"Urip
iku kudu nduwé tujuan, yen ora mung mampir ngombé."
Pepatah Jawa ini mengandung pesan mendalam: hidup tanpa arah hanya akan jadi
persinggahan tanpa makna. Dan kini, petuah itu terasa sangat relevan, terutama
bagi mereka yang memegang kendali negeri, termasuk Presiden Prabowo Subianto.
Dunia yang dihadapinya bukanlah dunia yang stabil, apalagi ramah. Ketegangan
geopolitik, krisis pangan dan energi, perubahan iklim, hingga disrupsi
teknologi membentuk lanskap baru yang tak menentu. Dalam kondisi seperti ini,
ekonomi tak bisa lagi dipahami hanya sebagai alat tumbuh, tetapi sebagai alat
bertahan. Visi dan tujuan yang kuat bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan
mutlak seorang pemimpin.
Ketegangan
geopolitik global mencapai babak baru ketika Iran dan Israel saling berbalas
rudal, mengingatkan bahwa ilusi perdamaian pasca-Perang dingin telah usang.
Ketegangan di Laut Cina Selatan, blokade Laut Merah oleh kelompok Houthi di
Yaman, hingga krisis Ukraina yang belum mereda, menunjukkan bahwa jalur
logistik global kini berada di bawah bayang-bayang konflik. Bahkan Bank Dunia
memperkirakan bahwa gangguan di Laut Merah saja telah menaikkan biaya logistik
global sebesar 30% pada awal 2024.
Di
saat bersamaan, Donald Trump kembali ke Gedung Putih membawa serta gaya politik
konfrontatif yang mengedepankan kepentingan domestik Amerika. Dunia yang dahulu
disebut “berbasis aturan” kini lebih menyerupai peta kekuasaan unilateral.
Aliansi ekonomi kian menyempit, dan diplomasi internasional lebih sering
terdengar seperti instruksi ketimbang dialog.
Dalam
konteks ini, Indonesia tidak lagi bisa berharap pada stabilitas global untuk
mendukung pembangunan nasional. Era ketika lembaga-lembaga keuangan
internasional datang dengan pinjaman murah dan janji pertumbuhan telah berganti
menjadi era saling curiga dan perebutan pengaruh. Maka jika ada yang menyebut Prabowonomics
sebagai economic of war, hal itu tidak berlebihan. Ini bukan tentang
senjata, tapi tentang cara bertahan hidup dalam sistem global yang semakin
keras dan timpang.
Ekonomi
Bertahan: Dari Ketahanan Energi hingga Kedaulatan Pangan
Langkah
pertama dalam ekonomi “Mode Perang” adalah memastikan dua hal paling mendasar:
energi dan pangan. Ini bukan jargon kampanye, ini soal hidup-mati.
Ketergantungan pada energi impor masih tinggi, Indonesia mengimpor sekitar 50%
kebutuhan BBM-nya (BPS, 2023). Ketika Laut Merah atau Selat Hormuz terganggu,
pasokan energi nasional pun terancam. Maka cadangan strategis, investasi di
kilang dalam negeri, hingga diversifikasi sumber energi harus menjadi prioritas
utama.
Demikian
pula dengan pangan. FAO memperingatkan bahwa harga pangan dunia cenderung
meningkat akibat perubahan iklim, konflik geopolitik, dan gangguan rantai pasok
global. Laporan The State of Food Security and Nutrition in the World 2024
menyebutkan bahwa sekitar 735 juta orang di dunia mengalami kelaparan kronis,
dan sistem cadangan pangan global belum cukup tangguh menghadapi krisis
multidimensi. Sementara itu, menurut Badan Pangan Nasional, cadangan beras
pemerintah Indonesia pada awal 2025 berada di kisaran 1,2 juta ton, masih di
bawah batas aman minimal 1,5 juta ton yang diperlukan untuk menjaga stabilitas
harga dan pasokan. Di tengah kondisi seperti ini, Indonesia tidak bisa hanya
mengejar ekspor komoditas. Produksi dalam negeri harus diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan domestik terlebih dahulu, dengan memperkuat sistem distribusi agar
pangan sampai ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk yang paling rentan.
Bangun
Ulang Industri: Dari Hilirisasi ke Strategi Pertahanan Ekonomi
Selanjutnya,
industri dalam negeri harus dibangun kembali dengan semangat mempertahankan
eksistensi bangsa. Hilirisasi tidak cukup jika hanya berhenti pada pengolahan
setengah jadi. Setiap kebijakan ekonomi harus dipandang sebagai bagian dari
sistem pertahanan nasional. Pabrik bukan hanya mesin produksi, melainkan pos
pertahanan terhadap krisis global.
Langkah
ini sejalan dengan tren nasionalisme ekonomi yang tumbuh di banyak negara. AS
sendiri melalui Inflation Reduction Act dan Uni Eropa dengan Green
Deal Industrial Plan menunjukkan bahwa negara-negara besar pun kini
melindungi industri strategis mereka dari risiko global. Indonesia tidak boleh
tertinggal.
Poros
Baru: Kesempatan dalam Dunia Multipolar
Dunia
yang multipolar memberi peluang bagi negara-negara berkembang untuk memainkan
peran lebih besar. Ketika hubungan Barat dan Timur memanas, muncul ruang bagi
negara seperti Indonesia untuk menjalin kerja sama baru. Langkah Prabowo
menjalin kedekatan dengan Tiongkok, Rusia, negara-negara Islam, bahkan Amerika
Latin dan Afrika, adalah bentuk adaptasi terhadap peta geopolitik baru.
Afrika,
misalnya, diperkirakan menjadi pusat pertumbuhan global baru dengan populasi
muda dan pasar yang berkembang. Turki dan Brasil mulai menunjukkan taji mereka
dalam industri pertahanan dan agrikultur. Dunia Islam, lewat Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI), mulai bergerak membangun blok ekonomi alternatif. Aliansi
semacam ini bukan saja strategi dagang, tapi juga jalan untuk mengurangi
ketergantungan pada sistem global yang didominasi Barat.
Pilihan
yang Tak Mudah, Tapi Niscaya
Tentu
ada risiko jika terlalu dekat dengan kutub tertentu. Barat bisa menekan balik,
baik melalui sanksi, diplomasi, atau propaganda. Tapi sejarah menunjukkan bahwa
ketidakadilan global bukan hal baru. Ketika ekspansi NATO memicu invasi Rusia,
bahkan diplomat senior Amerika, George Kennan, menyebut langkah itu sebagai
kesalahan strategis terbesar sejak Perang Dingin. Maka jika sistem global
memang timpang, apakah kita harus terus berharap diperlakukan adil?
Prabowo
tidak bisa bersikap setengah hati. Ia harus memimpin seperti panglima di masa
perang: tegas, strategis, dan sadar bahwa waktu adalah musuh. Ia tak bisa
berkompromi dengan birokrasi korup, para pemburu rente, atau kepentingan jangka
pendek yang membajak arah pembangunan.
Yang
sedang dihadapi bukan sekadar perlambatan ekonomi, tapi keruntuhan poros
global. Di tengah dunia yang makin tidak pasti, ketika makanan bisa dipakai
sebagai senjata dan energi digunakan untuk menekan negara lain, maka
Prabowonomics bukan sekadar rencana lima tahunan. Ia adalah dasar penting agar
Indonesia bisa bertahan hidup setiap hari, menjaga rakyatnya tetap kuat dan
tidak bergantung pada belas kasihan negara lain.
Kalau
kita semua belum sadar bahwa ekonomi kita saat ini sedang berada dalam situasi
darurat, seperti keadaan perang, maka kita sedang berada dalam bahaya besar.
Kita seolah berjalan menuju jurang, tapi masih santai dan mengira semuanya
baik-baik saja. Padahal, dunia sudah berubah drastis, penuh krisis, persaingan,
dan ketidakpastian. Jika kita tidak segera bersiap dan berubah, maka kehancuran
bisa datang tanpa kita sadari.

No comments:
Post a Comment