Menguak Pengetahuan dan Praktik Terkait monkey pox di Balik
Perdagangan Daging Satwa Liar di Nigeria
Di balik hiruk-pikuk pasar tradisional
Nigeria, terdapat satu aktivitas yang mengakar kuat dalam budaya dan ekonomi
lokal: perdagangan daging satwa liar. Aktivitas ini bukan sekadar soal
konsumsi, melainkan juga soal mata pencaharian, warisan budaya, dan tentu
saja—tantangan kesehatan masyarakat. Sebuah studi terbaru menggali lebih dalam
tentang bagaimana pelaku di balik rantai perdagangan ini—dari pemburu,
pedagang, hingga konsumen—memahami dan menyikapi risiko penyakit menular dari
hewan ke manusia, termasuk mpox (dulu dikenal sebagai cacar monyet) dan
zoonosis lainnya.
Hasilnya? Sebuah gambaran kompleks yang
menunjukkan bahwa bagi banyak pelaku, keterlibatan dalam perdagangan ini bukan
semata pilihan, melainkan kebutuhan ekonomi. Mayoritas pemburu dan pedagang
menyebutkan keuntungan sebagai alasan utama mereka terlibat, dan sebagian besar
bahkan mewarisi pekerjaan ini dari keluarga. Artinya, praktik ini sudah menjadi
bagian dari kehidupan sehari-hari—tak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tetapi
juga sebagai bagian dari identitas dan keberlanjutan keluarga. Maka tak heran
jika larangan atau pembatasan tanpa solusi alternatif sering kali justru
mendorong perdagangan ini ke jalur ilegal yang lebih sulit diawasi.
Namun yang menarik, meski perdagangan
daging hewan liar membawa potensi risiko kesehatan, tingkat pengetahuan pelaku
rantai nilai terhadap penyakit zoonosis masih sangat bervariasi. Konsumen
cenderung lebih menyadari bahwa satwa liar bisa menjadi sumber penyakit
dibandingkan dengan pemburu dan pedagang. Di sisi lain, pemburu dan
pedagang—mereka yang paling sering bersentuhan langsung dengan hewan
liar—justru memiliki pengetahuan paling minim. Ini menunjukkan adanya
kesenjangan informasi yang perlu segera diatasi. Salah satu temuan penting dari
studi ini adalah bahwa radio merupakan media informasi yang paling efektif
menjangkau masyarakat pedesaan. Hal ini membuka peluang besar bagi kampanye
kesehatan masyarakat yang cerdas dan terarah melalui siaran radio lokal.
Kesenjangan pengetahuan ini semakin
mencolok ketika menyangkut cara penularan mpox. Banyak pelaku yang belum
memahami bahwa aktivitas seksual juga bisa menjadi jalur penularan penyakit
ini, padahal secara global, ini telah terbukti menjadi salah satu penyebab
utama penyebaran. Sayangnya, minimnya pemahaman ini beriringan dengan sikap
yang cenderung meremehkan risiko. Mayoritas pemburu dan konsumen tidak merasa
ada bahaya kesehatan dari menangani atau mengonsumsi satwa liar. Bahkan,
sebagian besar tetap mengonsumsi daging satwa liar meski sudah tahu ada risiko
penyakit. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan saja tidak cukup untuk mengubah
perilaku—kita juga harus memahami dan menangani alasan-alasan mendalam seperti
ketergantungan ekonomi dan kepercayaan budaya.
Dalam praktik sehari-hari, banyak pelaku yang masih melakukan
aktivitas berisiko, seperti tidak mencuci tangan setelah menangani hewan liar.
Kebiasaan seperti ini tampak sepele, tetapi bisa berdampak besar terhadap
penyebaran penyakit. Maka, diperlukan intervensi yang tidak hanya bersifat
informatif, tapi juga praktis dan relevan dengan konteks lokal. Program edukasi
yang melibatkan masyarakat dan menghargai budaya mereka bisa menjadi langkah
penting dalam menciptakan perubahan perilaku yang berkelanjutan.
Satu hal yang juga mencuat dari studi
ini adalah bagaimana persepsi terhadap berbagai wabah penyakit berbeda-beda.
Saat COVID-19 dan Ebola melanda, banyak pelaku yang mengaku mengalami penurunan
usaha. Namun saat mpox diumumkan sebagai keadaan darurat kesehatan, dampaknya
terhadap perdagangan nyaris tidak terasa. Ini menunjukkan bahwa persepsi
masyarakat terhadap tingkat keparahan penyakit sangat memengaruhi tindakan
mereka. Pesan kesehatan masyarakat harus disesuaikan dengan persepsi ini agar
dapat benar-benar menggugah kesadaran dan mengubah perilaku.
Ternyata, perbedaan tingkat pengetahuan
dan sikap juga dipengaruhi oleh faktor geografis dan sosial ekonomi. Di daerah
seperti Bauchi yang lebih pedesaan, pengetahuan tentang zoonosis jauh lebih
rendah dibandingkan dengan Lagos yang urban dan lebih terpapar informasi. Ini
berarti strategi intervensi tidak bisa disamaratakan. Setiap wilayah
membutuhkan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk tingkat
pendidikan, akses informasi, dan mata pencaharian masyarakatnya.
Faktor pendidikan menjadi salah satu
kunci penting dalam membentuk pengetahuan dan sikap yang positif terhadap
pencegahan penyakit. Studi ini menunjukkan bahwa individu dengan tingkat
pendidikan lebih tinggi jauh lebih sadar akan risiko dan pentingnya pencegahan.
Maka, mengintegrasikan materi tentang zoonosis ke dalam sistem pendidikan
formal bisa menjadi investasi jangka panjang yang sangat berharga. Kita tidak
hanya menciptakan masyarakat yang lebih sehat, tetapi juga lebih siap
menghadapi ancaman penyakit di masa depan.
Akhirnya, temuan dari studi ini
menegaskan bahwa perdagangan daging hewan liar tidak bisa dipandang semata dari
sisi kesehatan atau konservasi saja. Ini adalah persoalan lintas sektor yang
menyentuh aspek ekonomi, budaya, pendidikan, dan komunikasi. Oleh karena itu,
solusi yang dibutuhkan pun harus bersifat kolaboratif—melibatkan pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat, tokoh adat, dan tentu saja, masyarakat itu sendiri.
Dengan memahami dinamika lokal dan membangun pendekatan yang inklusif, kita
punya peluang untuk menciptakan sistem perdagangan yang lebih aman bagi
manusia, lebih berkelanjutan bagi lingkungan, dan tetap menghormati nilai-nilai
budaya yang telah hidup turun-temurun.



No comments:
Post a Comment