Penerapan Berkelanjutan Nanopropolis untuk Menanggulangi Foodborne Diseases
Abstract
Propolis
has numerous biological properties and technological potential, but its low solubility
in water makes its use quite difficult. With the advent of nanotechnology, better
formulations with propolis, such as nano-propolis, can be achieved to improve its
properties. Nano-propolis is a natural nanomaterial with several applications, including
in the maintenance of food quality. Food safety is a global public health concern
since food matrices are highly susceptible to contamination of various natures,
leading to food loss and transmission of harmful foodborne illness. Due to their
smaller size, propolis nanoparticles are more readily absorbed by the body and have
higher antibacterial and antifungal activities than common propolis. This review
aims to understand whether using propolis with nanotechnology can help preserve
food and prevent foodborne illness. Nanotechnology applied to propolis formulations
proved to be effective against pathogenic microorganisms of industrial interest,
making it possible to solve problems of outbreaks that can occur through food.
Keywords: food preservation; nanotechnology; propolis
Abstrak
Propolis
memiliki berbagai sifat biologis dan potensi teknologi yang luas, namun kelarutannya
yang rendah dalam air membatasi penggunaannya. Dengan kemajuan teknologi nanomaterial,
formulasi propolis yang lebih baik seperti nano-propolis dapat dikembangkan untuk
meningkatkan karakteristiknya. Nano-propolis merupakan nanomaterial alami yang memiliki
berbagai aplikasi, termasuk dalam pemeliharaan kualitas pangan. Keamanan pangan merupakan isu kesehatan masyarakat global
karena matriks pangan sangat rentan terhadap berbagai jenis kontaminasi, yang dapat
menyebabkan kehilangan bahan pangan serta penularan penyakit bawaan makanan. Karena
ukurannya yang lebih kecil, nanopartikel propolis lebih mudah diserap oleh tubuh
dan menunjukkan aktivitas antibakteri serta antijamur yang lebih tinggi dibandingkan
dengan propolis biasa. Ulasan ini bertujuan untuk memahami sejauh mana penggunaan
propolis yang dikombinasikan dengan teknologi nano dapat membantu dalam menjaga
kualitas pangan dan mencegah penyakit bawaan makanan. Penerapan nanoteknologi pada
formulasi propolis terbukti efektif melawan mikroorganisme patogen yang relevan
dalam industri pangan, sehingga berpotensi mengatasi masalah wabah yang dapat timbul
melalui produk pangan.
Kata kunci: pelestarian pangan; nanoteknologi; propolis

Abstrak
Grafis
1.
Pendahuluan
Istilah
nanoteknologi mengacu pada bidang ilmu dan rekayasa yang memanfaatkan fenomena
yang terjadi pada skala nanometrik (10⁻⁹ m) dalam berbagai sistem kajian. Penerapan nanoteknologi mampu meningkatkan kapasitas
dan kualitas sektor industri sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi [1].
Keamanan pangan merupakan isu kesehatan masyarakat global
karena matriks pangan sangat rentan terhadap berbagai jenis kontaminasi, baik kimia,
fisik, maupun biologis. Kontaminasi tersebut dapat menurunkan mutu pangan (seperti
atribut sensori yang tidak dapat diterima) serta menyebabkan penularan penyakit
bawaan makanan akibat akumulasi toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme [2,3].
Propolis merupakan produk alami menyerupai resin yang dihasilkan
oleh lebah madu (Apis mellifera) dari kuncup dan eksudat tanaman. Bahan ini
dikenal sebagai sumber antioksidan potensial yang kaya akan senyawa fenolik, terutama
flavonoid [4].
Secara alami, propolis digunakan oleh lebah sebagai mekanisme
pertahanan sarang terhadap predator. Selain berfungsi menutup celah pada dinding
sarang dan menjaga kebersihan lingkungan sarang, propolis juga berperan sebagai
isolator termal yang mempertahankan kelembapan dan suhu sarang, sehingga mendukung
kesehatan koloni lebah [5,6].
Meskipun memiliki beragam sifat biologis dan potensi aplikasi
teknologi, propolis masih menghadapi keterbatasan dalam penggunaannya, terutama
karena belum tersedianya formulasi yang stabil dan mudah diaplikasikan. Salah satu
kendala utamanya adalah kelarutan propolis yang rendah dalam air, sehingga menyulitkan
penggunaannya dalam berbagai sistem. Namun, kemajuan dalam bidang nanoteknologi
memberikan peluang untuk mengembangkan formulasi propolis dengan kelarutan yang
lebih baik dalam sistem air, meningkatkan bioavailabilitas, memungkinkan pelepasan
terkendali, dan memperbaiki kapasitas penetrasi [7].
Nanomaterial alami yang dikenal sebagai nano-propolis
memiliki berbagai aplikasi, termasuk peningkatan kualitas pangan. Karena ukurannya
yang lebih kecil, nanopartikel propolis menunjukkan aktivitas antimikroba yang lebih
kuat dibandingkan propolis biasa dan lebih mudah diserap oleh tubuh [7].
Oleh karena itu, untuk pertama kalinya, tinjauan ini menyajikan
kompilasi informasi ilmiah guna menilai potensi penggunaan propolis yang dikombinasikan
dengan nanomaterial dalam mencegah patogen penyebab penyakit bawaan makanan.
Untuk
tujuan tersebut, dilakukan analisis literatur dari basis data Scopus, Medline, CINAHL,
Cochrane Database, dan Web of Science terhadap publikasi dalam lima tahun terakhir.
Kata kunci yang digunakan meliputi nanopropolis, propolis, nanopropolis
antimicrobial, dan bioactive compounds sebagai deskriptor untuk penelusuran
penelitian yang relevan. Proses penyaringan utama dilakukan terhadap artikel ilmiah,
bab buku, dan data ilmiah yang diterbitkan antara tahun 2018 hingga 2023. Namun,
referensi yang lebih lama tetap disertakan apabila mengandung informasi yang relevan.
Setiap studi dianalisis secara terpisah, dan hanya penelitian yang sesuai dengan
topik kajian yang dipilih. Publikasi yang hanya memuat abstrak dan tidak termasuk
dalam rentang tahun publikasi yang ditetapkan tidak dimasukkan dalam analisis.
2. Penyakit Bawaan Makanan sebagai Tantangan Kesehatan
Masyarakat
Penyakit bawaan makanan (foodborne illness) umumnya
ditandai dengan gejala utama seperti demam, mual, muntah, dan diare. Namun, gejala-gejala
tersebut sering kali sulit dikenali karena menyerupai penyakit lain, seperti influenza
[7].
Meskipun penyakit ini dapat menyerang siapa saja, kelompok
tertentu memiliki risiko yang lebih tinggi dan berpotensi mengalami kondisi fatal,
terutama individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Kelompok rentan tersebut
meliputi ibu hamil, anak-anak, bayi, dan lansia [7].
Pangan merupakan media utama penularan berbagai penyakit karena
mengandung substrat bergizi yang ideal bagi pertumbuhan mikroorganisme patogen.
Risiko kontaminasi pangan sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan pangan,
suhu penyimpanan, paparan udara, kadar oksigen, serta proses penanganan dan pengolahan
[8].
Menurut da Silva Martins et al. [8], terdapat lebih
dari 200 jenis penyakit yang telah diidentifikasi sebagai penyakit bawaan makanan,
dan sebagian besar disebabkan oleh bakteri patogen. Jenis pangan yang paling sering
menjadi sumber penularan meliputi daging, produk susu, hasil olahan roti, telur,
ikan, dan krustasea yang terkontaminasi mikroorganisme. Mikroorganisme yang paling
umum terlibat dalam kejadian wabah pangan ditunjukkan pada Tabel 1, yang merujuk
pada data dari situs resmi USD [9].
Tabel 1. Mikroorganisme utama penyebab wabah pangan,
jenis pangan tempat terjadinya kontaminasi, dan frekuensi kejadiannya.

Pemahaman mengenai Faktor Penyebab dan Penanggulangan
Penyakit Bawaan Makanan
Untuk memahami faktor-faktor yang terlibat dalam penyakit
bawaan makanan dan cara penanganannya, diperlukan kajian mendalam terhadap aspek-aspek
utama yang berkaitan dengan penyakit yang ditularkan melalui pangan beserta agen
etiologinya. Namun demikian, masih terdapat berbagai tantangan baru dalam penelitian
mengenai mikroorganisme yang bersifat emerging maupun re-emerging,
sehingga pelaporan secara rinci terhadap kejadian wabah yang ditularkan melalui
pangan dan air menjadi sangat penting untuk mendukung upaya pengendalian, pencegahan,
serta pelaporan penyakit tersebut [8].
Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) [20] berperan dalam mengoordinasikan investigasi
terhadap penyakit bawaan makanan di berbagai negara bagian setiap minggunya. Mikroorganisme
yang paling sering terlibat dalam kejadian wabah meliputi Campylobacter,
Escherichia coli, Listeria monocytogenes, dan Salmonella. Pusat
ini juga menyediakan berbagai data dan tabel terkait wabah pangan terbaru. Data
tersebut menunjukkan bahwa wabah pangan masih menjadi masalah global, dan bahkan
di negara maju sekalipun, populasi manusia tetap berisiko terpapar penyakit akibat
kontaminasi pangan.
Senyawa
bioaktif alami yang tersedia di alam berpotensi menjadi strategi alternatif dan
berkelanjutan untuk menggantikan obat konvensional maupun sintetis, karena aktivitas
antimikrobanya telah terbukti efektif terhadap berbagai mikroorganisme patogen penyebab
penyakit bawaan makanan. Selain itu, senyawa ini juga mampu menghambat mikroorganisme
pembusuk yang memperpendek umur simpan produk pangan.
3. Propolis: Komposisi Kimia, Sifat Antioksidan, dan
Antimikroba
Dari perspektif teknologi, perhatian besar perlu diberikan
pada metode ekstraksi propolis. Teknik ekstraksi padat–cair menggunakan etanol dan
air merupakan metode yang paling umum digunakan untuk mempertahankan integritas
komponen kimia propolis dan menjaga aktivitas biologisnya. Namun, teknik klasik
ini sering menghasilkan rendemen yang rendah dan melibatkan pelarut non-ramah lingkungan
yang mahal dan berpotensi mencemari lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan ramah
lingkungan seperti ekstraksi superkritis menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir.
Ekstraksi superkritis menggunakan CO₂ dikenal lebih lembut,
selektif, dan efisien dalam memisahkan fluida superkritis. Meskipun demikian, pengembangan
peralatan industri untuk metode ini memerlukan biaya tinggi, serta kondisi operasi
seperti tekanan, suhu, laju aliran, volume pelarut, dan jenis serta konsentrasi
ko-pelarut perlu dioptimalkan secara hati-hati untuk memperoleh senyawa target secara
efektif [21].
Selain digunakan sebagai obat alami untuk berbagai penyakit,
propolis juga memiliki potensi aplikasi luas dalam bidang teknologi pangan, khususnya
sebagai pengawet alami untuk produk daging dan pangan lainnya. Aktivitas antimikroba
propolis terhadap mikroorganisme patogen telah terbukti secara ilmiah dan diakui
luas [22].
Sifat antioksidan dan aktivitas biologis propolis sangat bergantung
pada komposisi kimia dan fitokimia yang dikandungnya. Faktor-faktor seperti musim
pengumpulan, jenis tanaman yang dikunjungi lebah, lokasi sarang, dan proses pascapanen
berpengaruh signifikan terhadap mutu propolis [23].
Pobiega et al. [24] melaporkan bahwa propolis memiliki
aktivitas antimikroba yang menjanjikan dalam meminimalkan atau mengeliminasi mikroorganisme
patogen penyebab penyakit bawaan makanan. Senyawa flavonoid, bersama dengan asam
fenolat dan esternya, aldehida fenolik, dan keton, merupakan komponen utama yang
berperan dalam aktivitas antimikroba propolis. Selain itu, propolis juga mengandung
minyak atsiri, asam aromatik, lilin, resin, balsam, dan serbuk sari, yang merupakan
sumber kaya unsur penting seperti magnesium, nikel, kalsium, besi, dan seng.
Mekanisme aktivitas antibakteri propolis bersifat kompleks
dan diduga terjadi melalui sinergisme antara flavonoid, asam hidroksi, dan seskuiterpen.
Selain itu, propolis juga dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh atau secara
langsung menghambat pertumbuhan mikroorganisme target. Senyawa
fenolik dalam propolis bekerja efektif terhadap bakteri Gram-positif, yang berkaitan
dengan struktur membran sel mikroorganisme tersebut [25].
Penting
untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang memengaruhi komposisi kimia propolis,
mengingat produk ini bersifat alami dengan variasi komposisi yang tidak selalu stabil
atau dapat diprediksi, namun memiliki nilai biologis dan komersial yang tinggi.
Secara umum, asam fenolat dan flavonoid merupakan kelompok senyawa bioaktif yang
paling banyak diteliti karena perannya dalam memberikan kapasitas antioksidan tinggi
pada propolis [26].
Menurut
Sahu et al. [26], propolis merupakan antioksidan alami yang efektif dalam
menetralkan radikal bebas penyebab berbagai penyakit degeneratif, seperti penurunan
fungsi tubuh, penuaan dini, serta gangguan serius seperti artritis, aterosklerosis,
dan katarak. Mereka juga melaporkan bahwa nano-propolis memiliki potensi besar sebagai
kandidat obat dalam industri farmasi dan pangan.
Konsentrasi
pinocembrin yang tinggi pada propolis asal Chili menunjukkan aktivitas antibakteri
yang kuat melalui penghambatan gen GtfB, GtfC, dan GtfD, yang berperan dalam pembentukan
biofilm pada Streptococcus mutans penyebab karies gigi pada anak-anak. Menurut
Fitria et al. [27], mekanisme antimikroba ekstrak propolis melibatkan perubahan
fisik pada membran sel bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, yang menyebabkan deformasi
sel serta kebocoran komponen intraseluler.
4.
Senyawa Kimia Utama yang Berperan dalam Bioaktivitas Propolis
Polifenol
yang terdapat dalam propolis merupakan komponen utama yang bertanggung jawab terhadap
aktivitas biologisnya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bagian ini membahas
senyawa-senyawa tersebut secara lebih rinci. Perlu dipahami bahwa polifenol diklasifikasikan
ke dalam berbagai kelompok berdasarkan struktur kimianya. Jenis yang paling umum
meliputi isoflavon, flavonol, antosianidin, tansinon, dan flavonoid terprenilasi
[28].
Flavonoid
termasuk dalam kelompok fitoestrogen tumbuhan yang diturunkan dari senyawa fenilpropanoid.
Hingga saat ini, lebih dari 10.000 senyawa flavonoid dengan aktivitas biologis telah
diidentifikasi, dan secara umum terbagi menjadi enam subkelas utama, yaitu: flavonol,
flavon, flavanon, flavanol, antosianin, dan isoflavon [28].
Pada tumbuhan, senyawa-senyawa ini berperan penting dalam
melindungi tanaman dari radiasi ultraviolet serta bertahan terhadap serangan patogen
dan hama serangga. Flavonoid umumnya terdapat dalam bentuk terkonjugasi yang secara
biologis tidak aktif, seperti β-glukosida. Di antara seluruh subkelasnya, flavonoid dan isoflavon menunjukkan
tingkat bioavailabilitas tertinggi, sehingga memiliki kontribusi besar terhadap
efek biologis propolis [28]. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fitria et
al. [27], senyawa utama yang terdapat dalam propolis ditampilkan pada Tabel
2 berikut.
Tabel
2. Senyawa fenolik yang diisolasi dari propolis dan sifat biologis yang telah dilaporkan.

5.
Metode Sintesis Nanopropolis dan Efek Antimikrobanya
Terdapat
berbagai metode yang digunakan dalam sintesis nanopropolis, dan keunggulan propolis
dalam bentuk nanopropolis terbukti meningkat secara signifikan akibat ukuran partikelnya
yang lebih kecil, sehingga mampu memperkuat aktivitas antioksidan dan antimikrobanya.
Beberapa metode sintesis nanopropolis disajikan di bawah ini. Tabel 3 merangkum
aktivitas antibakteri, teknik pembuatan nanopropolis, serta evaluasi terhadap aktivitas
antimikrobanya.
Tabel
3. Teknik sintesis nanopropolis dan aksi antimikrobanya.

Gambar 1 menunjukkan diagram proses
pembuatan nanopropolis menggunakan high-pressure homogenizer yang dilanjutkan
dengan perlakuan ultrasonik, suatu teknik yang telah terbukti memberikan hasil yang
sangat baik.

Gambar 1. Skema produksi nanopropolis menurut Barsola
dan Kumari [45].
Selvaraju et al. [22] mempersiapkan partikel nanopropolis
berperak dari ekstrak alkohol + propolis dan air suling dengan rasio 7:3 pada suhu
ruang 25 °C, diaduk selama 7–10 hari dalam kondisi gelap, kemudian disaring. Filtrat
yang diperoleh diuapkan menggunakan rotary vacuum evaporator. Bahan hasil
evaporasi ini selanjutnya difiltrasi kembali dan diuapkan menggunakan rotary
evaporator. Ekstrak tersebut kemudian dicampur dengan sejumlah
perak nitrat (AgNO₃) dan air ultrap murni. Pada awalnya, larutan berwarna cokelat
muda, namun setelah penambahan AgNO₃ warnanya berubah menjadi cokelat tua—menandakan
terbentuknya nanopartikel. Campuran tersebut dibiarkan
selama beberapa waktu, suatu tahap penting untuk memastikan proses oksidasi perak
nitrat menjadi ion perak. Larutan hasil sintesis kemudian disentrifugasi, endapan
yang diperoleh dikumpulkan, dan selanjutnya melalui proses liofilisasi untuk menghasilkan
nanopartikel perak–propolis.
Seibert et al. [51] dalam penelitiannya terhadap ekstrak
propolis menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik terhadap beberapa mikroorganisme,
yaitu Listeria monocytogenes, Staphylococcus aureus, Staphylococcus
saprophyticus, dan Enterococcus faecalis. Perlu dicatat bahwa propolis
yang diformulasikan dalam bentuk nanoemulsi, karena ukuran partikelnya yang lebih
kecil, memiliki efektivitas yang lebih tinggi terhadap mikroorganisme tersebut dibandingkan
propolis dalam bentuk ekstrak konvensional. Oleh karena itu, meskipun penggunaan
ekstrak propolis merupakan strategi yang menarik, bentuk nanopartikelnya lebih disarankan.
Selvaraju et al. [22] menerapkan nanopropolis berperak
pada matriks non-pangan, meskipun hasil aplikasinya kurang efektif. Namun, mereka
juga mengamati aktivitas nanopartikel ini terhadap mikroorganisme yang relevan dalam
keamanan pangan, seperti Staphylococcus aureus. Bakteri ini diketahui dapat
menyebabkan keracunan makanan stafilokokus. Produk pangan seperti susu, krim, pai
berisi krim, salad kentang, tuna, ayam, dan daging ham matang merupakan contoh umum
makanan yang terkontaminasi S. aureus dan dapat menimbulkan penyakit pada
manusia. Gejala utamanya meliputi mual, muntah, kram perut, diare, dan keringat
berlebih. Dalam penelitian Selvaraju et al. [22], ditemukan adanya efek sinergis
antara nanopartikel perak dan propolis terhadap S. aureus, yang meningkatkan
aktivitas antibakterinya.
Namun demikian, bahan-bahan ini saja belum cukup untuk melindungi
pangan dari kemungkinan perubahan kimia maupun biologis, sehingga diperlukan bahan
aktif tambahan dengan komponen yang dapat bekerja secara sinergis untuk menjaga
stabilitas dan keamanan pangan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hasan et al. [52],
nanopropolis terbukti memiliki efektivitas antibakteri yang masing-masing 206%,
212%, 227%, dan 230% lebih tinggi terhadap S. aureus, Escherichia coli,
Salmonella sp., dan Bacillus subtilis dibandingkan propolis biasa.
Aktivitas antibakteri nanopropolis dibandingkan dengan antibiotik ampisilin, yang
digunakan sebagai kontrol positif dalam penelitian tersebut. Semua mikroorganisme
yang disebutkan diketahui berperan dalam penyakit yang ditularkan melalui pangan
terkontaminasi (Gambar 2).

Gambar
2. Efek aktivitas antibakteri terhadap sel bakteri.
Terdapat
beberapa hipotesis mengenai mekanisme aksi antimikroba propolis, salah satunya dikemukakan
oleh Sabir [53], yang melaporkan bahwa beberapa senyawa penyusun propolis (terutama
senyawa fenolik dan flavonoid) dapat mencegah enzim bakteri bernama RNA polymerase
berikatan dengan DNA bakteri, sehingga menghambat replikasi melalui penghambatan
enzim endonuclease-restriktif. Hipotesis lain menyebutkan bahwa propolis
dapat menyebabkan penurunan aktivitas rantai transpor elektron, yang berujung pada
terbentuknya perforasi dan gangguan integritas struktural membran sel. Karena kelarutan
propolis yang rendah, bentuk nanopropolis diperkirakan memiliki efektivitas yang
lebih tinggi dibandingkan propolis biasa, karena ukuran partikelnya yang lebih kecil
memungkinkan penetrasi yang lebih mudah ke membran luar bakteri, sehingga agen antimikrobanya
dapat bekerja lebih efektif terhadap targetnya [7].
Mei
et al. [4] melakukan penelitian mengenai kemampuan ekstrak etanolik propolis
dan fosfatidilkolin yang dihasilkan melalui teknik nano-mikroenkapsulasi untuk melindungi
minyak biji teh. Para peneliti mengkaji aktivitas antioksidan dari nano-mikrokapsul
tersebut dan menemukan bahwa kapsul yang dihasilkan memiliki karakteristik yang
baik dalam hal struktur nano, morfologi, dan interaksi antarmuka. Nano-mikroenkapsulasi
terbukti secara signifikan meningkatkan aktivitas antioksidan kapsul, menunjukkan
potensinya untuk digunakan dalam perlindungan minyak pangan di industri makanan.
Júnior
et al. [54] meneliti ekstrak propolis hijau yang dikombinasikan dengan nanopartikel
silika (SiO₂) dalam struktur film berbasis natrium alginat. Mereka mengevaluasi
sifat fisik dan antioksidan dibandingkan dengan sampel kontrol. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan propolis menghasilkan efek pemblokiran sinar UV yang
sangat baik serta aktivitas penangkapan radikal DPPH yang tinggi pada semua sampel.
Dengan demikian, kombinasi propolis dan nanopartikel SiO₂ memiliki potensi besar
untuk diterapkan dalam sistem active food packaging di masa mendatang.
Shahabi
et al. [55] mengkaji pengaruh halloysite nanotubes terhadap karakteristik
fisikokimia film berbasis soy protein isolate/basil gum yang diaktivasi dengan
propolis. Selain memperoleh hasil yang sangat baik pada analisis karakteristik film,
peneliti juga mencatat peningkatan signifikan pada potensi antimikroba dan antioksidan
(dalam uji aktivitas penangkapan radikal DPPH) setelah penambahan propolis. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa film yang dihasilkan memiliki efisiensi yang memadai
untuk digunakan dalam sistem kemasan pangan.
Soleimanifard
et al. [56] mengembangkan komposisi bioaktif dengan efektivitas farmakologis
tinggi menggunakan ekstrak propolis yang diinkapsulasi dalam nano-kompleks natrium
kaseinat–maltodekstrin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa formulasi tersebut
dapat digunakan untuk aplikasi propolis dalam produk pangan dan farmasi.
Madani
et al. [57] melaporkan efektivitas antimikroba propolis dan nanopropolis
terhadap biofilm Enterococcus faecalis secara in vitro. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nanopropolis, pada konsentrasi sepuluh kali lebih rendah, memiliki
efektivitas yang lebih besar terhadap E. faecalis (PTCC 1778) dibandingkan
propolis biasa.
6.
Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Nanopropolis dalam Industri Pangan
Propolis
memiliki potensi besar sebagai pengawet alami karena aktivitas antimikroba dan antioksidannya,
serta karena bersifat alami dan diakui aman (Generally Recognized as Safe).
Propolis dapat diaplikasikan pada berbagai produk pangan seperti daging, minuman,
produk susu, jus buah, dan telur. Namun, faktor pembatas penggunaannya dalam pangan
adalah rasa propolis yang kuat (bersifat sangat sepat dan pahit), yang memengaruhi
tingkat penerimaan konsumen. Hal ini terutama disebabkan oleh kandungan polifenol
yang tinggi [28].
Seibert
et al. [51] menyarankan bahwa salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut
adalah melalui enkapsulasi propolis dalam bentuk nanoemulsi, yang dapat meminimalkan
dampak negatif terhadap sifat sensorik bagi konsumen. Nanoemulsi didefinisikan sebagai
dispersi koloid dengan ukuran droplet antara 20–200 nm, terbentuk dari tetesan cairan
yang terdispersi dalam cairan lain yang tidak dapat bercampur, dan distabilkan oleh
surfaktan.
Namun,
aplikasi terbaik nanopropolis dalam pangan diperkirakan adalah melalui integrasinya
ke dalam bahan kemasan berbasis biopolimer, karena biopolimer bersifat dapat terurai
secara hayati (biodegradable), biokompatibel, tidak beracun, serta memiliki
spektrum aktivitas yang luas (Gambar 3). Biopolimer dapat terdiri atas protein dan polisakarida, yang keduanya merupakan
bahan yang menjanjikan untuk sistem kemasan pangan modern [4].

Gambar
3. Aplikasi nanopropolis dalam bahan kemasan pangan berbasis biopolimer.
Melalui
modifikasi karakteristik fisik bahan kemasan dan penambahan senyawa bioaktif, nanoteknologi
memungkinkan pengembangan kemasan cerdas (intelligent packaging) untuk produk
pangan dengan sifat-sifat tertentu yang diinginkan, seperti kemampuan mendeteksi
kerusakan makanan, memperpanjang umur simpan, atau memberikan perlindungan antimikroba
secara aktif.
7.
Nano-Delivery Systems (NDS) dalam Pangan
Bahan
berskala nano digunakan dalam Nano-Delivery Systems (NDS), yaitu bidang penelitian
yang relatif baru tetapi berkembang pesat, yang bertujuan untuk mengantarkan zat
bioaktif atau agen tertentu ke area target secara terkendali dan efisien [58].
Dalam
sistem penghantaran nano ini, sifat kimiawi sangat bergantung pada jenis sistem
penghantar yang digunakan. Umumnya, NDSs tersusun atas bahan-bahan yang telah disetujui
untuk aplikasi pangan, seperti lipid, protein, polimer sakarida, asam laktat, atau
kombinasi dari bahan-bahan tersebut [59]. Berbagai jenis nanocarrier (pembawa
nano) yang digunakan dalam sistem penghantaran serta karakteristik khususnya dirangkum
dalam Tabel 4 [59].
Tabel
4. Jenis nanocarrier yang digunakan dalam sistem penghantaran dan karakteristiknya.

8.
Keamanan Penggunaan Nanopropolis dalam Pangan
Kekhawatiran
terbesar para peneliti terkait keamanan penggunaan nanopartikel dalam pangan adalah
fenomena migrasi nanopartikel ke dalam bahan pangan. Unsur-unsur seperti nanosilver,
nanopartikel titanium, dan senyawa sejenis lainnya berpotensi bermigrasi ke makanan.
Namun, hasil penelitian mengenai hal ini masih menunjukkan perbedaan kesimpulan,
kemungkinan disebabkan oleh variasi dalam perencanaan dan metodologi eksperimen,
yang akhirnya memunculkan peringatan dari lembaga pemerintah terkait keamanan penggunaannya.
Mengingat perkembangan pesat nanoteknologi,
perhatian terhadap aspek ini menjadi sangat penting [63].
Fenomena migrasi ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat
mengancam kesehatan konsumen, misalnya akibat perpindahan logam berat ke dalam bahan
pangan. Proses migrasi terdiri atas tiga tahap, yaitu (1) difusi, (2) disolusi,
dan (3) dispersi nanopartikel. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai
ketiga proses ini sangat penting untuk menilai risiko kesehatan yang mungkin timbul
ketika senyawa tersebut berinteraksi dengan produk pangan [63].
Selain itu, komposisi kimia pangan, komposisi bahan kemasan,
kondisi mekanis dan penyimpanan, serta proses penanganan juga berperan penting dalam
menentukan kemungkinan terjadinya interaksi antara nanopartikel dan bahan pangan
[59].
Faktor-faktor seperti ukuran partikel, komposisi kimia, kristalinitas,
karakteristik partikel, dan fungsi permukaan turut memengaruhi tingkat toksisitas
nanopartikel. Perbedaan dalam sifat toksikologis nanopartikel sering kali disebabkan
oleh metode sintesis yang digunakan serta komposisi lingkungan tempat nanopartikel
tersebut diaplikasikan [59].
Salah satu argumen paling menjanjikan dalam penggunaan nanopropolis
adalah bahwa bahan dasarnya berupa senyawa alami, sehingga secara umum dianggap
aman dikonsumsi (GRAS – Generally Recognized As Safe) dan memiliki risiko toksisitas
yang sangat rendah. Penggunaan senyawa alami semakin banyak dieksplorasi karena
memberikan berbagai manfaat dan umumnya tidak menimbulkan efek toksik pada manusia.
Namun demikian, perlu diingat bahwa individu dengan sensitivitas tertentu tetap
berpotensi mengalami reaksi terhadap komponen alami tersebut [64].
9. Kesimpulan dan Perspektif Masa Depan
Propolis dikenal luas karena memiliki berbagai sifat biologis
dan manfaat bagi kesehatan manusia. Kombinasi antara propolis dan nanoteknologi
telah terbukti efektif dalam pengawetan pangan, berdasarkan hasil studi yang menunjukkan
aktivitas bioaktif terhadap mikroorganisme penyebab penyakit bawaan makanan (foodborne
illness), sehingga menjadikannya senyawa yang menjanjikan dalam industri pangan.
Agar nanopropolis dapat diimplementasikan secara luas dalam
industri pangan, diperlukan intervensi nanoteknologis untuk meningkatkan kinerja
sifat-sifat utamanya, termasuk kelarutan dalam air, bioavailabilitas, profil pelepasan
terkontrol, serta kapasitas penetrasi. Penerapan nanoteknologi menjadi sangat relevan
terutama ketika terdapat ketidaksesuaian antara dosis, konsentrasi, dan efektivitas
zat bioaktif.
Secara keseluruhan, penggunaan nanopropolis sebagai teknologi
baru membawa sejumlah keuntungan, seperti penerapannya dalam sistem kemasan aktif
untuk penghantaran terkendali bahan aktif, nutrien, senyawa antioksidan, dan agen
antimikroba. Aplikasi ini tidak hanya relevan dalam industri pangan, tetapi juga
berpotensi besar di bidang farmasi, kosmetik, dan bahan kimia halus. Selain itu,
nanopropolis dapat meningkatkan karakteristik mekanik, termal, fisikokimia, biologis,
serta biodegradabilitas produk, sekaligus berfungsi sebagai indikator kesegaran
pangan dan memperpanjang masa simpan produk.
Ucapan
Terima Kasih (Acknowledgments)
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada CAPES (88887.700866/2022-00), PROPESP/UFPA (PAPQ),
serta Program Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Pangan (PPGCTA), Universidade Federal
do Pará, atas dukungan yang diberikan dalam penelitian ini. Penghargaan juga disampaikan
kepada Universidade Federal Rural da Amazônia – Instituto de Saúde e Produção Animal
(ISPA) atas kerja samanya.
REFERENSI
- Abid, H.; Mohd, J.; Ravi, P.S.;
Shanay, R.; Rajiv, S. Applications of nanotechnology in medical field: A brief
review. Glob. Health J. 2023, 7, 70–77. [Google Scholar] [CrossRef]
- Kamarudin, S.H.; Rayung, M.; Abu,
F.; Ahmad, S.B.; Fadil, F.; Karim, A.A.; Norizan, M.N.; Sarifuddin, N.; Mat
Desa, M.S.Z.; Mohd Basri, M.S.; et al. A review on antimicrobial packaging
from biodegradable polymer composites. Polymers 2022, 14,
174. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Liu, X.; Liao, W.; Xia, W. Recent
advances in chitosan-based bioactive materials for food preservation. Food
Hydrocoll. 2023, 140, 108612. [Google Scholar] [CrossRef]
- Mei, L.; Ji, Q.; Jin, Z.; Guo,
T.; Yu, K.; Ding, W.; Liu, C.; Wu, Y.; Zhang, N. Nano-microencapsulation of
tea seed oil via modified complex coacervation with propolis and phosphatidylcholine
for improving antioxidant activity. LWT 2022, 163, 113550.
[Google Scholar] [CrossRef]
- Sulaeman, A.; Mulyati, A.H. The
bee propolis for preventing and healing non-communicable diseases. In Functional
Foods and Nutraceuticals in Metabolic and Non-Communicable Diseases; Academic
Press: Cambridge, MA, USA, 2022; pp. 465–479. [Google Scholar]
- Tavares, L.; Smaoui, S.; Lima,
P.S.; de Oliveira, M.M.; Santos, L. Propolis: Encapsulation and application
in the food and pharmaceutical industries. Trends Food Sci. Technol.
2022, 127, 169–180. [Google Scholar] [CrossRef]
- Tatli Seven, P.; Seven, I.; Gul
Baykalir, B.; Iflazoglu Mutlu, S.; Salem, A.Z. Nanotechnology and nano-propolis
in animal production and health: An overview. Ital. J. Anim. Sci. 2018,
17, 921–930. [Google Scholar] [CrossRef]
- da Silva Martins, L.H.; da Silva,
S.B.; Bichara, C.M.G.; de Oliveira, J.R.A.; Santos Filho, A.F.; Alves, R.C.B.;
Komesu, A.; Rai, M. Brazilian Medicinal Plant Extracts with Antimicrobial Action
Against Microorganisms that Cause Foodborne Diseases. In Eco-Friendly Biobased
Products Used in Microbial Diseases; CRC Press: Boca Raton, FL, USA, 2022;
pp. 121–137. [Google Scholar]
- USDA. Food Safety and Inspection
Service-U.S Departament of Agricultura. 2020. Available online: https://www.fsis.usda.gov/food-safety/foodborne-illness-and-disease#:~:text=Foodborne%20illness%20is%20a%20preventable,year%20in%20the%20United%20States (accessed on 28 April 2023).
- Zulqarnain, M.; Haitao, H.; Wen,
L.; Cui, G.; Xia, W. Undercooked Leghorn Chicken is A Source of Campylobacter
jejuni, An Infectious Agent for Causing Prosthetic Joint Infection and
Diarrhea. J. Infect. Dis. Case Rep. 2022, 164, 2–4. [Google Scholar] [CrossRef]
- Chaidoutis, E.; Keramydas, D.;
Papalexis, P.; Migdanis, A.; Migdanis, I.; Lazaris, A.C.; Kavantzas, N. Foodborne
botulism: A brief review of cases transmitted by cheese products. Biomed.
Rep. 2022, 16, 41. [Google Scholar] [CrossRef]
- Dolan, G.P.; Foster, K.; Lawler,
J.; Amar, C.; Swift, C.; Aird, H.; Gorton, R. An epidemiological review of
gastrointestinal outbreaks associated with Clostridium perfringens,
North East of England, 2012–2014. Epidemiol. Infect. 2016, 144,
1386–1393. [Google Scholar] [CrossRef]
- Costa, D.; Razakandrainibe, R.;
Basmaciyan, L.; Raibaut, J.; Delaunay, P.; Morio, F.; Gargala, G.; Villier,
V.; Mouhajir, A.; Levy, B.; et al. A summary of cryptosporidiosis outbreaks
reported in France and overseas departments, 2017–2020. Food Waterborne
Parasitol. 2022, 27, e00160. [Google Scholar] [CrossRef]
- Cowley, L.A.; Dallman, T.J.; Fitzgerald,
S.; Irvine, N.; Rooney, P.J.; McAteer, S.P.; Day, M.; Perry, N.T.; Bono, J.L.;
Jenkins, C.; et al. Short-term evolution of Shiga toxin-producing Escherichia
coli O157:H7 between two food-borne outbreaks. Microb. Genom. 2016,
2, e000084. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Zhang, X.; Wang, S.; Chen, X.;
Qu, C. Review controlling Listeria monocytogenes in ready-to-eat meat
and poultry products: An overview of outbreaks, current legislations, challenges,
and future prospects. Trends Food Sci. Technol. 2021, 116,
24–35. [Google Scholar] [CrossRef]
- Le, H.H.T.; Dalsgaard, A.; Andersen,
P.S.; Nguyen, H.M.; Ta, Y.T.; Nguyen, T.T. Large-scale Staphylococcus aureus
foodborne disease poisoning outbreak among primary school children. Microbiol.
Res. 2021, 12, 43–52. [Google Scholar] [CrossRef]
- Brumfield, K.D.; Chen, A.J.; Gangwar,
M.; Usmani, M.; Hasan, N.A.; Jutla, A.S.; Huq, A.; Colwell, R.R. Environmental
Factors Influencing Occurrence of Vibrio parahaemolyticus and Vibrio
vulnificus. Appl. Environ. Microbiol. 2023, 89, e00307-23.
[Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Reddy, M.P.; Sulaiman, Z.I.; Askar,
G. Vertebral Discitis Caused by Salmonella enterica serovar Montevideo
Infection. IDCases 2023, 13, e01882. [Google Scholar] [CrossRef]
- Malek, M.; Barzilay, E.; Kramer,
A.; Camp, B.; Jaykus, L.A.; Escudero-Abarca, B.; Derrick, G.; White, P.; Gerba,
C.; Higgins, C.; et al. Outbreak of Norovirus infection among river rafters
associated with packaged delicatessen meat, Grand Canyon, 2005. Clin. Infect.
Dis. 2009, 48, 31–37. [Google Scholar] [CrossRef]
- Centers for Disease Control and
Prevention. Active Investigations of Multistate Foodborne Outbreaks | CDC.
Available online: https://www.cdc.gov/foodsafety/outbreaks/lists/active-investigations.html (accessed on 28 August 2023).
- Bouaroura, A.; Segueni, N.; Diaz,
J.G.; Bensouici, C.; Akkal, S.; Rhouati, S. Preliminary analysis of the chemical
composition, antioxidant and anticholinesterase activities of Algerian propolis.
Nat. Prod. Res. 2020, 34, 3257–3261. [Google Scholar] [CrossRef]
- Selvaraju, G.D.; Umapathy, V.R.;
SumathiJones, C.; Cheema, M.S.; Jayamani, D.R.; Dharani, R.; Sneha, S.; Yamuna,
M.; Gayathiri, E.; Yadav, S. Fabrication and characterization of surgical sutures
with propolis silver nanoparticles and analysis of its antimicrobial properties.
J. King Saud Univ. -Sci. 2022, 34, 102082. [Google Scholar] [CrossRef]
- Irigoiti, Y.; Navarro, A.; Yamul,
D.; Libonatti, C.; Tabera, A.; Basualdo, M. The use of propolis as a functional
food ingredient: A review. Trends Food Sci. Technol. 2021, 115,
297–306. [Google Scholar] [CrossRef]
- Pobiega, K.; Kraśniewska, K.; Gniewosz,
M. Application of propolis in antimicrobial and antioxidative protection of
food quality—A review. Trends Food Sci. Technol. 2019, 83,
53–62. [Google Scholar] [CrossRef]
- Almuhayawi, M.S. Propolis as a
novel antibacterial agent. Saudi J. Biol. Sci. 2020, 27,
3079–3086. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Sahu, A.; Nayak, G.; Bhuyan, S.K.;
Bhuyan, R.; Kar, D.; Kuanar, A. A comparative study on antioxidant activity
of propolis ethanolic extract and oil from different agroclimatic regions of
Eastern India. Biocatal. Agric. Biotechnol. 2023, 50,
102685. [Google Scholar]
- Fitria, A.; Hanifah, S.; Chabib,
L.; Muhammad Uno, A.; Munawwarah, H.; Atsil, N.; Aditya Pohara, H.; Weuanggi,
D.A.; Syukri, Y. Design and characterization of propolis extract loaded self-nano
emulsifying drug delivery system as immunostimulant. Saudi Pharm. J.
2021, 29, 625–634. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Morissette, M.; Litim, N.; Di Paolo,
T. Natural phytoestrogens: A class of promising neuroprotective agents for
Parkinson disease. In Discovery and Development of Neuroprotective Agents
from Natural Products; Elsevier: Amsterdam, The Netherlands, 2018; pp.
9–61. [Google Scholar]
- Chen, X.; Wan, W.; Ran, Q.; Ye,
T.; Sun, Y.; Liu, Z.; Liu, X.; Shi, S.; Qu, C.; Zhang, C.; et al. Pinocembrin
mediates antiarrhythmic effects in rats with isoproterenol-induced cardiac
remodeling. Eur. J. Pharmacol. 2022, 920, 174799. [Google Scholar] [CrossRef]
- Mani, R.; Natesan, V. Chrysin:
Sources, beneficial pharmacological activities, and molecular mechanism of
action. Phytochemistry 2018, 145, 187–196. [Google Scholar] [CrossRef]
- Salehi, B.; Venditti, A.; Sharifi-Rad,
M.; Kręgiel, D.; Sharifi-Rad, J.; Durazzo, A.; Lucarini, M.; Santini, A.; Souto,
E.B.; Novellino, E.; et al. The therapeutic potential of apigenin. Int.
J. Mol. Sci. 2019, 20, 1305. [Google Scholar] [CrossRef]
- Pagnan, A.L.; Pessoa, A.S.; Tokuhara,
C.K.; Fakhoury, V.S.; Oliveira, G.S.N.; Sanches, M.L.R.; Inacio, K.K.; Ximenes,
V.F.; Oliveira, R.C. Anti-tumour potential and selectivity of caffeic acid
phenethyl ester in osteosarcoma cells. Tissue Cell 2022, 74,
101705. [Google Scholar] [CrossRef]
- Iannuzzi, C.; Liccardo, M.; Sirangelo,
I. Overview of the Role of Vanillin in Neurodegenerative Diseases and Neuropathophysiological
Conditions. Int. J. Mol. Sci. 2023, 24, 1817. [Google Scholar] [CrossRef]
- Ogut, E.; Armagan, K.; Gül, Z.
The role of syringic acid as a neuroprotective agent for neurodegenerative
disorders and future expectations. Metab. Brain Dis. 2022, 37,
859–880. [Google Scholar] [CrossRef]
- Widelski, J.; Okińczyc, P.; Suśniak,
K.; Malm, A.; Bozhadze, A.; Jokhadze, M.; Korona-Głowniak, I. Correlation between
chemical profile of Georgian propolis extracts and their activity against Helicobacter
pylori. Molecules 2023, 28, 1374. [Google Scholar] [CrossRef]
- Feng, L.S.; Cheng, J.B.; Su, W.Q.;
Li, H.Z.; Xiao, T.; Chen, D.A.; Zhang, Z.L. Cinnamic acid hybrids as anticancer
agents: A mini-review. Arch. Der Pharm. 2022, 355, 2200052.
[Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Muvhulawa, N.; Dludla, P.V.; Ziqubu,
K.; Mthembu, S.X.; Mthiyane, F.; Nkambule, B.B.; Mazibuko-Mbeje, S.E. Rutin
ameliorates inflammation and improves metabolic function: A comprehensive analysis
of scientific literature. Pharmacol. Res. 2022, 178, 106163.
[Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Shahinozzaman, M.; Basak, B.; Emran,
R.; Rozario, P.; Obanda, D.N. Artepillin C: A comprehensive review of its chemistry,
bioavailability, and pharmacological properties. Fitoterapia 2020,
147, 104775. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Kakkar, S.; Bais, S. A review on
protocatechuic acid and its pharmacological potential. Int. Sch. Res. Not.
2014, 2014, 952943. [Google Scholar] [CrossRef]
- Naveed, M.; Hejazi, V.; Abbas,
M.; Kamboh, A.A.; Khan, G.J.; Shumzaid, M.; Ahmad, F.; Babazadeh, D.; Xia,
F.; Modarresi-Ghazani, F.; et al. Chlorogenic acid (CGA): A pharmacological
review and call for further research. Biomed. Pharmacother. 2018,
97, 67–74. [Google Scholar] [CrossRef]
- Gong, G.; Guan, Y.Y.; Zhang, Z.L.;
Rahman, K.; Wang, S.J.; Zhou, S.; Luan, X.; Zhang, H. Isorhamnetin: A review
of pharmacological effects. Biomed. Pharmacother. 2020, 128,
110301. [Google Scholar] [CrossRef]
- Ramalingam, M.; Kim, H.; Lee, Y.;
Lee, Y.I. Phytochemical and pharmacological role of liquiritigenin and isoliquiritigenin
from radix glycyrrhizae in human health and disease models. Front. Aging
Neurosci. 2018, 10, 348. [Google Scholar] [CrossRef]
- Tay, K.C.; Tan, L.T.H.; Chan, C.K.;
Hong, S.L.; Chan, K.G.; Yap, W.H.; Pusparajah, P.; Lee, L.H.; Goh, B.H. Formononetin:
A review of its anticancer potentials and mechanisms. Front. Pharmacol.
2019, 10, 820. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Eddouks, M.; Bidi, A.; Bouhali,
B.E.; Zeggwagh, N.A. Insulin resistance as a target of some plant-derived phytocompounds.
Stud. Nat. Prod. Chem. 2014, 43, 351–373. [Google Scholar]
- Barsola, B.; Kumari, P. Green synthesis
of nano-propolis and nanoparticles (Se and Ag) from ethanolic extract of propolis,
their biochemical characterization: A review. Green Process. Synth.
2022, 11, 659–673. [Google Scholar] [CrossRef]
- Pinheiro Machado, G.T.; Veleirinho,
M.B.; Mazzarino, L.; Machado Filho, L.C.P.; Maraschin, M.; Cerri, R.L.A.; Kuhnen,
S. Development of propolis nanoparticles for the treatment of bovine mastitis:
In vitro studies on antimicrobial and cytotoxic activities. Can. J. Anim.
Sci. 2019, 99, 713–723. [Google Scholar] [CrossRef]
- Zaleh, A.A.; Salehi-Vaziri, A.;
Pourhajibagher, M.; Bahador, A. The synergistic effect of nano-propolis and
curcumin-based photodynamic therapy on remineralization of white spot lesions:
An ex vivo study. Photodiagnosis Photodyn. Ther. 2022, 38,
102789. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Afrouzan, H.; Amirinia, C.; Mirhadi,
S.A.; Ebadollahi, A.; Vaseji, N.; Tahmasbi, G. Evaluation of antimicrobial
activity of propolis and nanopropolis against Staphylococcus aureus and Candida
albicans. Afr. J. Microbiol. Res. 2012, 6, 421–425. [Google Scholar]
- Hamdi, D.; Wijanarko, A.; Hermansyah,
H.; Asih, S.C.; Sahlan, M. Production of nanopropolis using high pressure ball
mill homogenizer. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science;
IOP Publishing: Bristol, UK, 2019; Volume 217, p. 012014. [Google Scholar]
- Prasetyo, R. Potensi nanopropolis
lebah madu trigona spp asal pandeglang sebagai antibakteri. In IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science; IOP Publishing: Bristol, UK, 2019.
[Google Scholar]
- Seibert, J.B.; Bautista-Silva,
J.P.; Amparo, T.R.; Petit, A.; Pervier, P.; dos Santos Almeida, J.C.; Azevedo,
M.C.; Silveira, B.M.; Brandão, G.C.; de Souza, G.H.B.; et al. Development of
propolis nanoemulsion with antioxidant and antimicrobial activity for use as
a potential natural preservative. Food Chem. 2019, 287,
61–67. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Hasan, A.E.Z.; Ambarsari, L.; Widjaja,
W.K.; Prasetyo, R. Potency of nanopropolis stingless bee Trigona spp Indonesia
as antibacterial agent. IOSR J. Pharm. 2014, 4, 01–09.
[Google Scholar]
- Sabir, A. The inflammatory response
on rat dental pulp following ethanolic extract of propolis (EEP) application.
Maj Ked Gigi (Dent J) 2005, 38, 77–83. [Google Scholar] [CrossRef]
- Júnior, L.M.; Jamróz, E.; de Ávila
Gonçalves, S.; da Silva, R.G.; Alves, R.M.V.; Vieira, R.P. Preparation and
characterization of sodium alginate films with propolis extract and nano-SiO2.
Food Hydrocoll. Health 2022, 2, 100094. [Google Scholar] [CrossRef]
- Shahabi, N.; Soleimani, S.; Ghorbani,
M. Investigating functional properties of halloysite nanotubes and propolis
used in reinforced composite film based on soy protein/basil seed gum for food
packaging application. Int. J. Biol. Macromol. 2023, 231,
123350. [Google Scholar] [CrossRef]
- Soleimanifard, M.; Feizy, J.; Maestrelli,
F. Nanoencapsulation of propolis extract by sodium caseinate-maltodextrin complexes.
Food Bioprod. Process. 2021, 128, 177–185. [Google Scholar] [CrossRef]
- Madani, Z.; Sales, M.; Moghadamnia,
A.A.; Kazemi, S.; Asgharpour, F. Propolis nanoparticle enhances antimicrobial
efficacy against Enterococcus faecalis biofilms. S. Afr. J. Bot. 2022,
150, 1220–1226. [Google Scholar] [CrossRef]
- Patra, J.K.; Das, G.; Fraceto,
L.F.; Campos, E.V.R.; Rodriguez-Torres, M.D.P.; Acosta-Torres, L.S.; Diaz-Torres,
L.A.; Grillo, R.; Swamy, M.K.; Sharma, S.; et al. Nano based drug delivery
systems: Recent developments and future prospects. J. Nanobiotechnol.
2018, 16, 71. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Luykx, D.M.; Peters, R.J.; van
Ruth, S.M.; Bouwmeester, H. A review of analytical methods for the identification
and characterization of nano delivery systems in food. J. Agric. Food Chem.
2008, 56, 8231–8247. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Augustin, M.A. The role of microencapsulation
in the development of functional dairy foods. Aust. J. Dairy Technol.
2003, 58, 156. [Google Scholar]
- Chayed, S.; Winnik, F.M. In vitro
evaluation of the mucoadhesive properties of polysaccharide-based nanoparticulate
oral drug delivery systems. Eur. J. Pharm. Biopharm. 2007, 65,
363–370. [Google Scholar] [CrossRef] [PubMed]
- Taylor, T.M.; Weiss, J.; Davidson,
P.M.; Bruce, B.D. Liposomal nanocapsules in food science and agriculture. Crit.
Rev. Food Sci. Nutr. 2005, 45, 587–605. [Google Scholar] [CrossRef]
- Onyeaka, H.; Passaretti, P.; Miri,
T.; Al-Sharify, Z.T. The safety of nanomaterials in food production and packaging.
Curr. Res. Food Sci. 2022, 5, 763–774. [Google Scholar] [CrossRef]
- Burdock, G.A. Review of the biological
properties and toxicity of bee propolis (propolis). Food Chem. Toxicol.
1998, 36, 347–363. [Google Scholar] [CrossRef]
SUMBER:
Fernanda
Wariss Figueiredo Bezerra, Jonilson de Melo e Silva, Gustavo Guadagnucci Fontanari,
Johnatt Allan Rocha de Oliveira, Mahendra Rai, Renan Campos Chisté and Luiza Helena
da Silva Martins. 2023. Sustainable Applications of Nanopropolis to Combat Foodborne
Illnesses. Molecules 2023, 28(19), 6785; https://doi.org/10.3390/molecules28196785
#Nanopropolis
#KeamananPangan
#AntimikrobaAlami
#Nanoteknologi
#PanganSehat