Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design: Kisi Karunia
Base Code: Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Friday, 20 June 2025

Dari Hilirisasi ke Diplomasi Baru di Tengah Krisis Global


"Urip iku kudu nduwé tujuan, yen ora mung mampir ngombé." Pepatah Jawa ini mengandung pesan mendalam: hidup tanpa arah hanya akan jadi persinggahan tanpa makna. Dan kini, petuah itu terasa sangat relevan, terutama bagi mereka yang memegang kendali negeri, termasuk Presiden Prabowo Subianto. Dunia yang dihadapinya bukanlah dunia yang stabil, apalagi ramah. Ketegangan geopolitik, krisis pangan dan energi, perubahan iklim, hingga disrupsi teknologi membentuk lanskap baru yang tak menentu. Dalam kondisi seperti ini, ekonomi tak bisa lagi dipahami hanya sebagai alat tumbuh, tetapi sebagai alat bertahan. Visi dan tujuan yang kuat bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mutlak seorang pemimpin.

 

Ketegangan geopolitik global mencapai babak baru ketika Iran dan Israel saling berbalas rudal, mengingatkan bahwa ilusi perdamaian pasca-Perang dingin telah usang. Ketegangan di Laut Cina Selatan, blokade Laut Merah oleh kelompok Houthi di Yaman, hingga krisis Ukraina yang belum mereda, menunjukkan bahwa jalur logistik global kini berada di bawah bayang-bayang konflik. Bahkan Bank Dunia memperkirakan bahwa gangguan di Laut Merah saja telah menaikkan biaya logistik global sebesar 30% pada awal 2024.

 

Di saat bersamaan, Donald Trump kembali ke Gedung Putih membawa serta gaya politik konfrontatif yang mengedepankan kepentingan domestik Amerika. Dunia yang dahulu disebut “berbasis aturan” kini lebih menyerupai peta kekuasaan unilateral. Aliansi ekonomi kian menyempit, dan diplomasi internasional lebih sering terdengar seperti instruksi ketimbang dialog.

 

Dalam konteks ini, Indonesia tidak lagi bisa berharap pada stabilitas global untuk mendukung pembangunan nasional. Era ketika lembaga-lembaga keuangan internasional datang dengan pinjaman murah dan janji pertumbuhan telah berganti menjadi era saling curiga dan perebutan pengaruh. Maka jika ada yang menyebut Prabowonomics sebagai economic of war, hal itu tidak berlebihan. Ini bukan tentang senjata, tapi tentang cara bertahan hidup dalam sistem global yang semakin keras dan timpang.

 

Ekonomi Bertahan: Dari Ketahanan Energi hingga Kedaulatan Pangan


Langkah pertama dalam ekonomi “Mode Perang” adalah memastikan dua hal paling mendasar: energi dan pangan. Ini bukan jargon kampanye, ini soal hidup-mati. Ketergantungan pada energi impor masih tinggi, Indonesia mengimpor sekitar 50% kebutuhan BBM-nya (BPS, 2023). Ketika Laut Merah atau Selat Hormuz terganggu, pasokan energi nasional pun terancam. Maka cadangan strategis, investasi di kilang dalam negeri, hingga diversifikasi sumber energi harus menjadi prioritas utama.

 

Demikian pula dengan pangan. FAO memperingatkan bahwa harga pangan dunia cenderung meningkat akibat perubahan iklim, konflik geopolitik, dan gangguan rantai pasok global. Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World 2024 menyebutkan bahwa sekitar 735 juta orang di dunia mengalami kelaparan kronis, dan sistem cadangan pangan global belum cukup tangguh menghadapi krisis multidimensi. Sementara itu, menurut Badan Pangan Nasional, cadangan beras pemerintah Indonesia pada awal 2025 berada di kisaran 1,2 juta ton, masih di bawah batas aman minimal 1,5 juta ton yang diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan. Di tengah kondisi seperti ini, Indonesia tidak bisa hanya mengejar ekspor komoditas. Produksi dalam negeri harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan domestik terlebih dahulu, dengan memperkuat sistem distribusi agar pangan sampai ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk yang paling rentan.

 

Bangun Ulang Industri: Dari Hilirisasi ke Strategi Pertahanan Ekonomi


Selanjutnya, industri dalam negeri harus dibangun kembali dengan semangat mempertahankan eksistensi bangsa. Hilirisasi tidak cukup jika hanya berhenti pada pengolahan setengah jadi. Setiap kebijakan ekonomi harus dipandang sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional. Pabrik bukan hanya mesin produksi, melainkan pos pertahanan terhadap krisis global.

 

Langkah ini sejalan dengan tren nasionalisme ekonomi yang tumbuh di banyak negara. AS sendiri melalui Inflation Reduction Act dan Uni Eropa dengan Green Deal Industrial Plan menunjukkan bahwa negara-negara besar pun kini melindungi industri strategis mereka dari risiko global. Indonesia tidak boleh tertinggal.

 

Poros Baru: Kesempatan dalam Dunia Multipolar


Dunia yang multipolar memberi peluang bagi negara-negara berkembang untuk memainkan peran lebih besar. Ketika hubungan Barat dan Timur memanas, muncul ruang bagi negara seperti Indonesia untuk menjalin kerja sama baru. Langkah Prabowo menjalin kedekatan dengan Tiongkok, Rusia, negara-negara Islam, bahkan Amerika Latin dan Afrika, adalah bentuk adaptasi terhadap peta geopolitik baru.

 

Afrika, misalnya, diperkirakan menjadi pusat pertumbuhan global baru dengan populasi muda dan pasar yang berkembang. Turki dan Brasil mulai menunjukkan taji mereka dalam industri pertahanan dan agrikultur. Dunia Islam, lewat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), mulai bergerak membangun blok ekonomi alternatif. Aliansi semacam ini bukan saja strategi dagang, tapi juga jalan untuk mengurangi ketergantungan pada sistem global yang didominasi Barat.

 

Pilihan yang Tak Mudah, Tapi Niscaya


Tentu ada risiko jika terlalu dekat dengan kutub tertentu. Barat bisa menekan balik, baik melalui sanksi, diplomasi, atau propaganda. Tapi sejarah menunjukkan bahwa ketidakadilan global bukan hal baru. Ketika ekspansi NATO memicu invasi Rusia, bahkan diplomat senior Amerika, George Kennan, menyebut langkah itu sebagai kesalahan strategis terbesar sejak Perang Dingin. Maka jika sistem global memang timpang, apakah kita harus terus berharap diperlakukan adil?

 

Prabowo tidak bisa bersikap setengah hati. Ia harus memimpin seperti panglima di masa perang: tegas, strategis, dan sadar bahwa waktu adalah musuh. Ia tak bisa berkompromi dengan birokrasi korup, para pemburu rente, atau kepentingan jangka pendek yang membajak arah pembangunan.

 

Yang sedang dihadapi bukan sekadar perlambatan ekonomi, tapi keruntuhan poros global. Di tengah dunia yang makin tidak pasti, ketika makanan bisa dipakai sebagai senjata dan energi digunakan untuk menekan negara lain, maka Prabowonomics bukan sekadar rencana lima tahunan. Ia adalah dasar penting agar Indonesia bisa bertahan hidup setiap hari, menjaga rakyatnya tetap kuat dan tidak bergantung pada belas kasihan negara lain.

 

Kalau kita semua belum sadar bahwa ekonomi kita saat ini sedang berada dalam situasi darurat, seperti keadaan perang, maka kita sedang berada dalam bahaya besar. Kita seolah berjalan menuju jurang, tapi masih santai dan mengira semuanya baik-baik saja. Padahal, dunia sudah berubah drastis, penuh krisis, persaingan, dan ketidakpastian. Jika kita tidak segera bersiap dan berubah, maka kehancuran bisa datang tanpa kita sadari.

No comments: