Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Tuesday, 3 June 2025

Bahaya Perdagangan Daging Satwa Liar

 



Menguak Pengetahuan dan Praktik Terkait monkey pox di Balik 

Perdagangan Daging Satwa Liar di Nigeria


Di balik hiruk-pikuk pasar tradisional Nigeria, terdapat satu aktivitas yang mengakar kuat dalam budaya dan ekonomi lokal: perdagangan daging satwa liar. Aktivitas ini bukan sekadar soal konsumsi, melainkan juga soal mata pencaharian, warisan budaya, dan tentu saja—tantangan kesehatan masyarakat. Sebuah studi terbaru menggali lebih dalam tentang bagaimana pelaku di balik rantai perdagangan ini—dari pemburu, pedagang, hingga konsumen—memahami dan menyikapi risiko penyakit menular dari hewan ke manusia, termasuk mpox (dulu dikenal sebagai cacar monyet) dan zoonosis lainnya.

 



Hasilnya? Sebuah gambaran kompleks yang menunjukkan bahwa bagi banyak pelaku, keterlibatan dalam perdagangan ini bukan semata pilihan, melainkan kebutuhan ekonomi. Mayoritas pemburu dan pedagang menyebutkan keuntungan sebagai alasan utama mereka terlibat, dan sebagian besar bahkan mewarisi pekerjaan ini dari keluarga. Artinya, praktik ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari—tak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga sebagai bagian dari identitas dan keberlanjutan keluarga. Maka tak heran jika larangan atau pembatasan tanpa solusi alternatif sering kali justru mendorong perdagangan ini ke jalur ilegal yang lebih sulit diawasi.

 

Namun yang menarik, meski perdagangan daging hewan liar membawa potensi risiko kesehatan, tingkat pengetahuan pelaku rantai nilai terhadap penyakit zoonosis masih sangat bervariasi. Konsumen cenderung lebih menyadari bahwa satwa liar bisa menjadi sumber penyakit dibandingkan dengan pemburu dan pedagang. Di sisi lain, pemburu dan pedagang—mereka yang paling sering bersentuhan langsung dengan hewan liar—justru memiliki pengetahuan paling minim. Ini menunjukkan adanya kesenjangan informasi yang perlu segera diatasi. Salah satu temuan penting dari studi ini adalah bahwa radio merupakan media informasi yang paling efektif menjangkau masyarakat pedesaan. Hal ini membuka peluang besar bagi kampanye kesehatan masyarakat yang cerdas dan terarah melalui siaran radio lokal.

 


Kesenjangan pengetahuan ini semakin mencolok ketika menyangkut cara penularan mpox. Banyak pelaku yang belum memahami bahwa aktivitas seksual juga bisa menjadi jalur penularan penyakit ini, padahal secara global, ini telah terbukti menjadi salah satu penyebab utama penyebaran. Sayangnya, minimnya pemahaman ini beriringan dengan sikap yang cenderung meremehkan risiko. Mayoritas pemburu dan konsumen tidak merasa ada bahaya kesehatan dari menangani atau mengonsumsi satwa liar. Bahkan, sebagian besar tetap mengonsumsi daging satwa liar meski sudah tahu ada risiko penyakit. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan saja tidak cukup untuk mengubah perilaku—kita juga harus memahami dan menangani alasan-alasan mendalam seperti ketergantungan ekonomi dan kepercayaan budaya.

 

Dalam praktik sehari-hari, banyak pelaku yang masih melakukan aktivitas berisiko, seperti tidak mencuci tangan setelah menangani hewan liar. Kebiasaan seperti ini tampak sepele, tetapi bisa berdampak besar terhadap penyebaran penyakit. Maka, diperlukan intervensi yang tidak hanya bersifat informatif, tapi juga praktis dan relevan dengan konteks lokal. Program edukasi yang melibatkan masyarakat dan menghargai budaya mereka bisa menjadi langkah penting dalam menciptakan perubahan perilaku yang berkelanjutan.

 

Satu hal yang juga mencuat dari studi ini adalah bagaimana persepsi terhadap berbagai wabah penyakit berbeda-beda. Saat COVID-19 dan Ebola melanda, banyak pelaku yang mengaku mengalami penurunan usaha. Namun saat mpox diumumkan sebagai keadaan darurat kesehatan, dampaknya terhadap perdagangan nyaris tidak terasa. Ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap tingkat keparahan penyakit sangat memengaruhi tindakan mereka. Pesan kesehatan masyarakat harus disesuaikan dengan persepsi ini agar dapat benar-benar menggugah kesadaran dan mengubah perilaku.

 

Ternyata, perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap juga dipengaruhi oleh faktor geografis dan sosial ekonomi. Di daerah seperti Bauchi yang lebih pedesaan, pengetahuan tentang zoonosis jauh lebih rendah dibandingkan dengan Lagos yang urban dan lebih terpapar informasi. Ini berarti strategi intervensi tidak bisa disamaratakan. Setiap wilayah membutuhkan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk tingkat pendidikan, akses informasi, dan mata pencaharian masyarakatnya.

 

Faktor pendidikan menjadi salah satu kunci penting dalam membentuk pengetahuan dan sikap yang positif terhadap pencegahan penyakit. Studi ini menunjukkan bahwa individu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi jauh lebih sadar akan risiko dan pentingnya pencegahan. Maka, mengintegrasikan materi tentang zoonosis ke dalam sistem pendidikan formal bisa menjadi investasi jangka panjang yang sangat berharga. Kita tidak hanya menciptakan masyarakat yang lebih sehat, tetapi juga lebih siap menghadapi ancaman penyakit di masa depan.

 

Akhirnya, temuan dari studi ini menegaskan bahwa perdagangan daging hewan liar tidak bisa dipandang semata dari sisi kesehatan atau konservasi saja. Ini adalah persoalan lintas sektor yang menyentuh aspek ekonomi, budaya, pendidikan, dan komunikasi. Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan pun harus bersifat kolaboratif—melibatkan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh adat, dan tentu saja, masyarakat itu sendiri. Dengan memahami dinamika lokal dan membangun pendekatan yang inklusif, kita punya peluang untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih aman bagi manusia, lebih berkelanjutan bagi lingkungan, dan tetap menghormati nilai-nilai budaya yang telah hidup turun-temurun.

 

No comments: