Vaksinasi
adalah tindakan imunisasi yang disengaja terhadap suatu organisme untuk
melindunginya dari infeksi oleh agen penyakit. Vaksinasi juga dapat berarti
imunisasi seseorang terhadap agen apa pun yang mampu memicu respons imun. Agen
pemicu ini bisa berupa organisme infeksius, molekul berukuran sedang (misalnya,
toksin protein), atau bahkan bagian dari protein tubuh sendiri (misalnya, untuk
merangsang respons imun terhadap tumor). Kemajuan yang diantisipasi dalam
biologi sel, imunologi, genetika molekuler, genomik, dan kekebalan seluler akan
sangat mempercepat produksi vaksin yang murah, aman, dan efektif.
Vaksin
bekerja dengan mempersiapkan sistem imun untuk mengenali dan menyerang zat
asing atau antigen. Setelah suatu organisme divaksinasi, ia menjadi kebal
karena mengandung populasi sel yang membawa molekul pengenal antigen tertentu
di permukaan mereka, yang diproduksi oleh atau merupakan bagian dari agen
infeksius. Antigen sering kali, meskipun tidak selalu, berupa protein yang
dikode oleh genom agen infeksius; antigen juga dapat berupa molekul lain,
seperti karbohidrat kompleks.
RESPONS
IMUN
Teknologi
vaksinasi telah dikembangkan jauh sebelum ilmu pengetahuan di baliknya
dipahami. Pada akhir abad ke-19, pengamatan bahwa seseorang yang pernah
terinfeksi atau terpapar agen penyakit menjadi kebal terhadapnya, kemudian
dibuktikan melalui eksperimen yang ketat. Respons tubuh terhadap agen asing ini
dikenal sebagai respons imun. Fakta bahwa respons imun berlangsung lebih cepat
dan lebih kuat pada infeksi kedua dibanding infeksi pertama, menunjukkan bahwa
tubuh “mengingat” infeksi sebelumnya dan bagaimana cara mengatasinya. Inilah
yang dikenal sebagai memori imunologis. Sistem dalam tubuh yang
bertanggung jawab atas respons imun ini disebut sistem imun.
Beragam
jenis sel darah putih yang mengatur dan menjalankan respons kompleks ini
bersirkulasi bebas di dalam darah, sehingga mudah untuk diteliti; karena alasan
ini dan lainnya, kemajuan pemahaman tentang respons imun pada abad ke-20 sangat
pesat. Peningkatan pengetahuan ilmiah ini dimanfaatkan dalam berbagai metode
canggih untuk memanfaatkan sistem imun demi mencapai tujuan tertentu.
Dalam
gambaran buku teks, sistem imun terbagi menjadi dua cabang: satu menggunakan
antibodi untuk mengenali dan membantu menghancurkan agen asing (dikenal juga
sebagai cabang B-sel, kekebalan humoral, atau kekebalan serum), dan satu lagi
menggunakan sel (dikenal sebagai cabang T-sel atau kekebalan berbasis sel). Di
bawah ini dijelaskan versi ringkas dari jalannya respons imun “tipikal”.
Cabang
B-Sel
Beberapa
organisme asing bersirkulasi dalam darah dan getah bening. Di limpa, antigen
dari virus tertentu dikenali oleh antibodi yang terdapat di permukaan B-sel
tertentu. Ketika B-sel ini mulai membelah, mereka membentuk klon dari sel-sel
yang berasal dari B-sel pendiri yang mengenali antigen tersebut (seleksi
klonal). Banyak dari sel-sel ini mulai menghasilkan antibodi mutan, beberapa di
antaranya memiliki ikatan yang lebih kuat dengan antigen. Antibodi yang lebih
kuat ini menyebabkan proliferasi sel lebih lanjut. Semakin lama antigen berada
dalam tubuh, semakin banyak sel yang menghasilkan antibodi dengan daya ikat
tinggi.
Jika
agen asing adalah virus, antibodi yang bersirkulasi akan menetralkan virus
dengan mengikatnya dan membentuk kompleks besar (kompleks imun) yang akan
dibersihkan dari darah. Jika agen asing adalah bakteri, pembentukan kompleks
juga terjadi, dan ikatan antibodi terhadap bakteri besar akan memicu
serangkaian reaksi kompleks protein terhadap protein lainnya (cascade
komplemen), yang akhirnya melubangi bakteri dan membunuhnya karena gangguan
osmotik.
Setelah
infeksi berlalu, sejumlah kecil B-sel akan tetap ada dan membawa antibodi
terbaik di permukaannya. Jika agen asing muncul kembali, sel-sel memori ini
akan segera berkembang biak. Maka pada paparan kedua, respons dimulai dari
tahap akhir proses sebelumnya, bukan dari awal.
Cabang
T-Sel
Beberapa
partikel bakteri dan virus ditelan oleh sel penyaji antigen (APC), seperti
makrofag dan sel dendritik, yang kemudian memecah protein virus dan menampilkan
potongannya di permukaan sel. APC ini kemudian bertemu dengan sel lain,
termasuk subtipe T-helper (Th1). Beberapa Th1 memiliki molekul di permukaannya
yang secara kebetulan dapat mengenali potongan protein virus ini. Th1 kemudian
menghasilkan protein terlarut (seperti interleukin-2 atau IL-2) yang merangsang
T-sel pembunuh (Tk atau cytotoxic T-cells/Tc) untuk berkembang biak.
Jika
suatu sel terinfeksi virus, maka beberapa protein yang dihasilkannya dikode
oleh virus tersebut. Sel ini akan menampilkan potongan protein virus di
permukaannya melalui molekul HLA kelas I. Tk memiliki reseptor sel T (TCR) di
permukaannya. TCR memiliki berbagai bentuk; beberapa TCR pada Tk dapat
mengenali kompleks antara HLA kelas I dan antigen virus. Ketika Tk mengenali
antigen ini, mereka diaktifkan. Di bawah pengaruh IL-2 dari Th1, Tk akan
berkembang biak dan menjadi pembunuh aktif.
Ketika
pembunuh aktif bertemu sel asing yang sesuai, ia akan menempel, melubangi, dan
membunuh sel tersebut. Bila respons imun berjalan optimal, sel yang terinfeksi
dapat dihancurkan sebelum virus memperbanyak diri. Tk yang telah diaktifkan
akan bertahan. Jika terjadi infeksi ulang, mereka segera berkembang biak
kembali dan respons berlanjut dari tahap akhir proses sebelumnya.
Setelah
vaksinasi, organisme dianggap kebal, artinya ia tidak mudah terinfeksi ulang
oleh agen penyakit. Kekebalan ini berarti bahwa tubuh mengandung populasi sel
yang membawa molekul pengenal antigen di permukaannya. Antigen didefinisikan
secara fungsional sebagai molekul atau bagian molekul yang dikenali dan
direspons oleh sistem imun. Antigen sering, tetapi tidak selalu, berupa protein
dari genom agen infeksius; bisa juga berupa molekul lain seperti karbohidrat
kompleks.
Respons
imun ini dapat dianggap sebagai sistem pertahanan identifikasi-kawan-atau-lawan
(IFF) yang sangat canggih. Sistem imun merupakan contoh jaringan terdistribusi
yang mampu melakukan tugas kompleks (pengakuan agen asing, pengambilan
keputusan, pelaksanaan aksi). Respons ini tangguh, berlapis, dan tidak
hierarkis.
Komunikasi
antar komponen sistem imun berlangsung melalui dua cara: (1) kontak antarsel,
yang menyampaikan potongan molekul (dengan makna tinggi), dan (2) sekresi
protein (~100 jenis protein), yang akan diterima jika sel penerima memiliki
reseptor yang sesuai dan konsentrasi protein cukup tinggi. Meskipun sel lokal
lebih terpengaruh, komunikasi ini tidak memiliki arah tetap, dan komponen
sistem tidak memiliki orientasi atau posisi yang tetap satu sama lain.
Kombinasi sinyal lambat, komunikasi terbatas, pengambilan keputusan
terdesentralisasi, dan respons yang tepat waktu menjadikan sistem imun unik
dibanding sistem buatan manusia mana pun.
PENGEMBANGAN
DAN PRODUKSI VAKSIN
Perkembangan
terbaru dalam biologi sel, imunologi, genetika molekuler, dan genomik yang
relevan dengan militer kemungkinan akan menghasilkan produk vaksin yang lebih
sederhana (misalnya protein virus rekombinan atau DNA pengkode protein
tersebut), menghasilkan respons imun protektif terhadap berbagai patogen, serta
memungkinkan produksi vaksin melalui proses yang cepat, murah, dan andal.
Secara
umum, enam jenis vaksin yang digunakan saat ini adalah:
1.Organisme
infeksius yang dimatikan (vaksin inaktif)
2.Organisme
infeksius alami yang secara genetik dekat dengan patogen (misalnya, virus cowpox
untuk vaksin cacar)
3.Organisme
infeksius hidup yang dilemahkan (vaksin hidup yang dilemahkan)
4.Vaksin
subunit
5.Vaksin
berbasis sel atau virus
6.Vaksin
DNA
Dampak
bioteknologi pada tipe 3, 4, 5, dan 6 dijelaskan di bawah ini. Dampak pada
adjuvan—zat tambahan dalam vaksin untuk memperkuat respons imun—juga dibahas.
Bagian akhir membahas bagaimana kemajuan bioteknologi dapat membuka cara baru
untuk menciptakan kekebalan.
Vaksin
Hidup yang Dilemahkan
Vaksin
dilemahkan secara konvensional dibuat dengan menumbuhkan bakteri atau virus
selama banyak generasi dalam inang yang berbeda dari inang aslinya. Karena
lingkungan seleksi berbeda, patogen mengalami mutasi untuk menyesuaikan diri
dengan inang baru dan menjadi kurang cocok untuk inang aslinya. Misalnya, untuk
membuat vaksin flu, strain flu baru ditumbuhkan berulang kali dalam telur ayam.
Mutasi yang membuat virus lebih cocok hidup di telur ayam justru membuatnya
kurang virulen di manusia. Mutan yang dilemahkan ini digunakan sebagai vaksin.
Belakangan
ini, pendekatan klasik ini dilengkapi dengan teknik mutasi acak atau terarah.
Virus yang dibuat sensitif terhadap suhu, misalnya, cenderung tumbuh lebih
buruk dalam tubuh inangnya. Mutagenesis terarah pada gen antigenik virus juga
lazim dilakukan. Gen yang tidak penting untuk pertumbuhan tetapi memiliki
fungsi imun dapat dihapus, dan virus hasil mutasi ini diuji kemampuannya
membentuk kekebalan. Pendekatan serupa juga dapat diterapkan pada patogen
bakteri.
Vaksin
Subunit
Pada
abad lalu, ilmu biologi berfokus pada molekul-molekul individual yang
bertanggung jawab terhadap penyakit dan kekebalan. Saat ini, industri vaksin
sebagian besar telah beralih dari penggunaan organisme utuh yang telah
dimatikan atau dilemahkan ke vaksin yang hanya mengandung molekul-molekul kunci
yang cukup untuk memberikan kekebalan. Ilmu genomik kini mendorong ilmu dan
praktik vaksinasi hingga ke tingkat gen yang mengatur kekebalan.
Sebagian
besar vaksin modern adalah vaksin subunit, yaitu vaksin yang mengandung satu
atau lebih molekul atau bagian dari molekul yang memiliki sifat imunologis dari
suatu organisme dan mampu memicu respons kekebalan. Secara umum, proses
pembuatan vaksin subunit untuk suatu organisme melibatkan identifikasi
organisme yang telah terinfeksi dan sembuh guna mengetahui antigen mana yang
memicu respons kekebalan. Antigen tersebut, yang umumnya berupa protein,
kemudian diproduksi melalui teknologi rekombinan dalam bakteri, ragi, atau sel
hewan yang dikultur. Protein rekombinan ini kemudian dicampur dengan adjuvan
dan disuntikkan ke hewan uji untuk melihat apakah vaksin tersebut mampu
memberikan kekebalan. Berdasarkan hasil uji ini, kombinasi antigen dan adjuvan dapat
disesuaikan. Selanjutnya, dilakukan uji coba pada manusia.
Teknologi DNA rekombinan dan imunologi telah berhasil digunakan dalam pencarian antigen permukaan suatu patogen dan pengembangan vaksin rekombinan untuk hepatitis B. Peralatan dan metodologi untuk konsep ini telah terbukti dan dapat diterapkan pada sistem lainnya.
Peralihan dari vaksin flu yang ditumbuhkan dalam telur ayam atau vaksin
vaccinia dari pustula sapi ke kultur organisme murni secara in vitro dan
kemudian ke protein rekombinan dari organisme tersebut menghasilkan vaksin yang
lebih murni dan terdefinisi dengan baik. Produk vaksin yang lebih sederhana,
seperti protein rekombinan dan DNA, umumnya lebih mudah diproduksi dan
dikarakterisasi. Oleh karena itu, proses produksi yang konsisten dan dapat
diulang mungkin dapat dikembangkan dengan biaya dan waktu yang wajar. Sebagai
contoh, Amerika Serikat memiliki kapasitas kultur sel yang jauh lebih besar
untuk memproduksi protein rekombinan dan plasmid DNA (dengan tingkat biosafety
GLSP/BL-1) dibandingkan kapasitas untuk memproduksi vaksin dari agen infeksius
patogenik (BL-2+).
Mengingat
kompleksitas penyediaan vaksin untuk kebutuhan militer, strategi produksi
sebaiknya dipertimbangkan sejak tahap awal pengembangan. Teknik genomik
menjanjikan kemudahan dalam mengidentifikasi molekul antigenik kandidat.
Protein antigenik biasanya terletak di permukaan bakteri, dan protein yang
diekspresikan di permukaan saat bakteri tumbuh dalam sel kemungkinan besar
mencakup hampir seluruh protein yang memicu respons kekebalan. Demikian pula,
antigen dapat ditemukan pada protein yang disekresikan oleh patogen serta
gen-gen yang ditranskripsi ke dalam mRNA selama infeksi. Sebagai contoh, untuk
bakteri yang tumbuh dalam sel manusia, cukup dengan menganalisis urutan
genomnya, kita dapat mengidentifikasi protein yang mungkin diekspresikan di
permukaannya. Subset protein yang diekspresikan saat tumbuh dalam sel dapat
diidentifikasi melalui analisis ekspresi mRNA, yang kemungkinan besar mencakup
kandidat antigen terbaik. Seiring dengan kemajuan teknologi, proses analisis
ini akan semakin cepat—misalnya, teknologi sekuensing DNA menggunakan nanopori
memungkinkan pembacaan genom bakteri secara keseluruhan dalam waktu yang jauh
lebih singkat.
Vaksin
Berbasis Sel dan Virus
Pada
vaksin berbasis sel, sel atau virus yang tidak menyebabkan penyakit
dimodifikasi secara genetik untuk menampilkan molekul antigenik, biasanya
berupa protein antigenik dari organisme infeksius. Sel-sel ini dapat berupa
bakteri yang menguntungkan (misalnya, yang biasanya hidup di saluran pernapasan
atau pencernaan), atau bakteri yang agak patogenik namun hanya menyebabkan
infeksi ringan dan menggantikan flora yang ada selama beberapa hari. Sel yang
telah dimodifikasi ini digunakan sebagai vaksin untuk memicu respons kekebalan.
Meskipun telah dilakukan sejumlah penelitian di bidang ini—banyak di antaranya didanai oleh Program Penanggulangan Patogen Tidak Konvensional dari DARPA—belum ada vaksin berbasis sel yang disetujui untuk digunakan melawan penyakit infeksi. Namun, pendekatan ini telah digunakan dalam terapi kanker untuk mieloma. Saat ini, cukup umum untuk mengambil sel tumor dari pasien, menumbuhkannya di laboratorium, lalu menyuntikkannya kembali ke tubuh pasien untuk memicu sistem kekebalan menyerang sel kanker tersebut. Efektivitas vaksin ini dapat ditingkatkan dengan menyisipkan DNA ke dalam sel tumor yang mengarahkan produksi protein yang meningkatkan sifat antigenik sel kanker. Pendekatan ini terbukti sangat berhasil pada leukemia dan limfoma dewasa, dengan tingkat kesembuhan 50–80% pada pasien yang sebelumnya diperkirakan tidak akan bertahan. Namun, uji coba ini masih terbatas pada beberapa lusin orang.
Pendekatan menjanjikan lainnya adalah penggunaan vektor virus (virus yang
dimodifikasi secara genetik) untuk membawa antigen yang memberikan kekebalan
terhadap beberapa penyakit infeksi sekaligus dalam satu vaksin. Sebagai contoh,
vaccinia (virus cacar sapi) yang digunakan untuk imunisasi terhadap cacar
memiliki genom DNA ganda berukuran besar dengan cukup banyak bagian DNA yang
dapat digantikan oleh DNA asing yang mengkodekan antigen lain. Vaksin vaccinia
rekombinan telah diproduksi sejak 1980-an berdasarkan prinsip ini. Vaksin yang
mengandung beberapa antigen sekaligus berpotensi memberikan kekebalan terhadap
berbagai infeksi dengan biaya sangat rendah per dosis, misalnya $0,25.
Vaksin
DNA
Vaksin
DNA merupakan jenis vaksin baru yang sangat menjanjikan. Karena DNA jauh lebih
mudah dimanipulasi dibandingkan protein atau organisme hidup, pengembangan
vaksin DNA membuka kemungkinan untuk membuat dan mendistribusikan vaksin baru
atau vaksin terhadap patogen baru hanya dalam hitungan minggu setelah patogen
tersebut diidentifikasi.
Salah
satu pendekatan (dikembangkan di University of Texas Southwestern Medical
Center) melibatkan pembuatan fragmen DNA dari genom patogen menggunakan PCR
untuk mengarahkan sintesis protein antigenik. Potongan DNA ini dicampur dengan
DNA lain yang mengkode protein sitokin seperti interleukin-12 yang merangsang
sistem kekebalan. Bola emas kecil dengan permukaan agak kasar dicampur dengan
DNA ini, lalu ditembakkan ke kulit hewan yang akan diimunisasi menggunakan
"gene gun". Sebagian DNA akan diambil oleh sel dendritik di kulit dan
disajikan ke sistem kekebalan untuk memicu respons imun.
Janji
terbesar dari teknologi ini adalah kemampuannya untuk melakukan penyaringan
terhadap kumpulan gen secara menyeluruh dalam waktu beberapa minggu (bukan
tahun). Peneliti dapat mengambil seluruh DNA kandidat pengkode antigen,
memecahnya menjadi bagian-bagian kecil, memperbanyaknya dengan PCR,
mengekspresikannya pada tikus, dan mengidentifikasi bagian mana yang membuat
tikus kebal. (Namun, keterbatasannya adalah bahwa tikus tidak selalu mengalami
penyakit yang sama seperti manusia.)
Secara
konsep, proses identifikasi antigen pada vaksin DNA serupa dengan vaksin
subunit, hanya saja seluruh proses dilakukan pada tingkat DNA. Karena DNA lebih
mudah dimanipulasi, maka lebih hemat biaya untuk menguji berbagai kombinasi gen
yang mungkin memberikan kekebalan, lalu menggabungkan gen-gen yang efektif
dalam satu vaksin.
DARPA
telah banyak berinvestasi dalam teknologi ini. Kapasitas eksperimental Amerika
Serikat untuk produksi vaksin secara cepat sebagian besar berasal dari
penelitian oleh Departemen Pertahanan (DOD). Saat ini, banyak perusahaan
bioteknologi dan farmasi di Amerika Serikat juga mulai mengembangkan vaksin
DNA. Militer perlu mengikuti perkembangan ini secara saksama.
Adjuvan
Adjuvan
adalah zat yang meningkatkan imunogenisitas suatu antigen. Adjuvan dapat
bekerja dengan cara meningkatkan jumlah sel penyaji antigen (APC) yang
bermigrasi ke lokasi vaksinasi atau dengan mengemulsi protein antigenik agar
menjadi sebagian terdenaturasi dan lebih mudah dikenali serta diambil oleh APC.
Dalam beberapa hal, penggunaan adjuvan adalah teknologi lama yang telah dikenal
selama satu abad. Namun, pemahaman modern tentang sistem imun telah
memperkenalkan berbagai molekul seperti interleukin-12 yang dapat merangsang
sistem kekebalan melalui mekanisme yang telah diketahui dengan baik. Program
vaksinasi militer telah lama menunjukkan minat pada adjuvan dan secara aktif
mengikuti perkembangan terbaru di bidang ini.
Kekebalan
dengan Cara Lain
Dua
pendekatan lain dalam memberikan kekebalan yang dapat dipengaruhi oleh kemajuan
bioteknologi adalah:
1. Imunisasi
Pasif
Pemberian antibodi (IgG) dari individu yang kebal akan memberikan kekebalan sementara terhadap suatu patogen, selama antibodi tersebut masih beredar dalam darah penerima. Karena individu tersebut tidak membentuk sel memori, maka kekebalan hanya bertahan selama beberapa minggu. Di awal abad ke-20, serum yang mengandung antibodi ini diambil dari kuda yang disuntik dengan antigen, lalu IgG-nya dimurnikan dari serum. Teknik ini masih digunakan hingga kini, misalnya untuk pencegahan hepatitis A pada wisatawan ke daerah endemis, dengan menyuntikkan gamma globulin dari individu yang telah sembuh dari penyakit tersebut.
Dengan kemajuan teknologi, kini gen pengkode antibodi manusia dapat diisolasi
dan diproduksi dalam kultur sel, susu, telur, bahkan tanaman. Amerika Serikat
sebaiknya mengembangkan kapasitas darurat untuk memproduksi antibodi dalam
jumlah besar baik untuk diagnosis maupun pencegahan. DARPA telah
mempertimbangkan untuk mendanai riset ini, dan militer sebaiknya mendukungnya.
2. Stimulasi
Kekebalan Bawaan
Sistem kekebalan bawaan (innate) memungkinkan tubuh bereaksi terhadap
infeksi tanpa perlu paparan sebelumnya. Misalnya, beberapa sel memiliki
reseptor yang mengenali struktur khas bakteri, dan saat struktur tersebut
dikenali, sel akan menjadi lebih resisten terhadap infeksi. Mekanisme lain
seperti interferon dan sel pembunuh alami (NK) juga berperan dalam kekebalan
bawaan. Sistem sitokin yang mengatur respons NK semakin dipahami, meskipun cara
NK mengenali sel asing masih belum sepenuhnya jelas. Dalam 25 tahun ke depan,
kemungkinan besar pemahaman terhadap mekanisme ini akan meningkat, dan dapat
dimanfaatkan untuk memberikan kekebalan atau menghentikan infeksi sejak awal. Teknik-teknik
ini kemungkinan masih terlalu eksperimental untuk dikembangkan secara
komersial. Saat ini, DARPA merupakan salah satu lembaga utama yang mendanai
penelitian menjanjikan ini, dan Angkatan Darat Amerika Serikat sebaiknya
mengikuti perkembangannya secara saksama.
DAMPAK GLOBAL DARI PENGEMBANGAN OLEH MILITER
AMERIKA SERIKAT
Militer Amerika Serikat (U.S. Army) ingin
dapat melindungi pasukannya dari penyakit di mana pun mereka dikerahkan.
Sebaliknya, industri farmasi membutuhkan proyeksi penjualan tahunan dalam skala
ratusan juta dolar per tahun sebelum memutuskan bahwa suatu obat akan cukup
menguntungkan untuk dikomersialkan. Kesenjangan antara kebutuhan militer dan
insentif industri swasta ini menyebabkan kurangnya pengembangan vaksin dan
terapi untuk penyakit yang jarang terjadi atau hanya endemik di daerah tertentu
(misalnya, penyakit tropis seperti demam Lassa, Ebola, atau virus Nipah).
Namun, jika militer Amerika Serikat mengembangkan teknologi dan infrastruktur
untuk memproduksi vaksin dan terapi untuk melindungi tentaranya, maka
pengembangan tersebut dapat memiliki dampak global yang signifikan.
Misalnya, teknologi pembuatan vaksin DNA dan
protein rekombinan, serta pendekatan berbasis genom untuk mengidentifikasi
antigen, dapat digunakan tidak hanya untuk penyakit yang menjadi perhatian
militer, tetapi juga untuk penyakit yang menjadi ancaman kesehatan masyarakat
global. Hal ini bisa membuka jalan bagi pengembangan vaksin untuk
penyakit-penyakit yang selama ini diabaikan karena tidak menguntungkan secara
komersial. Selain itu, kapasitas produksi vaksin yang dikembangkan untuk tujuan
militer juga dapat digunakan untuk merespons keadaan darurat kesehatan
masyarakat secara global, seperti pandemi.
Dengan demikian, investasi militer dalam
bioteknologi tidak hanya memperkuat kesiapsiagaan pertahanan, tetapi juga
berpotensi memberikan manfaat yang luas bagi kesehatan masyarakat dunia,
terutama di negara-negara berkembang yang paling terdampak oleh penyakit
menular. Oleh karena itu, penting bagi militer untuk terus mendukung dan
mengikuti perkembangan teknologi vaksin, baik untuk kepentingan nasional maupun
kemanusiaan global.
No comments:
Post a Comment