Penggunaan Energi Panas Bumi Meningkatkan
Produktivitas Pertanian
PENDAHULUAN
Indonesia yang terletak di Cincin Api Pasifik, memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, diperkirakan mencapai lebih dari 29 GW. Potensi ini
menjadikan energi panas bumi sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang
paling menjanjikan dan berkelanjutan. Energi panas bumi berasal dari panas
alami yang tersimpan di bawah permukaan bumi, yang dapat dimanfaatkan tidak
hanya untuk pembangkit listrik, tetapi juga untuk aplikasi langsung di sektor
pertanian. Di tengah ancaman perubahan iklim dan fluktuasi harga energi fosil,
penggunaan energi panas bumi menjadi solusi cerdas untuk menciptakan sistem
pertanian yang tangguh dan berkelanjutan.
Dalam dunia
pertanian, kebutuhan akan suhu yang stabil dan pasokan energi yang andal
menjadi semakin penting. Rumah kaca, pengeringan hasil panen, pemanas kandang
ternak, hingga sistem irigasi pintar memerlukan energi yang tidak hanya efisien
tetapi juga ramah lingkungan. Pemanfaatan panas bumi langsung untuk operasi-operasi ini mampu menekan biaya energi hingga 70% dibandingkan
sumber energi konvensional. Hal ini sangat relevan dalam konteks ketahanan
pangan nasional dan peningkatan produktivitas pertanian. Pemerintah Indonesia
sendiri telah mengakui pentingnya energi terbarukan dalam Undang-Undang No. 30
Tahun 2007 tentang Energi, yang menekankan pemanfaatan energi alternatif untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan.
Lebih jauh
lagi, pemanfaatan energi panas bumi untuk pertanian juga sejalan dengan
kebijakan nasional dalam Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang
Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang
menargetkan peningkatan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional
sebesar 23% pada tahun 2025. Dalam praktiknya, sejumlah negara telah
memanfaatkan panas bumi untuk mendukung pertanian, seperti Islandia yang
menggunakannya untuk rumah kaca tomat dan mentimun sepanjang tahun, atau Kenya yang memanaskan rumah kaca bunga ekspor menggunakan uap panas bumi. Pengalaman
internasional ini dapat menjadi acuan strategis bagi Indonesia dalam
mengintegrasikan panas bumi ke dalam ekosistem pertaniannya.
Di tingkat
global, pemanfaatan energi panas bumi dalam sektor non-listrik juga didukung
oleh ketentuan internasional seperti Kesepakatan Paris, yang
mendorong negara-negara untuk mengurangi emisi karbon melalui transisi energi
bersih. Energi panas bumi termasuk dalam kategori energi bersih yang minim
emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, adaptasi teknologi panas bumi dalam
pertanian bukan hanya memenuhi kebutuhan energi sektor pangan, tetapi juga
berkontribusi pada komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim
sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Untuk
mendukung penerapannya di lapangan, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan
di sektor pertanian perlu mendorong skema insentif, pelatihan teknologi, dan
kolaborasi lintas sektor. Kemitraan antara Badan Geologi, Kementerian
Pertanian, serta pelaku usaha agribisnis akan mempercepat integrasi sistem
energi panas bumi ke dalam kegiatan pertanian terpadu. Regulasi terkait,
seperti Perturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional, turut menegaskan bahwa pengembangan energi harus memperhatikan aspek
pemerataan dan kemanfaatan lintas sektor—termasuk pertanian.
Dengan
demikian, pemanfaatan energi panas bumi bukan hanya soal efisiensi energi,
tetapi juga strategi nasional dalam membangun ketahanan pangan, meningkatkan
daya saing produk pertanian, dan memperkuat komitmen Indonesia terhadap
lingkungan hidup. Saatnya menjadikan panas bumi bukan hanya sebagai sumber daya
energi, tetapi juga pilar utama dalam pertanian masa depan yang cerdas, hijau,
dan berkelanjutan.
BAGIAN I
MEMAHAMI
ENERGI PANAS BUMI: PELUANG INOVATIF UNTUK PERTANIAN MASA DEPAN
Energi panas
bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang berasal dari panas
alami di dalam perut Bumi. Panas ini tersimpan dalam bentuk uap, air panas,
atau batuan bersuhu tinggi di bawah permukaan tanah. Di Indonesia, potensi
energi panas bumi sangat melimpah karena posisinya yang berada di jalur Cincin
Api Pasifik. Namun, meskipun potensinya besar—diperkirakan mencapai sekitar 40%
dari cadangan panas bumi dunia—pemanfaatannya masih tergolong minim
dibandingkan sumber energi lainnya.
Energi panas
bumi umumnya diekstraksi melalui pengeboran sumur dalam untuk mengakses
reservoir panas di bawah tanah. Uap atau air panas yang dihasilkan digunakan
untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Namun,
pemanfaatan energi ini tidak hanya terbatas pada sektor kelistrikan. Dengan
teknologi direct use, panas bumi juga dapat digunakan secara langsung dalam
berbagai aplikasi seperti pemanasan rumah kaca, pengeringan hasil pertanian,
pemanas kolam ikan, dan bahkan sterilisasi peralatan peternakan. Potensi ini
membuka jalan bagi integrasi panas bumi ke dalam sistem pertanian modern yang
hemat energi, efisien, dan ramah lingkungan.

Pemanfaatan
sumber daya panas bumi secara optimal juga sejalan dengan amanat Undang-Undang
No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, yang menyebutkan bahwa panas bumi adalah
sumber daya alam strategis yang dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 2 UU tersebut ditegaskan bahwa pemanfaatan panas
bumi harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kemanfaatan lintas
sektor. Ini membuka ruang bagi sektor pertanian untuk menjalin sinergi dengan
sektor energi dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional sekaligus
menurunkan emisi karbon.
Lebih jauh
lagi, pemanfaatan energi panas bumi dalam sektor pertanian merupakan langkah
konkret menuju pencapaian komitmen Indonesia dalam pengendalian perubahan
iklim. Hal ini sejalan dengan target Nationally Determined Contribution
(NDC) Indonesia dalam Perjanjian Paris, yaitu menurunkan
emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan hingga 43,20%
dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Energi panas bumi, yang bersih
dan berkelanjutan, menjadi salah satu instrumen strategis dalam mencapai target
tersebut, sekaligus menjawab kebutuhan energi yang terus meningkat di sektor
produktif.
Sayangnya,
dari seluruh potensi yang ada, baru sebagian kecil yang dimanfaatkan. Menurut
data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga 2024 baru
sekitar 2,4 GW kapasitas panas bumi yang telah dikembangkan, jauh dari potensi
totalnya yang mencapai lebih dari 29 GW. Ini berarti terdapat peluang sangat besar
yang masih terbuka untuk dikembangkan, terutama di wilayah-wilayah agraris yang
berada di dekat sumber panas bumi. Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022
tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan menjadi tonggak penting dalam
mendorong percepatan pemanfaatan energi bersih, termasuk panas bumi, di seluruh
sektor pembangunan nasional.
Dengan
dukungan regulasi, teknologi, dan kemitraan lintas sektor, energi panas bumi
dapat menjadi motor penggerak pertanian masa depan yang lebih adaptif, rendah
emisi, dan produktif. Memanfaatkan kekayaan alam ini secara bijak tidak hanya
akan meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia
sebagai pelopor dalam pemanfaatan energi hijau di kawasan Asia Tenggara. Kini
saatnya semua pemangku kepentingan (pemerintah, swasta, akademisi, dan
masyarakat) bersinergi untuk membuka lembaran baru pemanfaatan panas bumi demi
ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.
BAGIAN II
ENERGI PANAS
BUMI UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN: SOLUSI HIJAU, HEMAT BIAYA, DAN SIAP HADAPI
KRISIS IKLIM
Sektor
pertanian Indonesia tengah menghadapi tantangan yang semakin kompleks, mulai
dari krisis energi, perubahan iklim, hingga efisiensi biaya produksi. Dalam
konteks ini, energi panas bumi menawarkan terobosan penting. Sebagai sumber
energi terbarukan yang stabil dan tidak tergantung musim, panas bumi
menyediakan pasokan energi yang konstan sepanjang tahun. Berbeda dengan energi
surya atau angin yang sangat bergantung pada cuaca, panas bumi memungkinkan
operasional pertanian tetap berjalan lancar tanpa gangguan, baik di musim hujan
maupun kemarau.
Stabilitas
dan keandalan ini memiliki dampak langsung terhadap efisiensi biaya. Petani
dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang harganya fluktuatif
dan seringkali membebani anggaran operasional. Menurut International
Renewable Energy Agency (IRENA), penerapan energi panas bumi dapat
menurunkan biaya energi hingga 30–70% dalam berbagai aktivitas pertanian. Hal
ini memberi ruang fiskal yang lebih luas bagi petani untuk menginvestasikan
kembali ke dalam praktik-praktik pertanian berkelanjutan, seperti pemupukan
organik, diversifikasi tanaman, dan peningkatan teknologi produksi.
Pemerintah
Indonesia melalui Peraturan Presuden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi
Karbon juga mendorong penggunaan energi rendah karbon, termasuk panas bumi,
untuk mendukung ketahanan pangan dan ketahanan energi. Dalam Pasal 7 peraturan
tersebut dijelaskan bahwa sektor energi dan pertanian merupakan dua sektor
prioritas dalam strategi mitigasi emisi gas rumah kaca nasional. Integrasi
energi panas bumi ke dalam agribisnis menjadi bukti nyata implementasi
kebijakan ini di tingkat lapangan.
Ubah Metode Agribisnis:
Dari Energi Konvensional ke Energi Hijau
Transisi ke
energi panas bumi bukan sekadar pergantian sumber energi, melainkan
transformasi menyeluruh dalam manajemen pertanian. Dengan dukungan konsultasi
teknis dan desain yang disesuaikan dengan karakteristik lahan serta kebutuhan
spesifik petani, sistem panas bumi dapat diimplementasikan secara bertahap
namun berdampak besar. Langkah-langkah seperti audit energi, desain rumah kaca
berbasis geothermal, dan integrasi dengan sistem irigasi presisi kini tersedia
secara luas dan terjangkau berkat program kemitraan pemerintah-swasta.
Kementerian
Pertanian bersama Kementerian ESDM telah mulai menjajaki integrasi panas bumi
di kawasan pertanian terpadu. Hal ini sejalan dengan Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN) dan arahan dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menekankan pentingnya energi dan inovasi teknologi untuk meningkatkan
produktivitas pangan nasional.
Aplikasi
Energi Panas Bumi dalam Operasi Pertanian
Energi panas
bumi dapat dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi langsung yang sangat relevan
dengan kegiatan agribisnis. Salah satu yang paling umum adalah pemanasan rumah
kaca. Dengan suhu yang stabil sepanjang tahun, tanaman hortikultura seperti
tomat, cabai, dan stroberi dapat tumbuh optimal tanpa terganggu oleh suhu
ekstrem. Ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga kualitas hasil
panen.
Selain itu,
energi panas bumi dapat digunakan untuk menggerakkan sistem irigasi secara
hemat energi. Pompa irigasi berbasis panas bumi memanfaatkan tekanan uap atau
energi listrik dari pembangkit mini untuk mendistribusikan air secara efisien.
Aplikasi lainnya termasuk sterilisasi tanah pertanian sebelum tanam, praktik
penting untuk mengendalikan patogen dan gulma secara alami tanpa pestisida
kimia. Hal ini sejalan dengan prinsip pertanian berkelanjutan yang diatur dalam
Peraturan Menteri Pertanian No. 64 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Pertanian
Organik.
Sistem dan
Infrastruktur Panas Bumi di Pertanian
Untuk
memanfaatkan energi panas bumi secara optimal, petani dan pelaku agribisnis
membutuhkan sistem dan infrastruktur yang sesuai. Salah satu solusi yang sudah
terbukti efektif adalah Geothermal Heat Pump, yaitu sistem pompa panas
yang mengalirkan cairan melalui pipa bawah tanah untuk menyerap dan
mendistribusikan panas ke permukaan. Teknologi ini telah banyak diterapkan di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Islandia, dan
kini mulai diadaptasi di beberapa wilayah pertanian tinggi Indonesia seperti Dieng dan Lahendong.
Pengembangan
infrastruktur panas bumi untuk pertanian perlu didukung oleh kebijakan insentif
fiskal dan teknis. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No.
130/PMK.08/2023 tentang Pembiayaan Infrastruktur Energi Baru dan
Terbarukan, telah membuka peluang pembiayaan proyek energi terbarukan skala
kecil, termasuk untuk pertanian. Pemangku kepentingan, baik dari sisi publik
maupun swasta, perlu mengambil peran aktif agar teknologi ini menjangkau lebih
banyak petani dan kawasan pertanian terpencil.
BAGIAN III
PETANI HARUS
MEMPERTIMBANGKAN BIAYA AWAL DAN PENGHEMATAN JANGKA PANJANG: ENERGI PANAS BUMI
UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN
Energi panas bumi
telah menjadi harapan baru bagi pertanian modern, khususnya dalam menjawab
tantangan perubahan iklim dan efisiensi energi. Namun, sebelum memutuskan untuk
mengadopsi teknologi ini, petani perlu mempertimbangkan biaya awal investasi
dan potensi penghematan jangka panjang yang akan diperoleh. Infrastruktur panas
bumi—seperti pengeboran sumur dan pemasangan sistem distribusi panas—memerlukan
biaya awal yang tidak kecil. Meski begitu, penghematan energi secara
berkelanjutan dapat menekan pengeluaran rutin secara signifikan dan menjadikan
pertanian lebih mandiri secara energi.

Sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, pemanfaatan
panas bumi di Indonesia diarahkan untuk mendukung ketahanan energi nasional dan
pembangunan berkelanjutan. UU ini menegaskan bahwa pemanfaatan panas bumi untuk
keperluan non-listrik, (seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata) dapat
dilakukan tanpa melalui proses lelang wilayah kerja panas bumi. Ketentuan ini
memberikan peluang besar bagi petani dan pelaku usaha kecil untuk mengakses
sumber energi yang ramah lingkungan secara lebih mudah dan murah.
Namun,
penggunaan panas bumi tidak lepas dari tantangan lokasi dan regulasi
lingkungan. Tidak semua wilayah pertanian cocok untuk pengembangan energi panas
bumi, karena faktor geologi, aksesibilitas, dan kesiapan infrastruktur. Oleh
karena itu, studi kelayakan yang komprehensif menjadi kunci keberhasilan.
Selain itu, petani harus memperhatikan ketentuan dalam Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pemanfaatan
Langsung Panas Bumi, yang mengatur aspek teknis, lingkungan, dan
keselamatan dalam pemanfaatan energi panas bumi secara langsung di sektor
non-listrik.
Dari sisi
lingkungan hidup, pelaku pertanian juga wajib mengikuti prinsip-prinsip Pembangunan
Berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Setiap kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam, termasuk panas bumi, harus mempertimbangkan daya
dukung lingkungan, pengelolaan limbah, serta pelibatan masyarakat dalam proses
perencanaan dan pengawasan. Ketentuan ini juga sejalan dengan Sustainable
Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan ke-7 (Energi Bersih dan
Terjangkau) dan Tujuan ke-13 (Penanganan Perubahan Iklim), yang didukung oleh
berbagai organisasi internasional seperti IRENA dan IEA.
Berbagai
kisah sukses di dalam dan luar negeri dapat menjadi inspirasi bagi petani
Indonesia. Sun Earth Farms di California, misalnya, berhasil meningkatkan hasil
pertanian dan mengurangi biaya energi secara signifikan berkat sistem pemanasan
tanah berbasis panas bumi. Di Islandia, negara yang terkenal dengan pemanfaatan
energi terbarukan, proyek rumah kaca telah berhasil mengandalkan panas bumi
untuk memproduksi sayuran dan bunga secara efisien sepanjang tahun meski berada
di lingkungan subarktik. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa, jika direncanakan
dan dikelola dengan baik, energi panas bumi bukan hanya solusi teknis tetapi
juga peluang ekonomi yang nyata.
Dengan
dukungan regulasi nasional dan komitmen terhadap prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan, petani Indonesia memiliki kesempatan emas untuk mengadopsi
energi panas bumi secara lebih luas. Melalui perencanaan matang, pelatihan
teknis, dan kolaborasi lintas sektor, sektor pertanian dapat menjadi pelopor
dalam transformasi energi hijau di tingkat akar rumput.
BAGIAN IV
EFISIENSI
BIAYA: INVESTASI SEKALI, MANFAAT BERKEPANJANGAN
Salah satu
daya tarik utama dari pemanfaatan energi panas bumi dalam sektor pertanian
adalah efisiensi biaya operasional. Sistem pemanasan dan pendinginan berbasis
panas bumi mampu mengurangi secara signifikan pengeluaran rutin petani,
khususnya untuk rumah kaca, pengering hasil panen, hingga penyimpanan hasil
pertanian. Dalam banyak kasus, petani melaporkan pengembalian investasi awal
hanya dalam beberapa tahun, berkat penurunan tagihan listrik yang drastis.
Hal ini
sejalan dengan arah kebijakan nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 112
Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan
Tenaga Listrik, yang mendorong penggunaan energi terbarukan, termasuk panas
bumi, sebagai sumber energi utama dalam berbagai sektor—tak terkecuali
pertanian. Efisiensi ini bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga
membuka peluang peningkatan skala usaha bagi petani kecil dan menengah.
Keberlanjutan
Lingkungan: Pertanian Ramah Iklim
Energi panas
bumi merupakan energi bersih yang sangat minim emisi karbon. Berbeda dengan
bahan bakar fosil yang menyumbang besar terhadap pemanasan global, energi panas
bumi tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca secara langsung dalam
operasionalnya. Dengan demikian, pemanfaatannya dalam pertanian mendorong
terciptanya ekosistem pertanian yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan.
Praktik ini
sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris (Paris Agreement)
yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dalam
perjanjian tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29%
secara mandiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Sektor energi dan pertanian merupakan dua sektor strategis dalam pencapaian
target ini, dan panas bumi berada di titik temu keduanya.
Peningkatan
Hasil Panen: Panen Melimpah Sepanjang Tahun
Dengan
memanfaatkan panas bumi untuk pemanasan rumah kaca, petani dapat menciptakan
kondisi lingkungan yang ideal sepanjang tahun bagi pertumbuhan tanaman, bahkan
di wilayah dengan iklim ekstrem. Pemanasan yang konsisten memungkinkan
peningkatan produktivitas dan kualitas tanaman, sekaligus mengurangi risiko
kerusakan akibat cuaca ekstrem. Petani juga dapat mencoba menanam varietas
tanaman baru yang sebelumnya tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga
meningkatkan keanekaragaman dan nilai tambah produk pertanian.
Kebijakan ini
mendukung Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang disahkan melalui Peraturan
Presiden Nomor 22 Tahun 2017, yang menargetkan peningkatan kontribusi
energi terbarukan hingga 23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025.
Panas bumi dalam bidang pertanian menjadi salah satu strategi praktis untuk
mencapai target tersebut sambil mendongkrak produktivitas sektor pertanian.
Aplikasi
Serbaguna: Tak Hanya untuk Tanaman
Keunggulan
energi panas bumi tidak terbatas pada produksi tanaman saja. Sistem ini juga
bisa digunakan untuk menjaga suhu kandang ternak, yang penting untuk kenyamanan
dan kesehatan hewan, terutama di daerah dataran tinggi atau dengan iklim
dingin. Selain itu, energi panas bumi dapat digunakan dalam akuakultur—misalnya
untuk mempertahankan suhu air dalam budidaya ikan—serta untuk proses
pengeringan hasil panen seperti kopi, rempah-rempah, dan hasil hortikultura
lainnya, yang sangat bergantung pada cuaca.
Kementerian
Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dapat mendorong
program percontohan terpadu di daerah-daerah sentra pertanian, sebagaimana
diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang Optimalisasi
Pelaksanaan Program Energi Terbarukan, guna mempercepat adopsi dan alih
teknologi kepada petani.
Keandalan dan
Ketahanan: Energi untuk Masa Krisis
Energi panas
bumi memiliki karakteristik unik: stabil, tersedia sepanjang waktu, dan tidak
bergantung pada kondisi cuaca seperti energi surya atau angin. Dalam konteks
ketahanan pangan dan krisis energi, keandalan ini menjadi faktor strategis.
Ketika terjadi gangguan pasokan listrik atau kenaikan harga BBM, petani yang
menggunakan sistem panas bumi tetap dapat menjalankan operasional pertaniannya
secara normal. Hal ini memberikan keunggulan kompetitif dan meningkatkan
ketahanan produksi nasional.
Prinsip ini
sejalan dengan pendekatan Food Security and Climate Resilience yang
dianut oleh FAO, serta mendukung
implementasi SDGs (Sustainable Development Goals), terutama Tujuan 2
(Tanpa Kelaparan) dan Tujuan 7 (Energi Bersih dan Terjangkau).
Jika
pemanfaatan energi panas bumi dapat disinergikan dengan program-program
strategis pemerintah seperti Food Estate, Kawasan Pertanian Berbasis
Korporasi, serta Desa Mandiri Energi, maka sektor pertanian tidak
hanya akan menjadi lebih tangguh terhadap krisis, tetapi juga menjadi garda
depan dalam transisi energi nasional.
BAGIAN V
MENGENAL
JENIS-JENIS ENERGI PANAS BUMI: MENYESUAIKAN TEKNOLOGI DENGAN KEBUTUHAN
PERTANIAN
Dalam
menerapkan energi panas bumi di sektor pertanian, sangat penting bagi petani
dan pelaku usaha untuk memahami berbagai jenis sistem yang tersedia. Setiap
sistem memiliki karakteristik dan aplikasi yang berbeda, tergantung pada tujuan
pemanfaatan, kondisi geografis, dan skala usaha. Pemilihan sistem yang tepat
tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga memastikan
kesesuaian dengan regulasi nasional dan komitmen terhadap lingkungan.
Sistem
Penggunaan Langsung: Efisiensi Tinggi Tanpa Proses Kompleks
Sistem
penggunaan langsung (direct-use system) adalah bentuk paling sederhana
dan hemat energi dari teknologi panas bumi. Dalam sistem ini, panas dari bawah
permukaan bumi digunakan secara langsung tanpa konversi menjadi listrik. Petani
dapat mengalirkan air panas bumi untuk memanaskan rumah kaca, membantu proses
pengeringan hasil panen, atau menjaga suhu hangat pada kandang ternak.
Sistem ini
sejalan dengan kebijakan nasional yang mendukung pemanfaatan panas bumi
untuk keperluan non-listrik, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi. Dalam beleid tersebut ditegaskan
bahwa penggunaan langsung tidak memerlukan proses lelang wilayah kerja panas
bumi, sehingga lebih mudah diakses oleh petani dan UMKM. Pemerintah mendorong
pemanfaatan jenis sistem ini di daerah-daerah pertanian yang berada dekat
dengan sumber panas bumi dangkal.
Pompa Panas
Bumi: Stabilitas Suhu Sepanjang Tahun
Pompa panas
bumi (ground source heat pump) merupakan teknologi yang semakin populer
di kalangan petani modern. Sistem ini memanfaatkan suhu tanah yang relatif
konstan untuk memanaskan atau mendinginkan bangunan pertanian. Cocok digunakan
untuk rumah kaca, gudang penyimpanan hasil pertanian, hingga ruang proses
pengolahan produk pertanian.
Selain
memiliki efisiensi energi tinggi, sistem ini juga ramah lingkungan dan
membutuhkan perawatan minimal setelah terpasang. Teknologi ini sejalan dengan
prinsip efisiensi energi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi, yang mendorong penggunaan
sistem pemanas dan pendingin berbasis energi baru dan terbarukan untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca dan konsumsi energi fosil.
Sistem
Pembangkit Listrik: Energi Mandiri untuk Petani Modern
Sistem
pembangkit listrik panas bumi (geothermal power plant) mengubah energi
panas dari perut bumi menjadi listrik. Meskipun investasi awal cukup besar,
sistem ini dapat memberikan manfaat jangka panjang, terutama bagi koperasi
tani, kawasan industri pertanian, atau klaster food estate yang membutuhkan
listrik dalam jumlah besar. Bahkan, jika kapasitas produksi listrik melebihi
kebutuhan, petani dapat menjual kelebihan energi ke jaringan nasional—sebuah
langkah yang membuka peluang ekonomi baru.
Kebijakan ini
telah difasilitasi melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021
yang mengatur pembelian tenaga listrik dari pembangkit energi terbarukan,
termasuk panas bumi, oleh PT PLN. Hal ini sejalan dengan semangat Green
Economy dan Transisi Energi Nasional yang juga didukung dalam forum
internasional seperti G20 dan COP28.
Sistem
Hidroponik Berbasis Panas Bumi: Pertanian Bernilai Tinggi
Inovasi
lainnya adalah integrasi panas bumi dalam sistem pertanian hidroponik. Air
panas bumi dapat dimanfaatkan untuk mengatur suhu media tanam, meningkatkan
penyerapan nutrisi, dan menciptakan lingkungan pertumbuhan yang optimal bagi
tanaman. Hasilnya, petani dapat memproduksi tanaman bernilai tinggi seperti
sayuran daun, stroberi, tomat, dan rempah-rempah sepanjang tahun dengan
efisiensi air dan ruang yang lebih baik.
Teknologi ini
sangat relevan dengan strategi pertanian presisi dan smart farming yang
didorong dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2023 tentang
Transformasi Pertanian Berkelanjutan, yang menargetkan peningkatan nilai
tambah melalui pemanfaatan teknologi ramah lingkungan dan sistem pertanian
cerdas.
Pertimbangan
Utama Sebelum Implementasi: Jangan Lupa Legalitas dan Kelayakan
Meskipun
prospeknya menjanjikan, penerapan energi panas bumi dalam pertanian memerlukan
perencanaan matang. Petani harus mempertimbangkan potensi panas bumi di lokasi
mereka, yang dapat dianalisis melalui studi geologi dan hidrotermal. Studi
kelayakan teknis dan ekonomi menjadi langkah awal yang sangat penting untuk
mengidentifikasi sistem yang paling sesuai dengan kebutuhan.
Selain itu,
memahami peraturan perizinan, tata ruang, dan dampak lingkungan menjadi kunci
keberhasilan implementasi. Hal ini mengacu pada ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang
mewajibkan bahwa setiap penggunaan sumber energi harus sesuai dengan tata
kelola sumber daya alam yang berkelanjutan.
Petani juga
perlu berpikir ke depan: bagaimana kebutuhan energi mereka dalam 10–15 tahun ke
depan? Apakah sistem yang dipilih mampu berkembang seiring ekspansi usaha?
Evaluasi ini penting agar investasi yang dilakukan tidak hanya bermanfaat
jangka pendek, tetapi juga mendukung transformasi jangka panjang menuju
pertanian modern, hijau, dan berdaya saing tinggi.
BAGIAN VI
STUDI KASUS:
IMPLEMENTASI ENERGI PANAS BUMI YANG SUKSES DALAM PERTANIAN
Sejumlah
contoh nyata dari berbagai belahan dunia telah menunjukkan bahwa penerapan
energi panas bumi dalam pertanian bukan sekadar wacana, melainkan strategi
nyata yang terbukti efektif. Studi-studi kasus berikut dapat menjadi inspirasi
bagi para pemangku kepentingan di Indonesia dalam mengadopsi pendekatan serupa,
sejalan dengan kebijakan nasional dan komitmen global terhadap energi bersih
dan ketahanan pangan.
Cascade Farm:
Pelopor Teknologi Panas Bumi di Sektor Hortikultura
Terletak di
kawasan Pacific Northwest, Cascade Farm telah menjadi pionir dalam
pemanfaatan energi panas bumi untuk pemanasan rumah kaca. Kawasan ini memang
dikenal sebagai wilayah dengan potensi geotermal dangkal yang tinggi, sehingga
pemanfaatannya sangat relevan untuk mendukung kegiatan pertanian intensif.
Dengan sistem ini, Cascade Farm mampu menjaga suhu optimal rumah kaca sepanjang
tahun, termasuk di musim dingin.
Hasilnya
sangat signifikan: biaya operasional untuk pemanasan menurun drastis, dan hasil
panen meningkat hingga 30%. Praktik ini sejalan dengan pendekatan berbasis
efisiensi energi yang dianjurkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi, serta mendukung Tujuan SDGs
ke-7 tentang Energi Bersih dan Terjangkau.
Green Hills
Ranch: Energi Hijau untuk Kesejahteraan Ternak
Di California
Selatan, Green Hills Ranch mengadopsi pemanasan panas bumi untuk kandang
ternak. Dengan sistem ini, mereka berhasil menciptakan lingkungan yang stabil
dan nyaman bagi sapi perah, terutama pada malam hari ketika suhu turun drastis.
Hasilnya adalah peningkatan kesehatan hewan dan produktivitas susu yang lebih
tinggi. Selain itu, sistem ini membantu mengurangi ketergantungan pada bahan
bakar fosil seperti gas propana atau solar.
Implementasi
seperti ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014
tentang Panas Bumi yang secara eksplisit mendorong pemanfaatan energi panas
bumi tidak hanya untuk pembangkitan listrik, tetapi juga untuk kegiatan
non-listrik seperti peternakan dan industri kecil. Pendekatan ini juga sejalan
dengan program mitigasi perubahan iklim yang tertuang dalam Nationally
Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Pertanian
Organik Sunny Acres: Efisiensi Air dan Kualitas Tanaman
Sunny Acres
Farm di New York menjadi contoh bagaimana energi panas bumi tidak hanya
digunakan untuk pemanasan, tetapi juga untuk mengatur suhu air dalam sistem
irigasi. Sumur panas bumi menyediakan air dengan suhu stabil sepanjang tahun,
yang berdampak positif terhadap kesehatan tanaman dan kualitas hasil panen.
Selain meningkatkan efisiensi air, sistem ini juga memungkinkan pengendalian
nutrisi tanaman secara presisi.
Pengalaman
ini menunjukkan relevansi integrasi energi panas bumi dengan pertanian
berkelanjutan, sebagaimana didorong dalam Peraturan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2023 tentang Transformasi Pertanian
Berkelanjutan, termasuk upaya digitalisasi, efisiensi sumber daya, dan
ketahanan terhadap perubahan iklim.
Mountain View
Vineyard: Produksi Anggur Ramah Iklim
Kebun anggur
ini, yang berlokasi di Lembah Willamette, Oregon, memanfaatkan energi panas
bumi untuk proses fermentasi dan pematangan anggur. Proses ini memerlukan suhu
yang sangat presisi untuk menghasilkan cita rasa khas. Dengan sistem geotermal,
mereka tak hanya memangkas biaya energi, tetapi juga meningkatkan konsistensi
dan kualitas produk.
Inisiatif ini
sejalan dengan arah ekonomi hijau Indonesia dan didukung oleh Peraturan
Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan.
Penerapan teknologi ini pada sektor agroindustri bernilai tambah di Indonesia
seperti kopi, cokelat, atau teh bisa menjadi langkah strategis untuk daya saing
global.
Evergreen
Produce: Kemandirian Pangan Berbasis Komunitas
Di Colorado,
Evergreen Produce memanfaatkan rumah kaca panas bumi untuk menyediakan pangan
segar sepanjang tahun bagi komunitas lokal. Selain mengurangi jejak karbon dari
distribusi pangan, mereka juga membangun ketahanan pangan lokal, terutama di
wilayah yang memiliki musim dingin panjang.
Model ini
sesuai dengan semangat Desa Mandiri Energi yang diatur dalam Permendesa
PDTT Nomor 5 Tahun 2016, serta mendorong pencapaian SDGs melalui integrasi
energi bersih, pemberdayaan masyarakat, dan pengurangan kemiskinan.
Analisis
Ekonomi: Menyeimbangkan Investasi dan Penghematan
Investasi
Awal yang Terkelola
Memang benar
bahwa pemasangan sistem panas bumi membutuhkan investasi awal yang tidak
sedikit. Biaya pengeboran, instalasi pipa, dan sistem pemanas dapat mencapai
puluhan hingga ratusan juta rupiah. Namun, banyak negara, termasuk Indonesia,
telah menyediakan skema pembiayaan ramah lingkungan dan insentif, baik
dalam bentuk hibah pemerintah, subsidi bunga kredit hijau, maupun
insentif pajak, sebagaimana tertuang dalam kebijakan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2023 tentang Optimalisasi Program Energi Terbarukan.
Penghematan
Jangka Panjang yang Nyata
Setelah
beroperasi, sistem panas bumi memberikan penghematan energi hingga 50–70%
dibandingkan sistem pemanas konvensional. Tagihan listrik berkurang, biaya
bahan bakar hampir nol, dan perawatan pun minimal. Hal ini menjadikan investasi
lebih mudah dikembalikan, terutama di daerah dengan biaya energi tinggi.
Secara umum, periode
pengembalian investasi (ROI) untuk sistem geotermal berkisar antara 5–10
tahun, tergantung skala dan efisiensi sistem. Dalam jangka panjang,
keuntungan bersih terus meningkat karena biaya energi tetap rendah dan stabil.
Stabilitas
Harga dan Ketahanan Finansial
Berbeda
dengan bahan bakar fosil yang fluktuatif, energi panas bumi memiliki harga
tetap dan tidak terpengaruh pasar global. Hal ini memberikan prediktabilitas
keuangan yang sangat penting bagi pelaku agribisnis, terutama di tengah
gejolak ekonomi global dan krisis energi. Dengan kestabilan ini, petani dapat
merencanakan produksi, investasi, dan ekspansi usaha secara lebih terukur.
Saatnya Indonesia Bergerak ke Arah Pertanian Berbasis Energi Hijau
Dengan
potensi panas bumi Indonesia yang merupakan salah satu terbesar di dunia, sudah
saatnya sektor pertanian mengambil bagian dalam revolusi energi bersih.
Implementasi yang sukses di berbagai negara membuktikan bahwa teknologi ini
tidak hanya memungkinkan, tetapi juga menguntungkan, baik dari sisi ekonomi,
sosial, maupun lingkungan.
Dengan
dukungan regulasi yang tepat, insentif pemerintah, dan kolaborasi lintas
sektor, petani Indonesia dapat menjadi pelopor dalam mewujudkan pertanian
hijau yang tangguh, modern, dan berkelanjutan, sekaligus menjaga bumi untuk
generasi mendatang.
BAGIAN VII
TANTANGAN DAN
KETERBATASAN DALAM MEMANFAATKAN ENERGI PANAS BUMI DALAM PERTANIAN
Meskipun
energi panas bumi menjanjikan berbagai manfaat bagi sektor pertanian,
implementasinya di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Sejumlah tantangan dan
keterbatasan masih menghambat adopsi luas teknologi ini, terutama di negara
berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemangku
kepentingan untuk memahami hambatan-hambatan ini agar dapat merumuskan
kebijakan dan strategi pendukung yang lebih efektif.
Investasi
Awal dan Kebutuhan Infrastruktur
Salah satu
hambatan terbesar dalam penerapan energi panas bumi di sektor pertanian adalah
tingginya biaya awal. Sistem geotermal memerlukan pengeboran, instalasi pipa,
serta infrastruktur pemanas dan pendingin yang kompleks. Bagi banyak petani,
terutama petani kecil dan menengah, ketiadaan modal awal menjadi penghalang
utama. Beberapa bangunan pertanian yang sudah ada pun tidak selalu kompatibel
dengan modifikasi sistem geotermal, sehingga memerlukan renovasi tambahan.
Untuk
mengatasi tantangan ini, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan
berbagai program pembiayaan hijau yang dikelola oleh Kementerian Keuangan
telah menyediakan skema bantuan dan insentif, termasuk pembiayaan berbasis
lingkungan dan kredit usaha rakyat (KUR) hijau. Namun, sosialisasi dan
kemudahan akses masih perlu ditingkatkan agar petani dapat benar-benar
memanfaatkannya.
Keterbatasan
Geografis dan Distribusi Potensi
Tidak semua
wilayah memiliki potensi panas bumi yang cukup untuk dikembangkan. Energi
geotermal sangat bergantung pada kondisi geologis setempat. Beberapa daerah
memiliki sumber daya geotermal berkualitas tinggi, tetapi banyak pula yang
tidak. Bahkan dalam satu provinsi, distribusi cadangan panas bumi bisa sangat
tidak merata.
Hal ini
membuat proses pemetaan potensi menjadi langkah krusial. Pemerintah melalui Badan
Geologi Kementerian ESDM telah melakukan survei potensi panas bumi yang
dituangkan dalam Peta Potensi Panas Bumi Indonesia, namun pemanfaatannya
oleh sektor pertanian masih terbatas. Oleh karena itu, integrasi data
geospasial ke dalam perencanaan pembangunan pertanian sangat dianjurkan.
Tantangan
Teknis dan Kebutuhan Kapasitas SDM
Energi panas
bumi memerlukan pemahaman teknis yang lebih tinggi dibandingkan sistem energi
konvensional. Petani dan operator lapangan harus menguasai pengetahuan dasar
tentang sistem pemanas, perpipaan, dan pengaturan suhu. Kurangnya pelatihan
teknis dapat menyebabkan kesalahan instalasi, kerusakan sistem, atau efisiensi
yang rendah.
Untuk itu,
pelatihan teknis dan penguatan kapasitas menjadi penting. Program pelatihan
berbasis masyarakat, seperti yang didorong dalam Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 40 Tahun 2022 tentang Pelatihan Petani dan Penyuluh Pertanian, dapat
diadaptasi untuk memasukkan teknologi energi baru dan terbarukan sebagai bagian
dari kurikulum.
Hambatan
Regulasi dan Inkonsistensi Kebijakan
Perizinan
proyek panas bumi dapat memakan waktu dan bersifat kompleks. Mulai dari izin
pengeboran, penggunaan air, hingga persetujuan lingkungan, semuanya memerlukan
koordinasi dengan berbagai instansi. Kurangnya sinkronisasi antar lembaga
pemerintah, serta perbedaan kebijakan di tingkat pusat dan daerah, seringkali
menimbulkan kebingungan bagi pelaku usaha dan petani.
Regulasi yang
mengatur pemanfaatan energi panas bumi terutama terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan turunannya, termasuk Permen
ESDM No. 15 Tahun 2022. Namun, masih diperlukan harmonisasi dengan
peraturan tata ruang, konservasi lingkungan, dan pengelolaan sumber daya air
agar tidak tumpang tindih di lapangan.
Isu
Lingkungan: Menjaga Ekosistem Tetap Seimbang
Meskipun
energi panas bumi tergolong energi bersih, proses pengeboran dan ekstraksi
tetap memiliki dampak lingkungan yang perlu diantisipasi. Misalnya, perubahan
struktur tanah, gangguan terhadap habitat lokal, serta potensi kontaminasi air
dari cairan panas bumi. Oleh karena itu, setiap proyek panas bumi harus
menjalani Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Konsultasi
dengan pakar lingkungan, pelibatan masyarakat, dan pemantauan berkelanjutan
merupakan bagian penting dari pendekatan Environmental Safegauard, yang
juga dianjurkan oleh World Bank dan FAO dalam panduan pembangunan
berkelanjutan sektor energi dan pertanian.
Menavigasi
Regulasi dan Membangun Kolaborasi
Untuk
memastikan keberhasilan proyek energi panas bumi di sektor pertanian, penting
bagi pelaku usaha dan petani untuk memahami kerangka regulasi yang berlaku.
Setiap daerah mungkin memiliki aturan tambahan yang mengatur penggunaan lahan,
zonasi, atau konservasi. Oleh karena itu, bermitra dengan instansi pengatur
sejak awal merupakan langkah strategis agar proses perizinan berjalan
lancar.
Analisis
Dampak Lingkungan yang Komprehensif
Melakukan
AMDAL atau dokumen lingkungan lainnya seperti UKL-UPL akan membantu
mengidentifikasi risiko dan menetapkan langkah mitigasi sejak awal. Evaluasi
ini mencakup kualitas air, konservasi tanah, keanekaragaman hayati, dan
keseimbangan ekosistem lokal. Selain itu, partisipasi masyarakat dan pakar
lingkungan sangat membantu dalam meningkatkan legitimasi sosial proyek.
Perizinan
yang Tepat dan Terencana
Proyek panas
bumi pertanian mungkin memerlukan beberapa jenis izin: pengeboran, pemanfaatan
air tanah, penggunaan lahan, dan izin lingkungan. Masing-masing izin memiliki
prosedur dan durasi yang berbeda. Oleh karena itu, menyusun jadwal perizinan
secara rinci sejak tahap perencanaan akan mempercepat proses implementasi
proyek.
Keterlibatan
Komunitas dan Pemangku Kepentingan
Keterlibatan
masyarakat lokal adalah aspek yang sering diabaikan, padahal justru menentukan
keberlanjutan proyek. Forum publik, dialog warga, dan pembentukan tim pengawas
independen merupakan cara yang efektif untuk membangun kepercayaan. Masukan
dari pemangku kepentingan lokal dapat memperkuat desain proyek agar lebih
adaptif terhadap kondisi sosial-ekologis.
Pemantauan
dan Kepatuhan Jangka Panjang
Setelah
proyek berjalan, pemantauan berkala sangat penting. Operator harus mencatat
data teknis dan lingkungan, serta melaporkan kepada instansi terkait sesuai
ketentuan. Kepatuhan yang konsisten terhadap regulasi akan melindungi proyek
dari gangguan hukum dan meningkatkan reputasi di mata mitra dan pembeli produk
pertanian yang semakin sadar lingkungan.
Mengatasi Hambatan Menuju Pertanian Berbasis Energi Terbarukan
Mengadopsi
energi panas bumi dalam sektor pertanian memang bukan tanpa tantangan. Namun,
dengan pendekatan yang holistik—memadukan kebijakan yang mendukung, pelatihan
teknis, perencanaan lingkungan, dan pelibatan masyarakat—tantangan ini dapat
diubah menjadi peluang besar. Indonesia memiliki semua prasyarat: potensi
geotermal tinggi, semangat transisi energi, dan sektor pertanian yang tangguh.
Kini saatnya menyatukan langkah menuju pertanian hijau yang berdaulat, mandiri,
dan berkelanjutan.
BAGIAN VIII
Tren Masa
Depan: Inovasi dalam Teknologi Panas Bumi untuk Pertanian
Masa depan
energi panas bumi dalam pertanian terlihat semakin menjanjikan berkat kemajuan
teknologi yang pesat dan kolaborasi lintas sektor. Inovasi di bidang
pengeboran, sistem pemanas, hingga integrasi digital membuka peluang baru bagi
sektor pertanian untuk memanfaatkan sumber daya energi yang bersih, efisien,
dan berkelanjutan. Perkembangan ini juga selaras dengan visi pemerintah
Indonesia untuk mendorong transisi energi hijau dan memperkuat ketahanan pangan
nasional.
Kemajuan
dalam Teknologi Pengeboran: Membuka Potensi Baru
Selama dekade
terakhir, teknologi pengeboran panas bumi mengalami kemajuan signifikan. Metode
pengeboran horizontal dan directional drilling kini memungkinkan eksplorasi
sumber panas bumi yang lebih dalam dan efisien. Inovasi ini secara langsung
berdampak pada penurunan biaya investasi dan peningkatan aksesibilitas sumber
daya panas bumi, bahkan di wilayah dengan potensi sedang.
Penerapan
teknologi pengeboran ramah lingkungan ini juga mendukung Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang
mengamanatkan peningkatan pemanfaatan energi baru dan terbarukan dengan
memperhatikan aspek konservasi dan pelestarian lingkungan. Dengan menurunnya
hambatan teknis dan biaya, petani dapat mulai melihat panas bumi bukan sebagai
teknologi mahal, melainkan sebagai investasi produktif jangka panjang.
Sistem Pompa
Panas Generasi Baru: Efisiensi dan Adaptabilitas
Teknologi
pompa panas bumi (ground source heat pumps) kini semakin canggih. Sistem
generasi baru dirancang untuk bekerja lebih efisien dalam berbagai kondisi
tanah dan iklim. Teknologi ini mampu mempertahankan suhu tanah ideal bagi
berbagai jenis tanaman, sekaligus menjaga kenyamanan termal fasilitas peternakan
secara otomatis sepanjang tahun.
Inovasi ini
sangat relevan bagi pertanian tropis seperti Indonesia, yang menghadapi
tantangan suhu ekstrem, curah hujan tidak menentu, dan perubahan iklim.
Dukungan terhadap adopsi pompa panas juga telah dimasukkan dalam kerangka
kebijakan efisiensi energi, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden
Nomor 33 Tahun 2023 tentang Konservasi Energi.
Solusi
Geotermal Cerdas: Digitalisasi untuk Efisiensi Maksimal
Seiring
dengan era industri 4.0, energi panas bumi kini dipadukan dengan sistem digital
dan kecerdasan buatan (AI). Teknologi smart geothermal memungkinkan
petani untuk memantau dan mengendalikan sistem mereka secara real-time
menggunakan aplikasi seluler atau dasbor berbasis cloud. Misalnya, suhu tanah,
tekanan fluida, dan kebutuhan energi dapat dipantau dan dioptimalkan secara
otomatis, bahkan dari jarak jauh.
Penggunaan Internet
of Things (IoT) dan machine learning dalam sistem ini juga membantu
petani merencanakan perawatan sebelum kerusakan terjadi (predictive
maintenance), sehingga menghindari kerugian akibat downtime. Praktik ini
sejalan dengan dorongan transformasi digital pertanian dalam Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 40 Tahun 2022 tentang Smart Farming dan Pertanian
Presisi.
Energi
Geotermal untuk Pertanian Berkelanjutan: Ramah Iklim dan Tanah
Penggunaan
energi panas bumi bukan hanya tentang efisiensi, tetapi juga keberlanjutan.
Sistem ini tidak menghasilkan emisi karbon seperti bahan bakar fosil, serta
menjaga suhu tanah tetap stabil—faktor penting untuk kesehatan mikroorganisme
tanah dan produktivitas jangka panjang. Dengan mengurangi jejak karbon
pertanian, petani turut mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),
khususnya poin 7 (Energi Bersih), poin 13 (Penanganan Perubahan Iklim), dan
poin 2 (Ketahanan Pangan).
Selain itu,
keberadaan sistem geotermal dapat memperkuat infrastruktur pertanian ramah
lingkungan dan mendukung upaya penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia,
sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC)
Indonesia tahun 2022, yang menjadi bagian dari komitmen internasional dalam
Kesepakatan Paris.
Penelitian
dan Pengembangan Kolaboratif: Sinergi untuk Inovasi
Tren global
menunjukkan peningkatan kolaborasi antara lembaga penelitian, universitas,
sektor swasta, dan komunitas petani untuk mengembangkan teknologi geotermal
yang sesuai dengan kebutuhan spesifik sektor pertanian. Di Indonesia,
kolaborasi semacam ini juga mulai muncul, misalnya melalui program riset
terapan yang didanai oleh LPDP atau BRIN, serta kemitraan
internasional dengan lembaga seperti FAO, UNDP, dan GIZ.
Kolaborasi
ini penting untuk menciptakan solusi berbasis konteks lokal. Misalnya,
bagaimana sistem pompa panas dapat disesuaikan dengan karakteristik tanah
vulkanik di Jawa atau dengan tanah gambut di Kalimantan. Inovasi yang lahir
dari konteks lokal akan meningkatkan adopsi teknologi dan mempercepat
transformasi sistem pertanian menuju sistem yang lebih hijau, tangguh, dan
adaptif terhadap krisis.
Membangun Masa Depan Pertanian dari Perut Bumi
Dengan
semakin matangnya teknologi dan kebijakan yang mulai berpihak pada energi
bersih, kini saatnya energi panas bumi diposisikan sebagai pilar utama
pertanian masa depan Indonesia. Dukungan regulasi nasional, kolaborasi riset,
pembiayaan inovatif, dan kemitraan dengan petani menjadi kunci untuk mewujudkan
pertanian yang mandiri secara energi, efisien dalam produksi, serta bertanggung
jawab terhadap lingkungan.
Petani bukan
sekadar pengguna energi, tetapi juga agen perubahan dalam transisi energi
nasional. Energi panas bumi, yang selama ini tersembunyi di dalam perut bumi,
dapat menjadi kekuatan baru untuk menumbuhkan hasil tani yang lebih sehat,
hijau, dan lestari bagi generasi mendatang.