya diekspor
ke UE senilai sekitar US$15 miliar.
Di kuartal pertama 2025, ekspor buah beku Kirgizstan naik hampir 40 kali
lipat dibanding periode sama 2024, dari 4 ton (US$20.500) menjadi 155,4 ton
(US$259.200). Pembeli utama adalah Uzbekistan (59 ton), Kazakhstan (57,3 ton),
dan Rusia (39,1 ton).
Amerika
Latin dan Karibia
Di Bolivia, krisis ekonomi terburuk dalam dua dekade terakhir menurunkan
ketahanan pangan dan daya tahan rumah tangga. Inflasi mencapai level tertinggi sejak 2008,
dengan harga pangan naik 17 %—beras (58 %), daging (30 %), ikan (>40 %).
Kekurangan dolar AS dan penurunan produksi gas alam mengganggu impor, memicu
kelangkaan bahan bakar, dan membebani subsidi pemerintah. Banyak keluarga terpaksa mengurangi konsumsi makanan drastis—bahkan hanya
satu kali makan sehari.
Di Ekuador, musim hujan dan ancaman kesehatan memperburuk situasi
kemanusiaan. Sejak
Januari, tercatat >1.400 tanah longsor dan >1.300 banjir, memengaruhi
204.000 orang dan merusak 70.000 rumah. Provinsi barat seperti El Oro, Guayas,
Los Ríos, dan Manabí paling terdampak. Wabah demam kuning di wilayah Amazon
yang cakupan vaksinasinya rendah juga menambah kerentanan pangan dan kesehatan
masyarakat.
Di Kolombia,
konflik bersenjata masih memicu krisis kemanusiaan parah, dengan 953.000 orang
terdampak Jan–Apr 2025—4 kali lipat periode sama 2024. Pengungsian massal,
pembatasan mobilitas, dan isolasi memengaruhi komunitas rentan, khususnya di
wilayah utara, Orinoquía-Amazonía, dan Pasifik. Bencana alam dan wabah penyakit
(banjir di La Mojana, peningkatan kasus demam berdarah/demam kuning) semakin
membatasi akses pangan dan layanan dasar di pedesaan.
Seluruh
kawasan menghadapi musim badai Atlantik 2025 dengan kondisi rapuh akibat badai
sebelumnya. Diperkirakan akan ada hingga 19
badai tropis, beberapa berpotensi menjadi topan. Perubahan iklim memperburuk
intensitas, curah hujan, serta durasi dampak badai. Namun, pemangkasan dana
lembaga pencegahan bencana AS (NOAA, USAID) menimbulkan kekhawatiran terhadap
kesiapsiagaan kawasan.
Timur
Tengah dan Afrika Utara
Menurut Laporan Khusus IPC (6 Juni), seluruh populasi Jalur Gaza menghadapi
kerawanan pangan IPC Fase 3 (Krisis) atau lebih buruk, termasuk 76 % pada Fase
4–5 (Darurat/Katastrofi). Risiko kelaparan tetap kritis. Sistem pasar
runtuh, stok ritel <40 % normal, dan 85 % rumah tangga menghadapi hambatan
akses pasar. Produksi pangan lokal nyaris tidak
ada, bantuan kemanusiaan terbatas, dan distribusi komersial masih terblokir.
Model bantuan baru melalui Gaza Humanitarian Foundation bekerja sama
dengan kontraktor swasta AS untuk mendistribusikan bantuan di tiga pusat Gaza,
namun PBB dan lembaga kemanusiaan meragukan kesesuaiannya dengan prinsip
kemanusiaan.
Di Lebanon,
harga pangan April 2025 naik 21 % dibanding April 2024. Dari April–Juni 2025,
sekitar 1,17 juta orang (21 % populasi) menghadapi IPC Fase 3 atau lebih,
sedikit membaik karena penurunan pengungsian, bantuan pangan yang diperluas,
dan pemulihan pasar awal. Namun situasi tetap rapuh di tengah inflasi, stagnasi
ekonomi, dan defisit pendanaan 66 % untuk bantuan pengungsi/darurat.
Di Irak,
pemerintah bekerja sama dengan FAO meluncurkan proyek US$39 juta yang didanai Green
Climate Fund untuk menghadapi dampak perubahan iklim, yang dianggap penting
bagi ketahanan pangan. Cuaca panas-kering diperkirakan
menurunkan produksi serealia 2025 di Irak, Yordania, dan Suriah. Kerawanan
pangan diperkirakan terus berlanjut di Suriah dan di kalangan pengungsi di
Yordania dan Mesir.
Afrika
Barat dan Tengah
Afrika Barat menghadapi krisis pangan yang semakin dalam akibat harga
pangan tinggi dan guncangan ekonomi. Inflasi pangan dan bahan bakar
global/regional mendorong harga pokok melampaui daya beli jutaan orang. WFP
memperkirakan hampir 53 juta orang akan mengalami kerawanan pangan parah
sepanjang musim paceklik Juni–Agustus—lonjakan tajam dari proyeksi awal.
Di
negara-negara seperti Pantai Gading, Ghana, Guinea, dan Nigeria, biaya
transportasi dan rantai pasok meningkat (akibat rute lebih panjang dan
kerusakan hasil), mendorong kenaikan harga pangan hingga >45 %. Banjir parah
pada akhir Mei (misalnya banjir Mokwa, Nigeria, 28–29 Mei) merusak lahan
pertanian/pasar lokal, memperburuk kelangkaan dan lonjakan harga pangan.
Konflik dan kekerasan memperparah tantangan. Aktivitas kelompok ekstremis
di Sahel (Burkina Faso, Mali, Niger) meningkat awal Juni, dengan serangan di
Boulkessi (1 Juni), Bandara Timbuktu (2 Juni), dan Tessit (4 Juni). Konflik ini
memaksa jutaan orang mengungsi, memutus akses komunitas pedesaan ke
pasar/pertanian, serta menghambat distribusi bantuan. WFP memperingatkan lebih
dari 10 juta orang kehilangan tempat tinggal, termasuk >8 juta pengungsi
internal di Kamerun dan Nigeria. Kekurangan dana memaksa pengurangan bantuan
pangan; di Sahel Tengah dan Nigeria, bantuan bagi 2 juta orang terdampak
dihentikan sejak April. Tanpa resolusi konflik dan intervensi stabilisasi
harga, kawasan ini menghadapi lonjakan kelaparan saat puncak musim paceklik.
Asia
Selatan
Meski ada potensi musim panen yang baik, Afghanistan masih menghadapi
tingkat kerawanan pangan akut tinggi akibat kerapuhan sosial ekonomi dan
guncangan berulang. Dari Maret–April 2025, sekitar 12,6 juta orang (27 %
populasi) berada pada IPC Fase 3 atau lebih, termasuk hampir 2 juta orang pada
Fase 4 (Darurat).
Penyebab utama kerawanan pangan termasuk lemahnya ekonomi, pemotongan
drastis bantuan kemanusiaan, serta bencana lingkungan berulang (kekeringan,
banjir). Kemiskinan kronis dan keterbatasan pekerjaan memperburuk kerentanan,
terutama di provinsi Badakhshan (40 % populasi di IPC 3+), diikuti Balkh,
Bamyan, Daykundi, dan Ghor. Panen mendatang (Mei–Oktober 2025) diharapkan
memberi sedikit keringanan, tetapi 9,52 juta orang (21 % populasi) masih akan
membutuhkan bantuan pangan mendesak, termasuk 1,6 juta orang dengan level
darurat.
Meskipun ada perbaikan terbatas berkat kondisi makroekonomi lebih baik,
penurunan konflik, dan dukungan pertanian darurat, kemajuan ini rapuh dan tidak
merata. Guncangan iklim berulang dan pemotongan 40 % bantuan kemanusiaan berpotensi membalikkan capaian. Hanya 625.000 dari 1,6
juta orang dengan kondisi darurat yang akan menerima bantuan dalam beberapa
bulan ke depan. Kekurangan ini akan sangat berdampak pada kelompok rentan,
terutama saat musim dingin yang isolatif dan rawan kelaparan, ketika bantuan
tepat waktu sangat krusial untuk bertahan hidup.
RESPONS
KEBIJAKAN PERDAGANGAN
Kebijakan perdagangan merupakan salah satu sumber utama risiko bagi
stabilitas harga pangan global. Bagian ini memantau pengumuman terbaru terkait
kebijakan perdagangan sebagai potensi sumber risiko tersebut. Untuk
pemantauan rutin terhadap langkah-langkah perdagangan, dapat merujuk pada Macroeconomics,
Trade, and Investment Global Practice COVID-19 Trade Policy Database for Food
and Medical Products, World Trade Organization COVID-19 Agriculture
Measures Database, serta International Food Policy Research Institute
COVID-19 Food Trade Policy Tracker.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, tindakan kebijakan perdagangan terkait
pangan dan pupuk meningkat tajam. Negara-negara secara aktif menggunakan
kebijakan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan domestik ketika menghadapi
potensi kekurangan pangan pada awal pandemi COVID-19. Pembatasan ekspor aktif
pada komoditas pangan utama dan pembatasan pada pangan lainnya ditampilkan
dalam Tabel 1. Hingga Juni 2025, sebanyak 9 negara telah memberlakukan 10
larangan ekspor pangan, dan 4 negara menerapkan 4 kebijakan pembatasan ekspor.
Tabel 1.
Pemantauan Kebijakan Perdagangan Pangan (Semua Komoditas Pangan)
Sumber: International
Food Policy Research Institute COVID-19 Food Trade Policy Tracker dan Macroeconomics,
Trade, and Investment Global Practice COVID-19 Trade Policy Database for Food
and Medical Products.
Kesimpulan
Kondisi
terkini menegaskan bahwa dunia tidak sedang menghadapi krisis pasokan pangan
global dalam jangka pendek, tetapi risiko nyata datang dari faktor
non-produksi: iklim ekstrem, konflik, biaya logistik tinggi, serta lemahnya
sistem distribusi dan kebijakan pangan di banyak negara. Dengan ketergantungan
pada sistem yang masih rapuh, setiap guncangan dapat memicu ketidakstabilan
baru. Artinya, fokus ke depan bukan hanya pada peningkatan produksi, melainkan
juga membangun ketahanan sistem pangan yang lebih adil, tangguh, dan inklusif
agar pangan benar-benar tersedia dan terjangkau bagi semua orang.
SUMBER REFERENSI:
World Bank.
https://thedocs.worldbank.org/en/doc/40ebbf38f5a6b68bfc11e5273e1405d4-0090012022/related/Food-Security-Update-117-June-13-2025-2.pdf


No comments:
Post a Comment